Kringgg…. Kringgg…Kringgg…
Bunyi alarm lewat ponsel mulai berdering. Ada tangan yang menyuntuh tombol matikan. Kemudian tertidur kembali. Wajahnya ia tutup oleh selimbut tebal warna biru laut.
Kringgg…kringgg… Kringgg…
“Oke aku bangun” dia menarik diri dari selimbut dan duduk dengan mata masih setengah tertutup. Dering alarm kembali dimatikan. Ia berdiri dari kasur. Seluruh raganya belum berkumpul. Ia berjalan seperti orang mabuk. Di dalam kamar mandi, guyuran air membasuhi wajahnya. Setelah cukup segar dan mampu bangun dengan baik. Ia segera mengambil handuk untuk mandi.
Butuh sepuluh menit untuk bisa menyelesaikan mandinya. Ia sudah memakai pakaian seragam putih abu-abu. Rambutnya dikucir, rapih. Wajahnya diberi olesan bedak tipis. Ia segera membawa tas yang dikaitkan di bahu kiri. Dekat tangga ia memakai sepatu warna hitam, kaus kaki pulkadot warna-warni.
“Ma, berangkat dulu ya” teriaknya.
“Hati-hati, bekalnya di atas meja” teriak Mama menjawab di lantai dua.
Segera mungkin ia menyambar bekal yang tersimpan rapih. Hari ini senin, jangan sampai terlambat. Angkutan kota berlalu cepat. Di dalamnya sudah penuh. Beberapa angkutan kota sudah tidak merespon lambaian tangannya untuk berhenti.
“Arrrggghhh” teriaknya kesal pada setiap angkutan kota yang berlalu begitu saja.
Beruntung ada angkutan kota yang berhenti di depannya. Akhirnya dia bisa naik tanpa harus berdesakan dengan penumpang lain. Di angkot beberapa kali dia merapihkan rambutnya yang acak-acakan akibat deruan angin dari angkutan kota yang melewat dengan cepat. Seorang ibu-ibu menyeretnya hingga tidak bisa bergerak leluasa. Ia semakin saja kesal. wajahnya cemberut. Ih astaga bisa gak sih geser dalam hatinya yang ingin sekali diungkapkan. Ibu-ibu itu terus saja menyeret sampai ada teriakan tak diinginkan.
“Woy geser!” semua orang memandangnya heran sekaligus mencela. Dan ibu-ibu di depannya dengan wajah tidak berdosa malah berkata, “Enéng yang harsunya geser”
“Apaan” ia melebarkan bola mata. Ada teriakan menantang yang dia lontarkan.
Ibu-ibu di depannya seperti tidak peduli, ia terus saja ngoceh tak jelas. Untungnya, jalan menuju sekolah sudah terlihat. Ia buru-buru menyetop angkot. Dan berlalu turun dengan berteriak, “Semoga lo, dapat balasan dari Allah”
Ibu-ibu itu membalasnya dengan memainkan bibirnya. Dasar ibu-ibu tidak tahu malu. Maklum saja namanya juga di angkutan umum yang seperti itu sudah banyak. Wajarlah.
Ia berlari menuju gerbang. Sedikit lagi pintu gerbang akan tertutup. Hap. Berhasil. Ia berhasil memasukinya tanpa hambatan. Satpam nyengir menatap apa yang terjadi.
“Sudah biasa” kata Pak Satpam sambil menggelengkan kepala.
Di lapang siswa suda berbaris rapih. Guru yang memberi aba-aba. Kembali ke barisan guru. Murid sudah diistirahatkan. Protokoler membacakan pembukaan upacara. Ia menatap heran. Segera mungkin berlari ke arah barisan kelasnya. Tasnya dibiarkan bergeletak di koridor depan kelas.
“Huuuuuuhhhhhh” ia menghela napas akibat lari maratonnya.
“Hahah, lo kesiangan lagi?” salah satu teman perempuannya mengejek dengan bangga.
“Gara-gara nonton film semalen”
“Film yang gue kasih?”
“Yes” ia masih dengan napas pendek.
“Haha, kalau mau nontonnya pas libur, kan tanpa batas”
“Suuutttt” teman laki-laki di sebelahnya memberikan aba-aba untuk berhenti. Upacara sedang hening dan mereka mengobrol. Itu menjadi pusat perhatian orang.
Mereka berdua berhenti untuk meneruskan bercakapan. Sampai bendera dikibarkan. Dalam keadaan hormat mereka kembali ngobrol.
“Tau gak, tadi gue ketemu ama ibu-ibu rese” katanya kesal. Matanya mengikuti bendera yang semakin ke atas.
“Haha, bukannya itu kebiasaan lo setiap pagi selalu berantem sama ibu-ibu” temannya mengejek, keduanya sama-sama fokus ke depan. Agar guru yang bertugas mengawasi di belakang tidak menyeretnya.
“Kesel gue, kan lo tau gimana gue”
“Jangan sering marah-marah ntar darting loh, mau darting di usia muda?”
“Amit-amit ya Allah” sambil ngetokin kepala sama tangan dikepal.
“Suuuutttt” laki-laki tadi kembali menyuruh mereka diam.
“Rese amat sih lo? awas ya” mengarahkan kepalan tangan ke depan muka laki-laki di sebelahnya.
Mereka berdua akhirnya berhenti bisik-bisik saat upacara. Selesai penaikan bendera dan mengikuti serangkaian susunan upacara. Suasana terasa hening, tidak ada satu pun yang berani berbicara selain pembina dan protokoler.
Hari ini senin, salah satu hari paling malas yang pernah kita tau selama jadi anak sekolahan. Pagi-pagi harus bangun agar tidak terlambat mengikuti upacara bendera. Terlambat 5 menit sudah kena sanksi dan biasanya setelah selesai upacara para siswa yang kesiangan berdiri menghadap bendera sambil hormat dan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Begitu yang terjadi setiap minggunya. Untung saja ia bisa melalui moment dengan bangga. Meskipun agak terlambat ia masih bisa kabur dan buru-buru berbaris.
Pemimpin pasukan membubarkan barisannya. Sekejap saja siswa sudah bubar berhamburan tidak beraturan. Ia segera berlari ke arah koridor. Mengambil tasnya yang tergeletak mengenaskan. Ia menyampitnya di pundak kiri. Lalu ikut berjalan bersama Sofie.
“Gue gak nyangka lo tiap hari bisa kesiangan. Ngapain aja selama lo di rumah?” tangan Sofie menujuk ke arah teman di sampingnya dan gerbang sekolah. Selama mereka berjalan di balkon lantai dua sekolah.
“Haha, lo kaya yang gak tau giman gue” ia tertawa kecil.
Sofie terdiam, memikirkan sesuatu, “Lo itu agresif, kepo, berisik, pemarah, ceplas-ceplos, tapi kadang baik banget… dan terakhir lo itu lelet. Tidur mulu kerjaannya”
“Hehe, engga sih gue cuman nyari waktu buat otak sama tubuh gue istirahat” mengelus-elus kepalanya.
