1 Tahun Kemudian
Kala Ujian Kelulusan
Siswa berjubel di manding sekolah, mereka mengantri penuh antusias. Mencari-cari barangkali ada nama mereka yang tercantum disana, memperhatikan hasil yang akan muncul diantara nama yang berderet. Sesak semua orang berdesak, tak sabar ingin cepat menemukan atau kalau tidak mereka tidak akan tau nasib mereka. Semakin hari siswa semakin berjubel bukannya mengurang, harap cemas bagi yang belum menemukan namanya atau mereka yang masih dipermainkan takdir.
“Kamu sudah liat hasilnya?” Rega bertanya pada orang di depannya, ia terlihat masih menunggu sampai mading ini benar-benar kosong.
“Belum” jawabnya singkat.
“Terus lo mau nunggu gitu sampe ini kosong?” ia bertanya lagi.
“Banyak nanya nih kaya wartawan, santai aja lagian nanti juga bakal ada surat kelulusan, kenapa harus berdesakan gitu, buang-buang tenaga” katanya santai, tapi mencekam.
“Hahaha lo masih kaya dulu aja gak akan berubah, yuk ah mending ke kantin daripada liat orang-orang rusuh ini” rega mengaleng pundak orang tersebut dengan akrabnya, mereka pergi menuju kantin di ujung kelas.
Sama halnya dengan papan pengumuman tadi, kantin ini juga terlihat penuh, bersama siswa-siswi dari berbagai tingkatan kelas. Meskipun hari ini ada pengumuman kelulusan, tapi siwa kelas 10 dan 11 tidak lantas diliburkan mereka tetap belajar seperti biasa. Pembagian surat kelulusan dilaksanakan pukul 13.00 siang diserahkan oleh masing-masing wali kelas. Pengumuman di mading berupa hasil nilai ujian. Kejam memang dipangjang di umum dengan berbagai kalangan yanng akan menonton, tapi ini salah satu bukti keterbukaan dari hasil ujian yang mereka tempuh. Bisa jadi motivasi bagi siwa kelas 10 dan 11 supaya memperbaiki belajarnya, agar tidak memalukan saat hasilnya nanti dipajang dengan jelas.
Rega memesan dua mangkok mie rebus dengan telur ayam dan sayur. Sedang temannya itu memesan dua gelas juice jambu. Setelah keduanya memesan, mereka kembali ke tempat duduk secepat mungkin. Karena tempat duduk kantin biasanya siapa yang cepat dia dapat tempat. Maklum siswanya lumayan banyak ditambah inikan waktu istirahat.
“Yan, lo jadi nerusin kuliah dimana?” selalu jadi orang yang senang bertanya, lagi-lagian Rega membuka obrolan mereka dengan bertanya. Daripada mereka harus sibuk masing-masing mending manfaatin sebelum susah buat ketemu.
“Ya, mungkin gue bakalan ikut tes kepolisian” katanya sambil mengangkat bahu.
“Serius? Bukannya lo disuruh kuliah?”
Ia terdiam memaku, harus cerita seperti apa kepada temannya ini. Sedang ia sendiri tidak pernah tahu keputusan-keputusan macam apa lagi yang selalu menentang keinginannya, “Iya gue emang disuruh kuliah, tapikan tiap orang tua gak bisa maksa anaknya buat nurut apalagi soal ngelanjutin sekola, gue udah cape diatur terus, gue pengen milih apa yang gue mau” akhirnya sesak frase dalam tenggorokannya bisa keluar dengan lancar.
“Terus gimana ngadapi Bokap lo?”
Dua mangkuk mie rebus dengan telur dan sayuran yang masih mengepul menemani tanya-jawab mereka, memang edisinya ada yang bertanya dan menjawab, tak ketinggalan dua juice jambu malah sudah lebih dulu datang. Sesekali mereka juga sembari menyeruput juice.
Rega mengaduk mie di depannya, ia membiarkan telur, sayur, dan mienya bercampur dengan kuah, bumbu, dan sambal penas racikan khusus ibu kantin penjual mie. Asap yang panas itu masih mengepul naik ke angkasa. Sesekali ditiup untuk segera dilahap karena lapar. Sedang Ryan juga ikut mencampur mie miliknya, berbeda ia tidak mengucurkan sambal pedas itu, dibiarkan pedas dari bubuk cabe mie instan.
