Awan kota Jakarta pagi ini sangat bersahabat, cerah sekali. Awan altocoumulus bergelombang-gelombang menandakan kebagaian. Matahari mulai bergerak muncul, di langit Jakarta sulit sekali menemukan sunrise bagaimana tidak gedung-gedung pencakar langit itu menghalanginya untuk dilihat. Kalau ingin melihat sunrise bisa saja tinggal pergi setiap hari ke pantai Ancol.
Ryan membuka matanya, menatap sekeliling dengan enggan. Tubuhnya tergeletak kaku di atas tempat tidur. Rasanya sulit sekali untuk bangun terlebih harus mandi. Hoeam…. Ia melentangkan tanggannya menggeliat lagi seperti para pemalas. Semenit…duamenit….ia masih terlentang tak mau bangun. Menit ke tiga baru saja ia bisa membangunkan tubuhnya, melempar selimbut dan berdiri tegak. Pergi ke kamar mandi siap membasuh tubuh.
Lima belas menit
Ryan berjalan membuka pintu kamarnya, menatap sekeliling apartemen yang selalu sepi tanpa kabar. Pagi ini seperti pag-pagi biasa ia harus sarapan di kantin atau kalau tidak nasi kuning pinggir jalan. Ia mengunci apartemennya. Tetangga satu lantai ada yang sudah terlebih dahulu pergi ada yang masih membawa semangkuk bubur, mungkin baru dibelinya dari foodcourt apartemen.
Ryan memijat tombol tanda panah kebawah pada lift yang belum juga bergerak. Klik… pintu lift terbuka, baru ada dua orang dalam lift itu. Penghuni tak dikenal meskipun satu atap yang sama. Lift berhenti lagi di lantai 4, seorang gadis dengan baju putih-abu selutut berdiri menunggu lift terbuka. Ia segera masuk mengambil tempat dipinggir. Ryan saat itu sama sekli tak menyadarinya, ia sibuk memandang lurus pada tombol angka-angka dalam lift.
“Hey, kamu Ryan?” panggilnya ceria.
Ryan mencari asal suara, oh dia “Sivia? Berangkat sekolah jam segini juga?” tanyanya basa-basi padahal tidak mau ditanya apalagi bertanya.
“Iya, biasanya sih siang” ia memandang ke arah jam tangganya, “Tapi berhubung Ayah dan Ibu tadi subuh berangkat ke Malaysia jadi aku udah bangun dari pagi”
“Pindah lagi?”
Ia tertawa ringan, dibetulkannya poni rambut lalu dikaitkan pada telinga, “Engga-engga bukan pindah. Katanya ada tugas dari kantor yaa… biasalah istri harus selalu ikut suami, hehe” Sivia kembali tersenyum, seakan-akan kalimatnya terdengar seperti gurauan.
“Sudah biasa” lagi-lagi singkat. Suasana hening tidak ada yang mau bicara lagi.
Klik… lift terbuka di lantai pertama, mereka segera membludak keluar, Ryan berjalan terlebih dahulu ke arah meja resepsionis rupanya Sivia mengikutinya dari belakang. Ryan membalikan tubuhnya, dan mendapatkan Sivia tercengang. “Loh, kamu mau kemana?”
“Hehe… ke meja resepsionis, nitip ini” ia mengacungkang kunci apartemennya, “Kamu sendiri?”
“Sama” Ryan mengajaknya berjalan bersamaan. Mereka menitipkan pada resepsionis yang sama. “Oh iya, kamu sekolah di mana?” Ryan membuka pertanyaan saat berjalan menjauhi menja resepsionis.
“48 Jakarta, kamu?”
“Serius?” loh kok SMA yang sama ternyata, tapi perasaan belum pernah ketemu.
“Iya, kamu di situ juga kan?”
“Tapi perasaan belum pernah ketemu di sekolah, kamu kelas apa?”
“12 ipa 4”
“Ya ampun ternyata kamu anak ipa, aneh kenapa gak pernah ketemu ya padahalkan kamu sudah dari satu tahun lalu sekolah di sana?”