“Whatever” Sofie menaruh tasnya di atas meja. Menatap temannya itu dengan tatapan sinis. Mereka berdua duduk berdampingan. Keduanya terdiam saat seorang ketua murid memberi aba-aba untuk berdoa sebelum belajar dan dilanjut dengan membaca Al-qur’an.
“Beri salam” teriak ketua murid, “Assalamualaikum warohmatulohhi wabarokatu” serempak mengucapkan salam.
“Waalaikumsalam” ucap salam seorang guru perempuan yang sedang duduk manis di depan. “Ada tugas?” buru-buru bertanya pada tugas.
“Engga” ia menjawab dengan lantang.
“Andai… berisik lo Elian” Sofie menyenggol siku teman sebangkunya itu.
“Ih gue belom oon” Elian menepuk teman perempuan di depan bangkunya. Perempuan di depannya membalikan arah, “Apa?” mukanya datar. “Jangan bilang ada tugas ya” bisik Elian sambil mengacungkan jempol.
Perempuan tadi memberi isyarat dengan membalas acungan jempol.
“Kasih tau yang lain” kata Elian terakhir.
“Siap” bisiknya pelan.
Mendengar pernyataan muridnya, Bu Wery sebagai guru Kimia. Melanjutkan pembahasan pada bab selanjutnya. Beliau sudah tidak mau menyelidik mengenai benar tidaknya pernyataan anak didiknya.
“Buka halaman 256, bab 3 tentang Larutan Penyangga” bibirnya sudah siap menjelaskan, bahkan sebelum mulai bersuara beliau minum air larutan berwarna merah, seperti air obat. Mungkin, vitamin atau obat tahan kesal saat menjelaskan materi pada murid yang lemot.
“Saat saya menjelaskan jangan ada yang menulis, semua pandangan tertuju pada papan tulis dan penjelasan saya. Apabila kalian mencoba menghindar dari materi hari ini, praktikum nanti kalian tidak akan bisa. Paham?” jelasnya panjang lebar.
“Paham” jawab serentak.
Bu Wery mulai menulis soal di papan tulis. Dengan rapinya angka dan rumus kimia terlihat lebih menarik. Ada lima soal yang sudah Bu Wery catat di depan. Selesai menulis, Bu Wery kembali memberi isyarat dengan mengetuk meja mengunakan white board marker. Matanya yang terlihat bulat menerawang sekitar kelas dengan tajamnya. Memperhatikan setiap murid di depannya. Ada satu orang saja yang terlihat janggal Bu Wery langsung memanggilnya dan akan memberikan selembar soal-soal materi sebelumnya.
“Oke, soal pertama. Jangan lupa saat akan mengerjakan tulis terlebih dahulu. Diketahui : volume (CH3COOH)= 100 mL, M(CH3COOH)= 0.1 M, V(NaOH)= 50 Ml, M (NaOH)=0.1 M. Ditanyakan :Naoh yang habis bereaksi. Jawab: tulis persamaan reaksinya…… bla…bla…bla” bibirnya terus menjelaskan tanpa lelah. Sesekali beristirahat setelah satu soal selesai, lanjut lagi dengan soal berikutnya. Begitu seterusnya.
“Hoaaaammmm.. “Elian melentangkan tangannya, rupanya dia sudah ngantuk berat semenjak melihat soal pertama di papan tulis. “Lo ngak ngantuk?” tanya Elian pada Sofie yang berusaha memalingkan mata ke arah Elian.
“Enggak makasih, lagian soal di depan lebih bikin kita melotot” Sofie kembali memperhatikan penjelasan Bu Wery.
“Belagu” Elian meleletkan bibirnya ke arah Sofie, dia sama sekali tidak peduli dan tetap memperahatikan penjelasan Bu Wery.
“Yah seperti itu anak-anaku, sekarang kalian boleh mencatatnya. Jangan lupa beri tanggal yah, awas lupa diketahui, ditanyakannya jangan terlewatkan. Oh iya setelah selesai mencatat kerjakan latihan soalnya. Dua soal saja yah” begitulah Bu Wery yang tidak pernah lupa dengan diketahui dan ditanyakan selalu harus hadir sedikit saja opsi itu tidak dicantumkan, maka akan dijejal pertanyaan-pertanyaan membingungkan.
“Gak salah ini!!!” Elian merasa kaget dengan apa yang ia lihat. Saat membuka lembar latihan soal yang tertera begitu berurutan dengan angka-angka dan reaksi kimianya.
“Kerjain ih Elian” Sofie mengingatkan, “Lagian cuman dua”
“Apa cuman dua? Lo gak liat apa ini beranak gini mungkin jawabannya bakal jadi cucu gitu. Ih apa sih maunya ini soal” Elian masih menggerutu-gerutu.
“Astaga Elian asli kamu sok tau bangetlah, belum juga dikerjain”
Bu Wery saat itu merasa bisikan-bisikan kecil mengganggu pendengarannya dan, “Baik ada masalah?” ia berdiri memandang sekitar ruang kelas.
Sofie memberi isyarat agar Elian tidak menjawab pertanyaan Bu Wery bisa jadi masalah, biar orang lain saja yang menjawab. Benar laki-laki di bangku kanan menjawab dengan lantangnya suaranya menggema seisi ruangan. “Siap tidak, Bu”
Bu Wery tersenyum ketus, “Lanjutkan” pintanya lagi.
****
Bel pulang selalu terdengar indah dari bel pertama. Tapi, biasanya mereka yang sudah tidak kuat pulang mendahului bel. Sungguh sebuah pelanggaran. Setiap kelas sudah bersiap untuk pulang. Tas dipunggung sudah dikenakan sebelum bel berbunyi. Dan saat bel berbunyi. Byurrr… semua tumpah keluar kelas. Buru-buru pulang dengan damai. Elian merapihkan buku di meja. Ia memasukan satu persatu buku dan alat tulisnya ke dalam tas hitamnya.
“Elian pulangnya kita jalan dulu yuk!” ajak Sofie.
“Kemana?” Elian mengaitkan tasnya dipundak kiri.
“Makan dulu di food court, sekalian ngobrol”
“Si Risa, sama si Mika ikut? Biasanya kalo mereka ga diajakan suka ngambek loh”
“Pasti dong, tuh mereka udah nunggu di depan, yuk” Sofie menunjuk arah gerbang di pojok bawah. Mereka menuruni anak tangga.
“Sofie.. Elian.. buruan keburu sore” Mika melambaikan tangan di depan gerbang. Elian dan Sofie berlari kecil mengampiri Mika dan Risa. Dua menit kemudian mereka sudah berkumpul di depan gerbang. Berbincang-bincang terlebih dahulu sebelum akhirnya memutuskan untuk pergi.
“Gue yang nyetir ya, Ka” tawar Sofie.
