Read More >>"> Koma (Mundur Selangkah) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Koma
MENU
About Us  

Kalah. Gue kalah!

Hari ketiga akan segera berlalu. Sello gelisah lantaran belum juga berhasil menarik perhatian Vanda. Untuk bicara lebih dari lima menit saja rasanya sangat sulit. Dia cuma dapat balasan ucapan-ucapan singkat bernada cuek. Apapun yang dilakukannya, semua tidak mempan. Gadis itu tak ubahnya seperti tebing kokoh yang sangat tinggi, terjal dan curam, yang tidak mudah ditaklukkan oleh pendaki handal sekalipun.

Jika hari ini berlalu, maka gelar Casanova yang disandangnya akan lepas. Dengan lepasnya gelar itu membuat Sello galau, segalau-galaunya kacau!

Pandangannya jatuh pada kertas di genggamannya. Kertas itu berisi alamat Vanda. Butuh perjuangan untuk mendapatkan alamat itu karena tak seorang murid pun yang tahu pasti di mana tempat tinggalnya berada, juga nomor ponsel, akun facebook dan twitternya. Mereka hanya menebak dan menunjuk kemana arah pulang-pergi Vanda saja. Pernah Sello coba menguntit lagi, tapi tak berhasil.

Ada dua orang yang mengetahui informasi mengenai Vanda secara lengkap dan akurat di sekolah. Lara dan Bu Rika. Keduanya bukan pilihan yang baik. Lara, selama ini sikapnya sangat buruk pada gadis membosankan itu. Lebih baik menghadapi ribuan pertanyaan Bu Rika yang kepo selangit daripada harus keki mendapat sorotan curiga orang lain ketika berdekatan dengan Lara.

Buku-buku jarinya mengatup, menenggelamkan potongan kertas ke dalam genggaman. Sudah diputuskan. Bermodalkan alamat pemberian Bu Rika, dia akan berangkat menemui Vanda.

Baru saja dia hendak menyalakan motor di parkiran, Idan dan Jujun datang menghampiri.

"Yaela, dicari kemana-mana rupanya lo ada di sini," cerocos Idan. "Mau kemana sih? Nggak latihan?"

"Hari ini off dulu."

"Lah, kan lo sendiri yang ngomong kalau kita harus mentaati jadwal yang sudah dibuat? Benar'kan, Jun?"

Jujun mengangguk setuju. "Gak konsekuen nih orang."

"Aduuh, please." Sello memelas. "Hari ini saja. Besok-besok nggak lagi. Suweer!" Mengacungkan dua jari. "Atau ganti nanti malam saja. Oke, bro?" 

"Emang lo ada urusan apa?" selidik Idan.

"Urusan keluarga. Penting pokoknya." Sello melirik jam di tangan. "Dah, ah. Nanti gue telat. Sorry, bro! Bye!" Motor meluncur dari parkiran.

"Urusan keluarga? Prett!" cibir Idan.

Jujun mengekeh. "Feeling gue nih, dia lagi mengerahkan usaha terakhirnya sebelum kalah taruhan."

"Gue pikir juga gitu."

"Terus kita ngapain sekarang?"

"Hmm..." Idan diam sejenak, lalu menoleh pada Jujun.

"Apa?" Jujun ngeri melihat senyum dan sorot binar mata Idan.

"Coba tebak, apa yang ada di otak gue?"

"Lo nggak membayangi gue bugil'kan?" Jujun bergidik.

Idan berdecak sambil menggerakkan matanya ke atas.

"So?"

"Emangnya lo nggak mau tahu kemana Sello pergi?"

"Lo mau bantu ngurusin keluarga dia?"

"Koplak lo!" Idan beranjak dari tempatnya menuju parkiran motor. Dia menghampiri skuter matik warna pink dan menaikinya. Setelah memasang helm yang juga warna pink dengan motif kembang, dia berkata, "Ayo, kita ikutin dia!"

Jujun mengangguk. "Gue baru tau kalau lo penggemar pink."

"Motor gue masuk bengkel. Ini motor adik gue, si Dila!" sungut Idan.

"Au-ah. Tapi lo mesti jaga jarak dari gue. Gue nggak mau disangka pacar lo! Najis!" goda Jujun, mengekeh, lalu meluncur dari parkiran.

