Sore hari bersama perasaan kalut serta tubuh yang sangat letih Elian pulang naik bus penuh sesak. Tak biasanya taksi libur beroperasi mungkin mereka sedang cuti bersama, atau hal lainnya, sedangkan Mika tidak membawa mobil seperti biasa, Kak Randy masih berada di sekolah untuk kegiatan OSIS senin yang akan datang. Sangat menyita waktu. Hari ini Elian benar-benar harus pulang sendiri. Dengan terpaksa ia harus berjalan terlebih dahulu ke perempatan yang ada halte bus. Kursi halte bus itu sangat sepi biasanya masih ramai oleh anak sekolah yang baru pulang kali ini terasa sangat sepi. Elian memilih duduk bersandar di kursi halte berbahan beton itu.
Bus berseliweran dengan angkuhnya, mereka tidak berhenti. Mungkin karena sudah sangat sore kadang ada bus yang memilih pulang tidak lagi membawa penumpang atau karena sangat penuh dengan karyawan-karyawan pabrik yang baru bubaran. Elian masih tetap menunggu ia memainkan ponselnya yang penuh dengan notifikasi. Dalam sebuah akun media sosial tanpa sengaja Elian membaca penggalan status yang mengatakan : Tak ada setan yang menampakan dirinya dalam wujud asli. Terkadang mereka berwujud malaikat. Kemudia pura-pura baik. Karena, ada maksud tertentu. Dasar setan berwajah malaikat. Belum sempat Elian membaca nama akun pembuat status tersebut suara ketrokan kondektur mengagetkan Elian, tanpa pikir panjang ia menutup ponsel memasukan dalam saku roknya lalu segera naik bus.
Setelah duduk Elian baru menyadari ia lupa tadi sedang membaca penggalan status orang lain. Saat dibuka ternyata riwayat halamnya sudah menampilkan status baru. Dan ia melewatkan status tadi. Elian pasrah lalu memilih menutup ponselnya kembali dan memasukan ke dalam saku roknya.
Elian menyandarkan kepala ke jendela bus, menutup matanya perlahan. Ia kelelahan seharian penuh harus bersama jadwal super membosankan dengan hitungan, rumus, serta reaksi yang berkelut-kelut tak ada artinya bagi dia.
“Bunga… Bunga….” Panggilan itu membuat Elian kaget ia tersentak tak jadi menutup matanya untuk tidur sejenak. Ia sangat kaget dadanya bergetar hebat, pandangannya buyar. Telinganya seakan ingin pecah mendengar panggilan itu.
“Hey… Bunga” lagi suara itu berteriak lagi. Elian tidak peduli toh bukan namanya yang dipanggil, tapi penasaran jika dibiarkan begitu saja. Ia memandang sekeliling di jajaran depan tentu tidak ada yang membalikan badan, begitu pula pinggirnya tidak sama sekali ada orang memanggilnya, ia membalikan badan mendapati seorang laki-laki berdiri dibelakang joknya. Elian mengernyitkan dahi tidak mengerti.
“Bungakan? Hey ini aku Rizky kamu masih ingat?” katanya dengan penuh bersemangat, ia berseri-seri sambil mengulurkan tangannya.
Elian masih belum mengerti juga bagaimana orang ini memanggilnya Bunga, ia tidak membalas uluran tangan tersebut, “Maaf mungkin kamu salah orang, saya Elian” katanya pelan.
Laki-laki itu menarik tangannya yang dibiarkan Elian kemudian ia ketawa, “Hahahahah…. Dasar bu ketos ini bisa saja bercandanya. Bunga gimana betah di SMA?” dia seolah-olah dipermainkan oleh pernyataan Elian.
“Sekali lagi mohon maaf yah, saya bukan Bunga, saya Elian dan saya belum pernah ketemu kamu sebelumnya” Elian tersenyum kecil.
Laki-laki itu membuat matanya melotot, ia seperti masih tidak percaya dengan perkataan Elian, “Sombong lah sekarang mah, nih” ia menepuk pundak Elian dengan akrabnya.