“Oke, nih” Mika memberikan kunci mobilnya. Elian dan Risa memilih duduk di belakang, sedangkan Mika duduk di depan bersama Sofie yang jadi supir.
“Isi bensin dulu ya” Sofie membelokan arah ke kiri menuju pom bensin.
***
Elian memalingkan pandangan ke luar jendela. Ia menatap setiap tempat yang ia lalui. Dalam ingatannya, ada sebersit kenangan lama melintas tanpa komando. Saat sebelum pergi dan tiba-tiba berada di tempat seraba putih dengan infusan di tangan dan kabel yang menghubung di antara hidung. Sebenarnya apa yang terjadi, ada kejadian tersembunyi selama ini. Dan siang itu, ada janji yang tidak terpenuhi. Ada kata perpisahan yang tidak sampai diucapkan.
“Elian ayo turun” Risa menepuk pundak Elian. Mereka sudah berada di parkiran food court yang ada di sekitar daerah itu.
“Hah?” Elian terperanjat kaget. Ia membuka matanya dengan pasti. Di luar mobil sudah terparikir di halaman luas. Ada sofie dan Mika yang melambai menyuruh Elian segera keluar. Elian mendorong pintu mobil perlahan. “Mika, ini belum dikunci”
“Udah biarin, gak bakalan dibajak orang ko, yuk masuk” Mika manarik lengan Elian.
Mereka duduk di lantai 2. Setelah memesan terlebih dahulu. Cukup lama, seorang pramusaji perempuan membawa nampa berisi 4 gelas minuman soda serta french fries yang masih hangat.
“Oh iya kemarin gue liat si Andin pulang sama mantanya” Mika semangat menyampaikan berita hangatnya. Ia memasukan potongan french fries ke mulutnya.
“Wah? Bukannya si Andin masih pacaran sama si Raka?” Elian ikut menyambung, melontarkan pertanyaan tidak percaya.
“Haha.. maklum standar Raka masih jauh sama standarnya. Secara gitu mantanya kan sekarang lagi kuliah. Taulah anak kuliahan gimana!” Mika mencoba meyakinkan.
“Kasian Raka” Sofie malah mengasihani dengan wajah memelas.
“Hahaha… apanya yang kasian? Kenapa engga jadian sama lo aja, kalo lo ngerasa kasian. Bener ga? Huaa..haa..haa” Elian tertawa semakin meledak saat ia berusaha bercanda pada Sofie.
“Engga ah, gak mau” Sofie tersenyum kecut.
“Huuuhhh!” teriak Mika, Risa dan Elian berbarengan.
“Sekarang kita bully Elian” Mika mengacungkan jari tepat di depan muka Elian.
“Apaan lo, ga lucu” Elian membantah keras.
“Tau gak, kemarin ternyata ada yang baru ditembak sama kakak kelas loh….” mata Mika membuka menutup dengan cepat.
“Siapa ya?” Risa pura-pura gak tau. Padahal dia juga tau siapa yang dimaksud Mika.
Elian malah jadi kikuk dibuatnya, ia menyedot minuman dengan terburu-buru. Beberapa kali menyedotnya. Sambil berusaha diam, tidak peduli dengan pernyataan Mika.
“Oh, gue tau, siapa orangnya, Elian kan” Sofie menjawab dengan polosnya.
“Yah, elu mah, jangan disebutin oon. Biar dia ngaku sendiri” Mika mencubit lengan Sofie yang kemudian terlihat kesakitan mengelus-elus lengannya.
“Astaga. Kalian gue gak jadian, kemarin itu..” Elian tidak melanjutkan kalimatnya.
“Apa?” Risa semakin penasaran.
“Cuman ngomong jujur ke gue, kalo Kak Randy suka ke gue. Dan gue”
“Gue apa?” Mika memotong kalimat Elian.
Elian terlihat gugup ia kembali menyedot minumannya. “Nolak dia, secara baik-baik. Gue bilang ke dia kalo gue lagi gak mau pacaran, kalo jadi temen atau sebatas adek-kakak gue mau, tapi kalo jadi pacar gue belum siap” Elian menyedot lagi minumannya.
“Loh kok begitu?” Sofie menyapu bersih makanan di hadapannya.
“Iya, karena gue kan belum siap. Lagian gue takut kalo nantinya sehabis kita putus, kita malah jadi musuh gitu. Jauh-jauhan, saling benci, gue gak mau” Elian menahan dagunya di atas telapak tangan.
“Terus mau lo apa?” Mika menarik napasnya dalam, “Elian, Kak Randy itu baik, ganteng, pinter, aktif di OSIS, jadi fotografer ter-keren diangkatannya, anak basket juga liat dong mata kamu, gimana kerennya Kak Randy. Kalo gue jadi lo. Gue gak akan nyia-nyian kesempatan ini”
“Dan sayangnya lo bukan gue, yang gue mau kita selalu jadi kakak-adek yang akur, berteman bebas tanpa status jadi pacar. Itu lebih baik menurut gue”
“Lo kira ini zone ade-kakakan apa? Eli, lo boleh aja gituin Kak Randy, tapi lo harus liat situasi jangan lo bumingkan zona ade-kakakan ini, cukup mereka yang alay-alay lo jangan” Mika begitu bersemangatnya memberi wejangan tanpa sedikit mengambil napas.
“Andayyyyyy, kalian liat tuh siapa di bawah” Risa menunjuk orang yang berjalan menenteng kunci motor di halaman depan gedung foodcurt Ia sudah berjalan masuk. Risa meperhatian sejak dia memarkirkan motornya. Dan itu terlihat jelas di lantai dua.
“Andayyy… Kak Randy” Sofie terlihat kaget dibuatnya.
“Kalian sih pake ngomongin Kak Randy, jadi ada di sini” Elian merapihkan rambutnya tidak sadar seperti orang yang harus terlihat cantik ketika akan menemui orang yang dia suka, “Eh, kok Kak Randy bisa tiba-tiba di sini, jangan bilang diantara lo semua ada yang insta story” Elian membuka ponselnya.
Mereka terdiam tidak angkat bicara. Sebuah insta story milik Mika dengan poto mereka berempat disertai tagline tempat di ujung postingannya. Elian menutup ponselnya.
“Ih, Mika lo kok ga bilang dulu sama gue. Pulang yuk” wajah Elian memucat.
“Hahaha… sabar dulu ya, gue cuman mau liat bakalan ada yang tiba-tiba berduaan” mukanya mengejek gemas. Sedangkan Risa dan Sofie setuju dengan ajakan Mika.
Kak Randy sudah ada di lantai dua sambil membawa nampan berisi segelas minuman soda dan french fries. Tubuhnya terlihat jelas di balik kaca. Elian memalingkan wajah ke bawah. Ia menutup mukanya dengan selembar tisu. Kak Randy di dalam memandang sekitar mencari-cari seseorang. Dan… sret, saat melihat empat orang duduk di bangku luar, Kak Randy membuka pintu kaca. Mengambil tempat duduk di antara mereka. Dengan wajah datar.