***

Jauh di depan sana, di antara kenderaan lain, sebuah motor melaju dalam kecepatan sedang. Lalu lintas terbilang lancar. Sejak meninggalkan parkiran sekolah, kegelisahan Sello makin menjadi-jadi. Bukan disebabkan konsekuensi dari kekalahan taruhan yang akan ditanggungnya. Bukan pula dikarenakan Lara. Jadian dengannya bisa diakal-akali. Jadian sehari, besok langsung putus. Begitu solusi untuk menggenapi janji taruhan. Namun lebih dari itu, dia benar-benar telah jatuh cinta. Bukan cinta sesaat. Bukan cinta obral. Dan bukan pula cinta bersyarat dengan ketentuan berlaku seperti pada iklan sebuah produk. Cinta ini cinta yang tak lagi mengandalkan logika. Cinta yang bila tak terobati mengakibatkan gangguan kejiwaan seperti halnya yang terjadi pada hikayat cinta Laila Majnun. Dia rela mati asal dapat bertemu Vanda.

Gairah cinta yang menyala-nyala mengalir lewat kecepatan laju motornya. Dia melesat laksana elang pemburu yang mengangkasa penuh kekuatan, melayang cepat dan terarah di bawah payung biru yang membentang.

Kecepatan telah mengantarkan Sello ke komplek perumahan mewah dengan arsitektur bergaya modern eklektik. Dia pun melambatkan laju motornya, mencari nomor rumah tujuan. Dia menemukannya ketika akan berbelok dari blok pertama yang dimasuki. Yah, rumah itu berada di ujung persimpangan blok pertama.

Sello tertegun menatap rumah mewah bertingkat dan berhalaman luas dari balik pagar yang tinggi. Sentuhan warna kuning yang mendominasi bangunan makin menambah kesan mewah rumah. Mobil Honda Civic warna merah yang terparkir di bawah kanopi halaman garasi rumah mempertegas alamat yang dituju.

Nggak salah lagi.

Sello turun dari motor mengamati ke dalam halaman melalui celah pagar. Di bagian pagar terdapat papan peringatan bertuliskan, "Awas ada anjing galak".

Nggak heran sih.

Sello mencari bel dan menemukan tombolnya berada di sisi tembok pagar, lalu menekannya. Alih-alih menunggu, dia terloncak kaget ketika gonggongan anjing jenis Pitbull datang menyambut. Set dah!

"Hush, hush!" usirnya. "Gue mau ketemu sama majikan lo, hush, hush!"

Anjing Pitbull itu terus menggonggong. Sello garuk-garuk kepala, hilang akal—tidak ada tulang maupun ranting yang bisa mengalihkan si dogy. Dia beranikan diri menggeser pagar sangat pelan dan perlahan. Pagar terbuka celah demi celah.

"Tenang boy. Tenang," ucapnya tak gentar sambil menyurukkan badan ke celah pagar dengan mata tetap mengawasi si dogy yang sudah berhenti menyalak, tapi tatapannya masih waspada. "Ya, gitu saja lo terus. Duduk yang kalem."

Ketika dirinya sudah masuk ke halaman, tiba-tiba pagar bergerak menutup secara otomatis. Sello terpaku dengan muka pucat. Terlebih melihat Dogy bereaksi dengan tegak berdiri sambil menyeringai memperlihatkan gigi taringnya yang tajam, lalu menyalak sejadi-jadinya.

"Stop, Tobi! Stop!" seru suara perempuan dari dalam rumah.

Dengan patuh anjing itu mundur dan menjauh dari sasaran yang masih tegak dengan lutut gemetar.

Vanda muncul dari balik pintu. "Sello?"

"Oh, eh," Sello mengusap keringat dingin yang membasahi wajahnya. "Hai, Van..."

"Masuk," ajak Vanda. Sello menoleh ke Tobi yang duduk bersimpuh di depan kandangnya. "Tenang saja. Tobi sudah disuntik rabies kok," lanjutnya.

"Kamu ngomong gitu seolah aku takut padanya," ucap Sello, berlagak. "Aku cuma kaget saja tadi."

Vanda mencibir. "Tobi," panggilnya. Tobi segera angkat kepala, menoleh. "Sambut tamu kita!"

"Jangan, jangan, jangan!" larang Sello, ketakutan.

Vanda tergelak senang. "Nggak jadi, Tobi!"

Tobi kembali duduk bersimpuh.

Vanda mempersilakan Sello duduk di kursi teras. "Ada kabar apa, nih? Kok kamu bisa tahu rumahku?"

Sello memandangi Vanda penuh perhatian. Gadis itu mengenakan kamisol hitam dan jeans belel pendek warna abu rokok yang nyaris seperti celana dalam, yang memperlihatkan kaki putihnya yang jenjang. "Sello gitu loh." Dia berkata setelah mendegut kasar.  

Vanda memandang penuh selidik. "Kamu memata-mataiku lagi?"

"Siapa? Aku? Sori, sori sajalah!"

"Hmm!" Vanda kembali mencibir. "Terus kamu mau apa datang kemari?"

"Emangnya nggak boleh?"

"Boleh saja, sih. Tapi harus ada alasannya dong."

