One Fine Day
Yunani adalah tempat pilihan kami penghuni building four untuk bertemu setelah empat tahun berlalu. Aku sudah sampai di Athena dua hari yang lalu sebelum hari pertemuan kami, sudah lama aku menyukai tempat ini, tapi baru kali ini memiliki kesempatan untuk datang melihat Parthenon atau pun mengunjungi Museum Acropolis.
Kami janji untuk bertemu di pantai Agios Nikolaos di pulau Kreta karena Yunani sedang dalam musim panas saat ini hingga pantai menjadi pilihan kami. Aku sudah menghubungi Cam dan ia bilang ia baru saja tiba hotel tempatnya menginap, tapi aku tak tahan untuk menunggu beberapa jam lagi agar bisa melihat Cam, selama empat tahun aku hanya pernah dua kali menemuinya. Sekali di hari kelulusanku dan sekali di hari kelulusannya.
Kali ini aku juga mengenakan dress selutut warna putih polos berbahan dasar chiffon dengan renda-renda bunga kecil menghiasi ujung lengannya dan mengenakan sandal kulit berwarna cokelat dengan tali berumbai yang menutup hingga mata kaki yang sering dikenakan di Yunani, tak butuh waktu lama bagiku untuk berpikir saat membeli sandal ini kemarin sore. Aku menggulung rambutku hingga menjadi bun sebab di tepi pantai pasti akan banyak angin. Lalu aku berangkat menuju hotel Cam dan mendapati tinggi badan si mungil itu bertambah setidaknya 3cm sejak terakhir kali aku melihatnya. Saat aku tiba, Cam tengah sibuk mengaitkan rok model ‘A’ berwarna donker yang menutupi sebagian tanktop putih yang ia pakai sebagai atasan.
“Mousa, untung kau datang. Tolong aku ambilkan sandal dari dalam koper” Cam masih sibuk berpakaian.
“Camelia Elaeis Terpischore, sandal macam apa ini?” tanyaku sambil menghakimi sepasang sandal berwarna hijau dengan bagian ujungnya berbentuk kepala ikan.
“Ah, bukan yang itu. sandal yang ada di bagian depan koper”
Aku lalu menemukan sandal lain yang terlihat normal. Sandal berwarna putih dengan beberapa tali menghiasi hingga mata kaki “Jadi sandal terkutuk yang tadi milikmu juga?”
“Iya, lucu kan?”
“Menyeramkan”
“Seleramu aneh, Mousa”
“Aku harus membawa sandal kepala ikan berwarna hijau yang menyeramkan itu untuk ditunjukkan kepada anak yang lain nanti. Kau mungkin akan kehilangan sandal itu, sebab Ignatius mungkin akan melemparkannya ke dalam ombak pantai sesaat setelah ia melihatnya”
Cam tertawa sambil menyapukan lipstick merah pada bibir mungilnya.
20 menit kemudian kami sudah sampai di sebuah kafe pinggir pantai dengan nuansa putih yang diterangi lampu-lampu kecil berwarna kuning di sepanjang tiang yang menaungi meja pesanan kami. Frida dan Shania adalah yang pertama tiba di sana, kami lalu melepas rindu hingga aku menyadari suatu keganjalan.
“Ini meja pesanan kita?”
“Iya. Awalnya aku juga bingung” jawab Shania sambil terkekeh.
“Memangnya kenapa?” tanya Cam.
Lalu jariku menunjuk pada papan nama di atas meja yang dipesan atas nama “Shining Scars” dengan tulisan italic bertinta emas.
“Ini pasti kerjaan Ignatius” komentar Cam sambil mengambil handphone untuk mengabadikan papan nama itu.
Lalu datanglah Adonis kami yang masih terlihat imut dan awet muda, disusul oleh Hera yang semakin ceria bersama Erva yang terlihat seperti wanita karir yang sukses, kemudian 10 menit setelahnya tibalah Kein dengan pesona yang membangkitkan kembali beberapa emosi yang hampir tak pernah bangkit selama empat tahun terakhir ini. Lalu muncul monyet belgia si pencetus papan nama tinta emas, Hans dengan aura aktor yang kuat, Shane yang berpakaian seperti pria terhormat, dan terakhir si Winston mulut jahat yang masih mengenakan scarf hitam kebangsaannya itu. Shining Scars complete.
“Ignatius, kami kebingungan mencari meja pesanan milik kita” Shania bercanda pada Ignatius.
“Kenapa? Padahal aku sudah sengaja memesannya untuk dibuat bersinar?” jawab Ignatius sambil memandangi papan nama bertinta emas milik kami dan mengelus-ngelus dagunya berlagak heran.
