Halaman sekolah sudah diubah menjadi pelataran acara perpisahan sekolah. Karpet merah membentang di tengah-tengah barisan kursi. Ada dekorasi dengan bunga mawar putih serta layar besar terpajang rapih di depan kursi-kursi itu. Aroma mawar memenuhi seisi lapangan yang berubah menjadi gedung acara. Di bagian pinggir kiri dekorasi tadi sudah berdiri para paduan suara, sedang di bagian pinggir kanan anak karawitan sudah duduk dengan satu buah alat kesenian tradisional yang siap dimainkan di depannya.
Panitia dengan batik berwarna tosca bertaburan kesana-kemari. Siswa kelas 11 dan 10 sengaja tidak diliburkan. Mereka dibiarkan menjadi penonton. Acara hari ini merupakan acara perpisahan bagi kelas 12. Satu tahap untuk menuju jenjang selanjutnya. Melalui acara ini semua diresmikan lulus dan sudah tidak terikat lagi dengan sekolah.
Semakin siang kursi semakin dipenuhi oleh orang tua sebagi tamu undangan dan para peserta graduation. Mereka sudah mengenakan kebaya terbaiknya, sedangkan laki-lakinya mengenakan kemeja putih serta jas hitam. Sungguh terlihat lebih dewasa dari umurnya. Graduation salah satu ajang saling menunjukan keunggulan, menampilkan sesuatu yang baru tentu sesuatu yang berbeda dari sisi biasanya. Semua kakak kelas itu terlihat berbeda dari biasanya. Mereka seolah menutup cerita SMA dengan penampilannya.
Di ujung lorong kelas seorang laki-laki dengan kemeja hitam dan rambut sedikit diberi minyak berjalan mendekat ke arah tempat duduk di pojokan. Ia terlihat berbeda. Aroma parfumnya tercium dari jarak cukup jauh. Ia terlihat sangat tampan dan dewasa. Laki-laki yang selalu bergelut dengan id card di dadanya atau dengan kamera yang talinya selalu melilit di lengannya.
“Nanti jangan dulu pulang” katanya setelah ia mendekati perempuan di pojok lorong kelas.
“Mau apa lagi?” tanyanya sedikit datar.
“Poto bareng bolehkan”
“Iya boleh, Kak” seseorang menimpal lebih dulu. Dia duduk di sebelah kanan perempuan yang diajak poto bersama.
“Apa sih, Mika” dengan segera ia menyikut lengan temannya.
“Ayolah, mumpung lagi di acara membahagiakan ini” katanya membujuk lagi.
Dia diam saja berpikir. Tidak ada salahnya untuk poto bersama, “Okey, Kak Randy ayok, potonya kapan ya?” wajahnya sengaja dibuat ramah.
“Elian, lo gitu amat mukanya” bisik Mika di telinga Elian.
“Suuutttt” Elian membalas bisikan Mika.
“Nanti ya jam 12, tunggu dekat ruang UKS. Awas kabur” tangannya menunjuk ke arah lorong sebelah kanan, disana ada ruang UKS yang hari ini sengaja ditutup.
“Okey Kak” jempolnya diangkat sedikit ke atas.
“Ditinggal dulu ya semuanya” Kakak itu pamit pergi kembali ke tempat duduknya.
Setelah tubuhnya benar-benar menjauh dan dipastikan sudah duduk, Mika dengan semangatnya memberikan beberapa petuah untuk Elian, “Gila aja lo kalo sampe gak mau poto, liat gimana gantengnya Kak Randy” Mika memegang wajahnya yang merah, ia begitu terpesona dengan penampilan Kak Randy hari ini.
“Hahah, perasaan sama aja kaya biasa” dia pikir ini lucu.
“Mata lo dimana Elian, seandainya si Risa sama Sofie ada di sini, mereka bakal sependapat sama gue”
“Ya, tapi mereka ga ada”
“Kemana ya, tumben belum dateng juga” Mika mengangkat lehernya, mencari-cari temannya yang dimaksud.
“Lagian ini bukan acara kita jugakan”
“Ih rame tau liat acara perpisahan gini, ke tengah yuk liat upacara adatnya” Mika berdiri lalu menunjuk ke arah tengah dimana sudah banyak murid berkumpul di sana untuk melihat upacara adat yang akan segera dimulai.
