"Kamu kenapa sih, Je, Sekarang nggak mau bantuin ngajar kayak tahun lalu? Kan kasihan Mas Ayas, dia kewalahan ngurus anak-anak. Tahu sendiri kan, gimana murid kita?" Marningsih meletakan es batu, pada wadah yang sudah kusiapkan. Hari ini, aku hanya membuat es kelapa muda dengan campuran sirup pemberian Mak Rinah. Memang sudah jadi kebiasaan warga sini, kalau rumah yang ditempati da'i, pasti banjir kiriman. Entah itu bahan makanan, atau makanan yang sudah matang.
"Bukan nggak mau, Ning. Tapi emang nggak sempet. Sekarang, Simbah makanannya harus dipisah, ada banyak pantangan yang dihindari karena kondisi kesehatan, jadi masaknya juga macem-macem. Belum lagi ada Mas Da'i, pastinya harus ada menu tambahan, setidaknya ada sayur sama lauk. Kalau aku ikutan ngajar, yang masak siapa?" Aku mengambil daun seledri, lalu memasukkannya pada sayur bening bayam, sebagai sentuhan akhir agar aromanya makin matap.
"Emang kamu pikir, Iyungmu ini udah nggak bisa masak?" Iyung menimpali. Wanita yang rambutnya sudah hampir rata memutih itu membawa semangkuk kolak. "Bukannya Iyung juga sudah nyuruh kamu buat ke mesjid? Kamunya aja yang ngeyel."
"Tuh kan, Je. Kamu nggak usah kebanyakan ngeles, deh. Katanya mau mewujudkan impian Bapakmu. Mendirikan TPA, dan mengajarkan ilmu agama. Kenapa sekarang malah males gitu? Kamu nggak lagi menghindari Mas Ayas, karena takut jatuh cinta kayak jaman Ustadz Ashoffa dulu, kan?" Pertanyaan Marningsih hampir membuatku menuangkan sebungkus garam pada sayur nangka muda yang sedang kumasak.
"Astaghfirullah," Aku buru-buru mengambil garam yang masuk ke wajan dengan porsi berlebih.
"Tuh, kan, jadi kebanyakan. Bahas itunya nanti aja lah. Bentar lagi adzan, entar malah masakanku tambah kacau," jawabku sedikit membentak. Siapa yang nggak kesel coba? Udah tahu lagi buru-buru, malah direcokin. "Lagian emang kamu udah selesai masaknya? Bukannya nyiapin masakan di rumah, malah ngerecokin dapur orang."
"Udah dong, urusan masak mah, kecil. Serahin aja sama Lintang." Dasar Marningsih! Selalu saja Lintang yang jadi korban. Giliran ada maunya saja dia rajin kebangetan, tapi kalau lagi males, Lintang yang harus mengerjakan semuanya. Sendirian. Dan ketimbang rajinnya, Marningsih jauh lebih sering malesnya. Pantas mereka sering bertengkar. Kalau saja aku yang jadi adiknya, mungkin sudah kupecat dia jadi anak sulung.
Suara kambing dari kandang milik Uwa Yatin saling bersahutan. Kurasa mereka melihat mamak Marningsih pulang dengan segulung rumput. Tak lama kemudian, aku mendengar suara seperti kayu yang dibanting di halaman samping. Pasti itu Uwa Wasono. Dulu Bapak yang selalu mencari kayu bakar untuk Iyung, sekarang bapaknya Marningsih yang menggantikan tugas itu.
"Ya sudah, aku pulang dulu. Bentar lagi bedug, Mamak sama Bapak juga sudah pulang. Kalau di sini terus, entar bisa-bisa kena semprot sama Lintang. Bye!"
Gadis itu meninggalkan dapur sambil masih menyandang mukena. Katanya tadi dia bantuin Ayas ngajar. Tapi aku nggak yakin sama sekali, apa dia benar-benar mengajar, atau malah sibuk tepe-tepe sama Ayas. Awas saja kalau dia berani melakukan itu, kupastikan, napasnya yang gratis hanya akan menjadi sebuah mitos.
Eh, kenapa jadi aku yang sewot, terserah dia kan? Memangnya siapa aku?
"Assalamu'alaikum." Ayas pulang tepat saat adzan berkumandang. Aku dan Iyung menjawab salam bersamaan.
Simbah yang tadi duduk di teras, sudah ikut bergabung di meja makan. Sementara Asrul, tadi menelpon, katanya mau menginap di Ungaran. Di tempat teman kuliahnya dulu.
Kami hanya membatalkan puasa dengan segelas air putih, lalu berangkat ke masjid untuk jamaah sholat maghrib. Setelah itu, baru makan sambil menunggu waktu isya. Yang penting sudah menyegerakan berbuka sesuai kesunahan, dan makan juga lebih tenang karena tidak takut kehabisan waktu sholat maghrib.