"Nggak ada alasan."

"Bohong."

"Hmm... baiklah, akan kukatakan. Satu-satunya alasanku datang kemari..." Sello menggantung ucapannya. "Karena pesonamu telah menjerat langkah kakiku sehingga aku kesulitan menentukan arah selain mengarah padamu."

Vanda membuat ekspresi mau muntah. "Gombal banget sih lo!"

Sello mengekeh. "Lo?"

"Penyesuaian." Vanda mengikik.

"Aku lebih suka kamu apa adanya."

"Bukan ada apanya?"

"Satu paket."

"Nah, biar kutebak." Vanda memperhatikan Sello dengan mata menyelidik. "Pasti kamu tahu alamatku dari Lara'kan?"

"Hmm..."

"Ngaku saja, deh."

"Mm-hm." Sello terpaksa mengiyakan.

"Damn!"

"Kenapa?"

"Nggak apa-apa. Aku cuma nggak mau dikunjungi."

"Aneh."

"That's me."

"Aku nggak percaya."

"Bukan urusanku."

"Kamu anti sosial?"

"Apa aku mesti membuka catatan kehidupanku padamu? Siapa sih, kamu?"

"Pacarmu," jawab Sello percaya diri. "Setidaknya nanti," lanjutnya.

"Aih, kepedean!"

"That's me."

"Baiklah, aku serius. Aku akan welcome jika kamu terus terang padaku. Jika kedatanganmu cuma sekedar merayuku dan mengajakku untuk menjadi pacarmu, kurasa kamu salah alamat. Sudah kubilang aku nggak tertarik."

"Oh, tidak, tidak. Aku justru datang sebagai teman. Aku tahu diri kok. Aku mengerti aku ini bukan level maupun tipe kamu. Masih banyak toh cowok yang lebih baik dari aku."

"Kamu tersinggung?"

"Tidak." Dalam hati Sello berucap, "Banget!"

"Thank's god!"

"Siapa sih, orang yang beruntung itu?"

"Bukan siapa-siapa."

"Ok."

Hening.

"Em..." Mereka kompak bersuara.

"Kamu dulu, deh." Sello mempersilakan Vanda.

"Nggak jadi. Lupa mau bilang apa."

"Oh."

"Kamu?"

Sello mengangkat bahunya. "Entahlah, tapi..."

"Ya?"

"Kamu marah nggak dengan apa yang kubilang nanti?"

"Tergantung."

"Janji dulu kamu nggak marah. Baru aku mau bilang."

"Selama yang kamu katakan itu baik, aku nggak masalah."

"Um, aku juga nggak tahu ini baik apa bukan, tapi aku butuh kerjasama darimu. Itu saja."

"Tarifku mahal lho?"

"Aku bayar berapa pun yang kamu pinta."

Vanda tertawa renyah. "Ayo, katakan."

Sello diam sesaat. "Um, mau nggak kamu jadi pacarku?"

"Ya, Tuhan. Tadi sudah kubilang aku..."

"Pacar bohongan maksudku."

Vanda mengkernyitkan dahinya. "Kamu lagi frustasi?"

"Um, begini...eh, tapi kamu menghargai kejujuran 'kan?"

"Kalau itu menyakitkan, yah, kamu tahu sendirilah. Semua orang pasti akan marah dan berontak setelah mengetahui kebenarannya."

Sello garuk-garuk kepala. "Kupastikan kamu bakalan marah."

"Oh, ya?" respon Vanda. "Wow! Aku jadi penasaran."

"Yakin?"

Vanda mengangguk. "Nggak pernah seyakin ini."

"Oke." Sello menarik nafas dalam-dalam. Mungkin dengan mengatakan situasi sebenarnya adalah solusi yang baik meski itu harus membuatnya mundur selangkah. Tapi untuk memenangkan sebuah kompetisi, ada baiknya kita memilih mundur selangkah untuk mendapatkan sepuluh langkah berikutnya. Begitu pesan Ayahnya tadi malam. Dan dia menerima baik saran itu. Setelah merasa tidak ada beban yang mengganggu pikirannya, dia berkata, "Aku mendekatimu karena kamu masuk dalam bagian permainan kami."

"Permainan apa?"

"Kamu tahu sendirilah, permainan cowok-cowok."

"Oh, I see. Lalu?"

Sello menyelidki perubahan ekspresi di wajah Vanda. Tak ada rona merah marah maupun kerutan kekesalan yang diperlihatkannya. Permulaan yang cukup bagus. "Nah, yang kalah dalam taruhan harus rela jadi pacar Lara."

Mata bening Vanda membulat. "Kuharap kamu di pihak yang kalah."

"Jangan gitu dong."

"Kenapa?"