“Maaf ya” sekali lagi Elian meminta maaf dan kembali duduk menghadap ke depan. Bunga? Gumamnya kecil. Baru pertama kali Elian bertemu orang yang memanggilnya Bunga ini adalah teka-teki paling tidak adil selama ia hidup. Laki-laki tadi turun mendahului Elian tanpa mau berkata untuk terakhir perjumpaannya. Ia memilih pergi begitu saja dan Elian memilih memalingkan wajahnya tak peduli.
Sesampainya di rumah Elian langsung masuk ke dalam kamar. Ia ingin sendiri memikirkan apa yang aneh dalam dirinya. Setelah tadi ia bertemu seseorang tidak dikenal dan mengaku kenal dengan dirinya Elian merasa bahwa sikapnya seharusnya tidak seperti itu, seharusnya ia pura-pura kenal meskipun akan ada hal-hal yang tidak nyambung saat berkata-kata. Elian menatap jendela kamar nanar, masih penasaran juga sekaligus bersalah. Lain kala jika ia harus bertemu orang-orang tak kenal dan memanggilnya Bunga ia tidak akan melakukan kesalahan seperti tadi ia akan pura-pura tau dan kenal.
Ada hal yang membuatnya akan mengingat orang itu, ya year book yang pernah ia dapatkan di kamar Mama. Seingatnya year book dengan bentuk persegi panjang itu disimpan di lemari baju. Dengan perasaan penuh harapan, Elian membuka tiap laci yang ada. Tidak lupa juga lipatan baju yang bertumpukan ia buka perlahan-lahan bisa jadi tersimpan di bawahnya. Semua isi lemari dikeluarkan karena buku itu tiba-tiba tidak ada.
“Aaaaarrrrgggghhh ya ampun, dimana itu buku” teriak Elian geram. Kamarnya jadi sedikit berantakan dengan baju-baju yang didorong keluar. Elian ingat waktu itu ia sedikit tergeletak saat menemukan poto dirinya pada year book, tapi dengan nama Bunga persis seperti apa yang dikatakan orang itu. Mungkin ada di bawah tempat tidur. Ia menyoroti ruang gelap di bawah tempat tidur dengan senter ponselnya dan di ujung sebelah kiri, buku hitam pekat tergeletak begitu saja. Elian menarik dengan kakinya agar sampai di ujung tempat ia berada.
Year book itu sangat kotor penuh debu, padahal sudah pernah dibuka, ia menghapus debu di atas year booknya dan segera membuka tiap lembar. Yah sesuatu mengganjalnya ada nama Ryan Mathew dengan pesan : Sukses satu angkatan, sukses tim basket, sukses Bunga!
Bunga siapa sebenarnya dia itu, apakah orang yang sama dengan dirinya atau malah Bunga yang tidak mirip dengannya. Elian kembali membuka lembar demi lembar, orang yang bertemu di bus tadi ada dalam year book dia Rizky persis seperti yang dia katakan tadi, wajahnya dulu sangat terlihat kanak-kanak. Seingat Elian yang tadi sudah berubah menjadi dewasa sekali. Elian tersenyum. Ia terus membuka tiap lembar mengingat wajah-wajah dalam buku itu. Barangkali suatu hari nanti akan berketemu dia sudah tidak akan ragu lagi, walaupun tidak ingat sama sekali.
***
“Apa? Ke Bogor? Ngapain?” Elian kaget mendengar rencana Mama hari ini.
Mama mengangguk, “Kita jalan-jalan dong, masa iya terus diem di rumah. Kamu emang gak mau gitu kaya orang lain liburan sama keluarga atau piknik gitu lah”
“Kenapa harus Bogor, Ma? Bisa gak yang lebih jauh Jakarta gitu, atau kalo enggak ke Bali” Elian nawar yang awalnya seperti orang tidak mau pergi kemana-mana.
“Hey, Bogor selalu jadi tujuan utama buat liburan akhir pekan loh. Orang Jakarta aja ke Bogor, kamu itu Bali emang punya destination terbaik secarakan yang datangnya aja bukan dari lokal tapi internasional, dan kita butuh budget gede buat ke sana” Mama menggerakan tangganya ke sana ke mari tatkala mengatakan Bali.