“Banyak nannya yuk berangkat”
“Ya udah bareng aku aja, ini mau bawa mobil dulu” Ryan menawarkan dengan percuma, nyatanya dia satu sekolah bagaimana bisa bukannya ini aneh.
***
Dengan wajah pucat ia menggeleng-geleng, beberapa kali ada yang mengganjal pikirannya. Semua tulisan itu gagal bagaimana bisa, esay yang sudah dibuat jauh-jauh hari sebelum deadline ditolak mentah-mentah, di mana kesalahannya. Esaynya sudah puluhan kali ia baca, ia revisi bahkan beberapa kali ia tunjukan pada Papa, hasilnya baik dan Papa menyukai esaynya, tapi bagaimana bisa ini ditolak begitu saja.
“Kamu gagal, bagaimana?” Pak Burhan mengingatkan kembali.
Dia kembali menggeleng kepala, tanggannya mengeluarkan keringat, tak ada satu katapun yang ia bayangkan kesedihannya lebih unggul dari apapun.
“Tidak berniat untuk mencoba lagi?” tanya Pak Burhan meyakinkannya sekali lagi, memberi titik terang.
Ryan memandang Pak Burhan dengan tatapan penuh harapan, dengan kaki yang mulai bergetar hebat dan mulut yang keluh ia berkata, “Saya akan coba lagi, Pak. Saya berjanji tidak akan mengulangi kesalahan”
“Kalau tahap awal saja kamu sudah menyerah bagaiman jika kamu sudah pada puncak dan kamu gagal. Mungkin usaha kamu ini belum apa-apa makannya kamu belum diizinin lolos, bagus jika kamu mau mencoba kembali” menjabat tangan Ryan penuh keyakinan.
Ryan meninggalkan ruang guru, wajahnya kembali berseri membayangkan betapa ia harus berusaha kembali. Di tengah perjalanannya kembali ke kelas, ketidak sengajaan menimpa dirinya, gedebrukk… pundaknya menabrak kepala seorang siswi. Ryan menoleh ke samping. “Loh, kamu” menunjuk siswi yang nyatanya ia kenali, “Maaf” katanya singakat.
“Hehe, tenang aja” jawabnya ringan.
“Ngomong-ngomong kita baru ketemu di sekolah hari ini ya, mau kemana?”
“Ke ruang guru, dipanggil Pak Burhan” ia tersenyum malu.
“Oh, duluan ya” Ryan pergi melanjutkan perjalanannya, sedangkan siswi tadi berjalan berlawanan pergi. Pak Burhan? Mau ngapain dia? Mungkin dia anak didiknya, tidak-tidak Pak Burhan tidak mengajar peminat IPA, apa jangan-jangan pikirannya sibuk menebak-nebak.
Dalam suasana ribut, Ryan memilih melanjutkan revisi ulang esaynya. Kata Pak Burhan banyak kalimat yang tidak sesuai kaidah Bahasa Indonesia dan penulisan tanda baca yang salah, juga penggunaan kalimat tidak efektif. Dikorek terus kesalahan pada penulisan esaynya, sampai bel masuk berbunyi lebih pelan.
“Ryan. Lo masih sibuk ngurusin esay?” Kanya membalikan tubuh, rambutnya digibaskan sengaja.
“Hmm…”
“Bukannya udah dikumpulin ke Pak Burhan ya? Diganti lagi, salah topik, banyak yang salah atau gagal? Tulisan lo ga diterima dan lo gagal mewakili sekolah kita buat debat nanti?” pertanyaan-pertanyaan mengerikan dilontarkan Kanya, tanpa menyadari wajah orang dihadapannya berubah menjadi semakin dingin.
“Jangan so tau!” bentak Ryan lebih tidak meninggikan suaranya.
“Gue cuman pengen tau” bibirnya dibuat rapat kesamping.
