Begin Again
Aku sudah duduk di grade C semester pertama sekarang, yang berarti dua tahun sudah berlalu sejak aku pindah dari building four-A. Tahun ajaran kedua akan dimasuki bulan Januari tahun depan dan akan menjadi semester terakhirku di Lit Academy, dan di bulan Desember tahun ini seperti yang sudah pernah kukatakan sebelumya bahwa Lit Academy selalu mengirim siswa-siswi tiap angkatan dengan pencapaian terbaik untuk menikmati liburan tiga minggu penuh, tahun ini menjadi bagian angkatanku, dimana dari setiap angkatan hanya delapan orang yang berhak untuk melakukan perjalanan tiga minggu ke luar negeri sedangkan siswa-siswi lainnya yang juga memiliki pencapaian lumayan akan melakukan perjalanan di dalam negeri bobrok yang kami cintai ini. Well, aku sudah mencapai banyak hal selama dua tahun ini karena kesepian yang kemudian berakhir dengan membuatku terkenal di Lit Academy dan juga membuatku ikut ambil andil menjadi salah satu dari delapan orang yang berhak membuang-buang dana Lit Academy selama tiga minggu penuh nanti.
Dari delapan orang yang ada, setiap building memiliki wakil yang memang terbaik selama ini dan building four satu-satunya yang diwakili oleh dua orang sekaligus, Adonis dan Kein. Kami akan pergi meninggalkan negeri bobrok tercinta di akhir November nanti, namun sudah diadakan tiga kali pertemuan untuk membahas berbagai hal seperti negara tujuan kami nanti, rute perjalanan, tempat menginap, riwayat alergi dan kesehatan tiap orang dikarenakan sebagaimana style Lit Academy, delapan orang ini akan pergi sendiri tanpa pengawasan orang dewasa yang berarti kami benar-benar bebas dan benar-benar harus berhati-hati. Pada tiga pertemuan sbelumnya aku mengurungkan niat untuk datang karena well menghindari Kein, karena Zure salah satu dari delapan orang yang akan pergi mengatakan bahwa ketua yang bertanggung jawab atas kami adalah Kein, wow aku harus kabur pikirku karena sebagai ketua ia pasti selalu datang dan akan menanyakan pendapat atau sekedar masukan dari tujuh anak lain dan aku tidak mau berbicara dengannya .
Aku berniat tidak mengikuti liburan itu karena Kein, tapi Cam menjitak kepalaku yang agung dan berkata, “Itu nggak ada hubungannya sama Kein, lagipula selama ini kamu sudah mencapai terlalu banyak untuk Lit Academy Mous, melihat tumpukan sertifikat milikmu aku yakin kau yang terbaik, namun apa? Tidak ingin ikut karena Kein? Sinting kau Victoria Mousa Enola, aku hanya mendapat trip dalam negeri, jadi tolong pergilah dan bawakan aku oleh-oleh bermanfaat”
Aku akan protes karena bagaimanapun trip dalam negeri juga lumayan karena hanya 11 anak yang bisa mendapatkannya, dan kau harus tahu bahwa 11 dari siswa itu 4 diantaranya adalah penghuni bulding four yaitu Cam, Hans, Winston, dan Erva.
Perjalanan selalu dilakukan di grade C semester pertama karena di semester kedua kami sudah akan sibuk dengan banyak program, kebanyakan anak biasanya sudah sibuk memikirkan tujuan kuliah dan berbagai tes masuk, namun tidak dengan kami di Lit Academy, universitas dan institusi yang mendatangi kami.
Bulan November tahun ini akan berakhir dalam hitungan hari, yang berarti perjalanan akan segera dimulai dan berarti aku akan bertemu Kein setelah dua tahun penuh perjuangan menghindarinya. Aku tak membenci Kein, aku membenci hati bodohku yang sekarang berdebar-debar hanya karena memikirkannya bahkan setelah dua tahun berlalu. Minggu lalu sudah disetujui oleh semua anak bahwa kami akan memilih Eropa Barat sebagai tujuan dan negara pertama di Eropa Barat yang akan kami kunjungi adalah Belgia. Bulan November di Belgia memasuki musim dingin dan aku memiliki beberapa pakaian musim dingin sisa dari perjalananku ke beberapa negara di musim dingin untuk mengikuti berbagai research dan event, jadi aku tidak begitu banyak persiapan untuk pakaian, namun Cam menarikku ke pusat perbelanjaan untuk membeli pakaian musim dingin dan beberapa head band dengan alasan aku tidak boleh terlihat jelek setelah dua tahun berlalu.
“Mousa, kau harus terlihat jauh lebih baik dan menunjukkan pada si bodoh Kein bahwa kau baik-baik saja tanpanya. Aku bukannya ingin kau terlihat manis di depannya tetapi aku ingin kau terlihat manis untuk dirimu sendiri karena tiga minggu di benua tetangga untuk menghabiskan kas Lit Academy hanya terjadi once in a life time, kecuali jika kau ingin tinggal kelas dan menikmati liburan lain tahun depan”
Aku tertawa dan berkata “Kalau pun aku tinggal kelas, aku tak mungkin bisa menikmati trip ini tidak perduli setinggi apa prestasiku karena tahun depan merupakan jatah untuk angkatan di bawah kita”
Cam menatapku sambil tangannya tetap sibuk memilah baju, “Kalau begitu kau memang harus menikmati jatah angkatan ini Mousa” ucapnya dengan raut wajah serius. Aku hanya menurut saja pada Cam walaupun daripada baju rasanya aku lebih membutuhkan buku untuk dibaca selama tiga minggu di sana.