Elian memalingkan bola matanya, “Yah Mama padahal mending yang jauh sekalian”.
“Siap pokoknya hari jumat kita berangkat, nginep di sana yah, kebetulan Mama punya temen di Bogor jadi ke rumah dia ajalah gampang”
“Ma, malu numpang di rumah orang”
“Tenang Elian Mama udah bilang kalo kita mau ke Bogor dan temen Mama malah seneng dia sendirian di sana cuman sama anak-anaknya sih. Suaminya lagi di luar kota buat urusan gitulah sibuk” Mama ternyata serempong ini padahal sebelumnya terlihat galak.
“Oke” Elian mengancungkan jempolnya.
“Jangan lupa bersiap. Dua hari lagi kita berangkat” Mama kembali mengingatkan Elian.
Keluarga mereka memang sudah jarang liburan semenjak Elian masuk SMA dan hari ini baru punya kesempatan pergi ke sana. Mama tidak tahu kenapa jadi berubah serempong ini mudah-mudahan masih seperti ini sampai besok membangunkan Elian untuk pergi sekolah.
Elian pergi ke kamarnya, di ruang tv lantai dua ia menemukan Helen adiknya sedang memainkan ponsel tanpa siaran tv ataupun drama tv swasta yang temanya begitu-begitu saja.
“Nel, kamu udah tau kita bakalan liburan ke Bogor?” Elian duduk di kursi untuk satu orang, dia memanggil adiknya Nel katanya lebih bagus daripada manggil Len jadi terdengar seperti talenan dapur.
“Hmmmm….” Jawab Helen seadanya ia masih sibuk menggerakan jempolnya pada layar ponsel.
“Eh malah hmm, udah tau yah pasti. Apa sih kok ke Bogor ah males nanti macet” Elian mengeluh pada adiknya.
Helen bangun dari tidurannya ia bersandar pada sandaran kursi, “Lagian biarin Téh, terserah maunya Mama kita ikutin ajalah” kata Helen sangat enteng.
“Bukan gitu males di jalannya gitu, padahal ke Jakarta ajalah biar rame kan banyak tempat rekreasi gitu banyak hal aneh juga gitukan, atau bisa-bisa kita ketemu artis ibu kota” Elian sangat berharap untuk hal itu.
“Eh jangan nanti ketemu masa lalu Tétéh” ups….. Helen menutup mulutnya, kaget. Baru saja ia tidak mengatur kalimatnya, apa yang harus ia katakan, Kakaknya jadi seperti orang kebingungan, “Maksudnya masa lalu pas kecil gitu pernah mau hilang pas ditaman mini” buru-buru Helen mancari alasan yang jelas mempertanggung jawabkan kalimat pertamanya.
“Wah? Aku pernah hilang gitu? Kapan ih lupa?” Elian menggernyitkan dahinya.
“Udah lama lah makanya gak inget, aku juga kata Mama, pas waktu kecil gitu sih” Helen memutar bola matanya, berharap kakaknya tidak bertanya lain-lain lagi atau mencurigainya.
“Oh” Elian mengangguk paham. Setelah itu meninggalkan adiknya untuk pergi ke kamar. Helen dengan leganya menepuk jidat beberapa kali dan menghembuskan napas paling lega sekali bisa-bisa berabe kalo sampe kakaknya nanya ke Mama untung ada alasan lain.
Kebenaran seharusnya dikatakan, tapi mereka punya waktu yang tepat untuk disampaikan. Bukan menyembunyikan kebenaran. Lebih kepada menjaga sebuah kegelapan yang ada di masa lalu. Elian mungkin tidak ingat kapan, siapa, dan bagaimana. Sayangnya keluarganya lebih paham akan hal itu. Tidak ada yang boleh memberikan luka lama pada seseorang yang mendedikasikan hidupnya untuk jiwa yang baru.