“Terserah apa mau lo, tapi tolong untuk hari ini izinkan gue hidup dengan tenang”
Kanya mengangguk paham sebelum ia membalikan tubuhnya lagi, “Baikalah pangeran dingin, penasihatmu ini akan diam tidak mengganggumuuuu” kata terakhir yang dibuat nada. Ryan menolehnya singkat lalu mengulas senyum terpaksa. “Dasar penganggu” celotehnya lirih.
“Apa?” tubuhnya dibalik secepatnya matanya membelalak ke arah Ryan.
Ryan bersembunyi dibalik laptopnya ia tertawa puas, “Gr lo, siapa juga yang ngata-ngatain, dasar cewe kegeran” Ryan tertawa kembali dengan nada lebih pelan.
Kanya semakin membelalak, wajahnya memerah tak tertahankan, “Aaaarrrrggghhhh!” kesalnya tanpa mau membalas ucapan Ryan, kepalan tangan dia acungkan tinggi-tinggi tepat di atas kepala Ryan yang bersembunyi dibalik laptopnya.
****
“Ini Pak” ia menyerahkan seberkas print out.
Pak Burhan menelaah berkas tersebut, iris matanya bergerak ke kanan ke-kiri mengikuti kalimat-kalimat yang berjajar. Ryan memperhatikan tingkah Pak Burhan, hatinya sangat cemas, bahkan lebih cemas dari kehilangan uang jajan.
“Okey, Bapak sudah baca esay kamu dan yang ini lebih baik. Selamat kamu lolos jadi tim debat perwakilan sekolah kita” kali ke dua Pak Burhan menjabat tangan Ryan ini adalah jabatan keberhasilan. Ryan tersenyum bangga tak ada kata lagi selain, “Terima Kasih”
“Bapak besok umumkan siapa saja tim kamu, jangan lupa persiapkan diri”
“Baik Pak” Ryan menundukkan kepala. Akhirnya berhasil juga, teryata yang ia butuhkan adalah rasa percaya diri bukan keraguaan. Pertengahan yang baik.
Di kantin bersama para temannya ia menghabiskan banyak baso tahu dan juice tomat, kebahagiaan membuatnya lapar.
“Lolos?” tanya salah satu temannya.
“Bersyukur kali ini lolos, doakan supaya bisa membanggakan sekolah” mulutnya terus menyedot juice tomat.
“Doakan yang terbaik, siapa tim lo?”
“Belum diumumkan, mungkin nanti siang”
“Mesti kompak yaa!” dibalik pembicaraan tiba-tiba seseorang menimpal begitu saja, dia tidak jauh seorang penganggung Ryan dari sejak masuk SMA, Kanya.
Semua menoleh ke arah Kanya, merasa heran, “Sambungan kabel darimana?” teman laki-laki Ryan menyindir tanpa mau menatap Kanya.
“Gue ke Ryan bukan ke lo buaya darat!” teriaknya kesal sambil nyindir juga.
“Lebih untung buaya darat, lah ini satu aja kagak menang-menang… hahahha” gelak tawa memecahkan keseriusan mereka, merasa tersindir setengah mati Kanya terdiam. Lalu siap melawan dengan lebih kejam lagi, “Apa luh, penunggu monas, lo kira gue bakalan gagal gitu aja, lo salah gue masih berjuang buat dapetin apa yang udah jadi milik gue”
“Hahaha… milik apanya? Cowonya juga kagak peka.. hahahah” lagi-lagi semua tertawa seakan ada tumbal dihadapan mereka. Ryan nyatanya lebih tidak peduli ia terus melanjutkan makan siangnya ini, tidak ada waktu ikut bersautan dengan mereka yang bemain-main kata.
“Aaaarrrrgggg…. Dasar penjaga ancol!” wajahnya merah, Kanya berlalu pergi diantarkan gelak tawa yang memebludak dari semua teman Ryan padahal mereka satu kelas.
