“Ryan... turun” teriak Mamanya di depan rumah. Beliau sedang memasukan beberapa koper besar ke dalam mobil Toyota hitam milik Tante Susi dan Om Ifan.
Ryan menghampiri Mama di bawah. Sambil menenteng selembar amplop merah jambu. Wajahnya terukir ribuan penyesalan dan kekecewaan. Gadis yang ia harapkan kedatangganya tak juga kunjung datang. Ponselnya mati. Tidak ada yang bisa Ryan lakukan. Mencoba menghubungi telepon rumahnya juga tidak ada jawaban. Apa sebenarnya yang terjadi.
Ryan mendapatkan Tasya sedang berdiri berdampingan dengan Mama. Tersenyum manis di depan Mama. Ryan mendekati Mama. Ia masukan amplop merah jambu itu dalam saku celannaya. Dan mendekat perlahan-lahan.
“Hai, Ryan” Tasya melambaikan tangannya pada Ryan. Senyumnya mengembang manis.
“Mau ngapain?” tanya Ryan datar. Seolah kehadiran Tasya tidak sama sekali diharapkan. Ryan memalingkan muka pada Mama.
“Selamat ya” Tasya mengulurkan tanggannya.
“Buat apa?” Ryan kembali mengacuhkan cewek disebelahnya.
Merasa uluran tangannya tidak direspon. Tasya menariknya kembali. “Iya selamat, kamu jadi pergi ke Jakarta. Itu kan yang kamu inginkan. Ketemu Papa kamu” pernyataan Tasya seolah paling benar. Paling tepat.
“Please get out” pinta Ryan sambil tersenyum dipaksakan.
“Ryan! Kamu gak boleh gitu, Tasya dari tadi bantuin kita beres-beres. Tuh, Mamanya ngasih oleh-oleh buat kamu” Kak Intan gak suka dengan sikap Ryan yang dingin. Sekotak manisan yang dibawa Tasya, Kak Intan berikan pada Ryan. “Kamu jangan coba-coba menolak pemberian orang” Kak Intan dan Mama berlalu meninggalkan Ryan dan Tasya.
“Yan, maafin aku ya. Selama ini aku udah bikin kamu marah. Aslinya gak ada maksud buat ngelakuin itu semua. Aku sayang banget sama kamu. Bahkan lebih dari sayangnya Bunga sama kamu. Yan, hari ini aku memberanikan diri datang kerumah kamu. Aku tau kamu bakal pergi, dari Kak Intan. Aku pengen banget jadi orang terakhir yang kamu temui” Tasya memandang Ryan lekat. Meraih tangannya lalu ia menggenggamnya erat.
Ryan terdiam tak mampu berucap. Ia membalas pandangan Tasya. Ryan membiarkan tanggannya bergandengan dengan Tasya. Biasanya ia menghindar dari sentuhan Tasya. Kali ini, ia membiarkannya.
“Yan, aku berharap kamu gak bakalan lupa sama kita semua, pulang ya kalo ada waktu. Atau kalo lagi liburan. Jangan lupa, nanti kita share. Berbagi pengalaman kamu selama di Jakarta. Jangan pelit informasi loh, hehe” Tasya tersenyum memandang Ryan.
Ryan ikut tersenyum mendengar kalimat terakhir Tasya. “Iya, Sya aku bakalan balik, aku bakalan inget kalian semua, aku bakalan always given your information” Ryan membalas genggaman Tasya dengan erat.
“Yan, aku harap kamu mulai hidup baru. Lupain semua kenangan buruk kamu di sini. Kenangan hanya akan selalu memperburuk keadaan. Di sana kamu harus tenang. Jangan bawa-bawa beban kamu. Biar beban kamu tinggal aja di sini, kalo bisa kubur dalem-dalem biar kamu bisa menghirup sesuatu yang baru”.
Ryan menarik tubuh Tasya. Mereka berpelukan dengan damai. Ryan mengelus rambut Tasya. Ia melingkarkan tangannya di bahu Ryan.
“Makasih ya Sya” bisik Ryan pada telinga Tasya.
“Udah jadi kewajiban aku, ngasih support buat kamu” Tasya menarik tubuhnya. Mengakhiri pelukan hangat Ryan.
“Doain aku”
“Pasti, semangat. Aku doain yang terbaik buat kamu” Tasya mengangkat kepalan tangannya. Tersenyum lembut di hadapan Mama dan Kakak Intan yang menghampiri mereka.
Ryan masuk mobil sembari membalas senyum Tasya. “Sya tunggu aku ya” teriaknya melambaikan tangan dibalik kaca mobil yang dibiarkan melorot.
Tasya melambaikan tangan. Mobil Toyota hitam itu semakin menjauh. Meninggalkan rumahnya. Meninggalkan jalan yang jadi sahabatnya dikala pulang mengantar Bunga. Sayangnya, dia yang tidak diharapkan malah jadi penyemangat baginya. Tidak habis pikir. Bunga kamu kemana?
Waktu itu setelah acara graduation, Ryan tidak sempat bertemu Bunga. Ia tahu Bunga sibuk, banyak guru yang meminta berpoto dengannya, atau teman temannya. Bahkan ia sibuk menerima beberapa penghargaan di atas panggung. Kebaya putih dan abunya terlihat cocok dengan tubuh kecilnya. Polesan make up memperjelas bagaimana wajahnya yang cantik. Sayang, ia hanya bisa melihatnya dari jauh. Diantara barisan peserta graduation. Ryan tahu, Bunga akan mencarinya, tapi ia bingung harus bilang apa. Karena ia harus pergi. Jakarta menjadi pilihannya.
Sehari sebelum berangkat, ia sudah meminta Bunga menemuinya di perpustakaaan. Ya, tempat pertama kali bertemu dengan seseorang yang mampu membuat hatinya bergejolak. Akan, tetapi menjadi tempat terakhir yang membuatnya kecewa. Bunga tidak datang. Bahkan semuanya menghilang. Nomor teleponnya tidak bisa dihubungi.
“Kalau kamu kecew, kenapa harus tidak memenuhi keinginan untuk bertemu” decaknya. Mobil sudah membawa dirinya semakin menjauh.
Bunga surat buat kamu gak jadi aku kasih. Aku gak sanggup. Bunga semoga kamu terima dengan semua ini. Tapi, aku gak bakalan nyerah gitu aja. Bunga bagaimanapun kamu aku akan selalu hadir untuk kamu. Bunga kamu segalanya. Tunggu aku ya. Aku pasti kembali. Buat kamu. Cuman kamu.