Winston yang baru melihat papan nama yang mencolok itu mengangkatnya dari atas meja, memperhatikan selama beberapa detik lalu tertawa. Winston kami yang biasanya tidak memiliki syaraf wajah untuk berekspresi itu tertawa karena ide iseng monyet belgia kami. Adonis dengan sigap mengabadikannya dengan kamera yang tergantung di lehernya sedari tadi.
Kami awalnya sibuk mengenang masa-masa saat kami masih di Lit Academy, lalu perlahan mulai membahas bagaimana kehidupan kami masing-masing berjalan setelah empat tahun berlalu.
“Hans, film terbarumu ‘Leads Nowhere’ benar-benar bagus” komentar Shania tiba-tiba.
“Iya, belakangan ini aku sering melihat wajahmu di internet” tambah Adonis
“Kau banyak menyanyi di film itu, suaramu semakin bagus ya” puji Winston
“Kau menontonnya?” tanya Hans
“Iya, jika itu tentang kalian maka akan kuusahakan untuk mengetahuinya”
“Winston, kau kan tak suka menonton” komentar Cam
“Iya, awalnya aku hanya berniat untuk melihat bagian Hans saja, tapi ternyata filmnya bagus”
“Sekarang aku percaya bahwa filmnya benar-benar bagus” ucap Hans sambil memeluk Winston.
Winston tak memarahi Hans karena memeluknya padahal ia dulu sangat sensitif.
“Ngomong-ngomong Adonis, kau terlihat berotot sekarang” ucap Hera
“Iya, setelah keluar dari Lit Academy aku belajar seni bela diri. Mr. Puff benar bahwa selama di Lit Academy tak ada yang akan menertawakan kacamataku, pemikiranku, atau pun wajah polosku, di Lit Academy aku terlena dan merasa aman bersama kalian hingga akhirnya saat aku meninggalkan Lit Academy dan kalian, aku merasa tidak aman. Tapi aku tak mau disakiti lagi, Mr. Puff bilang aku berharga jadi aku melindungi diriku” jawab Adonis yang mengingatkan kami pada mendiang filsuf Lit Academy itu.
“Beliau orang yang baik” kenang Erva.
Ignatius yang mendengar bahwa Adonis melatih badannya lalu mendekati Adonis dan menyentuh dadanya yang tampak bidang. Setelah memastikan bahwa dada itu terlatih Ignatius lalu membalikkan wajahnya kepada kami dan mengangkat jempolnya sambil berkata, “Mantap”.
Kami tak tahan melihat Ignatius yang bertingkah laku seperti orang mesum, saat semua orang sibuk menjauhkan Ignatius dari Adonis kami yang polos, aku teringat akan sesuatu.
“Ah, Frida. Aku hampir lupa meminta tanda tanganmu” ucapku sambil mengeluarkan sebuah komik dengan nuansa warna hitam berjudul ‘lost’.
Frida menandatangani bukuku menggunakan pena Kein, ia sejak dulu selalu mengantongi pena di sakunya, ia bilang itu benda yang penting.
“Komik berseri milikmu itu tidak ada manis-manisnya, Frida” komentar Winston.
“Benar” tambah Cam.
“Buku yang bagus tidak harus selalu manis dan berakhir bahagia” jawabku.
“Kau sudah pasti menyukainya Mousa, kau seorang melankolis” jawab Ignatius.
“Ada benarnya, walaupun bukan berarti yang menyukai buku Frida hanyalah orang melankolis” jawabku sambil memasukkan kembali buku yang sudah ditanda tangani oleh Frida ke dalam tas.
“Kau juga menulis buku kan, Mous” komentar Shania sambil menahan rambutnya dari tiupan angin pantai.
“Kau tahu bukuku?” tanyaku dengan antusias.
“Siapa yang tak tahu, buku-buku karyamu selalu masuk kategori best seller bahkan di luar negeri, Mousa idiot” jawab Winston yang kini sudah mengenakan topi pemberian Frida, ia juga menghadiahi kami para perempuan dengan mahkota bunga.
“Melihat Mousa sedekat ini sekarang, kau benar-benar hebat ya, di umur 22 tahun sudah menjadi seorang penulis, penyair, presenter, pembicara di berbagai event internasional, memiliki toko bukumu sendiri dan kudengar sekarang kau juga sedang mempertimbangkan tawaran untuk bekerja di organisasi swasta ternama di Inggris” komentar Ignatius panjang lebar dan aku bahkan tak menyangka ia mengetahui sampai ke tawaran pekerjaan yang kuterima.
“Bagaimana kau bisa tahu mengenai tawaran itu, monyet belgia?”
“Kau lupa aku bekerja di mana dan apa keahlianku?” jawab Ignatius sambil terkekeh memainkan mahkota bunga buatan Frida di tangannya.
“Kuharap kau tak tahu lebih banyak hal lagi” jawabku, lupa tentang kemampuannya.