Shet…shet….shet… kelebatan ingatan memutar pada otak Ryan, ia kaget bagaimana bisa ini sama seperti apa yang terjadi di masa lalu. Makanan, teman-teman, siswa dan siswinya. Ryan terdiam memutar otaknya untuk kembali ke awal. Jangan hari ini jangan tempat ini desahnya pelan. Kepalanya ia gelengkan dua kali. Mencoba menghentikan keresahan hatinya. Bagaimana bisa masa lalu masih tumbuh di masa depan.
“Ke kelas yuk!” ajak salah satu dari mereka berlima. Semua berdiri meninggalkan tempat duduk, meja, dan piring-piring kotor. Kantin jadi semakin amburadul dengan kembalinya mereka ke kelas.
Bel pelajaran berdering lima belas menit dari kedatangan mereka ke kelas, guru belum juga masuk. Tito memanggil Ryan dari luar kelas yang dipanggil malah tak peduli. Sekali lagi suaranya sudah masuk ke dalam kelas.
“Ryan lo itu ya keterlaluan! Gue sampe serak kagak lu saut juga, apa mau lo cowo sialan! Lo budeg, pura-pura budeg, so cool, so kegantengan atau gimana sih”
Lima orang yang dari tadi bareng Ryan menatap Tito datar, menyaksikan celotehan Tito sambil menopangkan dagu, lalu “Hahahaha… ibu kos ngambek!” ejekan kembali dilanjutkan.
“Apa dasar cowo-cowo buaye, lu kate gue ibu kost maen ngomong aje. Okey karena hari ini gue gak mau debat, karena gue gak ikutan lombanya juga, gue mau ngasih tau lo Ryan” menunjuk ke arah kening Ryan. “Pak Burhan nyuruh lo ke ruang guru udah itu aja urusan gue selesai” tangannya yang menyilang dihempas.
“Nih Aqua biar lo kagak cape” Ryan menyerahkan sebotol air minum yang sudah diteguknya tadi pagi, “Dasar ribet!” mengarahkan mulutnya ke telinga Tito.
“Makasih buat minumnya dan makasih buat hinaannya” Tito kembali nongkrong di depan kelas bersama beberapa temannya.
Segera mungkin Ryan berlari kecil menuju ruang guru, ia terburu-buru menuruni tangga. Pak Burhan sudah menunggunya, gara-gara si Tito banyak nyeroscos kabar perintah ini telat disampaikan. Di pintu depan Ryan memandang deretan meja guru, memastikan bahwa Pak Burhan duduk dikursinya, ternyata tidak ada dan itu Pak Burhan duduk di bangku sebelah kanan. Secepatnya Ryan menemui Pak Burhan.
“Nah kamu sudah datang, ini tim kamu terdiri dari tiga orang. Oh iya lombanya diselenggarakan satu minggu lagi, semua ketentuan ada dalam suratnya kamu baca dan sampaikan ke tim kamu jangan lupa perbanyak membaca terutama yang sedang hangat dibicarakan di media, nih” Pak Burhan menyerahkan satu buah amplop coklat yang mengembung isinya.
Ryan mengangguk paham tidak ada lagi yang harus dijawab dari pernyataan Pak Burhan semua sudah jelas dan paham.
“Pilih dari ketiga orang ini yang jadi pembicaraa 1, 2, dan 3 jangan lupa tentukan siapa yang jadi ketua supaya nanti tidak usah ribet lagi. Tolong informasikan secepatnya, Bapak tidak bisa memanggilnya ke sini karena katanya hanya kelas kamu saja yang tidak ada guru.”
“Baik Pak” jawab Ryan singkat.
“Pelajaran siapa kelas kamu?”
“Bu Arnita-sosiologi”
Pak Burhan mengangguk, “Katanya beliau ada keperluan keluarga, ya sudah kembali ke kelas kamu”
“Terima kasih Pak” Ryan menyalami Pak Burhan.