“Bogor ataupun Jakarta mereka sama saja, ada masa lalu Tétéh yang menetap disana” mulut Helen sepeti orang yang berkomat-kamit sambil memandang layar ponselnya. Sekarang seiring berjalannya waktu ia jadi paham ada hal yang mengangu kakaknya waktu itu. Bahkan pesan-pesan singkat penuh dengan kemarahan masih tersimpan di tempat paling aman. Entah masih bisa terbuka atau sudah terhapus.
****
Di dalam kamar Elian duduk mematung, memperhatikan ke arah lemari pakaian, berpikir barang apa saja yang harus ia bawa. Karena liburan dengan keluarga haruslah jadi momen paling istimewah ketimbang sama temen. Saat itu ponselnya berdering, ia langsung mengangkatnya.
Hallo El, lo dimana? suara Mika tak asing di telinga Elian.
Iya, gue ada di rumah, kenapa? suaranya sayup-sayup.
Lo jadikan ikut kita?
Kemana? Kok gue gak tau?
Ini makanya gue kasih tau, lusa kita mau ada acara di rumahnya Risa, rencannaya dia mau bikin party gitulah cuman kecil-kecilan sih. Kakaknya mau tunangan jadi sekalian ngeramein sih. Lo bisa gak dateng? Disuruh jadi pengisi acara kita
Yah, gue mau ke Bogor. Lo telat sih, Mama pasti marah kalo gue gak ikut
Gimana dong El, kita akan mengurang
Gak apa-apa tanpa gue juga, kalian pasti bisa. Sorry banget buat kali ini gue gak bisa
Okey El, gue ngerti. Udah dulu ya bye klik panggilan terputus di ujung sana.
Rencana Mama akan yang paling penting dari segalanya, seandainya dia gak ikut mungkin acara akan ditanggukan atau malah dipending. Mama udah rempong gini gak akan bisa dikalahkan oleh siapapun. Lagian liburan lebih menyenangkan dari apapun juga.
Dari sejak tadi sore Mama sudah menyiapkan beberapa list makanan yang mau dibawa, bahkan engga lupa bikin lontong ayam buat cemilan diperjalanan nanti. Selain itu Mama juga bikin pepes ayam yang dibungkus daun pisan lengkap dengan bumbu dan daun kemangi. Baunya harum sekali sampai ke dalam kamar. Elian cukup memperhatikan aktifitas Mama, dibantu takutnya salah, kurang paham tentang dunia dapur. Udah liat nanti juga paham.
“Ma, kita banyak bawa makanan?” Elian mencubit gorengan yang dibuat Mama.
“Iya dong, daripada beli mahal. Mending uangnya buat belanja oleh-oleh. Masakan dari rumah gak kalah sama yang dari luar” Mama membalikan gorengan-gorengan dalam wajan. Tubuhnya dibalut celemek yang sudah kotor dengan minyak dan bumbu.
“Oh iya Ma, emang bener dulu aku pernah hilang pas di Jakarta?” Elian mengkonfirmasi pernyataan adiknya kemarin. Penasaran juga dengan sejarah di masa kecil.
“Hilang? Di Jakarta?” ia malah balik nanya.
Loh kok Mama kaya yang lupa Elian melihat respon Mama yang bingung sendiri.
“Kata siapa itu kamu?” Mama balik nanya lagi.
“Si Helen tuh, katanya aku dulu pernah hilang di Jakarta, jadi gak boleh ke Jakarta lagi. Inget masa lalu”
Ada tamparan bagi Mama kali ini, sungguh sesak napasnya kembali menekan dada. Ia sulit sekali bernapas, pengap dibuatnya. Apa pun itu, bagaimanapun itu bukan pernyataan sebenarnya tentang hilang atau menghilang, tetapi ada seseorang yang tiba-tiba pergi meninggalkan Elian yang saat itu sedang terbujur kaku. Mama memegang serok itu keras-keras, ia takut tersungkur menyenggol minyak panas di depannya. Sedang tubuhnya tidak mampu berbalik ke belakang, menatap anaknya yang sedang menunggu jawaban.
“Ma? Lupa ya” tanya Elian lagi mendapati Mama tidak menjawab apapun.