Kata bapak, saat seorang berbuka puasa, maka malaikat akan mendoakan kebaikan untuknya selama makan. Itu artinya, semakin lama makannya, semakin banyak didoakan oleh malaikat. Iya, kan?
Ayas mengambil sayur nangka beberapa sendok lalu menyiramkan sayur bening ke piringnya. Belakangan ini aku baru tahu, ternyata makanan kesukaannya cukup sederhana. Hanya oseng-oseng nangka muda, ditambah sayur bening dan sambel terasi. Kalau dihadapkan dengan menu itu, maka dia akan makan dengan sangat lahap.
Aku selalu puas saat Ayas bisa menikmati masakanku.
"Jea ..." Ayas memanggilku yang sedang mengambil es kelapa, iyung dan simbah yang masih sibuk mengambil sayur, ikut berhenti demi mendengarkan Ayas, karena sekarang pemuda itu sedang menatapku dramatis.
"Ya?
Nikah, yuk."
Aku tersedak mendengar kata yang dia ucapkan. Apa maksudnya, coba?
"Maksud Mas Ayas?" Iyung yang lebih dulu menjawab. Aku masih terbatuk-batuk akibat tersedak. Simbah malah memandangiku dan Ayas bergantian seperti orang linglung.
"Iya, Yung. Katanya, kalau anak perawan masak keasinan, artinya dia sudah ingin menikah. Barangkali Jea sedang melamar saya melalui masakannya ini."
Aku berpikir sejenak untuk bisa mencerna maksud ucapannya barusan. Asin! Otakku meneriakkan kata itu dengan sangat lantang. Aku segera mencicipi masakan itu, dan ternyata memang asin kebangetan. Dalam hal ini, Marningsih menjadi satu-satunya yang paling patut disalahkan. Pasti karena dia menggangguku, dan tadi garamnya tumpah.
Duh, mau ditaruh di mana mukaku?
Menurutku, tidak ada hal yang lebih memalukan dari masakan keasinan. Dan di saat seperti ini, pasangan renta yang duduk di sampingku, justru menertawakan cucunya. Mereka benar-benar orang tua yang tidak berprikecucuan. Bukannya bantu menjelaskan, iyung malah ikut memojokkan. Padahal tadi kan iyung juga ada di TKP saat insiden garam tumpah itu terjadi.
"Jadi gimana, Je? Kapan kalian siap dinikahkan? Kita siap mantu, loh. Iya kan, Mbah?" Iyung memegang punggung tangan Simbah. Selain tidak berprikecucuan, mereka juga tidak berprikejombloan. Selalu mengumbar kemesraan di depanku, padahal mereka sudah sama-sama tua. Tapi melihat keromantisan mereka, kadang aku juga membayangkan, untuk menjadi tua bersama, tetap saling mencintai dan saling menjaga dengan pasangan hidupku nanti, seperti simbah dan iyung.
***
Pagi ini hujan turun lagi. Jamaah Sholat subuh, hanya orang-orang yang rumahnya dekat dengan masjid. Itu pun hanya beberapa. Sebagian mungkin lebih memilih kembali ke kasur setelah sahur. Kalau cuaca dingin begini, bantal, guling, dan selimut memang selalu menjadi sekutu paling pas buat menikmati pagi.
Padahal, baru kemarin Ayas menerangkan tentang pahala jamaah subuh. Yang katanya kalau diperlihatkan, maka ia setara dengan dunia beserta seluruh isinya. Tapi rupanya, hujan mampu menghalangi langkah-langkah yang di dalamnya penuh keberkahan.
Omong-omong soal hujan. Menurutku, wanita memiliki sifat yang sebelas-dua belas dengan hujan.
Dulu, musim penghujan dan musim kemarau turun dengan teratur. Karena itu pula, Sapardi Djoko Damono mengibaratkan hujan bulan juni sebagai cinta yang syarat akan kearifan.
Tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan juni.
Juni adalah bulan musim kemarau. Sangat mustahil kalau hujan turun.
Karena itulah, hujan bulan juni digambarkan seperti sebuah perasaan yang ditahan. Tentang seseorang yang begitu sabar dan tabah dalam menyimpan perasaan, karena belum waktunya turun.
Kurasa, jaman dulu wanita juga seperti itu. Lebih memilih menyimpan perasaan cintanya, lalu diam-diam membisikan rindu lewat angin yang berembus. Juga lewat ujung sajadah.
Tidak seperti sekarang, hujan turun tanpa kenal bulan. Padahal seharusnya saat ini sudah memasuki musim kemarau, tapi hujan masih telaten menyambangi bumi.