“Okey” Elian ikut berdiri. Kemudian mengikuti Mika dari belakang.
Suara alat musik tradisional yang dipukul bersamaan itu terdengar menyenangkan. Iramanya beraturan serta melanturkan nada yang penuh kedamaian. Gong yang ditabuh sekali, diikuti suara gamelan, talempong, gendang dan kacapi begitu menyayat hati. Sunda memang kaya akan budayanya. Dua orang perwakilan kelas 12 yang menjadi pengantin sudah berdiri diujung karpet merah. Para penari merak siap mengantar mereka sunggeman kepada kepala sekolah dan ibu bapak guru. Kak Ryanti dan Kak Gie yang menjadi pengantin siang ini. Cantik dan ganteng tentunya. Kalo dipasangkan, sudah paling serasi. Sayang, mereka hanya perwakilan saja, tidak lebih.
Upacara adat berlangsung secara khidmat, mengalun perlahan-lahan. Dari mulai munculnya lengser, kemudian penari-penari cantik, dilanjutkan dengan mengantarkan pengantin sungkeman.
“Proses selanjutnya adalah sungkeman, silahkan kepada perwakilan kelas 12 yang diwakili oleh Ryanti dan Gie untuk melakukan sungkeman, pertama kepada bapak kepala sekolah dilanjut kepada Ibu Bapka guru selaku wali kelas dan sekaligus Bapak Ibu yang telah memberi pengajaran selama 3 tahun ini”
Keduanya menunduk diatas pengkuan kepala sekolah. Pembawa acara membacakan beberapa kalimat perpisahan yang seolah-olah monolog dari kepala sekolah kepada muridnya atau sebaliknya dari muridnya untuk kepala sekolah.
“Bray anaking....” belum sempat kalimat itu selesai, sesuatu mengganggu pikiran Elian. Ia menari-nari, mengulang sesuatu yang pernah terjadi beberapa tahun lalu, entah puluhan tahun lalu. Tentu tidak jelas. (Ayo anaku)
“Kamu Bunga?” tannya datar.
“Astaga! Ya iya lah. Terus maunya siapa, ya Bunga dong. Bunga Sasmira Arani” cerewetnya sambil memandang laki-laki yang bertanya itu dan merupakan pasangan pengantin diacara perpisahan sekolah. Bukan asli.
“Beda banget” laki-laki itu membuang pandangan ke depan. Menyaksikan proses adat. Diawali, munculnya dayang -dayang cantik. Melenggak lenggok seperti merak. Menari-nari kesana kesini. Kemudian berhenti, keluar seorang abah atau kakek-kakek sebagai lengser dengan kumis putih, baju pangsi, dan iket kepala diikuti nenek yang menemani si abah. Mengantarkan perempuan dan laki-laki remaja itu menuju ke atas panggung untuk sungkeman kepada bapak kepala sekolah dan ibu wakil kepala sekolah. Nyanyian Sunda seperti Sapu Nyere Pegat Simpay dan Pileuleuyan terus dinyanyikan. Gendang, gong, dan kecapi beradu dengan irama nyundanya. Semua terasa menyayat hati.
Saat sungkeman seorang pengisi acara menyampaikan kata-kata perpisahan. Menyampaikan mohon maaf dan doa restu untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Hening sekali. Hampir semua siswa menundukan kepala. Menghayati setiap ucapan sang pengisi acara. Perpisahan harus dilewati tanpa terkecuali.
“Bapa ibu doakeun sim kuring saréng réng-réngan kanggo ngaraih cita-cita di waktos nu tangtu bakal di laksanakeun. Hapuntén dina sagala rupi dosa nu kantos dipidambél. Hatur nuhun nu sa ageung-geungna ibu bapa kanggo sagala rupi anu parantos dipasihkeun ka sim kuring saréng réng-réngan moal hilap sanantiasa diémut dugi ka marulang kalin Bapa Ibu sukses dina ngaraih cita-citana, ogé pido’ana kanggo ngalaksanakeun ka tingkatan anu langkuh luhur” prakata ini perwakilan dari seorang murid yang akan pergi meninggalkan sekolahnya, (Bapak Ibu doakan kami dan teman-teman untuk meraih cita-cita di waktu yang akan datang. Mohon maaf atas segala dosa yang telah diperbuat. Terima kasih yang sebesar-besarnya Ibu Bapak atas segala yang telah diberikan kepada kami, tidak akan pernah lupa kan selalu dikenang. Doakan kami untuk melaksanakan ke jenjang yang lebih tinggi).