Well, tibalah D-Day yang tak kutunggu namun tebakanmu benar bahwa aku berbohong karena walaupun kukatakan aku tidak menunggu hari ini, tadi malam aku bergumul dengan pikiran sendiri yang sepertinya tak ingin berhenti bekerja. Kami berkumpul langsung di bandara pukul delapan pagi, aku diantar Mum, Dad, Cam idiotku dan Mbak yang setia menemani. Aku benci mengatakan ini tapi mataku mencari-cari sosok Kein, aku benar-benar membenci hati bodoh ini.
Aku menggunakan dalaman tipis yang kulapisi coat hitam sepanjang lutut dengan tambahan scarf hitam melilit manis dan skinny jeans hitam yang kubeli bersama Cam minggu lalu, ditambah boots hitam yang menutupi sampai mata kaki, cukup modis untuk dipakai menginjak tumpukan salju di Belgia nanti, dan aku menggerai rambut hitam sebahuku, aku benar-benar gelap tapi Dad berkata bahwa aku sparkling dark. Aku manis hari itu, bukan karena aku merasa begitu tapi karena selama aku di bandara semuanya mengatakan begitu, well, termasuk Mumnya Kein dan ia juga tak lupa mengomel bahwa aku tidak pernah lagi muncul di hadapannya dan terlalu sibuk dengan urusan sekolah. Aku tak melihat Kein, tapi telingaku siaga satu saat Adonis menyebut namanya dan berkata kepada Zure bahwa Kein sedang pergi ke toilet. Menyadari bahwa kemungkinan besar Kein akan kembali, aku langsung menjauh dari orang tua kami berdua dan duduk di sebelah Adonis karena hanya ia yang lumayan kukenal di antara anak lainnya.
Dalam dua tahun Adonis semakin imut, ia tetap ramah padaku dan mulai bercerita tentang penghuni building four yang kurindukan. Dari tujuh orang yang ada aku hanya mengenal Adonis, Zure, dan Kein. Selebihnya adalah Eire, Eupide, Glam, dan Dan. Aku tak melihat Kein hingga saatnya check in tiba, ia berdiri di tengah kami bertujuh. Aku tidak mau menatapnya dan hanya memandangi sepatuku walaupun ia sibuk memberi instruksi dan membagikan tiket pesawat. Para orang tua atau lebih tepatnya para mum sibuk mulai berpesan banyak hal kecuali Mumku dan Mumnya Kein yang malah menyuruh kami menikmati waktu berlibur sambil berkedip nakal. Aku berjalan di samping Eire yang ternyata penghuni building six, Eire duduk tepat di depan kursiku di dalam pesawat.
Perjalanan memakan waktu sekitar 12 jam,beruntung aku duduk di dekat jendela jadi aku tak perlu merasa terganggu jika orang di sebelahku akan keluar dan aku sudah bersiap melanjutkan membaca Sherlock Holmes untuk yang ke sekian kalinya, namun saat aku baru sampai pada bagian,
“Aku tak setuju dengan orang yang menganggap kerendahan hati sebagai perbuatan yang terpuji. Bagi orang yang berpikir secara logis, semua harus berdasarkan kenyataan yang sebenarnya. Merendahkan diri sendiri ataupun membesar-besarkannya berarti melenceng dari kenyataan.....”
Berhenti disitu karena aku menyadari seseorang duduk di sebelahku dan aku merinding karena dari sudut pelupuk mataku aku tahu bahwa itu KEIN! Demi pluto dan kegelapan, setelan abu-abu dan wajah putih dengan bingkai kacamata yang kulihat ini sudah pasti Kein, aku benar-benar benci dengan hatiku yang menggila dan pikiranku yang protes dengan kebodohan hatiku yang sudah dicampakkan lewat jamur-jamur idiot, I’d like to poison my own heart now. Aku bukannya terlalu percaya diri, namun yang mengatur dan memesan tiket pesawat adalah Kein dan tak bisakah dia memilih orang lain untuk duduk di sampingku jika ia sendiri sudah meracuni diri sendiri karenaku? Pikiranku sangat kesal jika mengingat saat Kein memberitahuku tentang jamur itu dan lalu meninggalkanku sendiri di kamar yang jelas-jelas sedang sedih, dan setelah semua itu hatiku tetap berdebar? Sherlock Holmes pasti menertawakanku jika ia benar-benar ada.
Aku menutupi wajahku hingga hanya menyisakan mata menggunakan scarf hitamku dan kemudian melanjutkan membaca, aku benar benar berharap bisa tertidur secepatnya agar hati idiot ini bisa tenang, namun setelah menghabiskan lima kasus Sherlock Holmes, dua kasus Hercule Poirot, dan satu komik, mataku masih terjaga, Kein juga masih terjaga di sebelahku saat aku melirik dari sela-sela rambut, ia tengah sibuk bermain game. Habis perkara, aku tak bisa tidur setelah empat jam berlalu dan semua buku yang kubawa sudah habis terbaca.
Kami sampai malam hari pukul 2 pagi di Belgia, dan langsung menuju penginapan yang sebenarnya seperti rumah dengan 3 kamar yang dicari oleh Dan karena pamannya sempat menetap di Belgia selama beberapa tahun. Tadi sudah kukatakan bahwa rumah ini memiliki 3 kamar, 2 kamar untuk kapasitas 3 orang di sisi sebelah kanan dan belakang rumah dan satu kamar untuk kapasitas 2 orang yang terletak di sebelah kiri rumah, kami berjumlah delapan orang, dengan 4 perempuan dan 4 laki-laki. Sepertinya aku tahu ini mengarah ke mana, kamar berkapasitas 3 orang yang terletak di belakang rumah sudah pasti ditempati anak laki-laki, kamar terakhir yang berkapasitas tiga orang sudah pasti ditempati tiga perempuan dari empat yang ada, yang berarti tersisa satu orang laki-laki dan satu orang perempuan, yang berarti bahwa mereka harus menempati ruang yang sama. Sebenarnya tinggal serumah atau pun tidur di kamar yang sama bukan hal yang baru bagi kami anak-anak Lit Academy, yang menjadi permasalahan adalah laki-laki yang terakhir itu berhak memilih teman sekamarnya yang dirasa cukup nyaman sebab ini menyangkut kenyamanan keduanya, dan sudah bisa dipastikan bahwa laki-laki terakhir adalah Kein karena ia adalah ketua, dan ketua mendahulukan anggotanya. Kulihat Eire sepertinya berharap Kein memilihnya, begitu pula dengan Glam yang nampak jelas mencoba memberikan tatapan mempesona ke arah Kein, aku sedikit kesal melihatnya tapi juga tak mau sekamar dengan Kein karena pasti sangat canggung setelah dua tahun berlalu.
