Read More >>"> Koma (Rahasia Vanda) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Koma
MENU
About Us  

"Kamu menyerah?"

Herman menatap lekat-lekat ke putrinya yang duduk di seberangnya. Pria gagah pertengahan empat puluh tahun itu menghela nafas berata ketik putrinya menganggukkan kepala yang tertunduk.  

"Papa masih bisa mengamankan status kamu dari pihak kepolisian, meski kamu juga harus berhati-hati berada di luar sana," ujar Herman gusar. "Selamanya kamu akan aman dengan status baru kamu itu. Lagipula Papa sudah terbiasa memanggil kamu Vanda."

"Jujur saja, Pa. Aku juga sudah nyaman dengan status ini, tapi ada hal yang membuatku tak nyaman. Selamanya aku akan dihantui rasa bersalah jika tidak menyerahkan diri ke kepolisian. Cepat atau lambat mereka pasti menangkapku berdasarkan laporan korban. Barangkali saja dengan menyerahkan diri, mereka akan meringankan hukumanku."

"Papa mengerti, tapi tidak dengan Mama kamu. Dia pasti syok dan bisa-bisa mati berdiri ketika mendengar berita ini."

"Aku pikir Mama pasti mau mengerti, Pa."

"Tidak untuk yang satu itu," tegas Herman. "Dia memaafkan penyimpangan kamu karena dia yakin suatu saat kamu pasti bisa berubah. Tapi yang satu itu... ah, Papa sendiri bingung harus ngomong apa padanya. Penganiayaan yang kamu lakukan telah mencoreng nama baik keluarga besar kita, Nak. Tak  seorang pun dari keluarga kita yang melakukan tindakan kriminal."

Vanda mengubah posisi duduknya. Tatapannya jauh menerawang, tepatnya membayangi peristiwa yang dia sendiri tidak menyangka kenekatan perbuatannya. Dia mendatangi kampus pacarnya, mengajaknya ke toilet, menyiksanya sampai berdarah-darah dan meninggalkannya dengan rasa puas telah membalas sakit hati yang teramat perih karena diselingkuhi. Saat melakukannya dia seolah kesurupan dan baru menyadari tak lama tiba di rumah. Dia ketakutan, cemas, khawatir dan terus dibayangi-bayangi rasa bersalah. Dia tidak tahu bagaimana kondisi pacar-nya pasca penyiksaan. Pingsankah? Matikah? Yang jelas pacarnya tidak bergerak ketika ditinggalkannya. Dan dia terlalu takut untuk mengetahui kenyataan terakhir dari kondisi pacarnya.  

"Aku mengerti, Pa. Tapi aku harus bertanggung jawab atas perbuatanku."

"Iya, tapi mengapa sekarang?"

Ini demi Lara, Pa. Vanda menjawabnya dalam hati. Sejak pulang dari rumah Lara, dia tak berhenti memikirkan cara agar Lara dan Sello dapat bersatu. Lara mencintai Sello. Sebaliknya, Sello tidak tahu gadis yang senantiasa hadir dalam mimpinya dan dicintainya adalah Lara. Bukan dirinya. Dia tidak pernah bermimpi hal-hal indah tentang Sello dan juga Lara yang sudah membuatnya jatuh hati. Dia cuma punya satu mimpi. Mimpi buruk mengenai pacarnya yang datang dengan kondisi yang mengenaskan. Bukan mimpi manis yang dialami Lara dan Sello. Tak ada tempat baginya di antara mereka. Dia hanya pendatang. Satu-satunya cara agar mereka bersatu adalah dengan menyingkir dari mereka.

"Mengapa sekarang, Rhea?" Herman menyebut nama asli putrinya.

"Aku hanya menyadari kesalahan, Pa. Lari dari masalah ternyata ide yang sangat buruk. Justru hal itu membuat diriku terlihat seperti pecundang. Aku tak sudi dicap sebagai pecundang, Pa."

Herman tersenyum lembut, lalu mendatangi putrinya dan duduk di sisinya.

