Read More >>"> Koma (Cinta Lewat Mimpi) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Koma
MENU
About Us  

Anak-anak Cahaya Nusantara dibikin panik atas ketidakhadiran Lara di hari penampilan mereka. Dia tak bisa dihubungi kecuali ibunya yang memberitahukan bahwa putrinya sudah berangkat bersama Vanda pagi-pagi sekali.

Kesasar kemana mereka, pikir Sello. Dia baru saja dirias dan mengenakan kostum yang sesuai perannya sebagai pemuda pemurung.

"Gimana, Sel? Sudah ada kabar dari Lara dan Vanda?" Jujun bertanya.

Sello memandangi Jujun cukup lama, lalu seringainya mengembang.

"Sudah, ya?" Jujun penasaran.

Sello menggeleng ringan sambil berusaha menahan tawa.

"Terus kenapa lo senyam-senyum begitu?"

"Lucu lihat tampang lo!"

Riasan yang dipakai Jujun persis seperti apa yang diinginkan Bu Konde, riasan menor plus rambut yang ditata mirip telinga panda dan diberi aksesoris lucu. Dia mengenakan gaun satin warna krem yang ngepas di badan sehingga perutnya tersembul seperti perempuan hamil lima bulan.

"Anjir!" Jujun melihat dirinya ke cermin dan tersenyum sendiri. "Eh, emak gue bisa pingsan kalau lihat gue begini."

Sello tertawa sumbang, lalu coba menghubungi Lara kembali. "Ck! Kemana sih mereka?"

Sesil memperhatikan Sello dari tadi, lalu datang menghampiri. "Kalau saja dua orang itu tidak hadir dan merusak penampilan kita, gue tidak akan memaafkan mereka!"

"Gue yakin mereka datang, Ses."

"Iya, tapi sampai kapan? Sebentar lagi kita tampil loh, Sel!" Sesil melirik arlojinya. "Sepuluh menit lagi. Gila!"

"Lo tenang sajalah. Jangan menambah kepanikan anak-anak!"

"Gimana mau tenang? Tokoh utama dan sutradaranya belum juga datang. It's okelah kalau sutradaranya tidak ada, tapi bagaimana dengan tokoh utama perempuannya? Siapa yang bisa menggantikannya? Gue bukan cuma panik tapi takut, Sel!"

Sello memandangi wajah teman-temannya yang dilanda gelisah, panik dan takut. Seandainya Vanda ataupun Lara tak kunjung datang, maka tak dipungkiri lagi penampilan mereka akan kacau dan memalukan sekolah. Sampai kapanpun penampilan mereka itu tak akan bisa dilupakan.

"Ada solusi?" tanya seorang murid pada Sello.

"Kita tampil tanpa Vanda."

"Jadi aneh dong?"

"Mungkin. Tapi di sini yang berperan aktif adalah Deril. Jadi, Lori hanya kita jadikan bayang-bayang saja."

"Lori tidak hanya berdialog sama Deril saja, Sel. Sama gue, eh, maksud gue sama Jessica juga dan... yang lainnya."

Tepuk tangan bergemuruh terdengar dari kursi penonton. Pembawa acara naik ke atas panggung mengucapkan terima kasih atas penampilan peserta lomba yang menurutnya dibawakan sangat apik sekali.

"Tidak ada waktu lagi," kata Sello. "Kita harus bisa berimprovisasi."

Tepat ketika pembawa acara memanggil peserta selanjutnya, SMU Cahaya Nusantara, Vanda menghubungi Sello.

"Ya, ampun! Kamu dimana sih, Van. Kita sudah dipanggil naik ke atas panggung."

"Iya, iya. Aku sudah masuk gedung."

"Cepetan!" Sello memutus percakapan, lalu memberi aba-aba kepada para pemain untuk bersiap-siap naik ke atas panggung.

Tirai panggung terbuka. Pertunjukkan drama berjudul "Cinta Lewat Mimpi" pun dimulai. Bu Konde mengamati awal pertunjukkan anak didiknya dengan gugup, jantung berdebar dan nafas tertahan.

"Lori...! Loriii...!"