"Aku sekamar sama Mousa, soalnya kami kan teman sejak kecil jadi bukan masalah besar jika harus berbagi kamar" Kein memutuskan tiba-tiba tanpa menanyakan persetujuanku dan sialnya lagi alasan yang ia pakai sangat masuk akal.
Yang lain, kecuali Eire dan Glam mengangguk setuju, dengan alasan bahwa kami sudah sering bersama dan bahkan keluarga kami terlihat dekat sewaktu di bandara kemarin. Aku tak bisa menolak sebab jika iya, alasanku apa? Haruskah aku mengatakan bahwa aku dalam misi mengabaikan Christian Albert Keinlock?
Aku memutuskan untuk mandi duluan saat Kein sibuk membongkar koper mencari peralatan mandinya. Aku keramas karena rambutku sangat kelelahan sejak kemarin, saat keluar dari kamar mandi aku melihat Kein sedang menunggu sambil membaca di tempat tidur, aku melaluinya dengan pajamas dress selutut berwarna putih melekat di badanku, aku hendak bersiap tidur hingga Kein bertanya "Kamu ganti shampoo?"
Aku berkata iya tanpa melihat ke arah Kein, alasanku mengganti shampoo adalah karena Kein bilang ia menyukai shampoo yang kupakai dulu sehingga ia sering mengendus-ngendus rambutku, dulu aku menyukai shampoo itu setengah mati karena berkatnya Kein sering memeluk dan mengendus kepalaku, tapi setelah aku memutuskan untuk melupakannya, aku membenci shampoo yang membuat rindu semakin terasa berat setiap kali aku keramas. Selang beberapa lama Kein sudah selesai mandi, dan aku harus mengakui bahwa bulu romaku berdesir lembut mencium bau tubuhnya yang baru selesai mandi, ia tidak mengganti shampoo dan lainnya, masih sama seperti dulu, wangi yang kurindukan. Kein juga mengenakan pajama berwarna putih yang membuat kami seperti pasangan, dan warna putih selalu berhasil membuatku terpesona. Ia lalu mengambil posisi di sebelah kiri tempat tidur, tapi kemudian berdiri dengan tergesa-gesa,
"Ah, kau suka sebelah kiri kan, Mous? Biar aku di sebelah kanan" ucapnya sambil membawa buku bersamanya, aku yang masih duduk di kursi membaca buku hanya melihat dan mengucapkan terimakasih sebagai sopan santun dan lagi-lagi hati sialan ini senang karena ia mengingat banyak hal kecil tentangku.
Kami menghabiskan 4 hari di Belgia lalu melanjutkannya menuju Liechtenstein, Luksemburg, Monako, dan Swiss. Sewaktu di Belgia, kami mengunjungi berbagai kota seperti Bruges, Brussels, Ghent, Antwerp, dan Leuven. Dan selama di perjalanan kami mengitari lima negara tersebut, Eupide menjadi fotografer handal dan menghasilkan banyak foto bagus hingga kami bingung memilih mana yang terbaik.
Malam terakhir liburan kami tidak pergi ke mana pun, kami mengemasi barang lalu berkumpul bersama dan bermain truth or dare, hanya saja dalam permainan kami jika ada yang bertanya maka semua orang harus menjawab. Semua berjalan lancar sampai akhirnya Eire bertanya “Siapa ciuman pertama kalian?”
Semua menjawab bergiliran, sejauh ini jawaban yang paling mengejutkan datang dari Eupide yang ternyata walaupun memiliki kekasih, ciuman pertamanya jatuh kepada Camelia, ya kau benar Camelia iblis kecilku adalah ciuman pertama si polos Eupide, jika bukan karena ingin melihat langsung ekspresi konyol Cam saat tertangkap basah, mungkin sekarang aku sudah menelepon Cam dan menggodanya sejahat yang kubisa. Aku masih tertawa membayangkan wajah Camelia sampai akhirnya giliranku untuk menjawab. Aku terdiam, mendengar ciuman pertama yang terlintas di pikiranku adalah saat Kein melingkarkan lengannya di pinggangku malam itu dan mengecupku beberapa kali, tapi aku rasa ia mungkin sudah melupakannya karena saat itu ia bilang ia hanya terbawa suasana, jadi aku tidak masuk dalam hitungan.
“Belum ada” jawabku singkat.
Yang lain menatap tak percaya, Adonis yang duduk di sebelahku jelas sekali sedang menatap Kein yang menatapku sedari tadi dari sebelah Zure. Dan kemudian berkata “Bagaimana dengan pelukan? Jangan bilang itu juga belum Mousa”
Aku tertawa dan aku ingat seberapa sering dulu aku memeluk Kein, namun sayang itu bukan pelukan karena yang terjadi adalah aku memeluk Kein, pelukan berarti keduanya saling memeluk satu sama lain. Aku menggelengkan kepala sambil tertawa kecil, kali ini semuanya percaya aku adalah wanita konservatif yang tak suka disentuh, tak sepenuhnya salah, karena aku memang tak suka disentuh.