"Papa bangga mendengar jawabanmu." Mengusap lembut kepala putrinya, lalu menariknya ke dalam pelukannya dan mencium kepalanya. "Barangkali anak-anak yang lain akan merengek minta perlindungan orangtuanya demi menutupi kesalahannya fatal yang telah dilakukannya." Melepaskan pelukan.

Vanda tersenyum kecut. "Aku juga melakukan hal yang sama, Pa."

"Tapi kamu segera menyadarinya. Itu hal pembeda yang sangat jauh."

Mereka terdiam sesaat sebelum Herman teringat pada pementasan drama yang akan berlangsung esok hari. Dia tahu putrinya begitu antusias menyambut acara itu dan telah berlatih keras. Ketidakhadirannya pasti akan mengacaukan pementasan.

"Pementasan kalian pasti kacau jika kamu tidak ikut serta."  

"Aku punya teman yang bisa diandalkan, Pa. Lagipula bakatku bukan di bidang seni teater."

"Begitu?" Herman manggut-manggut. "Papa tidak tahu siapa, tapi Bi Surti bilang ada cowok ganteng yang datang ke rumah. Diakah orangnya?"

"Namanya Sello, Pa. Tapi bukan dia."

"Lalu?" Herman tertarik dan ingin tahu.

"Lara."

"Lara? Cewek?" Fakta ini cukup mengagetkan Herman setelah apa yang dialami putrinya. Dia tak ingin kejadian sama terulang kembali.

Vanda mengangguk mantap.

"Jangan bilang kamu... " Ada sebentuk kekhawatiran dalam suara Herman.

Vanda tersenyum malu-malu.

"Ya, Tuhan." Wajah Herman menegang.

"Tapi dia tidak pantas untukku, Pa. Dia sangat mencintai Sello, sementara Sello mencintaiku."

"Nah, kenapa tidak kamu terima saja cinta Sello supaya kamu bisa, normal. Papa pikir Lara bisa mendapatkan cowok lain."

"Justru Lara yang menjodoh-jodohkanku dengan Sello, Pa. Karena dia juga berpikiran seperti Papa."

"Oh, ya?" Herman kaget. "Kok dia tahu kamu begitu?"

Vanda tersipu malu. "Aku menciumnya di suatu malam dan dia marah. Tapi dia tidak membenciku maupun menjauhiku. Malah dia membantuku agar keluar dari kebiasaanku lalu menjodohkanku dengan Sello."

Herman mengusap dagunya yang habis dicukur. "Papa jadi ingin ketemu dengan... siapa tadi?"

"Lara."

"Ya, Lara. Papa ingin ketemu dengannya untuk berterima kasih sudah mau berteman denganmu dan mengerti keadaan kamu." Hening untuk beberapa saat. Lalu Herman melanjutkan, "Baiklah, apa kamu sudah siap berurusan dengan polisi?"

Vanda menggigit bibirnya dan mengangguk pelan.

***

Di sekolah, setelah jam pelajaran selesai, kegelisahan Lara memuncak saat akan melakukan gladi bersih. Sudah lewat dari seperempat jam Vanda belum juga hadir. Ada apa? Kenapa? Padahal saat berangkat sekolah tadi dia janji akan hadir tepat waktu. Lalu mengapa dia tak kunjung datang? Menelepon juga tidak, bahkan nomor kontaknya tak dapat dihubungi. Apa dia ketiduran? Dia mengaku padanya kurang tidur dan butuh istirahat untuk memulihkan stamina. Dia juga minta pada-nya mempermisikan dirinya untuk tidak masuk sekolah. Dia yakin Bu Konde pasti mengizinkannya atau pertunjukan bakal berantakan. 