Follow spot bergerak mengikuti gerakan Sello yang sedang mencari-cari sesuatu dan menunggu. Lalu pandangannya beralih ke properti berbentuk balkon sebuah rumah, dia kaget menyaksikan kemunculan Lara yang diterangi follow spot. Gadis itu mengenakan gaun berwarna biru gelap dengan bahu terbuka.

"Lara?" Aduh, gue salah panggil. "Kau... cantik sekali malam ini." Kacau! Bukan begitu dialognya. "Maukah kauturun menemaniku malam ini, di sini, di bawah payung malam yang takkan pernah bisa kita beli?"

"Aku takut, Deril."

"Siapa yang kautakutkan?"

"Aku takut pertemuan ini hanya mimpi sementara aku sangat menginginkan hal ini terjadi."

"Turunlah. Dan bila dalam hitungan langkah ternyata kau berada di sisi lain kehidupan, kau boleh bangun dari mimpimu dan rindukan aku sekali lagi. Tidak. Bukan sekali lagi, tetapi lagi dan lagi sampai garis takdir mempertemukan kita."

"Kumohon kau jangan beranjak dari tempatmu." Lara menghilang di balik properti dan muncul lagi tepat ketika asap putih menyelubungi Sello. "Tidak, tidak. Jangan pergi. Kumohon jangan pergi, Deril!" ratapnya. "Ya, Tuhan. Ini sungguh menyakitkanku. Sejenak aku hampir menjangkau dan memeluknya, tapi Kau memperlakukan kami dengan tidak layak. Tuhan, tunjukkan padaku di mana keberadaan Derilku! Di mana aku bisa menemuinya selain di mimpi keparat ini!"

Lampu tirai menutup.

Di belakang panggung, Sello menarik Lara ke dekatnya, lalu memeluknya secara spontan. Kamu benar-benar membuat kami nyaris kena serangan jantung." Lepas pelukan. "Darimana sih kamu? Dan dimana Vanda?"

"Maaf," ucap Lara. "Ada sedikit urusan cewek yang kami kerjakan tadi dan inilah hasilnya." Memperlihatkan dirinya.

Sello memandangi Lara dengan sorot mata terpukau. "Kuakui kamu sangat cantik." Dia mengacungkan jempolnya. "Tapi kenapa bukan Vanda yang tampil? Dimana dia?"

"Em, dia... dia tidak menjelaskan alasannya. Tapi kupikir dia belum siap naik ke atas panggung."

Terdengar suara penonton tertawa ketika Jujun naik ke atas panggung dan terseok-seok melangkah di atas sepatu bertumit sebelas senti.

"Belum siap gimana? Opera house gitu loh!"

"Entahlah. Aku juga tidak mengerti."

"Ya, sudah. Yang penting kamu sudah hadir dan menyelamatkan muka kita dari rasa malu."

"Sebaiknya kita bersiap-siap naik lagi."

Idan dan Jujun keluar dari panggung dan perpapasan dengan Sello yang hendak naik menggantikan mereka.

"Sel, kami berangkat dulu. Cepetan susul kami!" Mereka berkata.

"Oke!"

Tirai kembali dibuka ketika Sello dan Lara sudah berada dalam blocking-nya masing-masing, tegak berjauhan. Yang satu dalam kondisi bingung dan yang lain duduk di atas properti bangku kayu seolah menunggu.

"Lori? Kaukah itu?"

Lara tegak dari duduknya sambil tersenyum menyambut Sello datang.

"Aku mencarimu di semua sudut dunia, tapi sungguh sulit menemukanmu."

"Aku juga mencarimu hingga orang-orang yang tidak mengerti makna cinta menyindirku dengan kata yang menyakitkan. Aku dikata gila oleh mereka."

"Mereka benar. Kita memang gila. Gila pada hakikat penemuan cinta."

"Tak perlu membahas mereka. Sekarang hanya ada kita. Jangan sampai sang waktu cemburu karena kita tidak memanfaatkan pertemuan ini dengan baik, lalu memisahkan kita seperti benalu pada pohonnya."