Wanita jaman sekarang tak ada bedanya dengan hujan. Tak peduli bahwa dirinya seorang wanita, menyatakan cinta seolah wajar. Bahkan ada yang berani mengkhitbah lelakinya duluan. Mungkin ini yang disebut zaman edan. Semua serba terbalik.
Pulang dari masjid, aku melihat Karin sedang merengek pada suaminya. Dia minta dibelikan buah-buahan warna kuning. Katanya biar anak yang dikandungnya lahir dengan kulit kuning langsat.
Aku jadi membayangkan, kalau dulu Asrul yang menikah sama dia. Pasti saat ini telinga Karin lagi gatal dibuatnya, karena mendengar penjelasan-penjelasan ilmiah yang mematahkan kepercayaan Karin mentah-mentah.
"Mana ada warna kulit bayi terpengaruh sama buah yang dimakan. Warna kulit itu faktor genetika, nggak ngaruh warna makanan sama pigmen kulit. Karakter seseorang dikendalikan oleh sepasang gen, tapi warna kulit dipengaruhi poligen. Paparan cahaya matahari juga bisa mempengaruhi warna kulit. Tapi kalau kulit makanan, itu artinya, otakmu minta di upgrade!" Asrul akan membodoh-bodohkannya, lalu Karin terus merengek dengan dalih kalau itu keinginan anak yang dia kandung. Pada akhirnya, Asrul akan mengalah, dan merepotkan diri demi seorang istri. Tapi sayangnya, Mas Deny suami yang terlalu mudah lunak. Karin tak perlu melewati serangkaian perdebatan, lelaki itu sudah pergi, bahkan rela menerobos hujan demi istri dan calon anak yang ada di perutnya. Aku yakin, Mas Deny melakukannya bukan semata-mata karena percaya sama keyakinan Karin. Tapi lebih karena rasa cinta.
Aku hampir saja ketawa sendiri, karena heran dengan imajinasi yang mendadak liar begini. Ternyata, seorang Asrul bisa membuatku kangen juga, yah?
"Ngapain senyum-senyum sendiri?"Tau-tau motor Asrul berhenti di sampingku.
"Enggak. Cuma lagi inget sama masa lalu seseorang."
Alisku naik turun sambil melirik gadis yang sedang berdiri di depan pintu rumah Uwa Sarti, memegangi perutnya yang sudah membuncit.
Ralat. Dia sudah bukan gadis lagi, kegadisanya sudah hilang sejak hampir setahun lalu. Kehamilannya sudah memasuki bulan ke tujuh. Dia sebentar lagi akan menjadi seorang ibu.
Asrul mendengus kesal lalu meninggalkanku. Aku tertawa sendiri, langkahku semakin cepat, mengejarnya yang sudah memarkir motor di depan rumah. Ada banyak hal yang ingin ku tanyakan. Pada saat tertentu, dia mirip google hidup yang bisa kujadikan tempat untuk mencari tahu banyak hal.
***
Dering telpon mengusikku yang baru berniat untuk terlelap. Aku baru merampugkan do'a sebelum tidur, dan niat untuk berkelana ke alam mimpi harus tertunda.
Suara itu semakin tidak sabaran. Saat kulihat, ternyata sebuah nomor tak dikenal.
"Assalamu'alaikum." Sudah jadi kebiasaanku menjawab telpon diawali salam. Malah Bapak pernah memperingatkan, agar jangan pernah bicara tanpa didahului salam, karena setan bisa saja turut andil dalam percakapan seseorang. Hal itu tertanam dalam otakku sampai saat ini.
Suara lelaki diujung telpepon, menjawab salamku sambil menguap.
"Belum tidur?"
"Maaf. Siapa, yah?"
"Aku tetanggamu," jawabnya dengan suara serak. "Tetangga kamar," lanjutnya. Aku yang sudah terlalu mengantuk, tidak mau ambil pusing dan enggan basa-basi.
"Oh. Ada apa?"
"Enggak. Cuma mau tahu kamu udah tidur apa belum." Dia sama sekali tidak merasa bersalah, padahal sedang mengganggu waktu istirahat orang lain. Kata apa selain 'tidak tahu diri' yang pantas untuk lelaki itu.
"Yaudah, sekarang udah tahu, kan? Aku mau tidur. Tolong matikan telponmu." Mataku semakin berat, besok aku pasti membuat perhitungan dengan orang yang seenaknya menelpon malam-malam begini.
"Aku mau jagain kamu. Kalau kamu belum tidur, aku nggak akan tidur untuk memastikan bahwa tidurmu benar-benar nyenyak."
"Nggak usah sok superman, deh."
“I’am not superman, but your man.”
Mendengar ucapannya aku langsung mual, otakku loading dengan kecepatan maksimal. Dan baru menyadari, kalau orang yang dari tadi bicara denganku itu Ayas.
