Semerbak aroma hidangan masakan Itali begitu menabrak seisi ruangan, beberapa tempat dipenuhi dua sejoli yang sedang merasa lapar atau sekadar ingin singgah, poto-poto, dan pergi. Jarang sekali ada anggota keluarga makan bersama di tempat ini, rata-rata muda-mudi yang penasaran tentunya. Seorang pramusaji laki-laki bertubuh tinggi menghampiri meja pelanggannya. Menyerahkan menu hidangan yang ada di tempat ini. Menunggu pelanggannya memesan makanan untuk dia bawa ke dapur.
“Pesan spaghetti saus tomat dengan daging sapi satu, pizza margherita ukuran sedang satu topingnya jamur, sama chicken parmigiana dua jangan lupa tambahkan keju lebih banyak. Minumnya milkshake rasa cappucino dua, sama caffe latte dua. Udah segitu, jangan lama kalo bisa” jelas dia menyebutkan pesanan mereka beremapat. Kebetulan mereka datang berempat sengaja mengunjungi restoran ini yang katanya paling lezat dan enak.
Pramusaji laki-laki mengangguk paham lalu menyebutkan kembali pesanan. Setelah dirasa benar dia pergi berlalu sambil membawa daftar menu. Para orang lapar itu disuruhnya menunggu beberapa menit.
“Kita udah lulus, gak bakalan bisa ngumpul lagi” seseorang memecahkan keheningan.
“Tentu, kecuali kita masuk perguruan tinggi yang sama bagaimana?” salah seorang menganjurkan solusi. Mencari jalan paling baik supaya keempatnya tidak berpisah secara permanen. Setelah kelulusan ini mereka akan dihadapkan dengan berbagai tawaran dari jutaan perguruan tinggi dalam negeri atau mungkin ada juga yang menawarkan di luar negeri.
“Gue gak bisa, Sof. Gue harus ikut sekolah pramugari, dua bulan lalu Mimi udah daftarin, nyatanya gue gak bisa berbuat apa-apa” wajahnya memelas seketika, ia begitu lesu mengatakannya.
“Kenapa harus nolak. Lagian gak ada salahnya jadi pramugari, hebat-hebatloh, Mika ini kesempatan lo buat jadi lebih hebat lagi. Bukannya lo gak suka sama itung-itungan, rumus fisika, kimia, matematika, ah begitulah perhitungan” orang yang tadi memesan pesanan mereka angkat bicara, ia justru terlihat sangat antusias. Mendukung Mika sepenuh hati.
Mika menghela napas, “Bukan gitu, Elian. Tapi gue gak bisa, gue gak mau. Rencananya gue mau masuk fakultas hukum di Jogja bareng sama kakak gue yang kuliah di sana. Takut juga jadi pramugari gimana kalo pesawatnya jatuh” ia membenarkan poninya ke pinggir. Memperlihatkan wajah yang cemas itu dengan jelas.
“Gini, masalah jatuh enggaknya itu gimana takdir kita sama Tuhan. Kita gak bisa nyalahin satu pekerjaan karena sebuah kecelakaan lalu meninggal, mungkin itu udah takdir mereka, kehidupan udah ada yang ngatur dari sejak kita lahir” Elian menjelaskan dengan penuh kebijaksanaan.
“Haha sejak kapan kamu jadi begitu puitis? Sejak sama Kak Randy?” orang yang diberi nasihat itu malah mengejek dengan tawa kecilnya.
“Gue serius Mik” ia memandang ketiga temannya satu persatu, “Sekarang keputusan ada di lo, terserah apa yang mau lo ambil. Kita pasti dukungkan?” kembali menyoroti dua temannya.
“Bener, gue setuju. Kita gak bisa terus bareng gini, bisa-bisa kita bakalan nemu titik jenuh terus pada gak suka dan akhirnya persahabatan hancur. Kita milih aja jalan yang cocok buat kita semua, udah sukses kita harus kumpul lagi jangan lupa, tiap libur harus ngumpul” sudah sangat benar dengan apa yang dikatakan Risa yang dari tadi cuman dia memperhatikan ketiganya.