“Hai, Kak sendirian aja ya? Kok gak sama pacarnya?” Mika melambaikan tangan ke arah Kak Randy. Kemudian mempersilahkan duduk diantara mereka.
“Hai, Mika dan semuanya. Enggak nih, kemarin baru aja ditolak” Kak Randy meneguk segelas capucino late. Matanya menatap punggung Elian yang dari tadi membelakanginya. Elian tidak mau membalikan badan. Ia tidak peduli dengan apa yang dikatakan Kak Randy. Saat ini ia dibuat kikuk tak beradaya.
“Masa sih? Ga percaya ah” Mika makin manas-manasin.
“Iya serius, mungkin dianya takut kita bakalan jadi mantan” Kak Randy menunduk sebentar, “Tapi bagus juga kok, itu pilihan yang bijak. Semoga aja kita tetep bakalan bareng” ia tersenyum ke Mika, Risa, sama Sofie.
“Amin, di doain deh. Oh iya ka, kita bertiga pamit pulang dulu ya, udah sore” Mika menginjak kaki Sofie dan Risa sebagai kode.
Apa dalam keadaan diam ia kaget. Sedang dia ditinggal gitu aja, dasar orang-orang jail. Gue juga mau pulangggg Elian berteriak dalam hati. Ada kata yang sulit diucap saat berada di depan Kak Randy. Aduh gue ini mau balik keluh sekali tenggorokannya. Mika menekan punggung Elian sampai ia tidak bisa bergerak lebih bebas. Akhirnya Elian harus tetap diam di kursinya dengan posisi menutup wajah.
“Oh iya boleh” suara yang datar begitu rela mengizinkan yang lain pergi.
“Titip Elian ya kak. Jagain dia dan jangan lupa pulangnya tolong anterin. Dia suka nyasar” Mika tersenyum jail ke arah punggung Elian. Mereka bertiga sudah berdiri untuk bergegas pulang.
“Eh, Kak aku juga pulang” Elian jadi malu saat harus ngomong depan Kak Randy. Ia segera berdiri untuk mengikuti ketiga temannya yang sudah lebih dulu pulang.
Kak Randy menarik lengan Elian untuk kembali duduk di sampingnya, “Jangan dulu, nanti bareng sama Kakak” Kak Randy mengenggam lengan Elian dengan tangan kirinya, sedang tangan kananya meyuapkan potongan french fries ke dalam mulutnya.
“Udah sore Kak” matanya berkaca-kaca tidak tahan.
“Iya Kakak juga tau, nanti Kakak anterin. Nyantai aja, Mama kamu juga udah tau”
“Apa?” Mama udah tau maksudnya? Kebingungan mendengar pernyataan Kak Randy.
“Kakak udah izin dulu ke Mama kamu, dan Mama kamu udah ngizinin”
Dengan lemas Elian duduk terdiam di samping Kak Randy. Nyatanya ia sedikit agak malu, meskipun sudah sering berduan gini. Kak Randy sibuk menyantap makannanya. Setelah percakapan tadi keduanya enggan untuk ngobrol ataupun sedikit bertanya-tanya.
Jam sudah menunjukan pukul setengah enam sore, hari sudah berganti senja. Sedikit ada polesan jingga di langit-langit. Orang-orang makin bertebaran banyak di jalan. Motor-mobil juga ikut ramai. Biasanya jam segini adalah waktu paling sibuk di jalanan. Saat itu juga wajah Elian sudah terlihat pucat, ia sudah ingin cepat-cepat pulang. Hatinya bergetar hebat. Ikut merasakan kegelisahan.
“Kak, pulang ya” ia mencoba memecahkan keheningan, dengan mengajak pulang.
“Hmmm…” Kak Randy memandang lurus ke depan. Jawabannya sama sekali tidak membuat Elian senang. “Bentar lagi ya” jawabnya lagi, supaya tidak membuat Elian kesal.
“Udah soreee” tubuhnya melemas, wajahnya ditutup telapak tangan.
Kak Randy memandang ke arah Elian. Memperhatikannya dengan seksama. Dagunya ditopang oleh telapak tangan. Dalam diam ia memperhatikan Elian di sampingnya. Tatapan paling dalam penuh harapan.
Kak Randy terbangun dari duduknya, ia menarik pergelangan tangan Elian lalu, “Yuk” ia pergi menarik Elian ke luar dari tempat itu. “Lucu deh kalo udah liat kamu mau nangis” Kak Randy menuntun Elian seperti anak kecil yang dipaksa pulang ibunya.
“Lepasin Kak” Elian menarik tangannya beberapa kali. Kak Randy masih saja mengenggamnya kuat. “Kak ih!” Elian berteriak kesal tangan kirinya berontak menarik-narik tangan Kak Randy yang terus menggenggam tangan kanannya.
Akhirnya Kak Randy mengalah melepaskan genggamannya. Mengambil kunci motor di saku celananya, “Naik, nih pake helmnya” ia menoleh ke belakang. Elian masih berdiri mengelus pergelangan tangannya. “Udah jangan alay, tangan kamu gak bakalan kenapa-napa, cepet naik!” ajaknya lagi.
Elian naik dengan memasang muka cemberut. Kalo dipikir-pikir dari tadi ia sial terus. Dari mulai kesiangan sampai pulang kesorean. Takutnya Mama bakalan marah. Eh, tapi kan Kak Randy sendiri yang bilang kalo dia udah izin dulu sama Mama bakalan pulang sore hampir mau magrib. Terserah gue gak peduli geram Elian membatin.
***
“Makasih ya, Kak” Elian melepas helm putih milik Kak Randy, ia memberikannya sambil tersenyum dipaksa.
“Jangan cemberut dong, gak bakalan dimarahin kok. Percaya deh sama Kakak” Kak Randy mengacak-acak rambut Elian.
Elian merapihkan rambutnya dan membenarkan tasnya yang menurun ke bawah, “Sesat tau percaya sama Kakak mah”.
“Haha… kata siapa?”
“Tau ah, wleee” Elian meleletkan lidahnya ke Kak Randy. “Udah ya, bye.. see you tomorrow” sambil melambaikan tangan dan berjalan meninggalkan Kak Randy, masuk ke dalam gerbang rumahnya.
“Bye…” Kak Randy siap meluncur kembali ke jalan. Gerbang rumah Elian ditutup setelah Kak Randy menjauh.
Ada perasaan tanpa sekat yang dirasakan Elian. Kebebasan tanpa harus menyembunyikan sesuatu. Kak Randy salah satu kakak kelas paling dipertimbangkan di sekolah. Tapi, siapa sangka ia malah menyukai Elian perempuan yang punya ruang lingkup sederhana bersama ke empat orang temannya. Inilah bukti bahwa siapapun berhak menyukai orang yang mereka suka. Tanpa harus susah-susah menpertimbangkan dengan apa yang dia punya. Dan mereka sudah dipilih.