Langsung kututup telpon tanpa aba-aba. Dari mana dia punya nomorku? Lagian, Da'i yang sedang bertugas, seharusnya tidak boleh membawa handphone, kan? Aku hampir lupa, kalau tabiatnya adalah pelanggar aturan. Jangankan membawa alat komunikasi, kabur dari pondok juga dia jabani.
Handphonku berdering lagi, padahal baru saja dilempar. Orang itu benar-benar cari mati. Menyesal rasanya membiarkan dia melangkah lebih dekat. Mungkin memang lebih baik kalau aku menjaga jarak darinya. Itu akan baik untuk perasaanku nantinya. Kehadiran Ayas saat ini, hanya sebuah mimpi yang akan segera sirna ketika pagi menjelang. Dia akan pergi seiring bulan ramadhan. Lebaran nanti, aku harus menyiapkan hati untuk merasakan kehilangan dua hal sekaligus. Bulan ramadhan, dan juga Ayas.
"Ada apa lagi?!"
Tanpa basa-basi, aku langsung membentak.
"Ayahmu masih hidup." Rasa kantuk yang sebelumnya bergelayut mendadak sirna. Kulihat layar ponsel, ternyata nomor yang berbeda dengan milik Ayas. Suara lelaki misterius dari ujung telpon, mengatakan sesuatu yang membuatku tak karuan.
"Jangan pernah percaya pada siapa pun. Termasuk orang terdekatmu."
Panggilan diputus tiba-tiba. Saat aku mencoba menghubunginya, nomor itu sudah tidak aktif.
Siapa dia?
Apa yang dia tahu tentang Bapak? Kenapa dia bilang bapak masih hidup, dan aku tidak boleh percaya pada orang lain. Apa artinya, selama ini mereka sengaja menyembunyikan kebenaran tentang bapak? Tapi mereka siapa? Keluargaku sendiri? Tidak mungkin mereka sejahat itu padaku.
Seluruh pertanyaan itu tak henti menghujani kepala. Sampai-sampai tidak bisa tidur, karena memikirkan ucapan orang misterius tadi. Apa tujuannya mengatakan hal tersebut, kalau memang ingin membantu, kenapa tidak langsung mempertemukanku saja dengan bapak. Lebih masuk akal, kan?
Malam ini, hampir nggak bisa tidur sama sekali. Kepalaku mendadak pusing, dan kalau sudah begini, maka membaca Al Qur'an menjadi pilihan terbaik. Hatiku selalu merasakan ketenangan, setiap kali membaca ayat-ayat cinta-Nya, dan aku akan melakukannya sampai sahur menjelang.
***
Assalamu'alaikum, Gadis bermata pedang.
Bagaimana kabar jemari tanganmu?
Masihkah ia selalu merekah di sepertiga malam
Dan menjemput pagi dalam tengadah?
Masihkah ia melangitkan do'a atas nama kerinduan?
Selamat pagi, calon bidadariku.
Bagaimana kabar hatimu?
Masihkah ia, melesatkan ayat-ayat cinta-Nya seperti hendak meruntuhkan langit?
Karena engkau inginkan Allah mendengar pintamu?
Sungguh
Aku di sisimu
Tersenyumlah
Jika hidup ini terlalu berat bagimu
Berbagilah denganku.
Genggam tanganku seerat yang kau bisa
Dan aku akan melakukan hal yang sama.
Secarik kertas menyambutku di depan pintu. Tulisan Ayas kali ini membuat alisku saling bertaut.
Gadis bermata pedang? Apa maksudnya? Memang tatapanku setajam itu, ya? Diksinya benar-benar payah. Aku bermonolog sendirian seperti orang setengah waras. Tapi tetap saja puisinya membuatku cengengesan.
Ternyata dia masih belum berubah. Penilaianku selama ini tentang Ayas yang telah menjadi pria dewasa dan berwibawa, sekarang sudah raib. Ayas masih sama seperti dulu.
***
"Kapan kamu mau nikah, Nduk? Iyungmu sudah tua, mbok ya cepet-cepet bawa calonmu kemari. Kalau dijodohkan selalu menolak, katamu sudah punya calon, tapi sampai sekarang belum juga datang. Kita nggak pernah tau, kapan Gusti Allah mau ndawuih. Iyung juga ingin melihatmu menikah dan dipanggil buyut sama anakmu."
Menurut pemikiran sebagian besar orang Jawa, usia yang paling tepat untuk menikah bagi seorang gadis adalah pada usia duapuluh sampai dua puluh lima tahun.
Sayangnya, usiaku sudah dua puluh tiga, yang artinya mendekati angka yang mereka imani sebagai batas kedaluwarsa sebagai perawan. Entah sudah kali ke berapa iyung menanyaiku, dengan kata-kata yang membuatku berpikir tentang lebih baik pindah ke planet Mars, dari pada harus mendengarnya. Di desaku, rata-rata anak perempuan sudah menikah di usia dua puluh tahun. Bahkan Karin, dia menikah saat masih delapan belas tahun.