“Setuju” kata mereka bertiga bersamaan. Serta kedatangan pesanan mereka dengan bersamaan pula. Aroma saos, mayones dan keju panggang begitu menggiurkan hidung serta perut lapar. Semua mata tertuju pada tiga pramusaji yang membawa pesanan. Satu persatu makanan disajikan bersama gelas layaknya mug berisi milksahke. Terakhir pelayan perempuan dengan rok mini dan rambut terbungkus jaring menyerahkan (bil) pembayaran.
“Sumpah ini enak” Mika menggigit piza yang ia pesan bibirnya terus mengunyah.
“Asli gue setuju” tembal Elian yang menggulung spaghetti saus tomat miliknya.
Sedang dua diantara mereka tidak mengatakan apa-apa. Senang menikmati pesanan yang mereka pesan.
“Gak tau harus ngomong darimana, yang jelas ada bayangan yang jadi kenyataan, sungguh padahal awalnya gak percaya, tapi kok asli ya. Gue jadi bingung sebenarnya apa yang terjadi” dalam suasana hening Elian tiba-tiba berkata dengan entengnya, entah bagaimana rasanya ingin berbagi dengan yang lain. Ketiganya keheranan, mendapatkan penyataan Elian tanpa aba-aba, tanpa opening juga.
“Maksud lo apa El?” Sofie benar-benar kebingungan, ia tidak jadi melahap potongan chicken parmigiana.
Sebelum menjawabnya dan berkata panjang lebar, Elian meneguk milshake miliknya terlebih dahulu, “Kemarin-kemarin, belum lama juga sih, gue ketemu orang yang sering ada di mimpi gue, atau kalo tiba-tiba lagi djavu gitu, dulu gue pernah bilangkan ke kalian. Nah pas kemarin lusa itu, gue ketemu anak laki-laki yang mirip banget sama orang yang dimimpi gue, bedanya dia keliatan dewasa, tapi seumuranlah sama gue. Kalo di mimpi mah keliatan masih remaja gitu, aneh banget dia seolah-olah tau dengan jelas gimana gue, kenal banget kayanya. Tapi sumpah gue gak tau dia, pertama manggil juga udah aneh, dia manggil “Bunga” awalnya sih diabaikan ya, jelas gue bukan Bunga, gue Elian, lagi-lagi dia bersikeras kalo nama gue Bunga. Sumpah ini bener-bener bikin gue jadi bingung.” Ia berhenti untuk mendangarkan respon dari yang lainnya.
“Gue paham, jelas sudah ini adalah sala satu kejadian lo dimasa lalu, dan lo lupa ingatan. Seseorang tidak akan dengan mudahnya mengenali orang tersebut kalo mereka engga benar-benar pernah ketemu. Analisis gue sih, lo punya penyakit yang menyebabkan ingatan masa lalu lo dengan mudahnya terhapus” Sofie dengan jelas memberikan tanggapan seolah dia benar-benar sudah paham tentang menganalisa sesuatu.
“Iya, sepertinya gue punya penyakit itu, tapi kenapa orang tua gue gak pernah ngomong apa-apa. Malah nyembunyiin year book waktu gue SMP. Seolah-olah orang tua gue minta pengulangan hidup yang baru buat gue. Tapi ini gak nyaman, gue jadi serba kebingungan. Setiap orang tau gue A sedangkan diri gue bilang gue itu B. Sampe hari ini juga belum ada titik terang apapun dalam diri gue. Suatu saat orang itu bakal datang lagi, bakal membedah masa lalu gue yang sama sekali gue gak inget. Semakin dipaksakan semakin tidak menghasilkan apa-apa. Malah jadi lupa total”
Mika membuka tanggapannya kali ini, “El, coba deh lo, inget-inget lagi dengan pemikiran yang tenang dan waktu yang panjang. Moga-moga ada jalan keluarnya. Atau lo minta bantuan Kak Randy dia kan lagi-lagi pasti paham masalah lo”
“Engga, Mi” Elian segera memotong perkataan Mika, “Masalahnya laki-laki itu nganggep bahwa kita dulu pernah punya hubungan yang lebih dari temen, malah udah biasa berbagi perasaan. Kalo gue ngadu ke Kak Randy nanti anggapan dia bahwa gue gak bisa move on, gak ngehargai dia sebagai pacar, dan sebagainya. Gue males harus beragumen sama dia. Dulu emang pernah mau bantu, tapi dipikir-pikir akan ada masalah baru nantinya.”