Lanjut kepada Adonis di sebelahku yang menjawab bahwa ciuman pertamanya terjadi 1 tahun lalu bersama senior kami yang terkenal judes namun juga merupakan yang paling cantik di angkatannya. Adonis bilang bukan ia yang mencium duluan, tapi tiba-tiba saja bibir mereka sudah beradu saat pesta kelulusan angkatan kakak senior itu berlangsung. kali ini giliran Zure, dan dengan santai Zure berkata bahwa ciuman pertamanya adalah Dan, ia mengatakan itu sambil mencondongkan wajah ke arah Dan dan mengecupnya pelan. Kami semua terdiam sejenak, kecuali Dan karena setelah itu ia tak berbicara apa-apa. Selanjutnya adalah giliran Kein
“Mousa” jawab Kein tanpa menoleh ke aku sedikit pun, aku yang sejak awal sengaja mengalihkan perhatian ke arah kakiku saat gilirannya untuk menjawab tiba, terdiam.
Mereka sontak heboh karena tadi aku mengatakan belum pernah mengalaminya. Tapi melihat aku yang tanpa ekspresi, Zure berkata “Sepertinya ada kesalahpahaman, sepertinya hanya satu yang menganggap bahwa itu adalah ciuman pertamanya”
Semuanya hanya menatapku seakan menanti pembenaran, tapi aku hanya diam dan tetap menatap ujung jari kakiku. Berarti saat ia menciumku, ia belum mencium Erva, pikirku. Aku sedikit senang.
Menghindari suasana yang canggung, permainan dilanjutkan. Permainan malam itu berakhir dengan hal paling mengejutkan yang kudengar adalah saat Eupide bertanya apa hal yang mungkin akan mengejutkan semua orang yang ada di sini jika mereka tahu, kemudian terungkap kenyataan bahwa Dan adalah anak dari Mr. Puff! Yup, Mr. Puff si filsuf Lit Academy yang jika dihakimi dari luar terlihat seperti maskot barang elektronik berwajah merah.
Kami bergegas untuk tidur karena besok pagi harus sudah berada di bandara untuk terbang kembali ke rumah, aku merindukan iklim tropis negara bobrokku. Waktu menunjukkan pukul 10 malam, Kein sedang pergi ke kamar anak lelaki lainnya untuk mengambil foto dari kamera milik Eupide dan aku belum mengantuk jadi memutuskan untuk memindahkan beberapa puisi baru yang kusimpan di dalam memo handphone ke dalam buku kumpulan puisiku, book will always be the best thing to read and to write.
Aku mengenakan pajama dress warna putih kebangganku seperti biasa. Menggerai rambut sebahuku lalu naik ke tempat tidur, duduk bersender lalu menyelimuti kaki dan mulai menyalin puisi dari memo sambil sesekali memberi tambahan, mengganti kata, atau mengurangi kalimat dalam puisi, saat tiga puisi telah tersalin ke dalam buku catatan warna cokelatku, Kein masuk ke kamar, masih mengenakan pajama warna hitamnya lalu naik ke tempat tidur dan duduk menyilangkan kaki menghadapku, aku mengalihkan pandangan dari bukuku dan menatapnya tanpa melepaskan pena dari genggamanku.
“Kenapa?” tanyaku singkat, kudapati matanya menatapku serius.
“Mous, I wanna tell you something that can be done in three words but I choose not to use that three words, instead I’ll tell you that you are like a mystery for me, but you are the only mystery I’ve never solve, the only thing that made me insane. No one ever made me struggling to figured them out becaue they are all obvious for me, they are all clear. But there is no way I can understand you, even after I spent the whole nights just to think how do you feel about me, that simple question made me crazy. So, tonight I’m asking you, how do you feel about me?”
Aku masih menatapnya, ia mengatakan itu semua sambil menatapku lekat-lekat dan sekarang bibirnya terkatup rapat menanti jawaban.
Kami hanya saling menatap selama 2 menit, aku belajar satu hal jika itu sudah mengenai emosi, pikirkan tanpa melibatkan emosi itu sendiri. Menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan emosi, terutama cinta, melalui sudut pandang dari emosi tersebut tidak pernah membuatku bahagia di akhir cerita. Aku belum pernah setenang itu dalam hidupku, aku tahu seharusnya aku bahagia dan langsung menghamburi Kein dengan pelukan karena selama ini yang kuinginkan adalah kenyataan bahwa Kein mencintaiku.
“Kein, its hard for me to believe in you when two years ago you hurted me so bad” Ucapku, dan kudapati bulir air menelusuri pipiku.
“I never meant to hurt you, Mous. I know what made you hurt, because the day you left building four, I started thinking about my faults. When I said I kiss you because of the situations, I lied, I always want to kiss you, I always do, but I’m scared you’ll be mad, but at that time I can’t handle myself for I got jealous about you and Hans, so I lied and act like I was sick because of mushrooms to avoided you. I’m scared I might do it again there when there is only you and me.”
Ia mengatakannya sambil menatapku, kutangkap penyesalan di wajahnya.
“But Kein, you already have Erva at that time”
Kali ini matanya bersinar di bawah lampu kamar karena pantulan sinar lampu jatuh mengenai air mata yang terbendung di sana, wajahnya semakin menyesal.
“It was my biggest mistake, I do like Erva, but I never love her. He said he loves me, I wanna say no but then I wanna know how you would react to me if you know I have a girl, I was 12 at that time Mous, I was really childish about you. So I go with her, but you just act like you didn’t care, I can’t just break up with Erva, and right at that time Hans and another boys started getting close to you. I have no idea how to break up with Erva and I have no idea how do you feel about me.”
Ia hampir menangis mengatakannya.
“But why Kein? Why did you have to do that? It is hard for all of us, it is hard for Erva, for me, and for you”
Aku bertanya sambil menghapus tetesan di pipi dan dagu yang sudah mengenai buku di pangkuanku.