Sello mendekat selangkah dua langkah sambil tersenyum. "Kau tak perlu berlindung di balik sang waktu untuk menyatakan perasaanmu itu. Aku mengerti dirimu duhai kekasih."

Lara berpaling sambil menutupi wajah dengan kedua tangannya.

"Kenapa kau menutupi wajahmu?"

"Aku malu."

Sello tertawa senang, lalu mengembangkan tangannya. "Mari," ajaknya. "Datanglah padaku. Kita buat semua orang cemburu atas kemesraan kita."

Lara melangkah pelan dan anggun, lalu menyambut tangan Sello.

Musik menyala.

Sello merapat dan berbisik, "Rileks saja dan ikuti gerakanku."

Lara mengangkat wajahnya, menatap jauh ke dalam mata Sello yang teduh dan sendu. Tatapan mereka beradu. Lara segera melarikan pandangannya sambil mengangguk paham.

Hingga kini pun aku belum berani menatap matanya lama-lama, batin Lara.

Aku seperti pernah merasakan perasaan ini, pikir Sello. Sambil berdansa, tatapannya jatuh ke bahu Lara yang terbuka dan melihat ada bercak yang kontras dengan kulitnya. Tanda lahir?

"Sel," bisik Lara. "Dialogmu!"

Sello segera tersadar. "Lori," desahnya.

"Ya?"

"Sudah saatnya kita bertemu di alam sadar kita."

"Aku ingin sekali, tapi bagaimana caranya?"

"Kita sama-sama tahu, tapi tidak menyadarinya sejak lama."

"Maksud kamu?"

"Di alam bawah sadar kita selalu bertemu di tempat yang sama. Aku percaya tempat itu ada di alam sadar. Aku akan mencarinya dan menunggumu di sana."

Mereka berhenti menari dan Lara melepaskan rangkulannya.

"Kau benar. Aku juga akan mencarinya dan menunggumu di sana."

"Lalu apa harus kita sudah mimpi ini?"

"Tidak. Aku tidak ingin menyudahinya. Jika ini akhir dari pertemuan kita di alam bawah sadar, aku ingin momen ini takkan terlupakan sampai kapanpun."

Mereka kembali berdansa seiring sorot lampu yang melemah dan akhirnya padam, menandakan mereka harus turun, berganti pemain.

"Ra, tunggu!" panggil Sello di belakang panggung.

"Ya, Sel?"

"Em... " Sello diam sejenak, memikirkan pertanyaan Vanda kemarin tentang mimpi yang seharusnya diketahuinya. Dia bingung harus bertanya apa pada Lara. Tapi tanda lahir yang ada di pundak Lara persis sama dengan tanda lahir gadis yang hadir di mimpinya. Bagaimana bisa? "Aku tak habis pikir mengapa berjalan di jembatan bisa dikatakan romantis. Kamu tahu kenapa?"

"Jembatan? Maksud kamu jembatan di Pulau Tidung?"

Sello mengangkat bahunya.

"Ya, pastilah. Konon kabarnya jika sepasang kekasih berjalan di jembatan sambil bergandengan tangan, maka cinta mereka akan abadi. Apalagi berjalan saat matahari tenggelam. Romantis, bukan?"

Itu saja tidak cukup. Harus ada bukti lain, pikir Sello. "Ra, kamu tahu kan aku pernah menanyakan tanda lahir Vanda padanya?"

Lara tercekat dan tampak gugup.

"Aku cuma memastikan saja saat itu bahwa cewek yang kumimpikan tiap malam adalah dirinya. Tapi aku malah melihat tanda lahir yang sama di bahumu. Lalu mengenai kondisi Papamu yang meninggal dalam kecelakaan lalu lintas yang kudengar dari Mamamu persis sama dengan kondisi cewek di mimpiku. Kamu juga mengucapkan kata-kata yang tidak jauh beda dengan ucapan cewek di mimpiku tentang Rama dan Sinta."

"Itu... itu cuma kebetulan semata."

"Tatap mataku, Ra. Dan katakan kamu tidak berbohong."

"Saatnya aku naik." Lara berkata ketika pemain lain turun dari panggung.