“Bray anaking géra miang anjén, nyiar ilmu pangabisa. Bapak jeng ibu sakur bisa ngabagi népi dieu, nu satuluyna anjén miar nyarila. Pek gunakeun élmu nu ku anjén gés dipiboga, sing manfaat kér jalma sejéna. Bapak jéng ibu ngadoa sing jadi budak anu jujur, sukses,miboga élmu nu manfaat dunya akhérat, bray anaking géra miang anjeun” salah satu guru menjadi pewakilan atas sungkeman yang sengaja sebagai prolog perwakilan semua guru serta pewakilan kepala sekolah. ( Pergi anak-anaku carilah ilmu. Bapak Ibu hanya bisa mengantar sampai sini, selanjutnya kalian mencari sendiri. Pakailah ilmu yang telah kalian dapatkan, manfaatkan untuk orang lainnya. Bapak dan Ibu berdoa semoga jadi anak yang jujur, sukses dan memiliki ilmu yang bermanfaat dunia dan akhirat. Pergilah anakku).
Pikirannya kembali normal. Laki-laki itu, bagaimana bisa. Dia adalah orang yang ditemuinya saat di Bogor. Kenapa baru ingat sekarang, bukan waktu itu. Kalau sedikit ingat jadi bisa terlihat biasa saja, tidak seperti orang ling-lung. Mungkin karena suara gamelan dan alat musik lainnya yang membuat pikirannya menerawang masa lalu.
“Mik, gue ke belakang dulu ya” Elian membalikan tubuhnya perlahan. Meninggalkan Mika di sana sendiri. Kakinya berjalan terburu-buru ke toliet sekolah dekat tangga. Pintu toilet didorong kuat. Ia berdiri depan cermin wastafel. Wajahnya terlihat tegang. Jantungnya berdegup kencang.
“Kenapa? Menganggu, tidak membiarkan hidup sedikit tenang saja, tanpa ingatan bodoh ini. Semuanya tidak membantu” ia berbicara pada dirinya sendiri di depan cermin. Dalam dadanya penuh amarah, kalau bisa ia pasti akan melempar kaca lebar itu dengan benda keras. Supaya mereka pecah, retak, berhamburan tidak utuh. Layak ingatannya sekarang. “Kasih tau gue harus apa? Kenapa mengutuk orang kayak gue. Kenapa? Mereka saja yang normal jangan gue. Cape” dia menunduk, rambutnya jatuh pada wajahnya. Sampai seluruhnya tertutup rambut.
“Cape, siapa dia, kenapa harus sekarang? Apa maunya apa? Ingatan bodoh ini membuat gue semakin bodoh. Aaaarrrggghh!!” ia mengutuk dirinya, memukul kepalanya beberapa kali, “Jelasin ke gue jelasiiinnnn” dadanya semakin berdegup, bayangan di depannya sama sekali tidak mau menjawab apapun. Dia berkata seperti apa yang dia katakan.
Ponselnya bergetar, sengaja tanpa nada dering, karena akan sangat menganggu. Ia menarik ponselnya dari saku rok. Ada panggilan masuk. Mika. Tertulis nama di sana. Pasti orang ini sedang menunggunya, tadi ditinggalkan sendiri. Maafin gue, Mik. Ucaapnya lirih sambil mengangkat telepon.
Hallo, lo kemana Elian?
Gue lagi di toilet, sebentar lagi gue ke situ
Lama amat, jangan-jangan lo BAB ya, hahahah
Enak aja lo, sembarangan
Haha iya ya, cepet sini
Okaay
Ia menutup ponselnya, memasukan kembali pada saku roknya. Mata yang hampir menagis itu diusap-usap, supaya kembali biasa lagi. Sedikit polesan lipt ice pada bibirnya yang sangat kering. Wajahnya membaik. Seolah tidak terjadi apapun. Semoga suara-suara itu tidak membuatnya kembali mengingat.