“Gue ngomong semuanya ke Papa, termasuk sebelum gue memutuskan tinggal di Jakarta, cape harus diatur sana-sini, tapi kemauan gue gak pernah diturutin. Dulu gue pernah minta jangan dulu tinggal di Jakarta. Gue pengen ngabisin waktu SMA di sana, sama orang ya.. mungkin lo tau sendiri” ia tidak menyelesaikan siapa orang yang dimaksud, karena Rega sudah paham siapa orang yang Ryan maksud. “Jelas Papa gak pernah paham juga, sama kaya Mama mereka sama-sama egois gue jadi ngerasa kaya anak yang ngebantah orang tua gitu, padahal selama tinggal sama keduanya gue paling nurut. Kali ini gue mau nyoba buat nurutin apa yang gue mau, biar semuanya tuntas. Gue terus diikuti masa lalu, ternyata itu cape”
“Orang tua kadang tau apa yang kita mau, mungkin kitanya kurang paham apa maksud mereka atau mungkin karena mereka mau kita jadi orang bener” Rega mengatakan seolah ia seorang motivator penuh pengalaman. “Terus lo mau ngapain lagi sekarang, dengan keputusan kedua orang tua lo?”
Ryan menunduk sejenak untuk mengelap tetesan kuah mie yang jatuh di atas seragamnya, “Gue mau pulang, pengen ngomong langsung sama Mama di kampung, mungkin Mama akan ngerti kalau gue ngomong langsung. Lagian selama gue tinggal di sini, gue belum juga pulang. Ada rindu yang belum tuntas, pengen ketemu orang di masa lalu, semoga dia masih ingat. Sambil menenangkan pikiran, semoga dengan tinggal beberapa hari di sana dapat jawaban pasti.”
“Good luck broo, nanti kalau lo udah ketemu sama dia, kenalin gue. Sumpah penasaran sejak dari kelas satu sampe sekarang lo masih ngebahas dia, kalo bisa gue pengen ketemu sama cewe hebat itu” ada nada celotehan yang Rega lontarkan, itu membuat Ryan semakin tidak mau mengenalkannya kepada Rega.
“Hahaha jangan harap lo bisa ketemu, gue juga belum pasti”
Mereka cepat membereskan sarapannya, beberapa anak kelas 3 diberi pengumuman untuk segera berkumpul di aula utama sekolah. Kepala sekolah akan menyampaikan pengumuman penting setelah para siswa mendapatkan surat kelulusan nanti.
Orang pertama yang masuk aula ini jatuh pada Ryan dan Rega tadi mereka padahal terburu-buru untuk pergi, takut sudah berkumpul dan mereka akan malu masuk ke dalam. Ternyata masih sepi. Tidak ada pilihan lain selain masuk, mengambil tempat duduk paling strategis.
20 menit kemudian….
Aula yang luas ini sudah dipenuhi oleh siswa kelas 12, tidak terlalu sesak karena ruangannya sudah difasilitasi. Guru laki-laki yang jadi penanggung jawab sudah berdiri tegak di mimbar, beliau akan segera memulai acara singkat hari ini. Diawali prakata kelulusan yang diberikan oleh beliau sendiri. Setelah itu baru kepala sekolah yang menyampaikan prakatanya.
“Terima kasih anak-anak kalian sudah menyempatkan hadir pada pengumuman hari ini, sudah mendapatkan informasi hari ini akan dilaksanakan pembagian surat kelulusan oleh masing-masing wali kelas. Bapak titip untuk anak-anaku sekalian jangan sampai acara ini dilalui dengan kerusuhan, mengotori baju dengan mencurat-coretnya, jadilah lulusan yang bijak, terpandang, dan tidak anarkis. Sekian sambutan dari saya terima kasih. Sukses untuk menempuh masa depan yang lebih baik” prakata dari kepala sekolah dihiasi dengan tepuk tangan yang begitu hangat, semua siswa terkesan, tapi masih ada oknum yang mau melancarkan aksi mereka.
Pengumuman hari ini selesai, mereka menginggalkan aula. Sebentar lagi masuk ke kelasnya masing-masing mendapatkan sepucuk surat yang dari sejak tiga tahun ditunggu-tunggu.
“Ryan, kapan lo datang?” Kanya mengahampiri Ryan yang duduk di bangku ke dua. Mereka duduk berdampingan.
“Tadi udah lama” raut wajah yang dilontarkan Ryan tidak terlalu cuek.