Pertunjukkan terus berlangsung, sementara Idan dan Jujun berjibaku melewati kemacetan lalu lintas menuju acara konser di lapangan Monas. Mereka berboncengan dan belum sempat berganti kostum.

"Cepetan, Dan!" teriak Jujun getar-getir saat melirik arlojinya.

"Iya, iya. Gue mau ngebut tapi lo lihat sendiri jalanan kayak apa!"

"Kalau tahu begini mending kita tak usah ikutan drama!"

"Sudah telat menyesalinya!"

"Aku yakin kita bisa datang sebelum konser dimulai, tapi gimana dengan Sello?"

"Kita harus percaya padanya!"

"Tidak semudah itu, Dan! Ini Jakarta loh!"

"Yang bilang New York siapa?"

"Gue serius, Dan, serius!"

"Lo bawel banget sih!"

Akhirnya mereka tiba juga di lokasi acara. Orang-orang sudah memadati lapangan Monas. Mereka segera mendatangi panitia, tepatnya Andre.

"Ya, Tuhan! Akhirnya kalian datang juga." Andre terdiam melihat dandanan Idan dan Jujun. "Kalian manggung dengan pakaian seperti itu?"

"Terpaksa," jawab mereka.

"Terserah, eh, tapi mana vokalis kalian?"

"Lagi ada acara di TIM, tapi sebentar lagi dia datang kok."

Andre melirik arlojinya. "Dua puluh menit lagi acara dimulai loh. Jangan sampai Vanda menyalahkan gue kalau kalian tidak jadi manggung. Mengerti?"

Pertunjukkan murid Cahaya Nusantara di panggung Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki sudah masuk babak akhir.

Sello berdiri tegak dengan ekspresi muram, memandangi Lara yang bersedih  sambil memegang botol kecil berisi racun yang sangat mematikan dan botol lain berisi penawarnya.

"Kenapa kau membohongiku selama ini?" Suara Sello terdengar bergetar.

Lara terkejut. Dia keluar dari dialog, batinnya. "Aku... aku tidak mengerti."

"Jujurlah padaku, Ra! Aku sudah terlanjur mencintai gadis di mimpiku!"

Baiklah. Tidak ada bedanya antara drama dengan apa yang kami alami. Toh, juri tidak akan menyadarinya, pikir Lara. "Dan apabila gadis di mimpimu adalah diriku, apa kau juga akan mencintaiku seperti kau mencintai dirinya?"

Sello tidak menjawab. "Tapi mengapa kau melakukannya?"

"Jujur saja, Sel, aku mencintaimu sejak pertama kita bertemu. Tapi aku tak cukup punya nyali mengungkapkannya di alam sadar. Dan kau seolah memberiku kesempatan mengungkapkannya lewat mimpi dengan memberiku foto dan sehelai rambutmu."

Bu Konde berhenti mengipas-ngipasi dirinya, terperangah mendengar dialog yang tidak ada dalam naskah. Apa-apaan ini, pikirnya. Sementara Vanda yang duduk diapit dua lelaki berjaket kulit tersenyum haru mendengar dialog pemain. Matanya berkaca-kaca. Akhirnya Lara menemukan keberaniannya, batinnya.

"Tapi foto itu bukan untukmu!" seru Sello meradang.

"Dan dia tidak menginginkannya!"

"Kau memberikanku foto dan sehelai rambutnya."

"Cuma foto, Sel. Rambut itu milikku!"

"Ooo... jadi itu alasannya mengapa gadis di mimpiku berwajah blur?"

Lara mengangkat bahunya. "Di mataku wajahmu terlihat jelas, tampan dan aku mencintaimu, Sel. Sungguh. Mencintaimu lebih dari apapun."

Sello mengangkat botol racun di tangannya. Balik ke skenario, pikirnya. "Ucapan saja tidak cukup membuktikan cintamu padaku." Menyodorkan botol racun. "Aku ingin kau membuktikannya."

Lara mengambil botol racun. "Ini bukan apa-apa buatku." Meminum racun, lalu mulai meregang kesakitan.