Sepertinya kegelisahan bukan hanya milik Lara seorang, tapi sudah menjadi kegelisahan bersama. Setelah menyadari ketidakhadiran Vanda, mereka mendapat kabar bahwa beberapa peserta dari sekolah lain dilatih oleh seniman teater kondang seperti Aditya Gumay, Jajang C. Noer, Ikranegara dan beberapa seniman lainnya yang tak ingin mereka dengar namanya. Karena itu akan membuat mereka semakin down. Entah berita itu benar atau tidak, Lara coba meyakinkan mereka untuk percaya diri dan tampil maksimal. Lain halnya dengan Sesil, dia tak lagi mempersoalkan siapa melatih siapa. Dia terlalu gembira untuk mengkhawatirkan itu semua. Yang dia harapkan terjadi adalah Eril benar-benar pulang ke Indonesia untuk menyaksikan penampilannya.

 "Gimana, Ra?" Sello juga turut merasakan kegelisahan yang sama. "Kami juga perlu latihan untuk konser besok. Apa perlu kujemput dia?"

"Duuh, gimana, ya? Aku juga bingung."

"Hasil latihan semalam gimana?"

"Menurutku sih sudah oke."

"Begini saja, mungkin Vanda kecapekan atau masuk angin. Tapi aku percaya dia tidak akan mengecewakan kita. Dan untuk sementara, kamu saja yang berperan sebagai Lori."

"Tapi..."

"Tidak ada pilihan lain kan? Lagipula kamu menguasai naskah dan peran."

"Tidak bisa!" Sesil menyela tiba-tiba. "Seandainya Vanda tidak bisa ikut mentas, yang pantas menjadi Lori itu gue. Gue juga hafal kok dialog Lori."

"Lalu yang memerankan tokoh kamu siapa?" tanya Sello.

Sesil menatap Lara lekat-lekat dengan sorot mengancam.

"Tidak mungkin Lara," lanjut Sello. "Lara itu pantasnya memerankan tokoh protagonis. Sudah deh, jangan nambahi masalah. Kamu ikut saja aturan mainnya."

"Ck!" Sesil cemberut sambil menghentakan kakinya, kesal.

"Sudahlah, Ses, terima saja. Lagipula, dengan berperan jadi Lori lo bakal bikin Eril cemburu." Rena dan Keke menghibur Sesil.  

Meski latihan berjalan lancar hingga akhir, kegelisahan yang menyelubungi Lara tak juga kunjung pupus lantaran Vanda belum memberi kabar. Bahkan ketika mereka tiba di gedung Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki, Lara belum bisa menghubunginya.

Acara lomba teater dibuka dengan tari Cokek. Ruang dengan kapasitas 810 penonton sudah terisi penuh, menyisakan barisan kursi untuk para pejabat dari Kemendikbud dan juga juri. Murid-murid Cahaya Nusantara duduk di bangku tengah baris J, K dan L, mengawal Bu Konde dan beberapa orang guru.

Ketika Pak Mentri memberikan kata sambutan yang singkat dan padat, Lara berkali-kali mencoba menghubungi nomor Vanda. Masih tidak aktif. Begitupun dengan nomor telepon rumah, tidak ada yang menjawab. Ada apa sih dengan kamu, Van?

Pak Mentri turun dari panggung dan peserta pertama pun tampil.

Selama penampilan peserta pertama, Lara tidak menikmati pertunjukan yang kurang persiapan dan menuai banyak sorakan dari penonton. Ketika peserta kedua tampil, Lara keluar dari gedung teater.

"Mau kemana, Ra?" tegur Sello.

"Keluar sebentar."

"Aku ikut."

Ketika berada di luar gedung, Lara mencoba menghubungi kembali nomor Vanda. Masih tidak aktif.     

"Sebaiknya kita datangi saja ke rumahnya, Ra," saran Sello.

Lara mengangguk setuju. Mereka pun meninggalkan gedung teater menuju rumah Vanda. Namun setibanya di sana mereka kecewa lantaran Vanda tidak berada di rumah.

"Apa kalian bertengkar semalam?" tanya Sello.

"Kami baik-baik saja."

Sello mendesah. "Sumpah, sampai sekarang aku tidak mengerti dirinya," ucapnya lebih kepada dirinya sendiri. "Tapi percayalah, dia tidak akan bikin kita kecewa. Mungkin saja dia sibuk mempersiapkan kostum agar tampil cantik di depan juri dan penonton."