“Loh gue kok gak tau, padahal gue tadi datang jam 10”
“Tadi di kantin bareng Rega”
“Oh pantesan” Kanya menganggukan kepalanya. Sudah sangat lama sejak naik kelas 12 Kanya berhenti untuk mengatakan pendapatnya kepada Ryan, cukup lelah juga karena orang yang diajak kompromi ini tidak mau nurut juga, dia begitu keras kepala. Sampai tidak akan ada yang bisa menandingi keras kepalanya seorang Ryan. Akhirnya Kanya membiasakan dirinya, menjadi teman baik untuk siapapun. Ryan terserahlah apa mau dia itu menurutnya.
“Kamu diterusin kemana, Nya?” Ryan baru kali ini dia bertanya hal tentang Kanya.
Kanya terdiam, mungkin ia salah dengar atau Ryan salah ngomong. Mungkin bukan untuk dirinya, tapi Ryan memandang ke arahnya, please Ryan jangan bikin gue baper lagi batinnya, “Oh kuliah? Sama kaya yang lainnya daftar-daftar di univ negeri dulu, mudah-mudahan lolos, kalo engga pasti daftar ke univ lain”
“Gak berniat kuliah di luar negeri? Padahal kayaknya lo layak deh” Ryan mengangkat tangannya sebelah, membenarkan meja yang terdorong oleh lengan kirinya.
Ia diam tidak langsung menjawab, padahal ia minta kalau orang yang ada di depannya bukan Ryan dia tidak mungkin se-care ini. “Enggak ah males ngurusin ini itunya, kan kuliah di sana gak gampang, harus ngurus surat-surat lagi. Yang penting bisa ngelanjutin sekolah dan bisa terus eksis dimana pun kita berada” jelasnya.
Ryan mengangguk seolah sudah tahu jawaban yang akan teman perempuannya itu katakan, malah ia sepertinya tau betul orang seperti apa Kanya sekarang dia sudah berubah tidak terlalu agresif seperti dulu.
Orang yang ditunggu-tunggu siswa sudah masuk ke dalam kelas, beliau menenteng tote bag yang di dalamnya ada lembaran kertas, itu adalah surat kelulusan. Beliau segera mengambil tempat duduknya, seperti biasa sebelum resmi membagikan kepada setiap orang beliau menyampaikan pesan-pesan haru untuk mereka. Dari moment paling berkesan sepanjang sekolah, semua kenangan dan semua rindu diorek-orek sengaja, supaya mereka ingat lantas tidak menguburnya begitu saja.
Terakhir setelah pembagian selesai, ada yang juga ikut selesai ia adalah waktu, semua waktu yang memberi mereka ruang belajar, waktu untuk bercengkraman, waktu untuk saling memukir masa remaja di SMA. Benar-benar menyakitkan untuk dilupakan atau sekadar ditinggalkan, dan yang pasti mereka tidak akan kembali.
***
Terik matahari yang menjingga memutar ditepi sisi kota Jakarta, beruntung sudah memasuki musim panas, tidak ada banjir lagi atau hujan mengguyur sepanjang hari. Langit-langit tersenyum merekah, semilir angin tidak begitu sejuk cukup menemani orang yang sedang mengemudi. Sesak, padat, penuh polusi menari di udara menjadi ciri untuk ibu kota, tidak bisa diatasi karena mereka sudah melekat dengan ibu kota.
Pengemudi yang memakai seragam SMA ini terus menyalakan klasonnya, tidak habis pikir kemacetan berangsur-angsur ini tidak kunjung bergerak pula. Sudah sejam ia mematikan mobilnya, sudah cukup lama terlebih hanya mereka saja yang tidak sabar menyalakan klaksonnya berulang kali, baru sekali ini ia ikut-ikutan menyalakan.
Wajahnya memudar lelah, keringat di dahi sudah bercucur sejak satu jam tadi, bahkan di lehernya berkeringat, tubuhnya juga tidak ketinggalan. Sepatu yang menutup kakinya sudah disingkirkan, panas sekali jika harus bergelut dengan kaki yang berkeringat.
“Keluar” suara teriakan itu mengagetkan semua pengemudi jalan, ada orang yang murka rupanya.
“Keluar” teriaknya lagi.