Iyung mulai membentangkan tenda untuk menjemur padi hasil panen kemarin. Hari ini matahari cukup cerah. Kalau seperti ini terus, mungkin nanti sore bisa kering.
"Kamu sudah cukup dewasa, apa mau jadi perawan tua?" Iyung selalu saja menyudutkanku.
"Belum saatnya, Yung. Insya Allah, setelah Jea menemukan ..." Aku berhenti, iyung memandangku dengan tatapan yang membuatku urung melanjutkan kalimat. Iyung tidak pernah suka kalau aku membicarakan bapak.
Pada akhirnya aku hanya bisa menerka-nerka.
Apa yang salah dengan bapak? Kenapa setiap menyinggung tentang bapak, iyung ataupun simbah selalu menghindar dan terkesan tidak suka. Apa yang sebenarnya mereka sembunyikan dariku? Apa mungkin, sebenarnya mereka tahu tentang bapak? Atau hanya karena perasaan sedih kehilangan seorang anak?
Iyung mengambil sehelai bulu ayam yang ada di dekat kaki, lalu menyelipkanya pada ujung baju yang digulung. Aku yakin banget, kalau nggak lagi puasa, iyung pasti akan membuang sebagian bulunya, menyisakan sedikit di bagian ujung, lalu digunakan untuk mengorek kuping. Orang tua jaman dulu bilang, kalau bagian paling nikmat dari ayam adalah bulunya. Buat ngorek kuping.
"Kamu lihat mereka," Aku mengikuti perintah iyung. Seketika seolah ada sesuatu yang sangat keras dihantamkan ke dadaku.
Ayas dan Marningsih, mereka sedang duduk berdua di ayunan. Ayas memegang sebuah kitab, dan Marningsih mendengarkan penjelasan Ayas tentang salah satu bait Alfiyah.
"Ketika dua aamiil menuntut amal pada satu ma'mul yang sama, maka berikanlah amal itu pada salah satu dari keduanya." Ayas berhenti sejenak, memandangi wajah Marningsih lalu kembali pada kitabnya.
"Mereka kelihatan bahagia, kan?" Aku mengabaikan ucapan Iyung. "Pernikahan mampu membuka pintu keberkahan, itu bukan sekedar teori kopong."
Benda-benda tajam, ditusukan tepat ke jantung, ke hati, juga ke bagian-bagian lain yang mulai membuatku mati rasa. Entah siapa pelakunya, yang jelas rasa nyeri itu sangat nyata, saat Marningsih dan Ayas terlihat mesra berdua.
Tahu-tahu, kaki ini sudah membawaku meninggalkan iyung dan menghampiri mereka.
"Gus ..." Air mataku sudah tidak bisa ditahan lagi. Aku menangis di hadapannya, juga Marningsih.
"Kamu ..." Tanganku membungkam mulut saat menyadari jemari mereka saling bertaut.
Ayas bangkit. Sesungging senyum menghiasi wajahnya. Marningsih hanya terdiam dan menunduk. Entah apa yang dia pikirkan, tapi dia tidak berani menatapku.
"Maaf. Aku memilihnya," ucap Ayas sambil mengusap pipi Marningsih, dan memandangnya dengan tatapan memuja.
"Selama ini kamu selalu menjauh. Justru dia yang selalu menemaniku. Aku minta maaf kalau ini membuatmu terluka, tapi kalau hatiku merasa nyaman dengan yang dekat. Kenapa harus mendekati yang selalu menjauh?" Kalimatnya menampar kesadaranku. Omong kosong apa yang sedang dia bicarakan? Aku memang menjauhinya selama ini, tapi bukan berarti sudah tidak punya perasaan.
Aku hanya ingin fokus untuk menemukan bapak, agar saat aku bersamanya suatu saat nanti, aku bisa menjadi pendamping terbaik. Yang bukan hanya mencintainya, tapi juga bisa menjadi penggenap bagi dirinya. Karena bagiku, cinta bukan hanya sekedar tentang rasa nyaman. Cinta bukan sekedar menerima, tapi memberi, memberi dan memberi.
Aku menangis lagi, benar-benar menyedihkan, karena sekarang Ayas sudah mengabaikanku demi kembali pada Marningsih.
Sakit yang kurasakan mulai menjalar ke seluruh tubuh, bukan hanya sesak, tapi juga mempengaruhi sistem gerak, sampai aku hanya bisa mematung sambil menangis, seperti bocah cilik yang makananya dibawa lari seekor ayam.
Allah, sesempit inikah hatiku? sekedar mengikhlaskan sesuatu yang sebenarnya bukan milikku, tapi kenapa aku merasa tidak sanggup?