“Oh itu, iya gitulah”
Kata-katanya membuat setiap orang paham bahwa jangan ada kata selanjutnya dari ini, cukup begitu saja, tidak diperjelas. Elian merasa sesuatu mengganggu pikiran Mama, lantas ia berhenti bertanya. Lagian bukan sesuatu yang penting juga, toh dia masih selamat dan masih bersama keluarganya. Elian kemudian pergi keluar dari dapur, meninggalkan Mama yang masih mematung. Membiarkan tubuh Mama benar-benar harus kembali normal, tidak ketakutan.
****
Hari ini betrok dengan rencana Mama dan rencana Elian bareng temen-temennya. Meskipun acara bareng temen Elian lebih dulu, tapi Mama gak mau sampai anaknya ditinggal di rumah semua harus ikut. Ternyata bukan acara keluarga beberapa keluarga hadir dalam bus yang lumayan panas ini. Liburan akhir pekan dari kantor Ayah jadi semua pegawai dan keluarganya ikut serta. Merupakan acara rutin tiap satu tahun sekali, tahun ini ke Bogor. Dikira Elian akan seperti acara biasa dengan satu mobil diisi empat orang, malah satu bus diisi beberapa orang.
Bus cukup pengap meskipun ac dinyalakan, mungkin panas dari luar yang menembus kaca bus sehingga terasa pengap dan gerah. Elian menutup jendela bus dengan gordeng ia ingin tidur sebentar bersama rasa kesal yang menggunduk perasaannya.
“Elian bangun, kamu mau beli apa?” Mama menepuk pundak Elian beberapa kali, sebelum Elian sadar dan membuka matanya.
“Udah nyampe ya, Ma” suaranya parau.
“Belum ini lagi di rest area. Kamu mau beli apa atau mau ke toilet?” tanya Mama mengaitkan tasnya di tangan kiri. Rupanya Mama akan menyusul Ayah di tempat makan yang ada di sana. Elian merasa enggan, tapi kalau ia tetap berada di sini sangat membosankan akan sangat panas dan dehidrasi. Ia memutuskan mengikuti Mama dari belakang.
Elian pergi ke toilet untuk membasuh wajahnya yang sudah berminyak dan merasa ingin ke toilet untuk buang air kecil. Tidak disengaja setelah membuka pintu toilet di sebrang sebelah toilet pria. Laki-laki bertubuh sedang berkacamata dan memakai kemeja memanggil Elian dengan nama Bunga. Elian tidak menjawabnya takut bukan untuk dirinya.
“Iya kamu hey” katanya laki-laki itu menghampiri Elian. “Kamu apa kabar?” laki-laki itu mengulurkan tanggannya. Untuk kedua kali Elian mendapat uluran tangan dari yang tidak ia kenal, untuk yang ini Elian membalas uluran tangan laki-laki itu. “Yah aku baik” jawab Elian sumringah. Padahal dalam sel otaknya ia mencari data dengan wajah orang ini.
“Kamu ngapain di sini? Ikut rombongan bis itu?” Tanya laki-laki itu.
“Hah? Iya itu rombongan keluarga aku” Elian sangat bingun, ia harus balik bertanya atau tidak, tapi dia tidak tahu siapa nama orang di depannya itu.
“Oh gitu yah, kamu jadi masuk ke SMA 1 Merdeka?”
“Iya, btw kita ngobrolnya di tenda itu” Elian menunjuk tenda makan beda tempat dengan Mama, Ayah, dan Helen supaya lebih leluasa. Mereka lalu pergi ke tenda makan yang penuh buah-buahan dan serbuk-serbuk yang menggantung dalam plastik. Sebelum mereka berbincang mereka memesan juice dengan rasa yang sama. Tidak butuh lama pelayan itu membawakan dua gelas juice pada nampan dan diberikan kepada keduanya.
“Kamu kabarnya gimana?” Elian mengawali perbincangan mereka.
“Kabar baik, udah lama kita gak ketemu apalagi kumpul-kumpul gitu. Kamu suka ngumpul sama yang lainnya?”