"Lori!" Sello mengejar Lara yang ambruk dan jatuh ke dalam pelukannya.

"Aku sudah membuktikannya," ucap Lara lirih. "Apa kau masih tak percaya gadis yang ada di mimpimu adalah aku?"

"Aku percaya. Aku percaya." Sello membuka botol yang berisi penawar racun. "Lekas minum ini!" Ketika hendak menuangkan air botol ke mulut Lara, Sesil muncul.

"Percuma!" serunya. "Karena penawar racun itu ada padaku!" Memperlihat-kan botol kepada Sello, lalu membuka tutupnya dan menumpahkan isinya. "Aku tak ingin perempuan sialan itu merebutmu dariku. Yang pantas jadi kekasihmu itu aku. Cuma aku!" Tertawa mengikik.

"Kurang ajar!" Sello menggeram marah.

"Jangan hiraukan dia." Lara terbatuk-batuk. "Aku sudah tidak sanggup lagi, Deril. Izinkan aku mati membawa cinta ini di alam keabadian."

"Tidak! Kau tidak boleh mati!"

"Dia pasti mati! Racun itu sudah merenggut kehidupannya!"

"Diam kau perempuan keparat!" Sello memeluk Lara sambil meratap. "Aku akan menghalangi Tuhan yang merenggutmu dariku." Menjatuhkan wajahnya, mendekati wajah Lara.

"Apa yang kamulakukan, Deril?" Sesil menghampiri Sello dengan langkah cemas. "Hentikan, Deril! Hentikan!" Berusaha memisahkan Sello yang menciumi Lara. "Kau bisa mati, Deril! Racun di mulut Lori akan membunuhmu! Hentikan!"

Sello mengabaikan teriakan kalut Sesil hingga dirinya terkulai tak berdaya memeluk Lara. "Tunggu aku, Lori!" ucapnya terbata-bata.

"Deriiilll!!!" Sesil berteriak histeris mengguncang-guncang badan Sello yang tak bergerak lagi.

Tirai ditutup. Penonton bertepuk tangan.

Di balik panggung, Lara mengejar langkah Sello yang tergesa-gesa.

"Tunggu, Sel!"

Sello berhenti sejenak. Ekspresinya datar. "Sori, Ra. Aku tak punya waktu untuk mendengarkanmu!" Pergi meninggalkan Lara.

"Sel... " Lara menggeleng lirih. "Dia tidak mencintaiku. Dia marah."

"Hai, Ra." Vanda muncul di belakang panggung. "Selamat, ya!" Memeluk Lara. "Dua jempol buat pertunjukkannya dan... keberanianmu."

Lara tak dapat membendung perasaannya lagi. Dia terisak-isak di pelukan Vanda.

"Kamu kenapa, Ra?" Vanda mengelus lembut pundak Lara.

"Aku malu, Van. Aku bodoh telah mengira dia bakal membalas perasaanku padanya. Dia tidak mencintaiku. Dia mengabaikanku. Dia pergi begitu saja tanpa mau mendengar apapun dariku."

Vanda melepaskan pelukan Lara, menatapnya sambil tersenyum bersahaja. "Bodoh!" ucapnya. "Apa kamu lupa dia sedang buru-buru ke acara konser?"

"Eh?" Lara menghapus air matanya. "Tapi tetap saja aku tidak bisa menebak isi hatinya. Responnya saat meninggalkanku sangat dingin."

"Kamu tidak akan tahu sebelum menemuinya."

"Aku takut kecewa, Van."

"Terserah. Kamu mau kecewa karena mengetahui perasaannya padamu atau selamanya terjebak dalam ketidakpastian sikap dan perasaan yang pada akhirnya juga membuat kamu kecewa? Pilih mana? Kekecewaan pertama bisa kamu obati dengan berbagai hal, tapi terjebak dalam ketidakpastian itu sangat menyakitkan. Dobel kecewa. Itu sama saja dengan digantung, terlebih setelah sekian lama kamu menunggu kepastian dan ternyata dia tidak punya perasaan khusus padamu!"

"Jadi aku harus gimana, Van?"