“Because it is also hard for me to ask you directly, Mous. Because you are awesome as hell, I never know what do you thinking about. I live right beside you, I see you everyday, I see your shines, you are too awesome and I’m younger than you. I wanna touch you as a girl but you are too glowing for me, I’m scared to touch you as a girl. But I still want to touch you no matter what, maybe not as a girl, but I can touch and played with you as close friend. That time when I kissed you, I know I did something more than just ‘close friend’, so I lied because I’m scared to tell you the truth behind my kiss. I’m scared you’ll leave me if you feel annoyed by my feelings.”
Kali ini aku benar-benar menangis sambil memeluk lututku, aku akhirnya mengerti mengapa Kein melakukan semuanya dan membuatku bingung. Terkadang ia memeluk namun beberapa hari kemudian ia bisa meninggalkanku sendirian. Aku juga menyadari bahwa ia pun mengalami hal yang sama denganku, ia juga bingung terhadap tingkahku, kami berdua sama-sama tak mengerti antara satu sama lain dan sama-sama takut ditinggalkan.
Kurasakan Kein menyentuh pelan tanganku lalu melepaskannya dari lututku, ia memeluk dan menangis bersamaku, kami berdua adalah idiot yang saling menyakiti karena disilaukan oleh sinar kami sendiri. Terkadang memiliki sinar yang begitu terang bisa membuat kita melukai diri sendiri, hal Ini menyesakkan dadaku hingga aku memeluknya erat dalam dekapan.
Selang beberapa menit kami berpelukan sambil menangis, aku melonggarkan pelukanku perlahan hingga akhirnya kami terlepas. Aku menghapus air mataku lalu mengusap lembut pipi Kein yang masih kucintai hingga hari ini.
“Kein, I do have feelings for you, but we can’t be together right now. We are still young, we will keep on hurting each other this way and even worse we’ll hurt innocent people like Erva. We are still young and we have a lot of things to be done, we have to chase our dreams, we have to chase something bigger than love, something that shines brighter than love, something thicker. There are a lot of things to see, Kein”
Kein mengangguk sambil tetap menggenggam tanganku di wajahnya. Malam itu aku tidur memeluknya sambil menahan tangis karena hatiku marah terhadapku, marah karena aku menolak Kein setelah menunggu sekian lama hingga akhirnya ia memberikan pengakuan padaku.
Sudah seminggu belalu sejak kepulanganku dari trip tiga minggu program mengahambur-hamburkan dana Lit Academy. Dan sekarang kudapati diriku sedang berjemur di kolam belakang rumah yang sudah dua tahun kuhindari karena takut Kein akan melihat dari kamarnya di rumah sebelah. Aku mengenakan white bikini, melumuri badanku dengan sunblock lalu mengenakan sun glasses dan berbaring menatap matahari. Minggu depan kami sudah memasuki semester terakhir di Lit Academy, tahun ini akan berjalan sangat cepat pikirku sambil menyeruput minuman berwarna terang buatan Mbak di sebelahku.
Aktivitas berjemurku diganggu oleh suara melengking yang datang dari arah ruang tamu dan langsung kukenali sebagai suara milik si Cam idiot, ia baru pulang dari trip menghamburkan uang milik Lit Academy kemarin sore, mereka yang mendapat trip dalam negeri baru memulai trip mereka seminggu setelah keberangkatan kami.
“Mousaaaaaaa, I’m backkk!” melalui cermin di sepanjang dinding pembatas kolam di depanku kulihat Cam mengenakan dress selutut berwarna merah dengan garis-garis putih horizontal, mengenakan kacamata hitam berbingkai bulat, ia berlari kecil menuju tempatku sambil menenteng beberapa bingkisan.
“Kau seperti kucing rabies, Cam” sahutku sambil membenarkan letak sun glasses di wajah. Cam menghamburiku dengan pelukan dan mengabaikan aku yang menyuruhnya berhenti.
“Oh iya, bagaimana kau dengan tetangga sebelah?” tanya Cam dengan antusias sambil mengarahkan matanya ke rumah Kein sesaat setelah ia melepaskan pelukannya.
Aku tak menjawab dan kembali berjemur, Cam beralih ke kursi di sebelahku dan menatap penuh tanya.
“We are fine, Cam.” jawabku singkat
Dari balik bingkai kacamataku kulihat raut tidak puas Cam atas jawaban singkatku yang sudah pergi selama tiga minggu.
“Victoria Mousa Enola, ceritakan dengan jelas sebelum aku menenggelamkanmu”
Mendengar nama panjangku dari mulut Cam berarti ia sedang berbicara serius dan aku tak punya pilihan selain menjawabnya.
Kuceritakan semuanya kepada Cam, dari kami yang duduk bersebelahan di pesawat, menempati kamar yang sama hampir selama tiga minggu karena sulit menemukan tempat penginapan dengan kapasitas empat orang hingga kami sering berakhir menempati satu kamar untuk kapasitas dua orang karena yang lain menempati ruangan yang maksimal berkapasitas tiga. Baru sampai di situ Cam masih mendengarkan dengan tenang sambil meminum jus jerukku, lalu masuk ke bagian Dan yang ternyata anak Mr. Puff dan ia terkejut sedikit lalu menyuruhku melanjutkan cerita dengan isyarat tangannya, akhirnya sampai ke bagian malam terakhir kami, aku mulai menceritakan hal-hal kecil agar lama sampai ke bagian Kein mengaku padaku, namun Cam mengerti.
“Mousa, malam terakhir apa yang terjadi? Kein bilang sesuatu?”
Aku tak bisa mengelak dan menceritakan semuanya termasuk bagian kami berpelukan sambil menangisi kebodohan kami. Cam terdiam beberapa menit, menatap ke dalam kolam di depannya sambil menyeruput jus jeruk yang sedari tadi tak habis-habis. Ia terdiam selama beberapa menit, memikirkan sesuatu.