*****
Tumpukan buku berderet di atas meja belajar, potongan koran berserakan di lantai. Gordeng apartemen dibiarkan menganga lebar, sampai menyilaukan seisi kamar. Ryan membolak-balik koran ditangannya, ada ketidak pahaman saat ia membaca hanya satu kali. Keningnya berkerut lalu memalingkan pandangan ke arah buku-buku yang berderet. Diraihnya buku tipis, dibuka terus saja sampai menemukan halaman yang ia cari. Ia mendekatkan buku dan koran yang tadi dibacanya. Anggukan kepala mengisyaratkan sudah paham. Ada beberapa koran, buku, dan video tayangan media yang harus ia selesaikan. Pemahaman ini belum bisa selesai.
Tubuhnya bersandar pada sandaran kursi, menghela napas panjang. Tangannya meraih secangkir teh dingin yang dari tadi membisu. Ia meneguknya beberapa kali, segar sampai tenggorokannya yang kering. Bagaimana tidak pekerjaan ini lebih menyita waktu daripada belajar seharian. Hari ini sampai dua hari mendatang ia sudah harus menguasai materinya, tidak peduli dengan berapa banyak tugas sekolah, yang penting tugas satu ini cepat selesai.
Kamarnya sudah tidak ia pedulikan di mana-mana baju kotor bergeletak, cangkir dan gelas kotor berjajar dekat lampu tidur, buku pelajaran tergeletak di atas ranjang, bola basket berdiam di atas kursi, selimbut yang bergumpal di bawah ranjang, dan seprai yang menggulung bersama buku pelajaran. Sudah tidak peduli dengan kamarnya yang hancur, meski beberapa hari mengurung diri di kamar bersama tumpukan buku dan lembaran koran. Apartemen sepi tak ada yang mau membersihkan, Papa masih belum juga pulang, makanan sudah membusuk dalam lemari ice dan cucian kotor menggunduk di atas wastafel.
Ryan berdiri membuka pintu lemari pendingin, mencari-cari apa yang bisa ia makan perutnya sangat lapar. “Sama sekali tak ada makanan di tempat ini” bibirnya mendecak kesal. Ia meraih kunci mobil mencari makanan di luar lebih baik daripada membusuk di tempat gersang ini. Oh iya ada office boy yang bisa membantunya merapihkan apartemen. Sebelum ia pergi mencari makan lebih dulu menemui office boy sekaligus teman curhatnya selama ini.
“De…!” panggil Ryan sambil berjalan cepat menemui OB yang sedang duduk di kursi lobi.
“Mas Ryan, ada apa?” tanyanya bingung.
“Gue punya kerjaan buat lo, nih” menyerahkan kunci apartemennya, “Tolong lo beresin kamar gue pokoknya semua ruangan apartemen gue dari mulai nyuci piring, ah pokoknya semua. Gue mau keluar dulu, titip ya” Ryan menepuk pundak Dede.
Dede memberi hormat, “Siap laksanakan, Mas” logat jawanya yang kental membuat Ryan makin akrab sama OB yang satu ini, paling bisa dipercaya dan paling pengertian. Ryan berlalu meningalkan Dede. Beberapa makanan untuk dirinya dan Dede yang harus dia beli.
Satu jam berlalu. Ryan baru kembali ke apartemen, tanpa butuh waktu lama apartemennya sudah pulih kembali, makanan busuk di lemari pendingin sudah dibuang ke tempat sampah, semua sudah baik dan bersih. Dua kantong kresek warna putih ditangannya ia simpan salah satu, satu lagi buat Dede.
“Nih De, makasih. Soal” menggerakkan jempol, telunjuk, dan jari tengah, “Tunggu Papa gue pulang ya, tapi kalau lo mau sesuatu ngomong ke gue, okey” mengerjapkan sebelah mata ke arah Dede.
“Siap pak bos, hatur suwun buat ini” Dede membungkuk kecil, dan segera pergi membawa bungkusan dari Ryan.
“Hebat juga si Dede” pujin Ryan setelah Dede keluar menutup pintu apartemen. Ryan membuka makanan yang ia beli memindahkannya ke dalam mangkuk cukup besar, ia membeli sebungkus baso malang dekat persimpangan yang rasanya enak, recommended dari Kanya.