"Susul dia dan ungkap kembali perasaanmu untuk memperoleh kepastian."

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • dede_pratiwi

    nice story, kusuka bahasa yg dipakai ringan. keep writing...udah kulike dan komen storymu. mampir dan like storyku juga ya. thankyouu

    Comment on chapter Casanova
  • yurriansan

    Mainstream si, tp jokes nya bikin ngakak...????

    Comment on chapter Casanova
Similar Tags
Novel Andre Jatmiko
7596      1698     3     
Romance
Nita Anggraini seorang siswi XII ingin menjadi seorang penulis terkenal. Suatu hari dia menulis novel tentang masa lalu yang menceritakan kisahnya dengan Andre Jatmiko. Saat dia sedang asik menulis, seorang pembaca online bernama Miko1998, mereka berbalas pesan yang berakhir dengan sebuah tantangan ala Loro Jonggrang dari Nita untuk Miko, tantangan yang berakhir dengan kekalahan Nita. Sesudah ...
Love Finds
13687      2505     19     
Romance
Devlin Roland adalah polisi intel di Jakarta yang telah lama jatuh cinta pada Jean Garner--kekasih Mike Mayer, rekannya--bahkan jauh sebelum Jean berpacaran dengan Mike dan akhirnya menikah. Pada peristiwa ledakan di salah satu area bisnis di Jakarta--yang dilakukan oleh sekelompok teroris--Mike gugur dalam tugas. Sifat kaku Devlin dan kesedihan Jean merubah persahabatan mereka menjadi dingin...
Sherwin
328      212     2     
Romance
Aku mencintaimu kemarin, hari ini, besok, dan selamanya
Intuisi Revolusi Bumi
920      464     2     
Science Fiction
Kisah petualangan tiga peneliti muda
Alicia
1084      504     1     
Romance
Alicia Fernita, gadis yang memiliki tiga kakak laki-laki yang sangat protektif terhadapnya. Gadis yang selalu menjadi pusat perhatian sekolahnya karena memiliki banyak kelebihan. Tanpa mereka semua ketahui, gadis itu sedang mencoba mengubur luka pada masa lalunya sedalam mungkin. Gadis itu masih hidup terbayang-bayang dengan masa lalunya. Luka yang berhasil dia kubur kini terbuka sempurna beg...
Please stay in my tomorrows.
335      236     2     
Short Story
Apabila saya membeberkan semua tentang saya sebagai cerita pengantar tidur, apakah kamu masih ada di sini keesokan paginya?
Chocolate Next Door
305      212     1     
Short Story
In which a bunch of chocolate is placed on the wrong doorstep
Someday Maybe
9428      1807     4     
Romance
Ini kisah dengan lika-liku kehidupan di masa SMA. Kelabilan, galau, dan bimbang secara bergantian menguasai rasa Nessa. Disaat dia mulai mencinta ada belahan jiwa lain yang tak menyetujui. Kini dia harus bertarung dengan perasaannya sendiri, tetap bertahan atau malah memberontak. Mungkin suatu hari nanti dia dapat menentukan pilihannya sendiri.
IMAGINATIVE GIRL
2052      1084     2     
Romance
Rose Sri Ningsih, perempuan keturunan Indonesia Jerman ini merupakan perempuan yang memiliki kebiasaan ber-imajinasi setiap saat. Ia selalu ber-imajinasi jika ia akan menikahi seorang pangeran tampan yang selalu ada di imajinasinya itu. Tapi apa mungkin ia akan menikah dengan pangeran imajinasinya itu? Atau dia akan menemukan pangeran di kehidupan nyatanya?
Verletzt
1179      529     0     
Inspirational
"Jika mencintai adalah sebuah anugerah, mengapa setiap insan yang ada di bumi ini banyak yang menyesal akan cinta?" "Karena mereka mencintai orang yang tidak tepat." "Bahkan kita tidak memiliki kesempatan untuk memilih." --- Sebuah kisah seorang gadis yang merasa harinya adalah luka. Yang merasa bahwa setiap cintanya dalah tikaman yang sangat dalam. Bahkan kepada...