Langkah kakinya terasa berat, seolah ada hal yang ingin masuk. Sekolah ini tiba-tiba berubah menjadi sangat asing. Bau aroma melati tadi pagi berubah menjadi bau aroma yang membuat siapapun akan sesak. Dimana ini. Kenapa semua berubah. Lapangannya berubah, bukan seperti tadi. Semakin berat langkahnya. Suara gamelan dan alat musik lainnya berputar mengisi seantero lapangan. Matanya membelalak, ia menemukan dirinya sedang berjalan di atas karpet merah yang membentang dengan seorang laki-laki yang ia temui di Bogor.
“Kenapa ada dua” decaknya heran. Dia seolah sedang menyaksikan dirinya sendiri di depan sana. Kemudian remaja yang mirip itu menengadah mencari-cari. Orang-orang semakin berhamburan, mengikuti pasangan pengantin itu dari belakang untuk ramah tamah dengan semua guru yang berjajar. Ia masih tidak percaya, film macam apa yang terjadi dihadapannya.
“Mencari siapa dia itu? Aku kah? Mana mungkin wajah kita sangat mirip” kakinya semakin lemas, tubuhnya pun semakin lunglai. Pikirannya kacau. Semua itu berputar-putar di kepala dan jelas terlihat diantara dua matanya.
“Kenapa Tuhan membuatku semakin lemah? Atau karena hukuman atas segala dosa-dosaku di masa lalu? Tolong hentikan. Tolong hentikan. Tolong hentikan” ia memohon berulang-ulang. Matanya ditutup, lebih jauh melihat ia akan lebih jauh merasa tidak berdaya. Sesaat Tuhan mengembalikan tubuhnya, ia berdiri terpaku dekat lorong. Seperti patung, hanya berdiri tegak dengan mata tertutup. Perlahan matanya dibuka segera. Ia benar-benar kembali. Segera mungkin, jangan sampai terjadi lagi, Elian berlari, mencari Mika.
“Hey, lo lama banget?” Mika mengerutkan dahinya. Ia berjalan mendekat.
“Tadi ada yang ngajak gue ngobrol, mau ditinggal gak enak” Elian merapihkan rambutnya, bagian pelipisnya sudah penuh dengan keringat. Tentu keringat ketakutan.
“Gue ditinggal lama” kecut Mika.
“Sorry, Mik. Tapi kayaknya gue djavu lagi” matanya menatap dengan kosong.
“Lagi? Ya ampun, El. Bisa ga sih dikondisikan dulu, mana si Risa sama si Sofie gak ada. Lo kendaliin dulu sebisa lo. Pikiran lo itu jangan sampe kosong, mangkanya jangan kemana mana udah diem sini sama gue” Mika melipat tangannya.
Elian mengangguk.
“Jangan sampe lupa, bentar lagi ikut poto sama Kak Randy, nanti gue juga mau poto bareng Kak Nugi. Oh iya satu lagi, lo pulang bareng Kak Randy ya. Kan gue gak bawa kendaraan hari ini” Mika menatap ke arah Elian.
“Iya” katanya datar.
Panjang umur. Kedua nama yang barusan disebutkan, mendekat satu persatu, di awali oleh Kak Nugi dan diikuti Kak Randy. Mika pamit duluan, karena Kak Nugi sudah mendapat giliran poto paling awal. Tinggal Elian dengan Kak Randy.
“Masih harus nunggu yang lain, gak apa-apa kan?” Kak Randy menatap Elian.
“Hah? Iya gak masalah” jawabnya sedikit gugup.
“Haha, jangan gugup gitu. Tenang, Kakak masih disini. Belum kemana-mana” Kak Randy menyenggol lengan Elian.
Elian menatapnya kesal, “Ih apaan”
“Jangan gitu, nanti kangen loh”
“Biarin ah”
“Tuhkaaaaan” sengaja ada huruf yang dipanjangkan.