Lara berharap ucapan Sello dapat menenangkan dirinya, tapi sepanjang perjalanan pulang ke rumah, dia tidak bisa menepis kegundahan hatinya yang bertanya-tanya penyebab Vanda bersikap seperti itu. Apa karena dia terlalu keras memaksanya latihan semalam atau dikarenakan sebab-sebab lain yang tidak diketahuinya? Biasanya Vanda selalu cerita hal-hal yang tidak disukainya, tapi belakangan ini dia sangat defensif sekali. Apa yang membuatnya berubah?

Malam menggulung senja yang muram. Lara masih mencari-cari kesalahan apa yang telah dilakukannya pada Vanda. Dia juga terus mencoba menghubungi nomor kontak Vanda, tapi selalu mendapat jawaban sama dari mesin penjawab. Tidak aktif.

"Aku menyerah, Van." Lara membuang ponsel ke tempat tidur. Tepat ketika ponsel mendarat, nada panggilan masuk berbunyi. Buru-buru Lara memungutnya dan melihat nomor yang tertera di layar. Nomor tidak dikenal. Siapa?

"Halo," jawab Lara.

"Hei, Ra. Kamu di mana?"

"Vanda?"

"Iya. Ini aku. Sorry, aku ganti nomor."

"Ya, ampun, Van. Kamu berhasil bikin aku geregetan. Kemana saja sih? Kenapa tidak datang pas acara gladi bersih tadi? Aku juga menunggumu di TIM. Bahkan mengunjungi rumahmu bersama Sello," cecar Lara.

"Sorry, Ra," sahut Vanda. "Apa boleh aku masuk?"

"Eh, kamu di rumahku?" Lara mematikan ponselnya dan bergegas menemui Vanda di depan rumah. "Kenapa tidak masuk saja, sih? Kayak orang baru kenal saja."

Vanda tersenyum ringkas, terkesan dipaksakan.

Lara menggamit lengan Vanda dan membawanya ke kamar. "Nah, sekarang kamu ceritakan padaku. Mengapa kamu mendadak menghilang? Apa sebenarnya yang terjadi?"

Vanda duduk tertunduk di tepi ranjang.

Lara mengamati ekspresi murung Vanda, lalu pindah duduk ke sisinya. "Kamu kenapa sih, Van?" tanyanya lembut.

"Panggil aku Rhea."

Lara berjengit. "Rhea? Kamu?"

"Ya, Rhea. Rhea Saldeva. Itu nama lahirku."

"Lalu Vanda itu?"

Vanda menggeleng pelan. "Nama itu untuk menutupi identitas asliku dari kejaran polisi."

Lara terperanjat. "Tidak mungkin."

"Australia dan semua hal yang kuceritakan bohong. Aku lari dari Medan karena telah melakukan tindakan kriminal. Aku menganiaya pacar lesbiku yang aku sendiri tidak tahu kondisi terakhirnya seperti apa. Aku meninggalkannya dalam kondisi berdarah-darah dan tidak bergerak."

"Ya, Tuhan!" Lara ngeri mendengar cerita Vanda, lalu beringsut mundur, berdiri tegak menjaga jarak.

"Jangan takut, Ra. Aku tak mungkin menyakiti orang yang kusayangi." Vanda menepuk-nepuk ruang kosong di sisinya. "Duduklah kembali."

Ragu-ragu bercampur takut Lara duduk di tempatnya semula.

"Aku bingung saat itu, Ra. Aku minta perlindungan Papa agar masalah ini tidak sampai ke pihak kepolisian. Lalu Papa melalui koleganya membuatkanku identitas palsu seolah-olah aku siswi pindahan dari Australia dan diriku di-make over habis-habisan seperti yang kamu lihat sekarang. Rambut ini... entahlah, aku gerah dengan potongan rambut panjang ini."

"Tapi kamu tidak terlihat seperti buron yang ketakutan bila bepergian keluar rumah."

"Aku diminta bersikap wajar."

"Aku tahu ini masalah besar, tapi sebaiknya kita bahas usai pertunjukan besok. Kita harus fokus."