Semua pengemudi yang mengantri depan mobil dia keluar satu persatu, mereka penasaran, bahkan dia yang duduk manis tidak mau peduli ikut melongo sedikit lewat jendela. Sudah dipastikan ada mobil yang menabrak di depannya.
“Kau tau ini macet, kenapa bisa kau nyalakan mesin, kau sengaja hah?” teriak laki-laki dewasa dengan dasi kotak-kotak itu memaki seorang anak muda yang menabrak mobilnya, logatnya sangat kental dengan suara orang batak, hampir sama dengan Papa Ryan.
“Maaf, Pak tidak sengaja, sumpah tidak ada maksud menabrak mobil Bapak” katanya memelas sekali, ia bijak betul tidak lantas melawannya dengan teriakan, padahal sudah jelas orang yang di depannya memaki-maki.
“Tidak mau tau, kau harus ganti!” teriaknya lagi penuh nafsu.
Sekali lagi pemuda itu tetap tenang tidak terbawa suasana mencekam, lalu keduanya entah berbincang apalagi, yang jelas seorang polisi mengahampiri mereka. Pengemudi yang sudah tidak penasaran kembali masuk ke dalam mobil. Tentunya kembali menunggu sampai kemacetan ini usai. Beruntung sekali, akhirnya kemacetan dengan antrian ini segera melaju perlahan-lahan. Sesak yang mengelabu segera tuntas bersama oksigen tercemar yang masih dibutuhkan untuk bernapas. Lega tentunya.
Byur… suara angin diterpa mobil sedan hitam itu mengantarkannya masuk ke parkiran apartemen. Hari ini sedang ada acara meeting di ruang aula apartemen, pantas sekali parkiran jadi sangat penuh, ia harus memarkirkannya tepat, kalau tidak akan dipaksa pindah terburu-buru dan menggangu waktu istrirahat. “Lebih baik cari aman saja” ia mengomel kecil sepanjang memarkirkan mobil Brio hitamnya di ujung sana yang lumayan agak jauh dari lift.
“Ryan!” seseorang memanggilnya dari belakang, penuh antusias.
Dia menghentikan langkahnya menuju lift. Membalikan badan perlahan. Lalu tersenyum mendapati bukan orang asing yang memanggilnya.
“Hehe maaf berteriak gini” katanya memasang wajah malu.
“Tidak apa-apa, kitakan saling kenal”
Sungguh kata-katamu selalu membuat aku tidak bisa berpikir lagi batinnya terpaku, “Kamu baru pulang dari sekolah?” ia bertanya dengan manisnya, mereka melanjutkan perjalanan, sama-sama menunggu pintu lift terbuka.
“Iya, loh tadi kita tidak bertemu ya, tidak keliatan berdesakan di mading juga” rupanya Ryan memperhatikan keberadaan orang di sampingnya ini.
“Oh itu, aku tidak pergi. Orang tuaku tadi berangkat ke Brunei mau tidak mau aku harus mengantarkan, mungkin besok ngambil surat kelulusan” katanya santai. Hari ini ia memakai baju yang terlihat simpel dengan sepatu kets coklat tua, celana jeans navy, dan kaos oblong bergambar siluet wanita rambut panjang. Rambut panjangnya sengaja diurai .
“Pergi lagi? Bukannya minggu kemarin habis pulang dari Cina?” ya Ryan sudah mengenal baik keluarga Wiguna, beberapa kali mereka bahkan pernah mengundang makan malam bersama Papa atau sekadar minum kopi di hari libur. Sayangnya, karena keluarga mereka tidak berdiam lama-lama di apartemen mereka jadi tidak terlalu sering bertemu.
Perempuan itu memasukan ponselnya yang dari tadi ia genggam di saku jeans. Laki-laki ini memperhatikan dirinya dengan benar, “Iya, tapi harus bagaimana lagi. Tugas” ia melempar senyum kecil ke arah Ryan.
Tidak ada kata yang keluar setelah itu dari Ryan, sungguh ia benar-benar merasa orang ini sama persis dengan orang yang pernah ia temui di masa lalu, sayangnya rambut Sivia memanjang dengan cepat, sedangkan orang itu berambut sebahu. Sangat senang bisa berteman dengan Sivia, setidaknya ia bisa merasakan kebersamaan seperti tiga tahun lalu.
Pintu lift menganga lebar, dua manusia beda jenis itu segera masuk. Memijat tombol angka kemana lift harus membawa mereka. Hening sekali dalam lift hanya ada mereka berdua, biasanya sesak dengan penghuni lain yang baru pulang kerja.