*****
Semilir angin di senja hari semakin mendingin. Sama sekali tidak sejuk. Suara-suara alam terdengar nyaring bersama tubrukan benda-benda kosong di sekitarnya. Hari ini tempat itu sudah mulai membaik. Cat yang pudar sudah dicat ulang. Sehingga nampak seperti ruang baru. Besi-besi kaca sudah diganti dengan yang lebih bagus dan baik. Tembok-tembok yang mengelupas sudah diperbaiki. Tidak ada yang cacat semua terlihat baik dan rapih. Hanya saja, halamannya masih penuh dengan daun-daun kering, debu kotor masih menempel baik di atas keramik putih. Byurrr… suara angin yang menyelimuti keheningan.
Kak Randy
Siang hari yang terik seorang laki-laki tengah duduk di antara kursi koridor kelas. Ia bersandar pada sandaran kursi yang terbuat dari besi alumunium. Jari jemarinya aktif menyentuh layar ponsel. Dia adalah seorang remaja laki-laki dengan pakaian putih abunya. Wajahnya sangat tampan, rambut yang tertata rapih serta bulu mata yang cukup lebat mempertegas wajahnya.
Kepalanya kemudian menunduk memperhatikan lebih seksama layar ponselnya. Ada beberapa pesan whatsapp yang masuk. Salah satunya dari nomor kontak yang diberi nama Eliana Safira, sedang yang lainnya hanya pesan grup dan beberapa teman laki-lakinya.
Tunggu di koridor
Iya Kak, nanti kesana. Ini Pak Iwahyudi masih belum beres
Yasudah belajar dulu sana
Rupanya ia sudah ada janji. Menunggu seseorang di koridor ujung yang lumayan sepi, karena itu adalah jalan menuju ruang guru. Wajar saja, mobilitasnya cukup renggang. Laki-laki itu mengangkat kepalanya searah dengan tatapannya. Kemudian matanya menatap ke lorong dimana seseorang nantinya akan muncul dari sana.
Jarum jam sudah menunjukan pukul 12, seharusnya sudah keluar kelas. Bel beberapa menit lalu sudah berbunyi. Katanya Pak Iwahyudi masih ada, guru yang satu ini memang selalu produktif. Salah satu guru Bahasa Inggris yang populeran seantero sekolah. Karena wajahnya sangat tampan serta bertalenta. Mungkin beliau masih dikerumuni siswi-siswi cantik bersama pertanyaan paling absurd untuk ditanyakan kepada guru. Tapi Pak Iwa biasa dipanggilnya, tidak keberatan beliau justru sangat dekat dengan muridnya.
Dari lorong tadi, malah Pak Iwa yang datang lebih awal. Bagus ini tandanya murid kelas 11 yang baru saja diajar Pak Iwa sudah keluar. Remaja laki-laki itu berdiri, mendekati Pak Iwa di persimpangan jalan menuju ruang guru.
“Pak” katanya sambil menyalami.
“Randy, sedang apa kamu disini?”
“Lagi nunggu, Pak?”
Pak Iwa mengangguk kemudian, “Oh iya kebetulan ada kamu, minggu depan siap buat tampil ya, kamu gitar saya yang nyanyi” beliau masih muda wajar saja masih mengerjakan kegiatan anak muda.
“Ada acara apa, Pak?”
“Anak teater Jalaludin Rumi ngadain acara pagelaraan, pembukaannya ada musik dulu”
“Iya Pak, boleh. Nanti latihannya hari apa, Pak?” katanya penuh sopan santun.
“Nanti saya whatsapp kamu ya, soalnya mau liat dulu kapan jadwal saya ada yang kosong”
“Iya Pak, siap siap” ia mengangguk paham. Tidak lama orang yang ditunggu dari tadi sudah berada cukup jauh di belakang Pak Iwa. Dia sepertinya menunggu sampai Randy dan Pak Iwa selesai.
“Saya duluan ya” kata Pak Iwa pergi meninggalkan Randy.
Randy mengangguk, di ujung sana dia mulai berjalan mendekat. Rambutnya dibiarkan terurai, di saku seragamnya ada balpoin yang disematkan, mungkin dia lupa menyimpannya. Bisa dipastikan siswi remaja dihadapan Randy sudah menjadi setengah zombie, kelaparan, pusing, dan ngantuk. Apalagi barusan selesai pelajaran Bahasa Inggris.
“Lama ih ngobrolnya” ia menggerutu membuat bibirnya sedikit kecut.
“Pak Iwa ngajakin latihan, masa mau gitu iya iya ajakan gak enak, gak sopan juga” jelasnya.
“Iya Kak, iya. Jadi?” dia berjalan mendekat ke arah kursi, lalu mengambil tempat duduk.
Randy mengikutinya dari belakang, duduk disebelah kanannya, “Mau ke kantin dulu? Pasti lapar, nanti sambil ngobrol disana?”
“Males, ada Mika, Risa, sama Sofie. Mereka pasti curiga”
“Ya terus kalo disini mau ngapain? Ngobrol aja? Terus nanti masuk kelas lagi, kamu enggak sempet makan siang”
“Gak tau” dia mengangkat bahunya.
“Kebiasaan cewek kalo ditanya pasti, gak tau” katanya sedikit kesal, “Yaudah tunggu di sini, biar Kakak yang beli makan, nanti makan bareng di sini. Okey” katanya menyepakati diri sendiri.
“Hahah yaudah Kakak udah bilang okey” ia tertawa lepas.
“Tunggu sini, awas kemana-mana” perintahnya sambil berdiri. Meninggalkan gadis itu sendiri di kursi lorong kelas yang sebenarnya kelas itu sudah tidak digunakan. Karena akan segera diganti.
Dua kantong kresek hitam ditentengnya dari kantin. Tidak membutuhkan waktu lama, Randy sudah membeli beberapa makan siang untuk ia makan bersama gadis yang masih menunggunya itu. Bentul sekali gadis itu penurut, masih ada ditempatnya, tanpa mau beralih tempat duduk. Ia sedang memainkan ponsel sambil menunggu kedatangan Randy.
“Sebentar ya” Randy mengambil tempat duduk seperti tadi.
“Hahaha, sebentarrrrr bangettttt” katanya dibuat huruf terakhirnya panjang.
“Nih” ia menyerahkan satu kantong kresek berisi sekotak susu UHT dan roti bakar coklat keju.
“Makasih” ia membuka kresek, mengambil roti bakar terlebih dahulu, “Ini kesukaan aku coklat keju, tau aja nih” katanya sangat senang.
“Gampang ditebak kesukaan kamu mah” Randy tengah membuka tutup botol minuman soda. Tekanan dari tangannya membuat wajahnya ikut menekan, bagaimana pun juga ia tetap tampan, “Sudah tau minggu depan ada acara anak teater Jalaludin Rumi?” perlahan ia pun meneguk sodanya.