“Aku hanya tahu sejauh itu, aku bisa cari tahu lebih dalam tapi jika aku melakukannya mungkin kau akan mengutukiku seumur hidupmu” jelas Ignatius sambil memberikan mahkota bunga Frida kembali padanya.
Kein lebih banyak diam selama pertemuan ini, ia hanya ikut tertawa jika ada hal yang lucu dan berkomentar seadanya. Ia semakin tinggi dan badannya terlihat lebih kuat sekarang, kulitnya masih putih menggoda seperti dulu, kacamatanya masih bertengger di sana membingkai mata hitam tak berdasar miliknya, kudapati mata itu lebih tenang dan mengintimidasi dari pada terakhir kali aku melihatnya di malam perpisahan. Dirinya berada dalam balutan kemeja putih dengan satu kancing teratas yang terbuka sedikit dan menampakkan sedikit dada bidangnya yang putih, ia mengenakan celana pendek putih dan sneaker dengan warna senada, melihatnya berpenampilan seperti itu dengan pemandangan belakang pantai Yunani cukup memabukan bagi seorang Victoria Mousa Enola.
Kami menghabiskan sisa malam itu dengan bernyanyi diiringi petikan gitar Kein dan Hans yang mereka pinjam dari pemain di sekitar kafe. Waktu sudah menunjukkan pukul 1 pagi dan kami memutuskan untuk pulang ke tempat penginapan masing-masing. Cam pulang diantar oleh Adonis, Shania dan Frida tinggal di hotel dekat kafe sehingga mereka kami antar duluan dengan berjalan kaki, awalnya kami semua ingin menginap di tempat yang sama agar lebih mudah, namun menyatukan jadwal dengan banyaknya kesibukan kami masing-masing dirasa sulit sebab Cam dan Hans bahkan baru sampai ke sini hanya beberapa jam menjelang pertemuan kami. Setelah sebagian orang sudah sampai di penginapan masing-masing, tersisa aku, Winston, Kein, dan Shane. Winston berniat untuk mengantarku karena ia yang paling dekat dengan tempatku menginap, hingga akhirnya Kein membuka suara.
“Mousa denganku saja. Kami satu penginapan”
Aku tak tahu kami menginap di tempat yang sama, padahal aku sudah berada di sini dua hari lebih awal dari yang lain. Winston dan Shane akhirnya pergi bersama meninggalkan aku dengan Kein, sebelum pergi meninggalkan kami Winston si mulut jahat itu berpesan agar jangan sampai terjadi kehamilan di antara kami. Aku hanya terdiam dengan pipi merona dan Kein hanya tertawa simpul dengan wajah yang tenang.
“Aku tak tahu kau menginap di tempat yang sama denganku”
“Aku tahu, sebab sudah kurencanakan”
“Ha?” tanyaku heran.
Sesampainya di hotel barulah aku mengerti saat Kein bilang ia sudah merencanakannya. Kami tidak langsung memasuki kamar masing-masing, hal pertama yang dilakukan Kein adalah mendatangi resepsionis dan memesan satu kamar yang jika memungkinkan berada di sebelah kamarku. Kami akhirnya menuju ke kamar kami yang berada di lantai yang sama dengan menggunakan lift, lift pada pukul 3 pagi hanya diisi oleh aku dan Kein.
“Jadi kau baru sampai di sini saat janji pertemuan dengan anak-anak building four sehingga kau belum memesan tempat untuk menginap?” tanyaku sambil melipat tangan di depan perut.
“Iya, awalnya aku berniat mencari tempat penginapan sepulangnya dari pantai. Tapi melihatmu membuatku berpikiran akan hal lain”
“Seperti?”
“Menginap di tempat yang sama”
“Kupikir kau tak tertarik padaku karena kau diam selama kita bertemu tadi. Kau bahkan tak menyapaku”
“Aku tak fokus setelah melihatmu, aku tak bisa bergabung dalam obrolan karena sibuk melihatmu”
“Kein”
“Ya?”
“Kau sedang menggodaku?”
“Mungkin”
“Mungkin?”
“Victoria Mousa Enola” tiba-tiba Kein menyebutkan nama lengkapku.
“Iya?” jawabku dengan kepala berisi penuh terkaan mengapa ia memanggilku.
Kein lalu melepaskan lipatan tanganku dengan lembut lalu menggenggam tangan kananku di antara kami berdua.