“Bagaimana bisa aku menuruti saran Kanya” ia tersenyum mengejek dirinya sendiri.
Semangkuk baso malang sudah cukup membuatnya kenyang, lebih baik istirahat untuk hari ini sudah cukup membaca, menelaah, dan memahaminya. Malam ini harus tidur lebih awal. Ryan membuka ponselnya, membuka media sosialnya, orang-orang banyak berseliweran di atas media sosial ketimbang di kenyataan. Dimana-mana sangat ramai, kecuali di kehidupan mereka. Ada ketidak sengajaan saat Ryan mengklik pesan masuk di facebook miliknya, pesan tiga tahun lalu bagaimana bisa masih tersimpan baik. Ia tersenyum membaca tiap gelombang percakapan. Masa lalu yang takan terlupakan.
*****
“Sukses” teriakan menggema memenuhi ruang kelas yang kosong, tiga tim dari sekolah siap beradu dipertandingan. Debating competition hari ini siap diikuti oleh semua tim dari sekolah masing-masing, Ryan siap dengan materinya, siap dengan segala yang terjadi dilapangan dan selalu menjaga kekompakan.
“Oke jangan lupa saling membantu” kata Ryan tegas.
“Siap” dua orang timnya bersemangat.
Satu dari timnya yang sama sekali tak Ryan duga adalah Sivia kenalannya satu apartemen, lucu juga ada masa lalu yang membolak-balik pikirannya. Beberapa hari lalu di sekolah, Ryan memang banyak menghabiskan waktu bersama tim debatnya termasuk bersama Sivia, memang tidak ada yang salah, tapi haruskah dihantui bayangan masa lalu, wajah yang sama, sifat yang beda, dan waktu yang berbeda. Kadang-kadang Ryan salah menyebutkan nama saat memanggil Sivia bahkan hampir saja lupa nama Sivia, terus saja menduga bahwa orang dihadapannya adalah seseorang yang datang dari masa lalunya.
“Ryan, kamu saja yang bawa undian ya” tunjuk Sivia. Undian nomor tampil dan mosi untuk mereka pagi ini diundi.
“Okey.. okey” jawab Ryan.
“Hari ini siap bertanding, pasti bisa!” Bayu mengepal tanggannya ke atas, menyemangati dua orang timnya itu.
Ryan mengangguk, dulu sekali sebelum semua orang di tempat ini tau, dia adalah seorang petanding yang tangguh, penyerang yang berani dan pemain yang baik. Kekalahan apapun sudah ia terima, tapi kali ini orang yang selalu meyakinkan Ryan bahwa dia bisa sudah tidak bersamanya lagi, Mama yang jauh Kak Intan yang juga jauh dan dia yang sama sekali tak tahu bagaimana kabarnya hari ini.
Pak Burhan menghampiri ketiga muridnya, menepuk pundak bergantian dan menyerahkan beberapa makanan untuk sarapan pagi ini, “Makan dulu biar pikiran kalian lebih baik, perut kosong tidak membuat kalian berpikir cepat”. Semua menyantap sarapan yang dibawa Pak Burhan, roti coklat, roti panggang, dan 3 botol air mineral.
“Permisi Pak, lomba segera dilaksanakan dan semua peserta harus sudah berada di aula” kata seorang panitia laki-laki yang dilehernya menggantung ID Card. Pak Burhan beserta yang lain mengangguk, segera membereskan bekas makanan tadi dan ikut berkumpul bersama peserta lain di aula.
Dalam aula cukup besar peserta bersorak girang sesaat pembawa acara mengatakan siap memulai perlombaan. Seperti acara-acara biasanya perlombaan diawali dengan acara formal serta diikuti pembukaan perlombaan. Tepuk tangan menggema setelah ketua pelaksana mangatakan “Acara kami buka”. Break sepuluh menit memastikan semua telah siap, tim Ryan mendapat bagian pertama melawan SMA 250 Jakarta, ketegangan sangat terasa diantara tim Ryan. Meskipun Pak Burhan mengatakan jangan takut, pasti bisa. Mereka mendapatkan mosi pro terhadap pelaksanaan kebijakaan Masyaratak Ekonomi Asean yang sekarang sedang banyak diperbincangkan, sedangkan lawannya mendapat mosi kontra terhadap kebijakaan Masyarakat Ekonomi Asean.