“Oh yang pagelaran itu ya, udah ada di mading posternya juga”
“Wah? Kakak kok baru tau sekarang ya, apa baru dipasang gitu”
“Tumben telat info” katanya sedikit menyindir.
“Tau sendiri, minggu kemarin gak masuk, terus harus perwakilan buat lomba ke Jakarta”
“Eh, iya belum ngucapin selamat, hehe” ia mengulurkan tangannya ke arah Kak Randy.
Sebuah tatapan jelas terukir di sana. Gadis ini begitu menyenangkan dilihat. Membuat hatinya semakin melambung, membuat harapannya semakin menjadi-jadi. Randy membalas uluran tangannya, “Kenapa baru sekarang bilangnya” jelas ini kalimat bercanda jangan dianggap serius.
“Sengaja dong, biar spesial ini khusus dari adekmu” ada kata akhir yang kurang enak didengar.
“Ade? Berarti aku Kakakmu” ia mencoba menjelaskan.
“Hahah, iyakan? Setaun lebih tua dari aku”
“Iya bener juga” Randy menganggukan kepalanya dipaksa harus setuju.
“Kakak keren deh” pujinya singkat.
“Makasih ya”
“Dari dulu memang suka moto atau gimana, Kak?” sebuah pertanyaan mengawali perbincangan mereka berdua.
“Enggak sih awalnya iseng, cuman jadi keterusan dan ketagihan gara-gara kalau lomba suka menang. Jadi ada kepuasan tersendiri. Apalagi tiap menang ada hadiah ya lumayanlah, buat uang jajan. Dan jajanin temen” katanya sombong diakhir kalimat.
“Jajanin aku aja” dia tersenyum malu-malu.
“Gampang itu mah” dia mengerjapkan sebelah matanya, “Alhamudlilah sih, soalnya dengan kegiatan gini, apa yang Kakak mau bisa langsung Kakak punya, tanpa nunggu dari orang tua. Sedikitnya membantu orang tua juga”
“Keren” ia mengacungkan jempolnya.
“Kadang ya, bahagia itu sederhana dengan membantu orang tua meskipun sedikit demi sedikit membuat hati kita senang juga loh, terus bisa bantu temen meskipun enggak membantu dengan cara besar, tapi buat hati itu senang, apalagi nantinya kalo kita kesusahan mereka juga dengan senang hati akan bantu” Randy meneguk kembali sodanya, “Kalau menurut kamu sendiri bahagian itu gimana?”
Pertanyaan yang membuat gadis di sampingnya itu berpikir sejenak, “Aku lupa apa itu bahagian, Kak?”
Randy mengernyitkan dahinya, “Bagaimana bisa, Elian?”
“Kedua orang tuaku memang sangat sayang, adiku juga, dia itu peduli, tapi kenapa aku selalu ngerasa hambar. Bahagia yang sesungguhnya itu apa? Kadang aku suka mikir gitu, karena kalau sesuatu membuatku senang, sedetik kemudian sesuatu itu membuatku sedih” Elian memegang setengah lagi roti bakarnya.
“Mungkin karena kamu terlalu ketakutan hal yang membuatmu senang bisa datang sebnetar saja, selalu lihat orang tua mu, Elian. Kemudian kamu akan sadar betapa berharganya, betapa mereka adalah sumber kebahagian sesungguhnya. Karena dari sana, kamu akan menemukan kebahagiaan-kebahagiaan kecil lainnya, percayalah”
Elian mengangguk, “Ya, ku pikir juga begitu”
“Jangan pernah ragu lagi soal kebahagiaan, Elian. Mereka ada bersamamu” Randy menegaskan kembali. Soda ditangannya sudah habis. Ia memegang botolnya untuk nanti dibuang pada tempat sampah, “Habiskan makanmu itu, nanti aku antar ke kelas” tatapannya mengarah pada langit-langit.
“Terima kasih Kak, selalu ngasih penjelasan yang membuat aku ngerti” Elian menghabiskan makan siangnya. Keduanya saling diam, tidak ada kalimat lagi setelah itu dari Kak Randy, hanya mengangguk dan tersenyum. Coba kau lihat senyum laki-laki itu, begitu menenangkan. Setiap siswi di sekolah ini tau senyuman apa yang Kak Randy punya.
Bel masuk pelajaran berdering nyaring di tengah terik yang menguning. Elian bergegas masuk kelas diantar Randy yang berjalan beriringan. Di dekat tangga Randy melambaikan tangan, ia berjalan ke kiri karena kelasnya berada di lantai 1 sedang kelas Elian berada di lantai 2. Mengantarnya cukup sampai tangga, karena kalau sampai kelas akan sangat berlebihan. Elian juga pasti tidak akan suka. Dia masih berani jalan sendiri. Sampai kelasnya.
****
Pukul 10 pagi Randy sudah membawa motornya pergi menjauhi rumah. Ia bukan pergi ke sekolah karena hari ini minggu, tentunya libur. Kemarin, Pak Iwa menyuruh Randy datang ke rumahnya, mengajaknya latihan untuk tampil pada acara pagelaran teater Jalaludin Rumi. Ia menggendong tas yang berbentuk gitar, di dalamnya tentu ada gitar. Gitar yang menjadi temannya mengiringi latihan nanti.
Gerbang hitam legam itu sudah terbuka, ia masuk dan memarkirkan motornya di sebelah mobil toyota berwarna silver. Itu salah satu mobil milik Pak Iwa. Beliau pasti sudah menunggu di dalam. Randy membetulkan rambutnya, helm membuat ramburnya berantakan. Ia menekan bel rumah beberapa kali, kemudian tidak lama Pak Iwa berdiri di balik pintu, dan mempersilahkan Randy masuk.
“Maaf Pak, lama tadi agak macet” ia menyalami Pak Iwa.
“Kamu ini kaya ada kelas aja, gak apa-apa ayo masuk-masuk” katanya santai, pakaian Pak Iwa terlihat seperti anak muda, dengan kaos Rsch. berwarna biru dongker, celana jeans hitam dan aroma parfumnya yang maskulin. Siapapun itu perempuan di luar sana pasti sangat tertarik dengan penampilan Pak Iwa. Beliau juga masih lajang, dan selalu terlihat akrab dengan murid-muridnya, termasuk dengan Randy. Mereka malah terlihat seperti dua orang sahabat. Bukan murid dan guru.
Randy berjalan mengikuti Pak Iwa, menuju balkon lantai 2. Di sana memang tempat terbaik untuk bersantai dan melakukan kagiatan lain, teras halaman yang luas, ditutupi rumput, ayunan yang menghadap ke arah air mancur, serta pemandangan menyejukan di sebrang sana. Pak Iwa ini benar-benar menata rumahnya. Randy mengambil duduk lesehan di atas karpet yang sudah disediakan. Ia membuka tas dan mengeluarkan gitarnya.
“Kamu mau dibikin minum apa?” Pak Iwa menawarkan minum.