Ryan memperhatikan ke atas langit-langit lift, pegal sekali harus meluruskan pandangan, akhirnya ia mengatakan sesuatu menghilangkan rasa kesalnya dalam lift yang lambat, “Sivia kamu lanjut kuliah ke mana?”
Ia memang seperti itu selalu memecah keheningan katanya bergumam, “Belum pasti, mungkin aku akan pergi ke rumah Nenek di Jogja, atau kalau tidak di sini saja. Tidak banyak keinginan terlebih, orang tuaku pasti tidak akan bisa menemai” katanya seperti tidak begitu antusias.
“Punya keluarga juga di Jojga? Bukannya kamu dari Aceh?”
“Di Aceh bukan tempat kelahiranku, kami hanya menetap sementara untuk tugas Ayah, lalu kamu taukan kita pindah ke sini. Aku lahir di Jogya, tapi tumbuh di daerah-daerah lain. Bahkan masa SMP aku tinggal di Thailand, sudah dewasa gini lebih baik aku pulang saja ke Jogja tinggal dengan Kakek dan Nenek, mereka rindu sekali pastinya”
“Kamu hebat sudah keliling Indonesia” itu saja yang mampu dikatakan Ryan, bagaimana bisa ia sangat terkesan dengan cerita Sivia. Ia sendiri sangat berat hati mengikuti kemauan Papa tinggal sekaligus menetap di Jakarta.
Sivia melempar senyum saja tidak mengatakan apa-apa lagi, kali pertamanya ia menceritakan dimana saja ia pernah tinggal. Pintu lift telah manganga kembali, mereka keluar bersamaan dan berpisah arah.
“Sampai jumpa” Ryan mengatakannya pertama sambil berlalu.
“Sampai jumpa juga” balas Sivia manis.
Sungguh perempuan tadi begitu cantik, atau karena ia baru mengenakan style tomboy. Biasanya selalu mengenakan mini rok atau mini dress. Kali ini ia mengenakan jeans panjang. Mungkin orang itu juga akan terlihat sama seperti Sivia. Atau mungkin lebih cantik dari Sivia, entahlah sudah tiga tahun ini ia tidak bertemu lagi. Kalau ada kata yang lebih tinggi dari rindu, itu yang paling tepat. Sayangnya tidak ada kata yang lebih dari rindu.
Pintu apartemen segera dibuka, di dalam ruangan ini selalu terlihat sama. Dingin. Sepi. Mati. Sendirian. Begitulah gambaran apartemen ini, sungguh ibu kota tidak semenarik yang ia tau saat di kampung. Berat harus tinggal berdua di kota sesak ini.
“Besok lusa aku akan pulang” teriak Ryan pada kaca jendela yang begitu lebar, hingga sorot senja yang tidak lagi oranye bertabrakan dengan lampu remang gedung sebrang tumpah ke ruang berandanya. Keinginan luar biasa yang sudah didambakan sejak tiga tahun lalu. Tidak ada yang sebahagia ini sebelumnya.
Klik suara pintu terbuka mengagetkan Ryan di ujung jendela, rupanya Papa baru pulang. Secepat ini, baguslah supaya ia bisa memastikan Papa akan mengantarnya pulang, atau pulang sendiri juga tidak buruk. Papa sudah merebahkan tubuhnya di sofa beranda, sambil mengendorkan ikatan dasi pada kerah baju kemejanya.
“Pa, udah pulang” Ryan duduk di depan Papa.
Papa menutup matanya, ia terlihat lelah sekali, “Hmm” jawabnya engan.
Bukan waktu tepat untuk membicarakan masalah ini, bisa-bisa malah tidak mendapat izin sama sekali, orang cape biasanya lelah tidak bisa berpikir panjang. Nanti bisa-bisa semua harapannya hilang begitu saja. “Pa, mau dibikinin teh? Atau mau dipesenin makan apa?” pertanyaan tepat saat ini.
“Bawakan nasi dengan ayam goreng kelapa” jelas Papa masih menutup matanya.
Gagang telepon yang berada di pinggir sofa diangkat Ryan, beberapa tombol angka ia pijat. Ia hendak menelpon Dede seorang office boy langganannya. Panggilan tersambung, tidak harus menunggu lama. Disebrang sama seseorang menjawab bersama suara yang kental dengan logat jawanya.