"Tidak, Ra. Aku tidak bisa."

"Mengapa tidak?"

"Aku memutuskan menyerahkan diri ke pihak berwajib."

Lara mengeluarkan seruan tertahan. Speechless.

"Aku percayakan peran itu padamu dan hei, bukankah itu bagus? Kamu bisa mengungkapkan perasaanmu pada Sello."

"Apa, sih?" Lara memalingkan wajahnya. "Sello itu sangat mencintaimu."

"Aku tahu. Tapi dia mencintai cewek yang salah. Dan aku juga tahu kau sangat mencintai Sello."

"Tidak. Aku tidak mencintainya."

"Oh, ya?" goda Vanda. "Kalau tidak cinta, masak di dalam mimpi pun kamu ingin terus bersamanya."

Wajah Lara memerah. "Jangan sotoy, deh."

Vanda tertawa. "Aku ingat saat kamu memberikan foto Sello padaku tapi aku menolaknya. Hm, coba kutebak, di mana foto itu kutemukan?" Diam sejenak melihat ekspresi Lara. "Di bawah bantal," lanjutnya tertawa menang seolah tidak pernah punya masalah. "Tuh benar kan. Wajah kamu memerah. Ciee... memang semalam mimpi apa sih sampai segitunya nyebutin nama Sello? Mimpi jorok, ya?" godanya, lalu menirukan igauan Lara dengan suara mendesah-desah. "Oh, Sellooo..." 

"Apa, sih?" Lara mencubit pinggang Vanda dan cubitannya dibalas dengan gelitikan. Keduanya pun tenggelam dalam perang gelitikan.

"Sudah, sudah," sela Lara di tengah tawa. "Aku tidak tahan!"

Vanda menghentikan gelitikannya. Mereka duduk berhadap-hadapan.

"I love you, Ra."

Lara memutar bola matanya. "Oh, please."

"Kali saja kamu kelepasan dan menjawab I love you too."

"Itu tidak mungkin terjadi karena aku mencintai Sello."

"Tuh kan?" Vanda tergelak senang.

"Ups!" Lara mendekap mulutnya yang kelepasan bicara, lalu memalingkan wajahnya.

"Sudah tak usah malu. Aku mendukungmu kok. Yang perlu kamu lakukan adalah mengungkapkan perasaan kamu padanya. Katakan 'I love you' padanya. Ini waktu yang tepat untukmu mengungkapkannya. Jangan hanya berani lewat mimpi saja. Lakukan di alam sadar juga."

"Begitukah?"

"Mm-hm."

"Tapi aku takut Sello menolakku dan marah padaku."

"Masalah hasil jangan dipikirkan dulu, Ra. Yang penting kamu sudah berani menyampaikan perasaan kamu ke Sello."

Lara menarik nafas, mengumpulkan percaya dirinya. "Baiklah," ucapnya. "Lalu kamu sendiri gimana? Apa yang terjadi padamu nanti?"

"Mm... mungkin aku harus introspeksi diri di penjara nanti."

Lara prihatin mendengarnya. "Vanda." Memeluk Vanda. "Andai aku bisa menolongmu."

"Sudahlah." Vanda terharu. "Penjara bukan akhir segalanya."

Lara melepaskan pelukannya. "Lalu kapan kamu akan ke Medan?"

"Secepat polisi menjemputku."

"Kuharap kamu yang tampil di pentas nanti." Mata Lara berkaca-kaca. "Aku ingin lihat bintang Opera House beraksi." Tertawa perih yang kemudian berubah menjadi isak tangis. "Aku pasti sangat merindukanmu, Van." Memeluk Vanda.

"Aku tahu, Ra. Aku tahu." Vanda mengelus lembut pundak Lara. "Hei, apa kamu sudah punya kostum untuk Lori?"

Lara melepaskan pelukannya dan mengusap air mata seperti anak kecil, lalu menggeleng.

"Aku berharap polisi tidak menjemputku besok sehingga kita bisa hunting kostum dan mendandanimu secantik-cantiknya. Gimana?"