"Tak seorang cowok pun di dunia ini yang mau jadi pacarnya."

"Hati-hati kalau kamu bicara. Aku nggak suka." Vanda mengecam. Sejak pertama masuk Sekolah Cahaya Nusantara, dia sudah memperhatikan sikap buruk murid-murid pada Lara. Hanya saja Lara tidak berterus terang menyampaikannya. 

"Sorry. Tapi bagaimana dengan tawaranku tadi? Apa... kamu tertarik?"

"Um..." Vanda diam. Tatapannya menerawang. Tak lama dia menoleh dan menatap Sello lama. "Lara temanku. Dia murid pertama yang kukenal di sekolah kita. Sebagai teman, aku tak ingin melihat dirinya menjadi korban bully dan bahan ejekan kalian. Toh, siapapun dari kalian yang kalah tetap saja Lara yang menjadi korbannya. Aku tak bisa menerimanya."

"Lalu keputusanmu?"

Vanda menggeleng pelan. "Batalkan saja permainan kalian."

"Aku hargai keputusanmu, tapi aku nggak bisa membatalkan permainan dan mundur dari tantangan."

"Itu urusanmu. Bukan urusanku. Aku akan melindungi Lara dari cowok dan murid-murid seperti kalian. Sudah cukup baginya menerima bully dari kalian."

Sello mengerutkan dahi, heran pada kegetolan Vanda membela Lara. "Boleh tahu kamu ini siapanya Lara?"

"Teman."

"Kurasa lebih dari teman. Apa kalian bersaudara?"

"Mungkin."

Hening. Keduanya tenggelam dalam perasaannya masing-masing. Sello bergelut bersama perasaan luka lantaran ditolak, sementara Vanda sudah jemu dan ingin segera mengakhiri pertemuan.

"Yah," Sello buka suara. "Kupikir tak ada yang perlu dibicarakan lagi. Pada akhirnya aku kalah dan harus siap dengan tegar menerima kekalahanku. Sekalipun aku menolak, Mahkamah Konstitusi tidak menerima laporan kekalahan cinta dari pemuda gombal sepertiku. Iya'kan?"

Vanda spontan tertawa. "Hei, cinta itu butuh proses,"  ucapnya dikala tawa mereda. "Kupikir kamu masih punya peluang untuk mendapatkannya."

"Benarkah?" Segaris senyum tipis mengembang di wajah Sello. Sorot mata seketika bercahaya.

"Yah, pada akhirnya waktu yang akan menjawab pada siapa cintamu akan berlabuh. Lara atau... yang lainnya."

"Aku berharap cintaku berlabuh di dermaga hatimu."

"Gombal!" cibir Vanda. "Tapi awas jika kamu mempermainkan Lara. Aku tidak akan memaafkanmu."

Kalah. Gue kalah!

Hari ketiga akan segera berlalu. Sello gelisah lantaran belum juga berhasil menarik perhatian Vanda. Untuk bicara lebih dari lima menit saja rasanya sangat sulit. Dia cuma dapat balasan ucapan-ucapan singkat bernada cuek. Apapun yang dilakukannya, semua tidak mempan. Gadis itu tak ubahnya seperti tebing kokoh yang sangat tinggi, terjal dan curam, yang tidak mudah ditaklukkan oleh pendaki handal sekalipun.

Jika hari ini berlalu, maka gelar Casanova yang disandangnya akan lepas. Dengan lepasnya gelar itu membuat Sello galau, segalau-galaunya kacau!

Pandangannya jatuh pada kertas di genggamannya. Kertas itu berisi alamat Vanda. Butuh perjuangan untuk mendapatkan alamat itu karena tak seorang murid pun yang tahu pasti di mana tempat tinggalnya berada, juga nomor ponsel, akun facebook dan twitternya. Mereka hanya menebak dan menunjuk kemana arah pulang-pergi Vanda saja. Pernah Sello coba menguntit lagi, tapi tak berhasil.

Ada dua orang yang mengetahui informasi mengenai Vanda secara lengkap dan akurat di sekolah. Lara dan Bu Rika. Keduanya bukan pilihan yang baik. Lara, selama ini sikapnya sangat buruk pada gadis membosankan itu. Lebih baik menghadapi ribuan pertanyaan Bu Rika yang kepo selangit daripada harus keki mendapat sorotan curiga orang lain ketika berdekatan dengan Lara.

Buku-buku jarinya mengatup, menenggelamkan potongan kertas ke dalam genggaman. Sudah diputuskan. Bermodalkan alamat pemberian Bu Rika, dia akan berangkat menemui Vanda.

Baru saja dia hendak menyalakan motor di parkiran, Idan dan Jujun datang menghampiri.