Ikhlas? Apa definisi ikhlas yang sebenarnya adalah rasa sakit? Kenapa hatiku sakit membayangkan harus ikhlas melihat kebersamaan mereka? Atau, rasa sakit ini justru karena hatiku yang masih jauh dari kata ikhlas?
“Berhenti jadi bocah cengeng, kamu bukan anak kecil.”
Seseorang menarik ujung bajuku.
Bocah berambut keriting yang menyandang busur panah.
Anak itu melihatku dan Ayas bergantian. "Sesuatu yang akan menjadi milikmu, akan kembali padamu, sejauh apapun dia melangkah pergi. Kamu tak perlu merisaukan hal itu," lanjutnya. Lalu tiba-tiba ada sebuah sungai yang mengalir di hadapanku. Sekejap, tubuhku sudah berpindah tempat. Kadang aku heran, sebenarnya siapa anak kecil itu? Kenapa setiap kali bertemu, dia selalu membuatku melongo dengan tingkah dan ucapannya.
"Di sana, bapakmu sedang menjadi tawanan." Ia menunjuk ke seberang sungai yang terlihat gelap. "Dia membutuhkanmu."
Jadi ini mimpi? Ayas dan Marningsih yang tadi juga mimpi, kan? Aku mendadak ingin jingkrak-jingkrak, tapi tubuhku seperti dilolosi tulang-tulangnya saat penglihatanku menangkap satu hal, bapak sedang berjalan di atas bara api, bersama segerombolan orang yang bergerak seperti robot.
Apa yang harus kulakukan?
Kakiku melangkah sekonyong-konyong berniat menyeberangi sungai, tapi sekarang tubuhku malah tersedot ke dalam lumpur yang bergerak. Dadaku sesak, hampir tak bisa bernapas sama sekali. Aku hanya bisa menangis. Saat seorang ayah sedang membutuhkan anaknya, aku justru terjebak dalam keadaan yang menyedihkan. Semakin aku berusaha melepaskan diri, tubuhku semakin tenggelam.
"Ini hanya mimpi," ucapku, lalu membiarkan lumpur-lumpur itu menenggelamkanku tanpa ampun.
Tubuhku bergetar hebat, seolah dunia sedang dikoyak oleh tangan raksasa.
"Jea, temenin ke pasar, yuk." Karin menggoncangkan tubuhku seperti orang kesetanan. Kepalaku pusing karena dipaksa sadar dengan tiba-tiba. Heran, kenapa hidupku dikelilingi orang-orang yang tidak sabaran dan cenderung bersikap anarkis hanya untuk membangunkan orang? Masih ingat waktu Marningsih membangunkanku tempo hari? Dia juga menarik tubuhku dengan kasar. Sekarang Karin melakukan hal yang nggak kalah sadis.
"Jea, temenin ya." Nada bicaranya manja, memang sudah jadi pembawaan dan ciri khas Karin. "Aku pengin makan es krim Matcha. Bukannya nggak menghormati orang puasa, tapi perutku dari tadi sakit mulu. Kemarin kan aku udah minta Mas Deny buat beliin es krim pas pulang kerja, tapi dia malah lupa mulu. Temenin, yah. Demi calon keponakanmu." Dia mengelus perut yang buncit. Kalau sudah begini, siapa yang tega menolaknya? Alasan kehamilan memang selalu bisa membuat seorang calon ibu mendapatkan apa yang dia inginkan, kan?
Sebenarnya, sudah sejak lama aku juga tergila-gila pada es krim varian baru dari wall's, yang akhir-akhir ini iklannya seliweran di televisi.
Wall's Cornetto Royale Love Match-a. Es krim dengan rasa teh hijau yang menurutku sangat menggoda. Aku berencana membelinya untuk buka puasa nanti.
Pulang dari pasar, aku dan Karin naik angkutan umum dan turun di jalan yang masih agak jauh dari rumah. Sekitar 2km, karena memang kami tinggal di kaki bukit, vukup jauh dari jalan raya.
"Naik!"
Motor Asrul tiba-tiba berhenti di dekatku. Mukanya cemberut dan galak.
"Aku?"
"Ya bukan lah."
Karin cengengesan, lalu segera naik motor. Aku ditinggalin? Kok kejam banget, sih. Perasaan tadi dia yang merengek minta ditemenin, kenapa sekarang jadi aku yang ditinggal sendirian?
"Maaf ya, Je. Kakiku pegel, pinggang juga rasanya sakit kalau dibawa jalan. Pas aku tanyain, Asrul tadi lagi di rumah Pak Kades, jadi ya sekalian aja aku minta tolong dianterin. Nggakpapa, ya?"