“El, kita udah gak punya solusi lagi buat lo, udah segala cara kita cobakan, terakhir lo ternyata ketemu sama anak laki-laki yang di mimpi, gue yakin sebenarnya dia jalan keluar buat semua kebingungan yang lo hadapi, kalo lo ketemu dia lagi jangan banyak sembunyi dari kebohongan bahwa lo sebenarnya udah lupa, jujur aja. Dia pasti bantu lo, apalagi dia udah seperti kenal banget sama lo. Ngomong aja sejujurnya, bahwa Elian yang hari ini adalah orang yang telah lupa masa lalunya, jangan lo pura-pura tau, tapi sebenarnya engga” panjang lebar Mika mengutarakan hal tersebut, karena ia tau mereka akan sangat sulit kumpul lagi, mereka udah beda, mereka akan benar-benar berpisah menempuh pendidikan sesuai bakat meraka. Sehingga kalo Elian masih berkeluh kesan mungkin tidak akan pernah menemukan jalan keluar.
“Gue cuman curhat sama kalian, barangkali ada solusi dari kalian”
“Tapi El, daripada lo terus begini dan begitu, enggak nemu jalan keluar lo gak bisa terus nanya ke orang yang sama, jawabnnya akan sama juga” Mika sedikit membentak, ketiga teman yang lain sontak dibuat kaget.
“Mik, lo ga usah marah juga” bentak Elian lagi.
“Gue cape tau, dengerin hal konyol lo itu. Lupa, djavu, anak laki-laki, sekolah, gue muak! Kalo lo emang mau lupa. Ya udah lupain gak usah mikirin tentang itu semua. Lepasin!” Mika berdiri dari duduknya, matanya membelalak mengarah ke Elian.
“Lo gak ngerasain jadi gue” Elian ikut berdiri berhadapan dengan Mika.
“Gue lebih tau apa yang pantas buat sahabat gue, tapi nyatanya dia terlalu bodoh dengan masa lalunya yang ke kanak-kanakan itu!” Mika pergi dengan kemarahan dan rasa kesalnya. Semua yang hadir di tempat itu hanya bisa diam tanpa suara, mereka tidak mau ada kemarahan lain yang muncul setelah itu. Risa segera pergi untuk membayar sambil membawa bill yang diberikan. Sedangkan, Sofie mencoba menenangkan Elian.
“Emang salah kalo gue ngomong ke kalian?” Elian terlihat sangat kacau. Sofie menggelengkan kepala menandakan tidak, tangannya mengelus pundak Elian. “Tapi kenapa harus semarah itu?” kembali Elian bertanya.
“Udahlah gak usah banyak lagi nanya, intinya lo harus memecahkan masalah lo, kalo sekiranya lo bersikeras bohong bahwa lo sebenarnya ingat, lo gak akan nemu apa-apa, tapi kalo lo jujur bahwa emang ada ingatan yang terhapus gitu aja ya lo ungkapin, gak usah takut nerima semua kenyataan itu. Pada akhirnya semua juga tau, kenyataan selalu membuat kita kaget” sekali lagi Sofie mengingatkan, sebenarnya ia sependapat dengan Mika, hanya saja penyampaian yang ia katakan tidak terlalu menekan emosi. Bisa-bisa persahabatan mereka retak padahal ini waktu terbaik untuk ngumpul, nanti mungkin akan sulit.