"Yaela, dicari kemana-mana rupanya lo ada di sini," cerocos Idan. "Mau kemana sih? Nggak latihan?"

"Hari ini off dulu."

"Lah, kan lo sendiri yang ngomong kalau kita harus mentaati jadwal yang sudah dibuat? Benar'kan, Jun?"

Jujun mengangguk setuju. "Gak konsekuen nih orang."

"Aduuh, please." Sello memelas. "Hari ini saja. Besok-besok nggak lagi. Suweer!" Mengacungkan dua jari. "Atau ganti nanti malam saja. Oke, bro?" 

"Emang lo ada urusan apa?" selidik Idan.

"Urusan keluarga. Penting pokoknya." Sello melirik jam di tangan. "Dah, ah. Nanti gue telat. Sorry, bro! Bye!" Motor meluncur dari parkiran.

"Urusan keluarga? Prett!" cibir Idan.

Jujun mengekeh. "Feeling gue nih, dia lagi mengerahkan usaha terakhirnya sebelum kalah taruhan."

"Gue pikir juga gitu."

"Terus kita ngapain sekarang?"

"Hmm..." Idan diam sejenak, lalu menoleh pada Jujun.

"Apa?" Jujun ngeri melihat senyum dan sorot binar mata Idan.

"Coba tebak, apa yang ada di otak gue?"

"Lo nggak membayangi gue bugil'kan?" Jujun bergidik.

Idan berdecak sambil menggerakkan matanya ke atas.

"So?"

"Emangnya lo nggak mau tahu kemana Sello pergi?"

"Lo mau bantu ngurusin keluarga dia?"

"Koplak lo!" Idan beranjak dari tempatnya menuju parkiran motor. Dia menghampiri skuter matik warna pink dan menaikinya. Setelah memasang helm yang juga warna pink dengan motif kembang, dia berkata, "Ayo, kita ikutin dia!"

Jujun mengangguk. "Gue baru tau kalau lo penggemar pink."

"Motor gue masuk bengkel. Ini motor adik gue, si Dila!" sungut Idan.

"Au-ah. Tapi lo mesti jaga jarak dari gue. Gue nggak mau disangka pacar lo! Najis!" goda Jujun, mengekeh, lalu meluncur dari parkiran.

***

Jauh di depan sana, di antara kenderaan lain, sebuah motor melaju dalam kecepatan sedang. Lalu lintas terbilang lancar. Sejak meninggalkan parkiran sekolah, kegelisahan Sello makin menjadi-jadi. Bukan disebabkan konsekuensi dari kekalahan taruhan yang akan ditanggungnya. Bukan pula dikarenakan Lara. Jadian dengannya bisa diakal-akali. Jadian sehari, besok langsung putus. Begitu solusi untuk menggenapi janji taruhan. Namun lebih dari itu, dia benar-benar telah jatuh cinta. Bukan cinta sesaat. Bukan cinta obral. Dan bukan pula cinta bersyarat dengan ketentuan berlaku seperti pada iklan sebuah produk. Cinta ini cinta yang tak lagi mengandalkan logika. Cinta yang bila tak terobati mengakibatkan gangguan kejiwaan seperti halnya yang terjadi pada hikayat cinta Laila Majnun. Dia rela mati asal dapat bertemu Vanda.

Gairah cinta yang menyala-nyala mengalir lewat kecepatan laju motornya. Dia melesat laksana elang pemburu yang mengangkasa penuh kekuatan, melayang cepat dan terarah di bawah payung biru yang membentang.

Kecepatan telah mengantarkan Sello ke komplek perumahan mewah dengan arsitektur bergaya modern eklektik. Dia pun melambatkan laju motornya, mencari nomor rumah tujuan. Dia menemukannya ketika akan berbelok dari blok pertama yang dimasuki. Yah, rumah itu berada di ujung persimpangan blok pertama.

Sello tertegun menatap rumah mewah bertingkat dan berhalaman luas dari balik pagar yang tinggi. Sentuhan warna kuning yang mendominasi bangunan makin menambah kesan mewah rumah. Mobil Honda Civic warna merah yang terparkir di bawah kanopi halaman garasi rumah mempertegas alamat yang dituju.

Nggak salah lagi.

Sello turun dari motor mengamati ke dalam halaman melalui celah pagar. Di bagian pagar terdapat papan peringatan bertuliskan, "Awas ada anjing galak".

Nggak heran sih.

Sello mencari bel dan menemukan tombolnya berada di sisi tembok pagar, lalu menekannya. Alih-alih menunggu, dia terloncak kaget ketika gonggongan anjing jenis Pitbull datang menyambut. Set dah!

"Hush, hush!" usirnya. "Gue mau ketemu sama majikan lo, hush, hush!"