Pertanyaan paling baru untuk telinga Elian. Ia tidak menjawab malah memutar-mutar sedotan minuman, “Oh itu, engga udah jarang banget”
“Wah sayangnya padahal kamu sama yang lain satu daerah. Lah aku jauh susah banget buat ketemu”
Hey, jauh maksudnya dia tinggal dimana? Elian harus menjawab apalagi, “Ah yang deket juga susah, sibuk sih soalnya udah SMA banyak tugas gitulah” semoga orang ini tidak curiga.
Dia menganggukan kepala saja. Elian akan berusaha mencari tau dirinya di masa lalu lewat laki-laki ini mudah-mudahan membantu meskipun masih tidak ingat, beberapa hari lalu padahal membuka year book, tapi nama-nama itu sangat sulit untuk diingat dan bahkan Elian tidak tau siapa saja teman karibnya dulu.
“Kamu emang tinggal dimana? Sekolah di mana?” Elian kebingungan dengan hal ini.
“Hahahah… gimana sih kamu pelupa, aku kan tinggal di Bogor sekolah di salah satu sekolah swasta dengan memanfaatkan beasiswa yang dapet di SMP itu loh, kamu ingat engga? Yah untuk membantu sedikit perekomonian aku jadi tour guide gini buat orang-orang yang mau tau tentang Bogor juga yang baru ke Bogor aku jadi ngasih petunjuk arah”
“Google map gitu maksudnya?” Elian meluruskan kata-kata yang sulit dari laki-laki di sampingnya, “Tapikan ada GPS kenapa kamu repot-repot jadi GPS mereka”
“Oh aplikasi petunjuk arah itu, enggak mereka lebih percaya sama pengalaman daripada petunjuk arah. Dan hasilnya alhamdulillah tiap liburan aku dapet lumayan buat jajan buat beli keperluan sekolah” laki-laki tanpa nama ini menyeruput minumnya.
“Bagus juga” oh iya Elian bisa tahu nama orang itu dari ID Card yang menggantung di sakunya, aduh ID card itu malah terbalik. Elian mencari cara agar dapat melihat nama yang tertera pada ID card nya. “Eh, kamu itu kebalik id card kasian nanti yang gak tau nama kamu kebingungan”
Dia peduli dan segera membalikan ID cardnya, itu dia Darman Setiawan nama yang sama sekali tidak diingat, “Bunga, kamu sekarang aktif atau engga?” masih dalam pertanyaan tak dimengerti Elian.
“Engga males mending sekolah-main-sekolah-main” kata Elian dengan polosnya.
“Wah..wah.. bisa gitu padahal dulu kamu aktif banget di sekolah”
“Aktif apa?” Elian keceplosan dengan bertanya seperti itu. Tenggorokannya langsung terasa kering dan dahinya berkeringat seperti dalam bus.
“Benar-benar pelupa kamu, itu loh ketua…” belum Darman menyelesaikan kalimatnya, ponsel Elian berdering ternyata dari Mama yang katanya panik gara-gara Elian tidak kunjung datang ke tempat Mama, segera Mama menyuruh Elian kembali. Tidak melanjutkan perbincangannya Elian pamit pergi pada Darman,“Maaf, Darman aku harus pergi ini Mama khawatir, lain kali kita ketemu ya” Elian melambaikan tangan pada Darman dan berlalu pergi. Ia seharusnya mendapatkan info-info lainnya. Gagal.
*****
Minggu pagi yang cerah tanpa celah, semua rombongan sudah bersiap dan berkemas-kemas. Waktu liburan sudah selesai mereka harus pulang kembali. Di meja resepsionis panitia mengghitung jumlah keluarga yang sudah berkumpul di tempat dan memastikan semua kunci kamar telah diserahkan kepada resepsionis. Seorang wanita dengan tubuh kecil dan tinggi menyerahkan daftar kamar yang ditempati serta pengecekan ulang barangkali masih ada peserta yang menentap di kamar.