Risa kembali ke meja, memperhatikan keduanya yang tengah terdiam. Makanan yang tadi mereka anggap enak berubah menjadi sama sekali tidak menarik, rasanya hambar taatkala ada api kebencian diantara mereka. Mika yang terlalu tidak sabaran dan Elian yang terlalu berbelit-belit membuatnya terlihat runyam. Sebisa mungkin Risa dan Sofie tidak ikut meninggalkan kemarahan pada Elian.
“El, gue titip. Jangan banyak ngeluh ya, jangan diambil hati nanti juga Mika akan baik-baik aja, percaya deh. Semoga lo bisa segera mendapat titik terang dari masalah lo ini, ada apa-apa bilang aja ya sama kita. Jangan sungkan, kitakan sahabat lo” begitu ringan namun penuh harapan pasti, masih ada dukungan dari Risa saat itu menyakinkan bahwa Elian tidak sendiri. Mereka saling menatap, lalu saling tersenyum bahagia.
******
Untung saja bertengkar pada saat akan berpisah, setidaknya tidak ada kemarahan setiap harinya. Tidak menghadapi orang marah setiap pagi, karena itu cukup menguras waktu. Masih ada dua yang tersisa diantara mereka bertiga.
Di sore hari penuh dengan keramahan alam, ia sudah punya janji keluar menghirup udara lebih lembut dan segar. Sesorang sudah mengajaknya dari dua hari lalu, terlebih dia sudah mengirimkan chat menyuruh cepat keluar. Kalau diabaikan bisa-bisa dia akan marah juga. Di depan halte mobil hitam sudah memarkirkan dirinya sedirian. Bersama hiur-biur kendraan umum yang tidak mau menemani.
Elian menatap ke arah mobil tersebut, orang di dalamnya tidak begitu jelas. Kacanya terlalu legam tanpa celah tembus pandang. Sambil menebak-nebak ia mendekati dimana mobil terparkir. Ia mengetuk kaca mobil untuk diturunkan. Dengan cepat kaca mobil diturunkan, siapa sangka sesorang dengan pesananya memandang lekat ke arah Elian. Kaget sekali sungguh, sampai Elian mendorongkan tubuhnya ke belakang.
Loh orang itu decaknya kaget. Siapa sangka dia bukan orang yang mengajaknya keluar, itu bukan Kak Randy, tapi anak laki-laki di mimpinya. Kok bisa salah orang gini. Elian memperhatikan sekitarnya, mencari mobil lain di sekitar halte, nyatanya tidak ada selain mobil di depannya ini.
“Kamu nyari apa?” tanya orang di dalam mobil sambil melongo ke luar.
“Oh, aku udah ada janji sama temen, kirain kamu temen aku. Mobilnya sama” Elian terlihat sangat kaget, nada suaranya begitu malu.
“Ada yang kamu cari?” tanyanya kembali.
“Gak ada sih” Aduh kok polos gini langsung jawab, “Eh ada” plin-plan gini sih.
“Mending ikut aku aja, jangan takut 100% aman. Tenang” lagi-lagi ia membujuk dengan sopannya, yakin tidak akan ada yang mau mengelak orang seperti dia. Bahkan Elian sekalipun. Benar adanya, Elian segera membuka pintu mobil dan masuk ke dalam, tanpa harus bertanya lagi. Kak Randy ternyata tidak ada, entahlah bahakan tidak ada jawaban dari pesannya.
“Nunggu siapa emang?” tanya dia sambil menyalakan kemudi, “Temen, cewe? Cowo? Atau pacar?” pertanyaan borongan.
“Ah, engga cuman temen sih, tadi rencananya mau pergi jalan-jalan, tapi gak ada ternyata. Aku kira kamu temen aku, makannya tadi disamperin. Maaf ya” jelas Elian malu sebenarnya.
“Salah orang gitu, hahaha gak usah minta maaf nyantai aja, ngomong-ngomong kamu maunya kemana sekarang. Biar kita ada tujuan”
“Boleh kemana ajalah”
“Bener? Diajak kabur mau?”