Tangis Lara kembali pecah. Memeluk Vanda.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • dede_pratiwi

    nice story, kusuka bahasa yg dipakai ringan. keep writing...udah kulike dan komen storymu. mampir dan like storyku juga ya. thankyouu

    Comment on chapter Casanova
  • yurriansan

    Mainstream si, tp jokes nya bikin ngakak...????

    Comment on chapter Casanova
Similar Tags
Novel Andre Jatmiko
7596      1698     3     
Romance
Nita Anggraini seorang siswi XII ingin menjadi seorang penulis terkenal. Suatu hari dia menulis novel tentang masa lalu yang menceritakan kisahnya dengan Andre Jatmiko. Saat dia sedang asik menulis, seorang pembaca online bernama Miko1998, mereka berbalas pesan yang berakhir dengan sebuah tantangan ala Loro Jonggrang dari Nita untuk Miko, tantangan yang berakhir dengan kekalahan Nita. Sesudah ...
Love Finds
13687      2505     19     
Romance
Devlin Roland adalah polisi intel di Jakarta yang telah lama jatuh cinta pada Jean Garner--kekasih Mike Mayer, rekannya--bahkan jauh sebelum Jean berpacaran dengan Mike dan akhirnya menikah. Pada peristiwa ledakan di salah satu area bisnis di Jakarta--yang dilakukan oleh sekelompok teroris--Mike gugur dalam tugas. Sifat kaku Devlin dan kesedihan Jean merubah persahabatan mereka menjadi dingin...
Sherwin
328      212     2     
Romance
Aku mencintaimu kemarin, hari ini, besok, dan selamanya
Intuisi Revolusi Bumi
920      464     2     
Science Fiction
Kisah petualangan tiga peneliti muda
Alicia
1084      504     1     
Romance
Alicia Fernita, gadis yang memiliki tiga kakak laki-laki yang sangat protektif terhadapnya. Gadis yang selalu menjadi pusat perhatian sekolahnya karena memiliki banyak kelebihan. Tanpa mereka semua ketahui, gadis itu sedang mencoba mengubur luka pada masa lalunya sedalam mungkin. Gadis itu masih hidup terbayang-bayang dengan masa lalunya. Luka yang berhasil dia kubur kini terbuka sempurna beg...
Please stay in my tomorrows.
335      236     2     
Short Story
Apabila saya membeberkan semua tentang saya sebagai cerita pengantar tidur, apakah kamu masih ada di sini keesokan paginya?
Chocolate Next Door
305      212     1     
Short Story
In which a bunch of chocolate is placed on the wrong doorstep
Someday Maybe
9428      1807     4     
Romance
Ini kisah dengan lika-liku kehidupan di masa SMA. Kelabilan, galau, dan bimbang secara bergantian menguasai rasa Nessa. Disaat dia mulai mencinta ada belahan jiwa lain yang tak menyetujui. Kini dia harus bertarung dengan perasaannya sendiri, tetap bertahan atau malah memberontak. Mungkin suatu hari nanti dia dapat menentukan pilihannya sendiri.
IMAGINATIVE GIRL
2052      1084     2     
Romance
Rose Sri Ningsih, perempuan keturunan Indonesia Jerman ini merupakan perempuan yang memiliki kebiasaan ber-imajinasi setiap saat. Ia selalu ber-imajinasi jika ia akan menikahi seorang pangeran tampan yang selalu ada di imajinasinya itu. Tapi apa mungkin ia akan menikah dengan pangeran imajinasinya itu? Atau dia akan menemukan pangeran di kehidupan nyatanya?
Verletzt
1179      529     0     
Inspirational
"Jika mencintai adalah sebuah anugerah, mengapa setiap insan yang ada di bumi ini banyak yang menyesal akan cinta?" "Karena mereka mencintai orang yang tidak tepat." "Bahkan kita tidak memiliki kesempatan untuk memilih." --- Sebuah kisah seorang gadis yang merasa harinya adalah luka. Yang merasa bahwa setiap cintanya dalah tikaman yang sangat dalam. Bahkan kepada...