Anjing Pitbull itu terus menggonggong. Sello garuk-garuk kepala, hilang akal—tidak ada tulang maupun ranting yang bisa mengalihkan si dogy. Dia beranikan diri menggeser pagar sangat pelan dan perlahan. Pagar terbuka celah demi celah.

"Tenang boy. Tenang," ucapnya tak gentar sambil menyurukkan badan ke celah pagar dengan mata tetap mengawasi si dogy yang sudah berhenti menyalak, tapi tatapannya masih waspada. "Ya, gitu saja lo terus. Duduk yang kalem."

Ketika dirinya sudah masuk ke halaman, tiba-tiba pagar bergerak menutup secara otomatis. Sello terpaku dengan muka pucat. Terlebih melihat Dogy bereaksi dengan tegak berdiri sambil menyeringai memperlihatkan gigi taringnya yang tajam, lalu menyalak sejadi-jadinya.

"Stop, Tobi! Stop!" seru suara perempuan dari dalam rumah.

Dengan patuh anjing itu mundur dan menjauh dari sasaran yang masih tegak dengan lutut gemetar.

Vanda muncul dari balik pintu. "Sello?"

"Oh, eh," Sello mengusap keringat dingin yang membasahi wajahnya. "Hai, Van..."

"Masuk," ajak Vanda. Sello menoleh ke Tobi yang duduk bersimpuh di depan kandangnya. "Tenang saja. Tobi sudah disuntik rabies kok," lanjutnya.

"Kamu ngomong gitu seolah aku takut padanya," ucap Sello, berlagak. "Aku cuma kaget saja tadi."

Vanda mencibir. "Tobi," panggilnya. Tobi segera angkat kepala, menoleh. "Sambut tamu kita!"

"Jangan, jangan, jangan!" larang Sello, ketakutan.

Vanda tergelak senang. "Nggak jadi, Tobi!"

Tobi kembali duduk bersimpuh.

Vanda mempersilakan Sello duduk di kursi teras. "Ada kabar apa, nih? Kok kamu bisa tahu rumahku?"

Sello memandangi Vanda penuh perhatian. Gadis itu mengenakan kamisol hitam dan jeans belel pendek warna abu rokok yang nyaris seperti celana dalam, yang memperlihatkan kaki putihnya yang jenjang. "Sello gitu loh." Dia berkata setelah mendegut kasar.  

Vanda memandang penuh selidik. "Kamu memata-mataiku lagi?"

"Siapa? Aku? Sori, sori sajalah!"

"Hmm!" Vanda kembali mencibir. "Terus kamu mau apa datang kemari?"

"Emangnya nggak boleh?"

"Boleh saja, sih. Tapi harus ada alasannya dong."

"Nggak ada alasan."

"Bohong."

"Hmm... baiklah, akan kukatakan. Satu-satunya alasanku datang kemari..." Sello menggantung ucapannya. "Karena pesonamu telah menjerat langkah kakiku sehingga aku kesulitan menentukan arah selain mengarah padamu."

Vanda membuat ekspresi mau muntah. "Gombal banget sih lo!"

Sello mengekeh. "Lo?"

"Penyesuaian." Vanda mengikik.

"Aku lebih suka kamu apa adanya."

"Bukan ada apanya?"

"Satu paket."

"Nah, biar kutebak." Vanda memperhatikan Sello dengan mata menyelidik. "Pasti kamu tahu alamatku dari Lara'kan?"

"Hmm..."

"Ngaku saja, deh."

"Mm-hm." Sello terpaksa mengiyakan.

"Damn!"

"Kenapa?"

"Nggak apa-apa. Aku cuma nggak mau dikunjungi."

"Aneh."

"That's me."

"Aku nggak percaya."

"Bukan urusanku."

"Kamu anti sosial?"

"Apa aku mesti membuka catatan kehidupanku padamu? Siapa sih, kamu?"

"Pacarmu," jawab Sello percaya diri. "Setidaknya nanti," lanjutnya.

"Aih, kepedean!"

"That's me."

"Baiklah, aku serius. Aku akan welcome jika kamu terus terang padaku. Jika kedatanganmu cuma sekedar merayuku dan mengajakku untuk menjadi pacarmu, kurasa kamu salah alamat. Sudah kubilang aku nggak tertarik."

"Oh, tidak, tidak. Aku justru datang sebagai teman. Aku tahu diri kok. Aku mengerti aku ini bukan level maupun tipe kamu. Masih banyak toh cowok yang lebih baik dari aku."

"Kamu tersinggung?"

"Tidak." Dalam hati Sello berucap, "Banget!"

"Thank's god!"

"Siapa sih, orang yang beruntung itu?"

"Bukan siapa-siapa."