Sontak hal tersebut membuat perasaan Elian jadi kaget, takut. Jadi lupa kalau orang disampingnya ini adalah orang baru,”Eh jangan-jangan, please masih mau hidup dengan tenang, please turunin aja, please” keluar sifat Elian yang agak berlebihan, takut berlebihan emang tidak baik juga.
“Hahahahaha” ketawanya membludak seisi mobil. Mata Elian membulat tajam, apa? dia ketawa lucu emang? Decaknya kesal. “Kamu ya, masih kaya dulu cerewet, ketakutan, dan berlebihan” lagi dia mengatakan seolah dia tahu benar.
Ia terdiam menimbang-nimbang, “Maaf sekali, tapi jujur aku enggak paham maksud kamu, ada sesuatu hal yang mengganggu pikiran aku, entah bagaimana itu yang jelas semua ingatan-ingatan di waktu dulu satu pun enggak ada yang bisa aku inget. Termasuk seperti apa aku dulu, jujur kedengeran aneh memang, klise, terlalu dramatis dimana sesorang tiba-tiba lupa ingatan sedang orang lainnya bersikuku mengenang masa lalu. Aku sendiri lupa” Elian mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan, dahinya berkeringat dan emosinya mulai terlihat, “Bahkan aku enggak tau siapa kamu? Apa hubungannya kamu dengan aku waktu itu? apa kita sedekat yang kamu katakan? Aku gak tau, jelas gak tau. Kalaupun aku memutar otaku untuk mengingat seperti apa yang kamu katakan, itu malah membuat jalan yang buntu, tanpa jawaban. Lalu mimpi, tiap hari bisanya mimpi itu, ya berada di sebuah tempat paling rimbun dekat perpustakaan lama. Atau mimpi bertemu anak laki-laki sebaya, dengan baju putih birunya” ia terdiam untuk itu, mungkin akan cukup dipahami oleh orang disampingnya.
“Kamu lupa ingatan” singkatnya.
Elian tidak menjawab apa-apa, ia memalingkan wajah ke jendela mobil. Pandangannya datar, semua kebingungan menjadi sebuah paket kompleks tanpa batas. Buntu sekali, mana ada orang yang akan menjalaskan semua kecuali mereka benar-benar tau kenapa dan ada apa yang sebenarnya terjadi dalam hidup Elian.
“Aku, anak laki-laki yang ada dalam mimpi kamu dengan baju seragam putih-biru, aku yang sering ngajak kamu ke perpustakaan. Mungkin kamu tidak ingat, tapi aku tau. Di pagi hari dengan bel yang terus berbunyi, kamu dengan entengnya memaksa para penjaga gerbang untuk mempersilahkan kamu masuk, atau kalau tidak mengendap-ngendap lolos dari hukuman” ia berhenti, mengarahkan kemudinya belok ke arah kanan, “Kamu tau? Tidak ada ingatan paling penting dalam hidupku selain ingatan kami berdua. Bahkan kamu masih ingat aku di masa remaja, sampai kamu sebut anak laki-laki”
“Kita mau kemana?” Elian mengalihkan pandangan ke arah orang disampingnya.
“Sekolah kita dulu”
“Ke situ lagi?” matanya membelalak, penasaran kenapa harus pergi lagi ke tempat itu, yang sama sekali tidak menemukan titik penerangan. Hambar sekali sepertinya meskipun sudah mengubek-ubek tempat itu, belum ada apa pun yang bisa didapatkan.
“Kenapa? Kamu enggak suka?” dia mengalihkan pandang ke arah Elian, saat itu mata mereka dengan sengaja beradu saling pandang. Saling terjatuh diantara luapan ingatan masa lalu, entah bagaimana pun itu seperti ada masa lalu yang hadir pada hari ini sama seperti tiga tahun lalu.