“Good, aku rasa kamu sudah benar. Dalam urusanmu dengan Kein, ini merupakan tindakanmu yang paling dewasa, dan aku suka kalimat yang bilang bahwa perasaan tidak seharusnya ikut ambil andil dalam membuat keputusan terkait masalah yang menyangkut perasaan itu sendiri karena akhirnya kita pasti tidak bahagia”
Hanya itu yang dilontarkan oleh Cam, ia lalu mulai menceritakan kejadian gila saat Winston si mulut jahat kesayanganku menangis karena dikejar tiga orang om-om random, aku tertawa terpingkal-pingkal membayangkan wajah Winston yang biasanya tanpa ekspresi itu menangis sambil berlari putus asa.
Cam sudah bersiap hendak pulang saat aku teringat bahwa Eupide adalah ciuman pertamanya, lalu aku segera menarik tangannya sebelum ia memasuki mobil.
“Cam, kamu kenal Eupide dari building three?” tanyaku sambil berkedip nakal
“Ah, iya. He is my first kiss” jawab Cam santai, tak sesuai dugaanku
“Kapan kau mengalaminya?”
“Saat study tour gabungan building three dan building four. Aku duduk di sebelahnya di dalam bus. Kau duduk bersama Kein, itu seminggu sebelum Kein mengatakan bahwa ia sudah bersama dengan Erva”
“Jadi kau mencium orang yang tak kau kenal dekat?”
“Kau harus mencobanya sesekali Mous, itu menyenangkan”
“Astaga Camelia, aku tahu kau liar, tapi aku tidak tahu seliar ini” ucapku sambil menutup mulut terkejut
“Dasar wanita konservatif” ucap Cam sambil memasuki mobilnya dan memajukan bibirnya sekan memberi ciuman. Cam benar-benar sinting
Minggu depan sudah memasuki bulan Januari dan itu berarti sebentar lagi kami akan meninggalkan Lit Academy dan hal itu membuatku sedih.
Januari hingga April berlalu dengan cepat, kami semua pelajar grade C mulai memilih-milih universitas, institut, atau organisasi untuk kami masuki. Aku memilih untuk melanjutkan studiku ke Edinburgh, tempat yang sama dengan tempat filsuf Lit Academy menimba ilmu, Mr. Puff. Cam melanjutkan studinya di Jepang, ia juga memberitahu tentang pennghuni building four lainnya, Winston si mulut jahat akan memulai banyak hal baru di Rusia, Ignatius langsung direkrut untuk bekerja di bawah ebuah lembaga negara sebab kemampuan programming miliknya itu menjadi incaran banyak pihak luar, Erva menekuni ilmu psikologi dan melanjutkannya di Kanada, Hera masih dengan angka-angka kesukaannya dan memutuskan untuk melanjutkan studi ke China, Adonis kami yang manis juga langsung direkrut oleh salah satu lembaga dalam negeri karena kemampuan profiler miliknya, Frida kesayangan kami sudah melahirkan anaknya satu setengah tahun lalu yang ia beri nama Sadle, Frida memutuskan untuk menetap di dalam negeri dan menerima tawaran dari institut kesenian dalam negeri bersama Shania sahabatnya, Shane melanjutkan perjalanannya ke Amerika, Hans melakoni dunia perfilman dan tarik suara di New York, ia sepertinya akan sangat terkenal sebab ia didatangi langsung oleh seorang sutradara ternama. Kein adalah satu-satunya orang yang tidak Cam ketahui akan melabuhkan kakinya ke mana, jadi untuk pertama kalinya setelah dua tahun, aku kembali mengunjungi rumah yang berada di sebelah kanan rumahku itu.
“Kein, Irene, Max, aku masuk yaa” aku membuka pintu rumah berwarna cokelat itu dan menemukan bahwa tak banyak yang berubah dari bangunan itu kecuali orang-orang di dalamnya.
Irene yang pertama kali keluar dan menyambutku, ia semakin cantik dan seperti Kein versi perempuan.
“Kak Mousa, Kein berada di kamarnya di atas jika kakak ingin menemuinya”
“Ren, aku bahkan belum bertanya”
“Memangnya kakak bukan mencari Kein?”
“Benar sih mau menemui Kein. Tapi kamu semakin mirip Kein yang tidak ada basa-basinya itu”
“Dia yang membuatku seperti ini”
Dia benar-benar Kein versi perempuan.
Aku naik ke kamar Kein yang sarat akan warna hitam dan putih , tampak ia sedang membaca di atas tempat tidur, melihatku masuk, ia lalu menyelipkan pembatas buku di halaman yang masih ia baca, menutupnya, dan meletakkannya di atas meja di sebelah kirinya.
“Kenapa Mous?”
“Rindu”
Aku tahu aku sinting mengatakan ini tapi sibuknya kami belakangan ini membuatku sulit untuk melihatnya di Lit Academy.
Kein lalu beranjak dari tempat tidurnya, mendekat, lalu memelukku selama beberapa menit. Aku membalas pelukannya sambil menghirup dalam-dalam wangi tubuhnya. Setelah melepaskan pelukan, kami duduk di tepi tempat tidur Kein dan bercerita tetang beberapa hal hingga akhirnya aku menanyakan tujuannya setelah lulus dari Lit Academy.
“Rahasia”
“Kein” ucapku sambil memanyunkan bibirku dan disambut dengan kecupan kilat.
“Nanti kau akan tahu, Mous. Tapi bukan sekarang, nanti”
“Apakah jauh?”
“Tidak jauh dari tempatmu”
“Kau tahu tempatku?”
“Edinburgh”
“Kau tahu darimana?”
“Hanya prediksi saja, aku juga merasa itu tempat yang cocok untukmu”
“Tidak jauh dari tempatku, apakah masih dalam satu negara yang sama denganku?”