Panitia laki-laki tua itu mengecek dengan teliti dan semua sesuai dengan keberadaan peserta rombongan di ruangan resepsionis ini. Waktunya untuk naik bus. Dua jam lalu bus sudah datang dengan keadaan yang jauh lebih bersih dari setelah ditumpangi. Tidak lupa tour guide sudah ikut gabung dengan rombongan. Mengajak ibu-ibu, bapak-bapak, serta anak-anak menaiki bus yang akan segera pergi. Sesuai diperintahkan gerombolan manusia itu bubar mencari mana bus awal mereka jangan sampai tertukar dengan sebelumnya.
Mama dan Elian sibuk membawa barang-barang keluarga mereka. Elian menggendong tas lumayan padat, dan kresek besar ditangannya, Helen hanya membawa beberapa tas plastik dan Ayah membawa tas gendongnya. Mereka buru-buru sekali memasuki bus meskipun tempat mereka tidak akan diambil orang. Sudah tak tahan dengan beratnya barang yang mereka pikul. Elian duduk dekat jendela seperti semula dan pinggir adiknya. Sudah tidak mau berharap jalan-jalan lagi hanya ingin pulang. Lagian dia tidak kunjung bertemu dengan teman yang bernama Darman itu. Dia seolah-olah menghilang, menampakan dirinya sesaat saja.
Klik Elian membuka ponselnya ia segera mungkin memberi tahu temannya ia akan segera pulang lewat grup chat mereka di salah satu akun media sosial.
Gue balik sekarang Elian mengetik lebih dahulu, lalu salah seorang membacanya dan membalas pesan Elian.
Serius? Kata pemilik akun Risa.
Ini lagi diperjalanan pulang
Wah? Oleh-oleh awas lo lupa ya balasan dari Sofie.
Siap nanti gue bagi-bagi hahahah
Jangan lupa buat Kak Randy Mika tiba-tiba membawa nama orang lain.
Iya aja ya kan
Lupa lo mah ah kata Sofie mendukung pembahasan Mika
Please ih jangan bahas orang yang satu itu, dari semenjak gue pergi dia gak berhenti chat gue, bahkan terus nelpon gue dan dia ngajak vidio call gitu malesin
Hahahah cie jangan lo sia siain kasian tulis Risa dengan pedulinya.
Situasinya dong mesti liat, jangan asal main aja. Mati gue
Lo gak akan mati cuman perasaan lo aja yang udah mati duluan. DINGIN tulis Mika
Gue bukan dingin tapi belum bisa nerima gitu, perasaan masih suka sama seseorang tapi gak tau siapa orangnya.
Masa lalu kamu mungkin Risa dengan dinginnya dia memikirkan hal ini.
Apa? Masa lalu gue? Bahkan gue gak tau siapa masa lalu gue
Munggkin dia yang sering ada dimimpi lo Sofie tahu betul tentang Elian.
“Téh, jangan lupa keluarin air minum ada di tas” perintah Helen membuat Elian menutup ponselnya ia segera mengeluarkan air minum yang dimaksud, buru-buru memberikan kepada adiknya. Setelah itu Elian tidak melanjutkan mengetik chatnya. Dia memilih diam memperhatikan jalanan yang sudah dilalui bus ini selama satu jam.
****
“Bunga itu pacar Tasya" bisik Rizky.
“Enggak ih barusan dia bilang udah putus, udah ah gak enak bisik-bisik nanti dikira ngomongin” Bunga merasa kesal dengan bisikan Rizky. Ia berjalan meninggalkan Rizky yang masih mau ngasih tau. Bunga kembali jalan bareng, mereka berjalan hanya berdua tanpa temen mereka masing-masing. Sepanjang perjalanan siswa pada liatin dua manusia yang sedang melangkah bersama. Sesekali Bunga disapa oleh adik kelas. Seperti ada yang aneh dengan tingkah Bunga dan Ryan sampai-sampai semua siswa pada ngeliatin. Mereka kira Bunga pacaran di umum. Mereka kira ada sebuah tontonana mengasikan. Mereka kira seorang ketua OSIS mulai keluar dari lingkaran disiplinnya. Keduanya gak peduli. Mereka asik ngobrol sambil senyum-senyum malu.
"Makasih ya" laki-laki itu menatap gadis berambut sebahu dengan sedikit poni, lekat.