Elian gue ngerasa jatuh cinta yang bener-bener gue dapetin dari orang ini, sama percis entah sejak kapan, tapi gue ngerasa pernah terjadi samar-samar seseorang berbisik ditelinga Elian. Tidak ada mata paling indah selain tatapannya, sungguh tatapan yang sangat aku kenal, sangat lekat dengan kehidupanku, sayangnya aku masih tidak ingat apapun. Tiba-tiba slow motion berhenti gara-gara mobil menabrak polisi tidur. Dan mereka kembali pada ingatannya.
“Aduh” jerit Elian.
“Jawab, kamu belum jawab?” nadanya jadi terdengar bengitu kikuk, wajahnya memerah dan ia tiak melepaskan pandangan dari jalan.
“Enggak gue gak keberatan” celetus Elian.
“Hahaha ternyata kamu gaul juga, bisa bilang gue”
“Skip, engga penting”
“Yuk turun” ajaknya kemudian. Dia sudah memarkirkan mobil di depan gerbang, bukan diparkiran sekolah. Parkir di bawah pohon jati yang sedang asiknya bergugur.
Jati ini, lalu besi beton yang masih berdiri kokoh, tempat ini. Elian mengingat sesuatu, saat ia keluar dari mobil. Suasana senja bersama polet warna orangenya menutupi sebagian awan, tiupan angin yang membawa daun-daun kering lalu menyapu kursi beton dan membuatnya terlihat kotor berdebu. Seseorang datang lalu mengajaknya duduk di atas kursi itu, dan kotak hitam apa itu? bayangan semu muncul tak terdugu. Ia ingat kotak itu? ya kotak hitam berisi pemberian anak perempuan yang menjelma sebagai dirinya. Anak itu.
“Hey” dia menepuk pundak Elian, mengegetkan hingga Elian mendorong tubuhnya menjauh.
“Kamu tau kotak hitam yang aku kasih buat kamu?” tanpa sadar kata-kata itu keluar dari mulutnya, entah kenapa sepertinya akan ada jawaban. Akhirnya dia ingat, sungguh ingatan yang luar biasa.
“Loh kamu ingat? Dulu waktu kita duduk di situ, kamu ngasih jam tangan dan kotak hitam itu isinya jam tangan, awal yang bagus untuk kembalinya ingatan kamu” jelasnya menyeringai.
Kakinya bergetar hebat, bayangan tadi membuatnya begitu takut. Menyeramkan sekali bisa ingat dengan pertunjukan kecil itu, “Sekilas” singkatnya tidak mau menjelaskan bahwa ada perasaan takut.
“Kabar baik, masuk ke sekolahnya aja yuk, mudah-mudahan ada kepingan ingatan yang kembali kamu ingat. Jangan takut aku udah izin ke petugas, nanti di dalam udah ada petugas yang jaga, gak usah takut”
“Oh iya ngomong-ngomong kamu tinggal dimana sekarang?” mereka berjalan beriringan menuju gerbang sekolah, sama percis seperti tiga tahun lalu tanpa seragam putih-biru yang selalu melekat pada diri mereka, tidak membawa masuk mobilnya untuk sekadar mengingat kenangan-kenangan masa lalu. Rindu, sungguh perasaan rindu paling luar biasa yang melekat hebat selama ini.
“Aku tinggal di Jakarta, ikut Papa. Awalnya kan disini bareng Mama sama Kak Intan, tapi ya Papa nyuruh aku tinggal disana, sebagai anak laki-lakinya aku harus mau. Tiga tahun tinggal disana, meninggalkan kepingan penasaran yang belum selesai, jujur aku baru kali ini bisa mengunjungi tempat yang begitu melekat tiga tahun lalu. Benar-benar rindu. Kamu juga”
Ada pukulan kecil di dadanya, kata-kata terakhir yang begitu menusuk hingga melahirkan rasa bahagia tanpa bisa dijelaskan oleh apapun. Bahagia yang sama, tapi entah pada saat kapan jelasnya. “Jauh juga ya, mungkin kalo ingatan aku tidak pernah hilang, aku akan merasakan hal yang sama seperti kamu. Merasa ada rindu paling luar biasa, mendengar kamu seperti itu, aku jadi ikut rindu.”