“Apa aja, Pak”
“Tunggu ya, biar pesan saja. Sekalian sama makan juga ya, maaf loh disini mah gak ada apa-apa, maklumlah” katanya sedikit merendah.
“Haha, Bapak ini, tenang aja”
“Biar latihan kita semangat, Dy” Pak Iwa mengacungkan kepalan tangannya, kemudian ia memainkan ponselnya. Lalu melakukan panggilan telepon, menyebutkan beberapa jenis minuman dan makanan. Delivery order makanan ke rumahnya.
“Tunggu ya” Pak Iwa memyimpan ponselnya, “Latihan mulai dari mana, nih?”
“Mau cover lagu apa, Pak” Randy memetik gitarnya asal.
“Saya udah buat beberapa list, salah satunya lagu Kahitna sama Sammy”
“Kahitna mantan terindah ya, Pak” katanya bercanda.
“Hahaha, kamu ini bisa saja”
“Boleh, Pak kalo listnya ada mantan terindah, bisa langsung dicoba dulu”
“Kamu kayaknya sering nyayiin lagu itu” Pak Iwa menekan pembicaraannya.
“Hahah, saya mana punya mantan, Pak”
“Mantan gebetan” kemudian katanya semakin mencekam.
“Hahaha, langsung latihan aja, Pak” Randy seolah tidak mau membahas hal itu, ia tau arah pembahasannya nanti akan semakin kacau dan pada akhirnya curhat. Kalau sudah gitu latihan pun jadi kurang fokus. Randy memetik gitarnya mengikuti nada yang sesuai dengan chord lagunya. Dirasa sudah sesuai, Pak Iwa mulai mengikuti nada, mengcover lagu kahitna mantan terindah. Meskipun sebenarnya bukan lagu utama, hanya berlatih saja. Kalau dirasa enak lagu ini yang dipilih kalau tidak mencoba yang lainnya.
Mau dikatakan apalagi
Kita tak akan pernah satu
Engkau disana aku disini
Meski hatiku memilihmu
Yang tlah kau buat sungguhlah indah
Buat diriku susah lupa
Begitulah lirik yang dinyanyik Pak Iwa, sungguh suaranya merdu. Kemudian beralih pada lagu Cantik, dan lagu Soulmate sebagai penutup, karena pesanan mereka sudah datang. Randy yang menemui kurir pengantar makanan, dan membawanya ke balkon untuk segera di santap bersama. Pak Iwa membuka kotak berisi sosis berlapis keju, potongan ketang dengan daging diatasnya dan sapi lada hitam. Makanan itu terlihat masih mengepul.
“Ayo makan dulu, nanti lanjut” Potongan sosis itu masuk kedalam mulut Pak Iwa, beliau sudah lapar sekali, setelah bernyanyi 3 lagu tadi.
Randy meneguk minumnya, segelas milk tea. Sedangkan satu gels capppucino latte milik Pak Iwa. Potongan ketang dan daging itu membuat perutnya menggema. Penampilannya membuat lidah penasaran serta aromanya yang menyengat hidung. Ia segera mengambil potongan dengan garpuhnya.
“Makasih ya, Pak”
“Iya iya” katanya sambil mengangguk, “Oh ya, sekarang kamu lagi deket sama siapa?”
Pertanyaan yang membuat Randy menghentikan makannya. Hampir saja akan tersedak kalau tidak segera minum. “Hehehe” katanya malah tertawa malu.
“Cerita saja, tenang rahasia aman” Pak Iwa mengangkat tangannya membuat hurup O dari jari telunjuk dan ibu jari yang membulat. Sebuah tanda bahwa semuanya aman.
Ada raut malu-malu disana, ia tau Pak Iwa akan memberikan solusi terbaik, karena beliau sangat berpengalaman. Tentu dilihat dari perbedaan umur, “Enggak Pak, saya cuman lagi deket sama perempuan, udah lama. Dianya tetep dingin. Padahal udah pernah dikasih kode, jelas banget, tapi ya tetep gitu. Dingin” akhirnya sebuah pembuka yang lancar.
“Zaman sekarang kode aja gak cukup, kamu butuh tindakan. Karena, perempuan selalu bertingkah seolah dia tidak paham, padahal sebenarnya paham. Mereka itu mengukur sejauh mana laki-laki memperjuangkan dia” tepat sekali Pak Iwa selalu seperti dugaan.
“Betul ya Pak, usaha saya masih kurang”
“Jangan katakan itu kurang, tapi belum cukup. Sebuah quotes anonim mengatakan kadang cinta itu perlu diperjuangkan. Selama kamu yakin sama seseorang perjuangkan, sejauh manapun, karena suatu hari nanti usaha kamu berbuah hasil, dalam hidup kita harus terus berjuang. Memperjuangkan segala apa yang kita mau” Pak Iwa meneguk minumnya, lalu menghabiskan potongan kentang yang diatasnya ditaburi daging.
Randy mencerna, berusaha memasukan paham itu ke dalam prinsipnya. Ia teringat nama yang membuatnya harus berjuang. Elian Safira Bella. Seorang gadis kelas 11 yang ditemuinya saat acara seminar pelajar dia terlihat sangat buru-buru ingin keluar, tapi malah berani bertanya dengan pertanyaan kritisnya, waktu itu dia masih kelas 10, masih wajah polos siswa baru. Kenalan dan dekat sampai sekarang. Sudah hampir 2 tahun, sayang Elian masih menjadi sosok yang dingin.
“Bagaimana siap untuk diperjuangkan?” suara Pak Iwa memecah lamunannya.
“Siap Pak” Randy mengacungkan kepalan tangannya sambil tersenyum lebar.
“Ngomong-ngomong siapa sih ceweknya?”
“Ada deh, Pak, hehehe” katanya membuat orang yang mendengarkan tetap penasaran, “Kalau Bapak sendiri gimna? Hehe cerita juga dong, Pak” Randy melontarkan pertanyaan yang membuat Pak Iwa melotot ke arahnya.
“Hahaha, saya ya begini. Semenjak ditinggal nikah mantan pacar, jadi susah buat jatuh cinta lagi. Belum nemu yang bener-bener cocok. Ada pernah suka eh dianya udah punya pacar, sama murid sendiri terlalu canggung, akhirnya serba salah”
“Bapak juga harus berusaha melupakan, bangkit kembali dari patah hati. Percaya Pak, setelah hubungan yang gagal pasti ada hubungan baru yang lebih baik ke depannya, jangan ragu, Pak” sekarang giliran dia yang terdengar puitis.
“Ternyata ilmuku benar tersalurkan, haha” ada tawa di akhir kalimatnya.
“Siapa lagi gurunya, Pak Iwayuhdi” gelak tawa mengisi percakapan antara guru dan murid itu. Sekali lagi Pak Iwa itu menyenangkan. Terbuka dan tidak canggung.