"Ok."

Hening.

"Em..." Mereka kompak bersuara.

"Kamu dulu, deh." Sello mempersilakan Vanda.

"Nggak jadi. Lupa mau bilang apa."

"Oh."

"Kamu?"

Sello mengangkat bahunya. "Entahlah, tapi..."

"Ya?"

"Kamu marah nggak dengan apa yang kubilang nanti?"

"Tergantung."

"Janji dulu kamu nggak marah. Baru aku mau bilang."

"Selama yang kamu katakan itu baik, aku nggak masalah."

"Um, aku juga nggak tahu ini baik apa bukan, tapi aku butuh kerjasama darimu. Itu saja."

"Tarifku mahal lho?"

"Aku bayar berapa pun yang kamu pinta."

Vanda tertawa renyah. "Ayo, katakan."

Sello diam sesaat. "Um, mau nggak kamu jadi pacarku?"

"Ya, Tuhan. Tadi sudah kubilang aku..."

"Pacar bohongan maksudku."

Vanda mengkernyitkan dahinya. "Kamu lagi frustasi?"

"Um, begini...eh, tapi kamu menghargai kejujuran 'kan?"

"Kalau itu menyakitkan, yah, kamu tahu sendirilah. Semua orang pasti akan marah dan berontak setelah mengetahui kebenarannya."

Sello garuk-garuk kepala. "Kupastikan kamu bakalan marah."

"Oh, ya?" respon Vanda. "Wow! Aku jadi penasaran."

"Yakin?"

Vanda mengangguk. "Nggak pernah seyakin ini."

"Oke." Sello menarik nafas dalam-dalam. Mungkin dengan mengatakan situasi sebenarnya adalah solusi yang baik meski itu harus membuatnya mundur selangkah. Tapi untuk memenangkan sebuah kompetisi, ada baiknya kita memilih mundur selangkah untuk mendapatkan sepuluh langkah berikutnya. Begitu pesan Ayahnya tadi malam. Dan dia menerima baik saran itu. Setelah merasa tidak ada beban yang mengganggu pikirannya, dia berkata, "Aku mendekatimu karena kamu masuk dalam bagian permainan kami."

"Permainan apa?"

"Kamu tahu sendirilah, permainan cowok-cowok."

"Oh, I see. Lalu?"

Sello menyelidki perubahan ekspresi di wajah Vanda. Tak ada rona merah marah maupun kerutan kekesalan yang diperlihatkannya. Permulaan yang cukup bagus. "Nah, yang kalah dalam taruhan harus rela jadi pacar Lara."

Mata bening Vanda membulat. "Kuharap kamu di pihak yang kalah."

"Jangan gitu dong."

"Kenapa?"

"Tak seorang cowok pun di dunia ini yang mau jadi pacarnya."

"Hati-hati kalau kamu bicara. Aku nggak suka." Vanda mengecam. Sejak pertama masuk Sekolah Cahaya Nusantara, dia sudah memperhatikan sikap buruk murid-murid pada Lara. Hanya saja Lara tidak berterus terang menyampaikannya. 

"Sorry. Tapi bagaimana dengan tawaranku tadi? Apa... kamu tertarik?"

"Um..." Vanda diam. Tatapannya menerawang. Tak lama dia menoleh dan menatap Sello lama. "Lara temanku. Dia murid pertama yang kukenal di sekolah kita. Sebagai teman, aku tak ingin melihat dirinya menjadi korban bully dan bahan ejekan kalian. Toh, siapapun dari kalian yang kalah tetap saja Lara yang menjadi korbannya. Aku tak bisa menerimanya."

"Lalu keputusanmu?"

Vanda menggeleng pelan. "Batalkan saja permainan kalian."

"Aku hargai keputusanmu, tapi aku nggak bisa membatalkan permainan dan mundur dari tantangan."

"Itu urusanmu. Bukan urusanku. Aku akan melindungi Lara dari cowok dan murid-murid seperti kalian. Sudah cukup baginya menerima bully dari kalian."

Sello mengerutkan dahi, heran pada kegetolan Vanda membela Lara. "Boleh tahu kamu ini siapanya Lara?"

"Teman."

"Kurasa lebih dari teman. Apa kalian bersaudara?"

"Mungkin."

Hening. Keduanya tenggelam dalam perasaannya masing-masing. Sello bergelut bersama perasaan luka lantaran ditolak, sementara Vanda sudah jemu dan ingin segera mengakhiri pertemuan.

"Yah," Sello buka suara. "Kupikir tak ada yang perlu dibicarakan lagi. Pada akhirnya aku kalah dan harus siap dengan tegar menerima kekalahanku. Sekalipun aku menolak, Mahkamah Konstitusi tidak menerima laporan kekalahan cinta dari pemuda gombal sepertiku. Iya'kan?"