“Kamu salah satu alasan aku pulang ke sini lagi” ada penekanan di awal kalimatnya, ia kemudian berbelok menuju lorong sekolah, yang di ujung lorong ada tempat keluar dan masuk ke lapang sekolah. “Tidak ada alasan lain selain kamu” ia mengulang kembali kata-katanya.
“Sayangnya aku malah lupa, kalau boleh nawar sama tuhan. Aku mau tidak pernah terjadi apa-apa, aku mau ingatanku masih baik tidak seperti hari ini, aku seperti orang yang tidak berdaya.” Wajahnya menunduk.
“Jangan salahkan dirimu, seorang pun tidak akan ada yang mau menerima sebuah bencana hebat, tapi kamu masih bisa ingat semuanya pelan-pelan saja. Aku ada disini, kita pecahkan bersama”
“Terima kasih” Elian kembali memandang orang disampingnya, bola mata itu kembali beradu. Lalu mereka terdiam. Mengolah pikiran mereka menjadi satu, bahwa ada perasaan paling bahagia saat keduanya saling memandang. Tiba-tiba menjadi rindu.
Lalu mereka kembali berjalan menyusuri lorong bertepi ini, menapaki lapang luas yang berdiri tiang bendera, ring basket ditambah warna-warna di atas lapang basket. Keduanya saling berdiri tegak, mengingat barangkali ada serpihan ingatan tertinggal di tempat ini.
"Kamu belum pulang? Nunggu siapa?"anak perempuan itu mendekati anak laki-laki yang memainkan bola basket.
"Belum, kan nunggu kamu" ia tersenyum kearahnya.
"Ya ampun, aku kan tadi bilang gak usah nungguin aku, kamu pulang aja sendiri, lama kan nunggu aku selesai rapat?" mereka berjalan menyusuri anak tangga.
"Buat aku itu gak masalah. Yang terpenting aku bisa pulang bareng sama kamu!"
Apa itu? Elian berjalan ke arah tangga dekat lapang, seperti tersihir berjalan tanpa ingatan apapun kecuali bayangan yang muncul tiba-tiba. Dia memperhatikan Elian bingung, sepertinya ada yang membuatnya teringat sesuatu.
“Kamu pernah nunggu aku disini?” Elian bertanya tanpa menengok ke belakang, ia yakin dia mengikutinya tadi.
“Sering, bahkan hampir tiap hari” katanya memandang lurus ke arah tangga.
“Aku ingat lagi, tapi tidak begitu jelas”
“Jangan terlalu dipikirkan, semua akan baik-baik saja. Tenanglah sedikit demi sedikit saja” ia mengulurkan tangannya, berpangku diatas pundak Elian. Lalu menepuknya dua kali, pertanda bahwa semua akan baik. Elian membalikan tubuhnya, menarik tangan laki-laki yang ada didepannya itu, lalu menggenggamnya erat. Tangan ini, seperti begitu sangat dikenali. Dia ini benar-benar dia gumamnya dalam hati.
Ia menarik tangannya dari Elian, lalu mengajaknya pergi, balik menggenggam tangan Elian. Mereka kemudia pergi menjauh dari tempat itu, Elian berjalan seperti terpaksa dengan satu lengan yang ditarik sedang tubuhnya berada dibelakang laki-laki itu.
“Kita pulang?” tanya Elian suarnya mengecil.
“Iya kita pulang” Dia tidak mau Elian sampai mengingat sesuatu hal yang pernah terjadi di dekat perpustakaan. Ada pertengkaran kecil antara Elian dan seorang perempuan saat itu, kalau Elian sampai ingat mungkin dia akan terlihat sedih. Biarkan ia lupa bersama ingatannya yang terhapus.
Elian mengangguk paham, sepertinya dia tidak akan pernah ingat lagi setelah itu, pudar dan menghilang saja biar semunya jadi lebih baik. Seiring waktu yang terus berputar akan ada kebenaran yang muncul secara perlahan-lahan, tapi memberikan keyakinan yang pasti.