“Nanti, Mousa”
Aku akhirnya mengalah dan berakhir dengan menggeledah kamar Kein hingga akhirnya berhenti saat aku menemukan foto masa kecil kami berdua di sebuah frame berwarna putih, disimpan di balik buku Sherlock Holmes. Dalam bingkai itu tampak potret Kein dalam balutan mantel hitam dan aku dalam mantel putih sedang bermain salju di suatu tempat yang ntah mengapa tidak dapat kuingat.
“Kein, aku tak tahu kita pernah punya foto yang ini”
“Itu difoto oleh Dad. Ia lupa memberikannya pada keluargamu”
“Ini di mana?”
“Di tempat yang akan menjadi tujuanku”
“Aku tak ingat” ucapku datar
Keluarga kami sering liburan bersama, aku juga sudah bilang bahwa libur natal dan tahun baru kami selalu habiskan bersama, aku tak ingat ke mana kami pegi untuk foto yang satu ini.
“Jangan bertanya pada Mum atau Dad, Mous. Biar aku yang memberitahumu”
“Oke, kalau begitu boleh fotonya untukku?”
“Tidak, itu harta karunku”
Aku senang dan sedih di saat bersamaan. Setelah makan malam bersama Kein di rumahnya, aku pulang dan menghabiskan malamku mencoba mengingat tempat foto itu diambil. Kein melarangku bertanya pada Mum dan Dad tapi ia tidak melarangku untuk coba mengingatnya.
Hingga di penghujung semester di grade C aku masih tak mengingat di mana foto itu diambil. Sabtu malam ini akan menjadi farewell night kami anak-anak grade C, kami bersepakat untuk mengadakannya dua kali, pertama di Lit Academy dan yang kedua di pantai dengan suasana yang lebih akrab. Untuk farewell night aku mengenakan dress satin putih polos sepanjang mata kaki dengan bagian punggung terbuka, dress ini merupakan pilihan Mum, saat aku mengatakan bahwa dress satin putih polos ini terlalu terbuka, Mum bilang tidak dan aku akan berterimakasih padanya karena sudah memilihkan dress ini. Sambil mengenakan heels dengan warna senada dengan dress putih polosku, aku menelepon Cam yang katanya ingin pergi bersama.
“Cam, kamu di mana?”
“Aku sudah di persimpangan menuju rumahmu, cepatlah keluar Mousa”
Kulihat mobil merah Cam memasuki halaman rumahku, setelah aku dan Cam berpamitan pada Mum, Dad, dan Mbak, kami lalu bergegas berangkat menuju Ballroom Lit Academy yang berada tepat di tengah-tengah tujuh building grade C. Setelah duduk di sebelah Cam, baru kusadari bahwa ia sangat cantik malam ini. Ia mengenakan dress off shoulder berwarna hitam yang memperlihatkan leher dan pundak putihnya yang mulus, dress yang dikenakan Cam juga polos tanpa ada tambahan lain yang berarti, dress itu menunjukkan lekuk tubuhnya yang mungil dan menggemaskan.
“Mous, kau terlihat menawan” komentar Cam sesaat setelah kami keluar dari lorong rumahku.
“Kau juga terlihat cantik, Cam” balasku sambil mengenakan seuntai kalung tipis berhiaskan sebuah mutiara mungil berwarna pink merona.
“Kein akan gila malam ini” tambah Cam lagi.
“Maksudmu? Karena aku?”
“Iya, bukan hanya dia, tapi mungkin semua pria”
“Kau berlebihan Cam” jawabku terkekeh sambil membayangkan wajah merona Kein.
“Kau benar-benar menawan, Mous. Kau jarang mengenakan pakaian terbuka di Lit Academy, malahan kau hampir selalu mengenakan pakaian lonnggar yang menutupi bentuk tubuhmu. Tapi malam ini kau datang dengan punggung menantang dalam balutan dress yang memamerkan lekuk tubuh. Mereka setidaknya pasti akan terpesona walau hanya sejenak. Sebab aku juga”
“Semoga saja iya” harapanku tertuju pada Kein.
Cam benar, walau hanya sejenak, aku bisa melihat banyak orang yang tak melepaskan pandangan dariku dan Cam sesaat setelah kami memasuki Ballroom. Tapi aku tak memperdulika mereka karena aku sibuk mencari sosok Kein, aku tak sempat melihat penampilannya sebelum berangkat ke sini tadi.
“Mous”
“Ah, hai Hans”
“Kau yang paling cantik malam ini” komentar Hans sambil menjabat tanganku.
“Kau menyukainya Hans?” goda Cam.
Yang ditanya tak menjawab dan ikut memuji Cam bahwa ia juga cantik dalam balutan dress hitamnya. Aku lalu mendatangi tempat anak-anak building four berkumpul, saat melihatku mereka langsung berhamburan memeluk, yang pertama berlari untuk memelukku adalah Fridaku yang manis dalam balutan dress hijau lumut yang semakin menonjolkan sinar kulitnya.
“Mousa, kau sangat cantik” puji Shania sambil memegangi anak Frida, Sadle.
“Iya, apa yang membuatmu mengenakan pakaian yang menantang ini?” tanya Winston.
“Mum yang memilihkannya” jawabku malu.
“Sepertinya Mum Mousa ingin mengirimkan anaknya pada seseorang di Lit Academy sesaat setelah ia lulus” canda Shane.
“Sejak kapan kau bisa bercanda Shane” tanyaku pada Shane yang telihat rapi mengenakan jas wool berwarna donker.
“Dua bulan pertama saat kau pergi mereka jadi jarang bercanda, aku bosan dan tak suka suasana itu, jadi aku belajar melucu” jawab Shane.