“De, bawain nasi sama ayam goreng kelapa satu, nasi, sayur daun singkong, cumi satu, sekarang De. Beli aja di nasi padang yang ada deket kantor JNE”
“Inggih, Mas. Minumnya tak sekalian?” tanya dia. (Iya)
“Gak usah ada, gue tunggu, De” sudah tidak sabar lagi, perutnya amat lapar.
“Siap, Pak Mas” kok terdengar menggelitik.
Ryan menutup panggilannya, menyimpan kembali gagang telepon di tempatnya. Papa ternyata sudah pergi dari tempat ini, ia masuk ke kamarnya istirahat sambil menunggu pesanan. Ryan menimbang kembali kapan waktu yang sangat tepat meresmikan bahwa ia benar akan pulang. Mama bahkan tidak akan tau rencananya, kalau tau mungkin banyak alasan untuk terus mengundur-ngundur waktu pulang. Ah Mama terlalu ketakutan rupanya.
***
“Pa, besok Ryan bakal pulangkan” suaranya terdengar gugup, meski begitu ia harus tetap mengatakannya.
Papa tidak merespon, ia terus memperhatikan layar ponselnya. Tambah penasaran saja, atau bagaimana jawabannya sangat frontal, atau jawabannya to the point tidak. Tunggu saja sebentar tidak akan lama, “Kau yakin akan pulang?” ada apa Papa ini balik bertanya, seolah Ryan tidak yakin ingin pulang.
“Yakin, Pa. Ryan udah nunggu tiga tahun buat bisa pulang lagi ke sana” kepalanya tertunduk. Kenapa harus diperpanjang seperti ini.
“Kamukan tidak pulang selama tiga tahun, aku tau kamu kehilangan kehidupan kecilmu dulu. Kalau kamu ingin pulang, silahkan saja pulang. Aku tidak bisa mengantarmu” jawabnya datar.
Tidak terdengar kejam, tapi terasa menyakitkan sekali. Apa maksudnya, “Ryan bukan berarti akan tinggal lagi di sana, cuman beberapa hari saja” mungkin Papa takut.
“Haha, tidak terserah kamu. Mau tinggal dimana pun. Kamu sudah besar, tau mana yang lebih baik untukmu. Tidak usah takut pada aku ini, aku Papa yang paham tenang saja” suaranya yang santai dengan gelak tawa yang singkat.
Tidak ada yang lebih bingung dari pernyataan Papa, “Papa apa engga sebaiknya ikut pulang juga?”
Papa menutup ponselnya, menaruhnya di atas meja. Tangannya direntangkan pada sandaran sofa, “Tidak, lain kali aku pulang ke sana. Banyak pekerjaa. Ibumu pasti paham, tidak usah cemas aku akan pulang. Sama sepertimu ingin juga pulang” jelasnya membuat Ryan sangat lega sekali. Sudah cukup pernyataan Papa membuatnya yakin, ia benar akan pulang. Tapi sendirian. Ah tidak khawatir yang penting semua selesai gumamnya pelan.
“Hah apa?” tanya Papa bingung.
“Tidak” Ryan melempar senyum ke arah Papa.
“Sudah, cepat kemasi barangmu. Besok kau harus pulang” mungkin suara Papa memang terdengar seperti mengusir, atau terdengar seperti orang tidak suka, tapi sebenarnya itu bukan hal yang buruk justru memang seperti ini cara Papa meyakinkan bahwa beliau setuju.
Beberapa baju dilipat dengan rapih, Ryan menyusun dalam koper kecil miliknya. Beberapa sepatu juga dimasukan dalam tas jaring-jaringnya, ikut masuk ke dalam koper. Simpel sekali untuk mengemas barang bawaan, tidak serumit perempuan. Harus bawa ini, bawa itu. Ada yang tidak boleh lupa dibawa, itu adalah sebuah jam hitam pemberiannya.
“Semoga kita dipertemukan waktu” katanya pada jam hitam yang ia pegang, “Aku akan pulang, menjemput perjalanan kami yang belum tuntas. Sungguh jadi teka-teki kemana kamu pergi sebelum aku pamitan. Aku ingin mendapatkan alasan yang jelas dari kamu, tidak banyak inginku. Cukup bisa bertemu kamu, sebentar saja” katanya lagi berdialog dengan jam yang membisu.