“Alay”
“Okeey gak akan deh”
“Eh iya Kak, tadi pas upacara adat denger lagu Sunda, aku kok tiba-tiba ngerasa pernah ngalamin gitu. Heran sih kenapa tiba-tiba, apa karena pengaruh lagu itu ya, kaget serius” sebenarnya bukan kali ini Elian cerita ke Kak Randy, dulu juga dengan tidak sengaja bercerita panjang lebar. Kak Randy orangnya terbuka, bisa menjadi pendengar yang baik. Jadi meskipun sedikit agak menyebalkan menurut Elian, Kak Randy tetap teman berkeluh-kesah terbaiknya.
“Kayaknya dulu kamu pernah ngalamin juga. Ini sebagian dari ingatan kamu, kalau kamu tiba-tiba djavu, jangan paksain itu supaya cepat selesai, tapi paksain diri kamu semakin masuk ke dalamnya. Karena dengan begitu, kamu tahu titik akhirnya dimana”
“Kenapa harus gitu? Aku malah takut? Tadi aja terus maksa diri aku buat mulihin semuanya. Biar kembali lagi. Biar aku engga ngeliat hal lainnya” Elian meremas jarinya gugup.
“Salah, apa yang kamu lakukan itu malah membuat kamu semakin tersiksa, kamu enggak akan nemu titik akhirnya, kamu bakal terus menduga-duga, ingat Elian menduga-duga itu bukan bagian dari ingin tahu, justru dengan menduga-duga kamu semakin tidak tahu kebenarannya. Lakukan hal yang membuat praduga mu itu benar” Kak Randy melipat tangannya, “Kamu memang senang dikejar-kejar ingatan seperti itu?” wajahnya dibuat datar.
Elian terpaku, mencerna. Jelas. Tidak. Tadi saja, dia marah-marah sama Tuhan. Karena membuatnya semakin menderita, padahal mungkin Tuhan tidak pernah ada maksud seperti itu, “Jelas tidak Ka” jawab Elian keluh.
“Segera buat keputusan, ingin terus mengingat dengan segala resiko atau berhenti dengan hidup barumu itu?” ada pilihan yang harus Elian pilih. Bagaimana pun itu ini adalah demi masa depannya. Demi hidupnya. Demi waktunya. Dan untuk semua yang membuatnya risau.
“Hidup baru, dengan catatan tidak diikuti masa lalu”
“Semua mau begitu, tapi kalau masa lalumu terus mengikuti, jangan tolak dia mentah-mentah. Terima dulu. Barangkali akhirnya kamu mendapatkan pelajaran berharga, atau kamu tidak merasa risih lagi. Jalani” ada kata yang ditekan diakhir kalimat.
“Terima kasih, sudah mau memberikan adikmu solusi, hehe” dia tertawa malu-malu.
“Ya, aku masih saja jadi Kakakmu” ia membuang muka, sedikit risih dengan kalimat Elian yang mengatakan ‘adikmu’. Sampai kapan mau menganggap ini perihal ade dan kakak.
Sudah beberapa orang melakukan sesi poto dengan background bertuliskan Graduation serta logo-logo lainnya yang ikut serta. Potonya langsung jadi dan bisa langsung diambil. Tentu sudah disediakan oleh pihak sekolah.
Kak Randy segera mengambil gilirannya. Ia melakukan banyak pengambilan gambar. Tidak peduli orang tengah menunggunya selesai. Toh semua tim potografer dikoordinasi oleh Kak Randy. Ia punya wewenang untuk ini. Karenanya, tidak ada yang bisa protes. Semua menerimakan. Menunggu Kak Randy selesai.
*****
Sekali lagi awan terlihat mendung, taburan air memenuhi sebagian bumi. Musim hujan tetap berlanjut sampai bulan depan. Akan sedikit dibuat kesusahan, jalanan basah, genangan air dimana-mana, suara petir menakut-nakuti, dan untuk berteduh pun harus di tempat paling tepat. Awan akan lebih lama bermalas-malasan.
Kadang dibalik mendung yang menakutkan dan hujan yang menyulitkan, ada pelajaran berharga di dalamnya. Bagaimana kedua hal itu terasa begitu menyenangkan apabila manusia benar-benar menikmatinya. Ia jadi punya waktu istirahat lebih lama, punya banyak waktu menyeduh coklat panas, dan punya banyak waktu dengan dirinya sendiri. Satu hal paling penting, ia mengajarkan bahwa yang menyedihkanpun akan jadi menyenangkan.