Aku lalu memeluknya karena ia sangat manis. Kami berbincang sejenak dan setelah beberapa lama berdiri aku mulai sedikit kelelahan dan berniat melepaskan heels untuk mengistirahatkan kakiku sejenak. Aku lalu meninggalkan anak-anak yang sedang sibuk bermain dengan Sadle dan mengolok-ngolok Shane karena sifat polosnya, ruangan Ballroom yang sengaja dibuat gelap dengan sedikit penerangan mempermudahku untuk meninggalkan mereka diam-diam dan naik ke lantai dua yang hanya terisi oleh beberapa anak Lit Academy, aku memilih untuk beristirahat di balkon luar dan duduk di kursi kayu berwarna cokelat yang menghadap tepat ke building four.
“Aku akan merindukan tempat ini” bisikku pelan.
Building four dengan latar belakang langit berbintang dilihat dari lantai dua Ballroom membuatku mengingat banyak hal yang terjadi walau hanya satu tahun aku berada di sana. Saat Mr. Puff mengucapkan kata-kata yang seperti sihir, saat kami menunjukan luka kami masing-masing, saat Kein meninggalkanku, saat Kein menemaniku dan mengobati setiap lukaku, semua hal yang kupelajari dan mungkin tak akan ku dapat dengan mudah dari tempat atau orang lainnya.
“Kenapa kau duduk sendirian di sini?”
Suara Kein mengacaukan lamunanku. Aku tak sadar ia sudah berdiri di belakangku dengan dua gelas minuman berwarna merah di tangannya.
“Kein, kenapa kau tak di bawah bersama yang lain?”
“Karena kau di sini, bukan di bawah”
Aku harap ia tak melihat wajahku merona. Kein lalu duduk di sebelahku setelah meletakkan dua gelas yang ia pegang di atas meja kecil terbuat dari kayu yang ada di depan kami. Kein mengenakan setelan jas beludru berwarna cokelat hangat dengan dalaman kemeja hitam yang membuatnya terlihat, menggoda. Kami menatap lurus pada building four yang ada di depan kami.
“Mous”
“Iya”
“Kau menawan”
“Eh?” aku menoleh padanya .
Lalu Kein mengalihkan pandangannya dari building four ke arahku, menatapku dengan tatapan lembut yang hangat. Jika ia memelukku sekarang, aku mungkin akan sangat senang. Kein sepertinya tahu apa yang kuiinginkan, dan ia memberiku lebih. Ia meletakkan lengannya di pinggangku lalu menarik pelan tubuhku merapat padanya, ia lalu mengecup pelan keningku, mata, hidung, pipi, lalu bibirku yang dilapisi lipstick pink dengan wangi strawberry.
“Mousa, kenapa kau mengenakan dress ini?”
“Kenapa? Aneh ya?”
“Iya, sangat tidak cocok jika kau gunakan untuk diperlihatkan pada seluruh grade C, terutama anak-anak building four”
“Tapi mereka bilang aku manis” aku menengadah menatap Kein sambil masih mendekap dalam pelukannya.
“Karena itu aku tak suka, anak-anak building four pasti mengatakannya di depan Hans dan Shane”
Aku lalu menatapnya nakal, “Kau cemburu?”
Pipi Hans merona sebelum ia mengangguk pelan lalu memberikan ciuman kilat.
“Kein, sejak kapan kau menjadi nakal”
“Aku tak bisa menjadi pria baik-baik jika di dekatmu”
Aku lalu menangkup wajahnya dalam tanganku berusaha mencari tahu apakah ia tulus saat mengatakannya. Dan kudapati wajah merona Kein dengan sangat jelas dibawah cahaya bulan, mata hitamnya yang dalam tak berdasar itu memandangku lekat-lekat. Menyadari bahwa ia bersungguh-sungguh membuatku tersenyum sangat lebar.
“Mousa, senyummu”
“Kenapa?” tanyaku sambil masih menangkup wajahnya dalam tanganku.
“Sudah lama kau tak pernah tersenyum begitu. Kepadaku atau pun pada orang lain”
“Benarkah?”
“Iya, terakhir kali aku melihatnya saat aku mengatakan bahwa kau cocok menjadi Athena dua tahun lalu”
“Kau mengingat senyum terakhirku sampai seperti itu. kau benar-benar menyukaiku ya?”
“Bagaimana bisa aku tak mengingatnya. Senyuman itu yang menjebakku selama ini”
Aku akhirnya memberikan ciuman kilat di bibir Kein. Itu pertama kalinya aku mencium Kein duluan, dan sepertinya ia tak menduga akan mendapatkan itu di bawah tontonan para bintang dan rembulan. Aku suka wajah terkejutnya yang kemudian memerah malu.
Lalu terdengar suara dari host untuk farewell night dari lantai satu dan acara pun dimulai. Pertama-tama dibacakan nama-nama penghuni tiap building, 84 orang yang sudah dididik selama tiga tahun di Lit Academy itu satu demi satu maju dan memberikan sedikit kata perpisahan, memakan waktu lama namun tidak akan kau sadari sebab semua orang mengatakan hal yang-hal singkat yang menggugah hati. Dari semua orang yang memberikan kata perpisahan, yang membuatku menangis malam itu adalah Kein.
“Maybe you are not doing good at something and it hurts you a lil bit too much. Maybe you are too young to understand emotions, you get it wrong and treat it wrong, then you ended up broken. But that’s okay, its impossible to understand feelings without getting burned. You are young, you still have so much to go and see, others than love and stuff. Maybe in the last three years you’ve been through a lot of things and emotions, maybe in the last three years you find your first love and maybe it destroys you, now let go all those sad stories you’ve been holding on to all this time, let them go, lets make a farewell with them, here, where they are all started. Someone once told me, lets chase something bigger than love, something that shines brighter than love. One day, love itself will come to you, bigger, brighter, and thicker”