Aku hanya memutar bola mata jengah. Nggak papa gundulmu! Aku loh, udah lagi tidur dipaksa bangun, disuruh ngambil ini itu di swalayan, bawain belanjaan, sekarang malah ditinggal. Untung dia lagi hamil, kalo enggak, sudah kulempar dia ke Antartika. Biar membeku sekalian. Ini kalau aku hamil, kelakuanku bakalan gini juga nggak, ya?
"Nggak baik ngelamun di jalan." Ayas menyejajariku dan entah kapan kejadiannya, belanjaanku sudah berpindah tanggan.
"Apaan sih, kemarikan belanjaanku. Nggak usah sok peduli, deh. Mending kamu urus saja Marningsih." Me-nye-bal-kan! Kenapa aku malah ngomongin Marningsih? Tadi itu kan cuma mimpi, Ayas belum beneran nikah sama dia, kan?
"Marningsih? Ngapain aku ngurusin dia?" Ayas terlihat bingung. "Aku itu lagi khawatir sama anak-anakku."
Kalau ada pisau bedah di dekatku, mungkin aku akan membelah otaknya, untuk mengetahui jalan pikiran pria itu. Jelas-jelas dia bertingkah sok pahlawan dengan membawakan barang belanjaan, tapi sekarang malah ngomongin anak.
"Aku nggak mau, kulit bayi mungilku nanti harus iritasi, cuma gara-gara tangan ibunya kasar. Mereka harus mendapatkan kasih sayang penuh kelembutan. Bukan belaian dari tangan yang lebih mirip parutan kelapa, cuma karena ibunya sok mandiri dan sok kuat."
Jadi maksudnya, aku calon ibu dari anak-anaknya? Duh! Kok kedengaran romantis yah gombalanya kali ini? Aku tersipu mendengar kalimat ajaibnya. Pipiku menghangat, kenapa dia selalu membuatku dalam keadaan semenyedihkan ini? Seperti abege labil yang dimabuk asmara, terus ditinggal nikah pas lagi sayang-sayangnya.
"Masih mau ngelamun?" Dia sudah berjalan cukup jauh, sepertinya Ayas sangat puas menertawakan kebodohanku. Yang lagi, lagi, dan lagi, terjebak dengan gombalannya.
Berjalan di belakangnya, aku lebih memilih diam. Bahkan sekedar untuk bertanya dari mana dia, kenapa bisa muncul tiba-tiba? aku tidak melakukan itu. Lebih suka memandanginya dari belakang, mengamati setiap gerak langkahnya yang luwes dan selalu memesona. Jangankan manusia normal, manusia setengah dewa, mungkin akan minder saat melihat perpaduan sempurna seolah sosok malaikat dan segala bentuk keindahan, melekat dalam diri Gus Ayas. Memandanginya seperti ini, mengingatkanku pada momen supermoon. Saat di mana purnama terlihat lebih besar dari biasanya. Allah sedang mengujiku. Tidak seharusnya pujian itu terbesit dalam hati.
Rasanya nggak tahu diri banget, memuja keindahan purnama seolah melupakan keberadaan matahari sebagai pemilik sinarnya. Ayas itu cuma ciptaan, Jea! Nggak ada ciptaan-Nya yang sempurna melebihi-Nya, sampai-sampai patut dipuja. Ingat itu! Otakku berteriak memperingatkan.
***
Hidup selama dua puluh tiga tahun, hal kekanakan yang pernah kulakukan, salah satunya terjadi saat ini. Detik ini. Saat aku mengintip dari balik jendela, hanya untuk melihat gimana Ayas kalau lagi ngajar.
"Mas Da'i." Erni mengacungkan tangan saat Ayas menerangkan tentang surga dan neraka.
"Iya, Erni. Kenapa?"
"Mas, sebenernya beberapa hari ini aku lagi bingung. Ada banyak pertanyaan yang mengganggu pikiranku." Erni menunduk. Wajahnya terlihat lesu.
"Tentang apa? Kalau kamu mau mengajak debat tentang teori bentuk bumi lagi, Mas nggak akan jawab." Ayas menopang dagu.
"Bukan, Mas Da'i. Tapi begini," Tangan Erni mulai bergerak ke sana kemari saat menjelaskan sesuatu. Persis seperti Asrul. "Allah itu, maha baik, kan?" Ayas mengangguk. "Tapi kenapa Allah menciptakan surga dan neraka? Kenapa nggak surga semua aja? Terus, aku sering diceritain, katanya di padang mahsyar, manusia dikumpulkan dengan jarak dari matahari yang hanya satu jengkal tangan. Padahal kita semua tahu, jarak bumi dan matahari yang sejauh 149,6juta kilometer saja masih banyak yang mengluh kepanasan. Apalagi sedekat itu? mungkin tubuh kita akan meleleh dalam waktu kurang dari satu detik. Itu namanya kejam."