“Perkenalkan aku Christian Albert Keinlock. Aku lebih muda tiga tahun darimu dan kau terlalu bersinar sejak pertama kali kita bertemu, kedua hal itu membuatku gila sehingga terlalu takut untuk mendekatimu, jadi sewaktu berusia 12 tahun aku menyakitimu dan diriku sendiri dengan cara yang menyedihkan. Tapi, sekarang aku memperkenalkan diri sebagai Christian Albert Keinlock dengan keahlian sebagai profiler, pembicara dalam kajian politik, penulis buku yang cukup dikenal, penyair, programmer, aku memiliki sebuah toko buku di Jerman dan sekarang sedang melanjutkan kuliah S2 di salah satu negara yang kau sukai dengan harapan kau mau menemaniku di sana. Jika kau berpikiran bahwa aku sedang menyombongkan diriku, kau benar, sebab aku ingin kau tertarik padaku dan aku tak ingin kau tolak untuk yang kedua kalinya”
Hans masih menggemgam tanganku saat mengatakan hal itu tanpa mengalihkan pandangan dari pintu lift di depannya.
“Tunggu”
“Kenapa? Ada yang tak kau suka?”
“Kau penulis? Jika kau bilang tulisanmu cukup dikenal maka seharusnya aku tahu jika itu buku yang bagus. Atau jangan-jangan kau menggunakan nama pena?” tanyaku sambil memalingkan pandangan padanya.
Kein tersenyum simpul, “Iya”
“Siapa?”
“Kau mengetahuinya. Kau tergila-gila pada tulisanku”
“Kein, tak mungkin”
Kali ini Kein mengalihkan pandangannya dari pintu lift dan menatapku sambil tersenyum manis, aku tahu jawabannya, ia adalah Lucifer.
“Kein, aku membaca buku karangan Lucifer sejak kita masih duduk di grade A Lit Academy. Berarti kau sudah menulis sejak lama?”
“Iya”
“Tapi kau bahkan kadang meminjam buku karangan Lucifer dariku. Kau tak menyimpan buku karanganmu sendiri?”
“Aku memiliki buku karanganku sendiri. Meminjam buku milikmu karena aku senang melihat kau menulis namamu di atas halaman buku yang aku tulis dan aku juga senang melihatmu memuji dan tergila-gila padaku tanpa kau sadari” Kein tersenyum sambil merona sedikit.
“Kein, kau bajngan licik”
“Lupakan tentang Lucifer. Now, can we start again?”
“But, I have scars”
“I have too”
“But, mine is horrible”
“If horrible scars make you shine this way, I don’t mind to see you shattering and I’ll pray you’ll suffer more everyday”
Pernyataan Kein mungkin terdengar jahat bagi beberapa orang, tapi itu adalah hal paling manis yang pernah dikatakan seseorang mengenai ‘luka’ milikku. Aku lalu diam hingga akhirnya pintu lift terbuka di lantai kamar kami, aku dan Kein tak bergerak keluar, hanya kami yang berada di sana dan perlahan lift kembali tertutup.
“Mous, can we start all over again here?”
“Yes, we are not that 12 years old idiot boy and 15 years old silly girl anymore”
Kein melepaskan genggaman tangan kami lalu memelukku dengan sangat erat, dress chiffonku yang tipis tidak bisa menahan kehangatan kulit Kein yang hanya dilapisi oleh kemeja putih berbahan tipis miliknya.
“It takes me a long time waiting for this day”
“The day I say ‘Yes’?”
“The day I tell you that I’m awesome as hell and you should fall for me”
Kami melepaskan pelukan, lalu kutangkup wajahnya sama seperti dulu saat ia menyatakan perasaanya untuk pertama kali.
“Kein, how do I look”
Lagi-lagi ia menunjukkan senyum manisnya padaku.
“Awesome as hell, like always”
Pintu lift terbuka di lantai dasar dan kami keluar dengan aku memeluk tangan Kein dan ia tersenyum manis di sisiku. Kami tak mengatakan apa pun tapi sama-sama melangkahkan kaki keluar hotel, berpikiran untuk jalan-jalan pada pukul 4 pagi hari di tepi pantai Yunani.
“I have no idea that Greece will be the place we start over”
“Of course you are not. That’s my idea”
“You make a plan about this one too?”
“ You love Greece. That’s why I’m asking Ignatius to make it possible here”
“It’s cute. Ah, until today I don’t even know where the photo you showed me last time took place”
“It means you don’t know where I’ve been study all this time?”
“Yes, no one knows”
“I thought you’ll remember it sooner or later. Turns out that your memory is lost at some parts”
“And where is the photo took place?” aku bertanya tak sabaran
“Germany”
“Germany?”
Kein mengganguk sambil menarikku duduk di tepi pantai.
“We went there when we were 4”
“AH, I know! We went there on New year day”
“Finally after four years trying to remember you get your memories back”
“So, you stay in German to study? It’s close to my place”
“I can’t go to your place”
“Why? If I know you were in German, I’ll come to your place” jawabku sambil memainkan pasir pantai dengan jari-jariku.
“Because I might do this” jawab Kein sambil menarikku mendekat padanya lalu memberikan kecupan kilat. Ini yang pertama setelah empat tahun berlalu.
We start it all at four. At building four, four years ago, and then at 4 a.m.
Sounds awesome, Right?