Tidak ada jawaban dari gadis itu hanya anggukan saja.
“Ada yang mau aku omongin ke kamu serius loh!"
"Ngomong aja"
"Selama ini aku suka sama kamu, maukah kamu jadi pacar aku? Tapi kalau kamu gak mau gak masalah!" kata-kata itu membuat suasana berubah menjadi sangat mencekam sekali. Tenggorokan gadis berambut sebahu dengan sedikit poni terasa gugup apa yang harus ia katakan sedang ia belum juga merasa bisa sedekat apa yang sering orang lakukan
“Gimana, kok malah bengong?” segera laki-laki itu menggibaskan tangan di depan gadis di sampingnya.
"Oohh.. Iya makasih kamu udah suka sama aku, bentar ya butuh waktu 5 menit buat jawabnya" seperti yang terlihat mereka saling menyukai cuman untuk lebih menjelaskan harus ada yang mengawali segalanya supaya tidak terlambat."Iya aku mau asalkan gak ada masalah kalo kita udah jadian" dia menjawab dengan tegasnya.
"Itu sih gampang, makasih ya udah mau jadi pacar aku!"
"Biasa aja gak usah bilang makasih" senyumannya semakin melengkung tatkala ia melihat orang di sampingnya merasa senang dengam jawabannya. Ini sungguh aneh serasa baru kemarin kenalan dan hari ini sudah resmi.
Ada persimpangan yang memisahkan mereka salah satu pergi ke kiri dan yang satu menunggu angkutan umum membawanya pergi.
"See you next time" ucap gadis itu sambil melambikan tangan.
"Carefull" balas laki-laki itu dan berlalu meninggalkannya. Mereka berpisah
“Téh…Téh….”tiba-tiba suara aneh mengelabuinya dalam angkutan penuh sesak ini seperti kebanyakan yang terjadi Elian bangun dengan segera mungkin ia kaget dibuatnya. Helen mencoba membangunkannya.
“Apa sih” suara orang bangun tidur sangat jelas menjawab panggilan adiknya.
“Ayo turun, mau di sini aja?” Helen membawa beberapa kantong plastik yang tadi ia bawa. Ia juga membawa kantong yang dibawa Elian.
“Emang udah nyampe” Elian membuka matanya dengan sempurna, tubuhnya ditegakkan sambil memandang jendela. Di luar rumah-rumah itu sudah tidak asing lagi, waktu terasa begitu cepat membawa bus ini pulang.
“Buruan turun” ajak Helen sekali lagi tidak banyak kata-kata.
Elian menggendong tasnya berjalan keluar bus dengan terhuyung ia sangat pusing belum sepenuhnya pulih, ada sebagian yang tertinggal di mimpi tadi, ya mimpi aneh entah siapa nama laki-laki itu beberapa kali namanya terhampar angin hingga sangat kecil dan sayup. Gadis itu masih tetap dirinya sama seperti mimpi-mimpi lainnya. Tidak berubah sama sekali.
“Bunga kamu tidur pulas sekali” Mama ada apa hari ini, akibat lelahkah sampai ia lupa menyebut nama anaknya.
“Hah? Bunga? Siapa? Ini Elian” kebingungan dibuatnya.
Mama sangat kaget dengan pertanyaan Elian, “Itu maksudnya bunga-bunga udah lama gak diurus jadi mati kelamaan kita perginya” Mama buru-buru masuk ke dalam rumah, kalau masih dengan Elian pasti akan dijejal ribuan pertanyaan yang pada akhirnya mengharuskan jujur untuk semua kejadian dua tahun lalu.
***
Daun banyak yang berguguran, pohon melambai sedih tubuh mereka mengering serta melepuh dimakan waktu. Awan stratocumulus berubah menjadi gelap. Mereka sangat berat mengangkut calon-calon air untuk diguyur di bumi. Suasananya mencekam, sangat seram menutup ruangan-ruangan serta lapang luas itu menjadi kelabu. Dulu banyak cerita, hari ini masih dalam pilunya. Setiap orang pergi meninggalkan tempat ini mencari tempat lain yang dirasa layak ditempati setelah ini.