“Baik Randy akan saya coba, nasihatmu itu” suaranya dibulatkan tegas, “Yasudah kita lanjutkan lagi, latihan. Saya masih ada beberapa lagu yang ingin dicoba” jelas arah pembicaraan Pak Iwa ke mana, seperti mengalihkan pembicaraan, mengatakan sudah cukup jangan dilanjutkan lagi.
Suara gitar bersautan dengan suara Pak Iwa, menyatu. Mengeluarkan suara merdu, sesuai porsinya, kadang Randy juga ikut bernyanyi. Menyesuaikan dengan petikan gitar. Lagu milik Sammy- Kau Harus Bahagia salah satu lagu yang penuh makna, meskipun agak sedikit tinggi nandanya, namun masih bisa di cover dengan baik.
Hari semakin sore, awan berubah menjadi jingga yang menguning. Latihan ini segera diakhiri. Ditutup dengan lagu Jikustik-Puisi.
Kapan lagi kutulis untukmu
Tulisan tulisan indahku yang dulu
Warna warnai dunia
Puisi terindahku hanya untukmu
Keduanya berhenti. Saling menguk minumnya masing-masing. Randy memasukan kembali gitar pada tasnya. Membereskan bekas gelas minum dan kotak makanan tadi, meskipun Pak Iwa menyuruhnya membiarkan bekas makanan itu. Biar dibereskan nanti, tapi Randy merasa ia harus membereskannya, sebelum pamit pulang.
“Gak usah udah biar” jelas Pak Iwa bangkit dari duduknya.
“Tidak apa Pak, lagian Bapak belum ada yang bersihin rumahnyakan” ada maksud tertentu disana.
“Hahah kasian masa harus merepotkan istri”
“Heheh” balasnya dengan tertawa malu, “Kalau begitu saya pulang dulu ya, Pak”
“Ya, hati-hati, terima kasih sudah memenuhi undangan saya, nanti saya kabari lagi buat latihan selanjutnya”
“Okeey siap pak” katanya sambil menghormat.
****
Elian, Kakak tunggu di tempat biasa dia berbicara lewat teleponnya.
Iya kak, tunggu bentar lagi aku berangkat jawabnya disebrang sana.
Okeeey panggilan ditutup dan ia memasukan kembali ponselnya ke saku celana.
Sepuluh menit kemudian Elian sudah berada di kedai kopi. Salah satu tempat nongkrongnya bersama Kak Randy. Hampir setiap hari libur atau pulang sekolah diajak kesini. Salah satu pelayan bahkan sudah mengenali mereka. Saking seringnya.
“Hai, sudah lama?” Randy mendekat dan mengambil duduk di depan Elian.
“Lumayan tauuu” mulutnya sedikit dimayunkan.
“Hahah, maaf maaf, udah pesenkan?”
“Sudah, satu green tea dan milk tea”
“Pintar sekali, sudah tau apa yang sering diminum”
“Iya dong, adikmu ini”
“Elian” sebuah panggilan membuat gadis dihadapannya mengangguk tegang, “Maaf sebelumnya kalau Kakak sedikit lancang, tapi boleh bilang jujur sama kamu?”
“Iya ya, katakan saja” suasana jadi terasa serius.
“Kita sudah dekat sangat lama, kalau boleh diantara kita ada hubungan lebih bagaimana? Aku yang bukan sekedar kakakmu, tapi kekasihmu” Kalimat terakhir ini membuat percikan halilitar di telinga Elian, bagaimana bisa akhirnya Kak Randy mengatakan hal ini, harus bilang apa dan memang selama ini semua sebatas. Tidak pernah mengharap lebih dari apapun juga. Karena sesuatu mengganjal pada diri Elian, “Ya kalau ini terlalu cepat, kamu bisa jawab nanti atau beberapa minggu lagi, Kakak akan nunggu” jelasnya.
Elian menghela napas, “Iya Kak, terima kasih sudah suka, terima kasih sudah jujur. Tapi sesuatu masih membuatku sulit mengerti, aku mau kita selalu bareng. Kalau suatu hari kita lebih dari sekedar teman, bagaimana kalau itu ada akhirnya, siapa yang selalu jadi tempat aku berkeluh kesah? Siapa yang selalu setia nemenin aku curhat? Apa semua akan baik?”
Beberapa pertanyaan membuat Randy menunduk, jelas ini bukan pertanyaan biasa. Karena kadang menjadi lebih itu supaya kita punya hak untuk selalu menjaga, selalu mengatakan apa yang seharusnya dilakukan, dengan begitu seseorang tidak merasa diambil haknya. “Semua akan selalu bertanya itu, tapi percaya hubungan baik selalu melahirkan hal baik, kita selamanya akan selalu baik. Meskipun suatu hari hubungan kita berakhir, hubungan kekasih maksudnya. Aku akan tetap menjadi kakakmu dalam hubungan apapun, semua keluh kesahmu tetap akan aku dengarkan, tidak akan pernah ada yang berubah”
“Ini bukan janji biasakan? Kakak sudah yakin dengan semua itu?”
“Tetap Elian, ini bukan karena aku kekeh mau jadi pacarmu, tapi janji sebagai kakak yang bertanggung jawab”
“Kalau aku belum siap bagaimana Kak? Aku masih nyaman kayak gini, dan menghilangkan apa yang mengganjal pada diriku”
“Perihal masa lalumu kan?”
“Entahlah Kak, aku bahkan tidak ingat bagaimana aku di masa lalu”
Seorang pramusaji membawa nampan berisi dua gelas green tea dan milk tea, menyimpanya di atas meja. Elian mengambil minum miliknya, begitu pula Kak Randy. Sedikit tegukan membasuhi kerongkongan Randy. Jauh lebih baik.
“Tidak apa Elian, semua keputusan milikmu”
“Kakak jangan jadi beda ke aku ya” ia sedikit ketakutan.
“Tenang Elian, setelah hari ini bahkan, aku tetap Kak Randymu” Kak Randy menatap mata Elian lekat sekaligus menyakinkannya.
“Terima kasih, Kak”Elian malu, menundukan kepala, tidak berani membalas tatapan Kak Randy.
Kadang selalu ada maksud dalam sebuah hubungan dekat. Entah itu memang benar atau tidak. Semua sudah jadi lazim. Dekat-dekat akhirnya ya minta kejelasan hubungan. Jadi bukan sesuatu yang aneh, kalau teman dekat laki-lakimu akhirnya mengungkapkan perasaannya, karena memang itu tujuan awalnya, bukan hanya sekadar nemenin curhat, chat, berkeluh kesah, atau nonton.
Semua ada maksudnya, kadang yang serius selalu berjuang mati-matian supaya tujuannya tercapai, tapi kalau yang sekadar dekat saja, setelah ditolak. Pergi, tidak mau berusaha lagi. Tinggal bagaimana kita menyikapi, jangan selalu menganggap itu buruk, toh kedekatan laki-laki dan perempuan selalu berakhir pacaran. Sekalipun mereka berteman, pasti salah satu diantara mereka ada yang berharap akhirnya bisa pacaran.