"Jadi? Menurutmu ...?"
"Tunggu dulu, aku masih mau menjelaskan. Jangan dipotong." Ayas membungkam mulut sambil sedikit menahan tawa. Anak-anak di dalam masjid masih fokus, dan antusias mendengar Erni bicara.
"Jangan Mas Da'i pikir, aku meragukan kemaha baikan Allah. Bukan itu."
"Lalu?
"Semua pertanyaan itu, aku bisa mempelajarinya. Teori tentang bentuk bumi aku bisa mencari kebenarannya nanti. Tapi apa yang sedang kupikirkan sangat mengganggu." Erni mendongak sesaat, memandang lurus pada gurunya yang sedang menatap penuh tanda tanya. "Aku bingung ..." dia kembali menunduk, mengembuskan napas kasar "Sebentar lagi lebaran, setiap lebaran pasti banyak kue yang disajikan. Tapi, sejak aku bisa mengingat banyak hal, selama ini, aku belum pernah melihat sosok ayah, dalam kaleng Khong Guan. Ke mana sebenarnya? Apa mereka nggak punya ayah?"
Aku terbahak mendengar pertanyaan gadis kecil itu. Semoga Ayas tidak menyadari keberadaanku. Semua penjabarannya di awal, sama sekali nggak nyambung dengan pertanyaan konyol yang ia lontarkan.
"Asaalamu'alaikum." Seorang sudah berdiri di hadapanku saat hendak meninggalkan tempat ini.
"Wa'alaikumussalam, Gus Anam?" Seseorang dengan tubuh tinggi tegap tersenyum berwibawa. Dan asal tau saja, senyumannya juga nggak kalah aspartam dari Ayas
"Sedang apa? mengintip?" Dia melongok ke dalam Masjid. Aku mendadak gagu.
"Eum ... eng, enggak. Gus Anam sendiri sedang apa di sini?" Ia malah tersenyum simpul.
"Kenapa? ada yang lucu?" Aku reflek meneliti diri sendiri, juga mengusap kerudung. Kalau-kalau ada yang salah dengan penampilanku.
"Kamu lagi ada masalah sama dia?"
"Nggak, Gus. Aku ... kita baik-baik saja."
"Syukurlah, dia mempertaruhkan banyak hal untuk sampai di sini." Gus Anam berjalan menuju teras samping masjid dan aku mengekorinya.
"Jea!" Asrul berlari ke arah kami. Membawa gulungan kertas manila untuk dekorasi acara Nuzulul Qur'an besok malam.
Ia memperlambat langkah dan sedikit menyipitkan mata. Mungkin mengamati Gus Anam, tapi selanjutnya dia menarik tanganku dengan kasar.
"Kamu! ngapain di sini?" Asrul menyembunyikanku di balik tubuhnya.
Gus Anam hanya tersenyum miring, memandangi tangan Asrul yang mencengkeramku.
"Apa kabar?" Suaranya tenang dan membius. Pria itu mengulurkan tangan sambil tersenyum ramah, tapi Asrul malah mundur, mengabaikan Gus Anam yang mengajaknya berjabat tangan dan hanya menatapnya penuh waspada. Entah karena apa.
"Jea, bisa tolong pergi?" Asrul masih merentangkan tangan, melindungiku seolah Gus Anam adalah binatang buas yang berbahaya.
"Kenapa, sih? dia itu Gus Anam, kakaknya Mas Ayas, da'i kita, kamu kenal sama Gus Anam?"
"Gus Anam? Kakakya Ayas?" Ujung bibir Asrul naik sebelah, melemparkan tatapan membunuh pada orang di hadapannya.
"Kenalkan, da'i yang sedang mengajar di dalam sana, itu adikku. Aku kemari untuk mengunjunginya, memastikan apa dia menjalankan tugas dengan baik." Kalimat Gus Anam sangat tenang dan wajahnya ramah. Memang begitulah sifatnya. Walau sikapnya dingin, dan wajah datarnya melebihi papan kayu, tapi Gus Anam selalu menjunjung tinggi nilai kesopanan. Berbeda sekali dengan Ayas.
"Aku mohon, kamu pergi dari sini." Asrul menyerahkan kertas yang dibawanya, membuatku memeluk gulungan kertas itu, lalu membalik tubuhku dengan paksa, mendorongku agar mau meninggalkan mereka.
Ada jutaan tanya yang mengujan di dalam benakku, tapi untuk saat ini, sepertinya bukan waktu yang tepat untuk mendebat Asrul. Dia terlihat serius. Dan jujur, kalau lagi serius begitu, wajahnya jadi serem.
@ReonA Makasih, Kak. Baca semuanyaa, yaaa. Bantu krisannya jugaaaa.
Comment on chapter Prolog