Pembawa acara memanggil tim dari SMA 250 terlebih dahulu, seperti acara di tv mereka memperkenalkan diri satu persatu setelah itu semua penonton bertepuk tangan selanjutnya tim dari SMA 48 dipanggil menaiki panggung dan SMA lainnya memperkenalkan satu persatu. Ryan berdiri tegak diantara Sivia dan Bayu. Di rawut wajahnya sudah tidak ada lagi keraguan dia sudah siap.
“Mari kita lanjutkan acara ini dengan pemaparan terhadap mosi yang telah dipilih masing-masing tim, baik kita mendengar bersama paparan dari SMA 48 Jakarta” suara pembawa acara perempuan itu kembali bergema di dalam ruangan penuh sesak. Setelah ia mempersilahkan tim dari SMA 48 Jakarta untuk memaparkan mosinya.
Ryan selaku pembicara satu mengawali argumennya, “Terima kasih, selamat siang. Yang terhormat dewan juri, yang terhormat tamu undangan, dan yang saya cintai teman-teman semua yang hadir pada acara debating competition. Perkenalkan saya Ryan Mathew dari SMA 48 Jakarta akan memaparkan argumen kami pro terhadap MEA ini. Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) merupkan suatu kegiatan dimana negara-negara di kawasan Asia Tenggara khusus ASEAN bisa dengan mudah masuk-keluar untuk menawarkan barang, jasa, modal, investasi, dan tenaga kerja. Kegiatan ini merupakan langakah awal para pendiri ASEAN untuk membangunkan kembali perekonomian di sektor kawasan negara-negara ASEAN, sehingga mampu bersaing dengan masyarakat Eropa dan beberapa negara raksasa lainnya. Dengan memberikan kemudahan jalannya pertukaran barang, jasa, modal, investasi, dan tenaga kerja masuk dan keluar antar negara kawasan Asia Tenggara. Barang dan jasa yang ditawarkan beragam dengan mengantongi kualitas produk di tiap negara. Setiap negara sudah harus bisa bersaing untuk mencari peluang besar dalam memasarkan produk.”
Ryan berhenti memaparkan argumennya, lalu di sambung oleh Sivia “Baik yang selanjutnya adalah kemudahan dari terjadinya perdagangan bebas antar sektor Asia Tenggara ini akan sangat memengaruhi terhadap perekonomian. Kemajuan teknologi, sampai mampu mendekati terjadinya pertukaran budaya. Seperti halnya yang dilakukan Vietnam dan Tahiland, dua negara berkembang ini sudah menerapkan materi pelajaran Bahasa Indonesia pada tiap perguruan tinggi. Hal ini merupakan strategi awal agar bisa bersaing di era MEA. Sehingga mereka tidak kesulitan dalam berbahasa. Bayangkan saja jika mempromosikan produk ke negara lain dengan bahasa mereka sendiri, akan sangat sulit. Maka dari itu untuk mempermudah jalannya roda pasar tunggal ASEAN ini setiap negara berlomba-lomba memahami serta mempelajari bahasa ataupun kebuadayaan apa yang kiranya akan mereka jadikan sasaran untuk mengekspor barang dan jasanya.”
Setelah Sivia dilanjutkan oleh Bayu dengan pemaparan yang lebih jelas dan konkret. Apa yang telah dipaparkan oleh SMA 48 Jakarta menyihir dewan juri dengan anggukan beberapa kali. Awal yang bagus dan setelah itu pembawa acara perempuan itu mempersilahkan kepada SMA 250 Jakarta untuk memeparkan mosi kontra terhadap MEA.