Vanda spontan tertawa. "Hei, cinta itu butuh proses,"  ucapnya dikala tawa mereda. "Kupikir kamu masih punya peluang untuk mendapatkannya."

"Benarkah?" Segaris senyum tipis mengembang di wajah Sello. Sorot mata seketika bercahaya.

"Yah, pada akhirnya waktu yang akan menjawab pada siapa cintamu akan berlabuh. Lara atau... yang lainnya."

"Aku berharap cintaku berlabuh di dermaga hatimu."

"Gombal!" cibir Vanda. "Tapi awas jika kamu mempermainkan Lara. Aku tidak akan memaafkanmu."

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • dede_pratiwi

    nice story, kusuka bahasa yg dipakai ringan. keep writing...udah kulike dan komen storymu. mampir dan like storyku juga ya. thankyouu

    Comment on chapter Casanova
  • yurriansan

    Mainstream si, tp jokes nya bikin ngakak...????

    Comment on chapter Casanova
Similar Tags
Novel Andre Jatmiko
7596      1698     3     
Romance
Nita Anggraini seorang siswi XII ingin menjadi seorang penulis terkenal. Suatu hari dia menulis novel tentang masa lalu yang menceritakan kisahnya dengan Andre Jatmiko. Saat dia sedang asik menulis, seorang pembaca online bernama Miko1998, mereka berbalas pesan yang berakhir dengan sebuah tantangan ala Loro Jonggrang dari Nita untuk Miko, tantangan yang berakhir dengan kekalahan Nita. Sesudah ...
Love Finds
13687      2505     19     
Romance
Devlin Roland adalah polisi intel di Jakarta yang telah lama jatuh cinta pada Jean Garner--kekasih Mike Mayer, rekannya--bahkan jauh sebelum Jean berpacaran dengan Mike dan akhirnya menikah. Pada peristiwa ledakan di salah satu area bisnis di Jakarta--yang dilakukan oleh sekelompok teroris--Mike gugur dalam tugas. Sifat kaku Devlin dan kesedihan Jean merubah persahabatan mereka menjadi dingin...
Sherwin
328      212     2     
Romance
Aku mencintaimu kemarin, hari ini, besok, dan selamanya
Intuisi Revolusi Bumi
920      464     2     
Science Fiction
Kisah petualangan tiga peneliti muda
Alicia
1084      504     1     
Romance
Alicia Fernita, gadis yang memiliki tiga kakak laki-laki yang sangat protektif terhadapnya. Gadis yang selalu menjadi pusat perhatian sekolahnya karena memiliki banyak kelebihan. Tanpa mereka semua ketahui, gadis itu sedang mencoba mengubur luka pada masa lalunya sedalam mungkin. Gadis itu masih hidup terbayang-bayang dengan masa lalunya. Luka yang berhasil dia kubur kini terbuka sempurna beg...
Please stay in my tomorrows.
335      236     2     
Short Story
Apabila saya membeberkan semua tentang saya sebagai cerita pengantar tidur, apakah kamu masih ada di sini keesokan paginya?
Chocolate Next Door
305      212     1     
Short Story
In which a bunch of chocolate is placed on the wrong doorstep
Someday Maybe
9428      1807     4     
Romance
Ini kisah dengan lika-liku kehidupan di masa SMA. Kelabilan, galau, dan bimbang secara bergantian menguasai rasa Nessa. Disaat dia mulai mencinta ada belahan jiwa lain yang tak menyetujui. Kini dia harus bertarung dengan perasaannya sendiri, tetap bertahan atau malah memberontak. Mungkin suatu hari nanti dia dapat menentukan pilihannya sendiri.
IMAGINATIVE GIRL
2052      1084     2     
Romance
Rose Sri Ningsih, perempuan keturunan Indonesia Jerman ini merupakan perempuan yang memiliki kebiasaan ber-imajinasi setiap saat. Ia selalu ber-imajinasi jika ia akan menikahi seorang pangeran tampan yang selalu ada di imajinasinya itu. Tapi apa mungkin ia akan menikah dengan pangeran imajinasinya itu? Atau dia akan menemukan pangeran di kehidupan nyatanya?
Verletzt
1179      529     0     
Inspirational
"Jika mencintai adalah sebuah anugerah, mengapa setiap insan yang ada di bumi ini banyak yang menyesal akan cinta?" "Karena mereka mencintai orang yang tidak tepat." "Bahkan kita tidak memiliki kesempatan untuk memilih." --- Sebuah kisah seorang gadis yang merasa harinya adalah luka. Yang merasa bahwa setiap cintanya dalah tikaman yang sangat dalam. Bahkan kepada...