Apa yang dipaparkan SMA 250 Jakarta tidak kalah bagus juga dengan pemberian contoh di kehidupan nyata dengan beberapa bukti yang dipaparkan. Hal ini semakin memperkuat argumen mereka. Selesai memeparkan argumennya mereka diberi waktu untuk menjawab beberapa pertanyaan dari dewan juri masih dalam lingkup MEA. Suasana semakin mencekang tatkala waktu telah abis tetapi juru bicara masih menjelaskan argumennya. Hal ini menjadi cemoohan dari penonton yang hadir.
Ryan dengan wajah gugup yang ditutup-tutupi terus melakukan permainan kata. Ia tidak boleh kalah sedikit saja kalimatnya kacau, maka akan jadi kesempatan baik untuk lawannya. Begitu pula Bayu ia ikut menguatkan terhadap argumen Ryan. Sivia selaku pencatat kadang ikut menambahkan, kadang juga ia hanya terus menulis apabila ada kata yang menarik dari lawannya ini jadi poin berharga untuk menjatuhkan argumen mereka. Lawan yang baik tidak akan mengatakan musuh kepada lawannya. Tak terduga lawan dari SMA 250 Jakarta mengrilya mereka perlahan-lahan. Hampir saja Ryan dan timnya kebingungan dengan kata-kata pedas dari tim lawan. Inilah debat yang sesungguhnya. Licik tapi cerdik.
Klik… tombol penghitung waktu berhenti menandakan kompetisi ini selesai. Dengan hasil akhir SMA 48 Jakarta lolos final. Saat itu Ryan dengan perasaan tak disngka-sangka merasa penuh terima kasih, ini adalah langkah terbaik untuk proses akhir yang menakjubkan. Waktu break cukup lama untuk mempersiapkan menuju grand final. Ryan dan timnya memilih beristirahat di musola agar mereka bisa mendapatkan kesejukan lahir dan batin.
*****
Pada lapangan cukup luas yang sekaligus lapang basket murid-murid berkumpul dan berbaris dengan khidmat bersama topi, dasi, dan ikat pinggang mereka. Pasukan pengibar bendera sudah bersiap dengan baki berisi lipatan bendera merah putih ditangannya. Deretan tim paduan suara sudah dari tadi bersiap. Tak lupa para PMR yang berdiri dengan tegapnya di belakang barisan siswa. Protokoler sudah bersuara lewat pengeras suara. Susunan acara pada upacara pagi ini dibacakan dengan sistematis. Suaranya lembut sekali para pengurus paskibra itu selalu mendapatkan orang yang tepat untuk posisinya.
Upacara tidak akan terasa sukses apabila tidak ditemani oleh para penjaga yang berseliweran diantara barisan siswa-siswi, mereka siap menarik paksa siswa yang nyeleneh ataupun siswa yang tidak dilengkapi atribut.
“Huuuuuuuuuh” siwa-siwi menyoraki dengan lantangnya tatkala protokoler itu mengatakan “Pengumuman-pengumuman semua pasukan di istirahatkan”. Kekesalan itu terjadi mereka menginginkan segera masuk ke kelas. Kaki yang marah karena terlalu lama berdiri tegak. Tapi mereka harus mengalah pembina OSIS Pak Rehan sudah membuka pengumuman tersebut. Ternyata hari ini pengumuman kejuaraan.
“Satu lagi yang membanggakan bagi kita semua terutama bagi sekolah kita adalah, satu piala terbaik dengan pringkat umum dalam perlombaan debating competition senior high school 2015 yang telah diselenggarakan pada hari sabtu kemarin”
Semua murid bertepuk tangan dengan bangganya meskipun sebagian hanya bertepuk tangan mengikuti tanpa sedikit pun merasa bangga. Tak lupa juga Pak Rehan mempersilahkan kepada tim yang telah mewakili sekolah untuk berdiri di depan sebagai pemberian tropy secara langsung kepada kepala sekolah. Tepuk tangan juga tidak kalah ketinggalan melengkapi setiap prakata yang dilontarkan pembina OSIS. Pada akhirnya upacara dibubarkan dengan perasaan bahagia dari semua siswa.