Cinta itu adalah segalanya
Itu adalah cinta pada pandangan pertama
Pandangan terakhir, dan pandangan selamanya
~Lolita, Vladimir Nabokov~
Sementara itu, Reta mengikuti pelajaran dengan serius. Maklum ini bidang baru untuknya yang tidak pernah dikenalnya sebelumnya. Memang sudah tiga bulan lamanya Reta kuliah, tapi dia dapat melaluinya dengan sangat baik malah. Dan dia pun bersyukur untuk itu. Meski bukan impiannya, tapi dia harus melakukan apa yang telah dimulainya itu dengan baik, sampai akhir.
“Ret, minggu besok udah UTS nih, bantuin gue belajar PA 1 ya...? Aku masih ada yang belum ngerti nih...,”
“Em, baiklah apa sih yang nggak buat kamu Put...,”
“Aku juga ikutan ya Ret, belajar dimana?”ucap Ersa teman sekelas Reta yang tiba-tiba ikut nimbrung dalam obrolannya dengan Putri.
“Ya di kos ku saja, aku malas keluar nih....,”
“Siiiippp boooossss....,” ucap Putri dan Ersa serempak.
“Jangan lupa bawa makanan ya ke kos ku,” tambah Reta.
“Oke...oke...akan ku bawain sejuta makanan buat kamu,” Ersa menjanjikan.
*****
Hari ini adalah hari terakhir kuliah sebelum hari tenang buat ujian. Reta bergegas ke kampus karena ada janji dengan Ersa dan Putri untuk mengajari mereka matematika bisnis, maklumlah sedang ada tugas dan kedua sahabatnya yang belum lama dikenalnya itu sukanya mendadak kalau minta ajarin. Tapi, Reta tak bisa menolak, baginya selama masih ada usaha dari mereka untuk mau belajar kenapa enggak. Bukankah kita tidak boleh menghalangi orang-orang yang menuju kebaikan? Itulah yang selalu Reta tanamkan dalam dirinya.
Pagi itu Reta memang sudah bergegas ke kampus, bahkan ia mempercepat langkahnya hingga setengah berlari. Tapi, pagi itu dia melihat kecelakaan di jalan yang ia lewati. Melihat peristiwa itu terjadi tepat di depan matanya, ia tak mungkin berpura-pura tidak tahu dan pergi begitu saja. Ditolongnya gadis yang berseragam SD itu. Dilonggarkannya bagian-bagian atau sabuk yang mengikat gadis kecil itu agar memudahkan gadis itu bernafas. Gadis itu tidak terluka parah, hanya tergores sedikit luka di dahinya. Tapi gadis itu pingsan dan itu mungkin karena syok.
Reta mengeluarkan minyak kayu putih dari tasnya dan membaukannya ke gadis kecil itu, dan tak berapa lama gadis itu pun tersadar. Pemilik toko yang membantu dan mengangkat dan menepikan gadis itu dari jalan segera memberinya minum air putih untuk menghilangkan syok nya. Dan setelah Reta yakin gadis kecil itu sudah membaik Reta bergegas untuk kembali berjalan menuju kampus. Ia memberikan plester kecil untuk menutup luka di dahi gadis kecil itu pada sentuhan pertolongan terakhirnya, kemudian dia pun berlari menuju kampus karena dia tahu bahwa dia sudah sangat terlambat dari perjanjiannya dengan Putri dan Ersa.
“Kamu kenapa Ret ? Ngos-ngosan gitu?”
“Iya, kamu berlari kesini ?”
“Ah, iya karena aku terlambat. Ma’af ya...,”
“Ah, iya gak papa kok. Ngomong-ngomong kenapa bisa terlambat? Nggak biasanya,”
“Oh, itu ada kecelakaan tadi..,”
“Kecelakaan? Dimana? Kau terluka?” tanya Ersa bertubi-tubi sembari memeriksa tubuh Reta dengan seksama.
“Bukan aku Sa yang kecelakaan. Tapi, gadis kecil berseragam SD yang kutemui di jalan. Karena itu aku menolongnya, ma’af ya jadi terlambat...,”
“Ah, nggak papa. Kamu udah berbuat baik hari ini. Kenapa harus minta ma’af...,” ucap Putri.
“Iya Ret, Putri benar. Yang penting kamu udah datang sekarang. Ayo kita mulai mengerjakan tugasnya...,”
*****
Setelah kuliah dan mengerjakan tugas bareng bersama dengan Putri dan Ersa tak ada kesibukan lain yang Reta miliki. Ia berjalan pulang ke kosnya. Dia kini berjalan sendiri tanpa ditemani dua sahabatnya Putri dan Ersa karena mereka hendak pergi ke toko buku. Mereka mengajak Reta, tapi Reta menolak karena dia ingin beristirahat hari ini. Berlarian dari kosan ke kampus menyita banyak tenaganya.
“Sendiri?”
Seseorang mengagetkan Reta yang tengah berjalan menunduk menikmati setiap langkah yang di ayunkan oleh kaki pendeknya itu. Reta memang bukan gadis yang tinggi. Dia mempunyai kaki yang pendek dan itulah mengapa sangat menyita tenaganya ketika berlari. Reta mendongak, seseorang tengah berbicara kepadanya.
“Oh, kau...,” ucapnya singkat.
“Kenapa sendirian? Dimana temanmu? Biasanya kalian selalu bertiga..?” tanya Zelvin beruntun.
“Loh, kok kamu tahu kalau aku biasanya pulang dengan teman-temanku?”
“Oh..itu..itu...karena temanku. Ya, aku tahu dari temanku. Dia...dia....sudah lama memperhatikanmu..,”
“Em...begitu. Tapi, bagaimana mungkin temanmu memperhatikanku, bukankah dia tidak mengenalku?”
“Ya..dia memang tidak mengenalmu. Maksudku tidak setelah aku memberitahunya bahwa aku punya teman disini. Dan dia menyuruhku untuk memperhatikanmu. Jadi, tanpa sengaja saat aku melihatmu dari kejauhan beberapa waktu yang lalu aku juga memperlihatkanmu padanya. Dan dia bilang, dia tertarik padamu,” jelas Zelvin panjang lebar.
“Aneh...baru melihatku sekali dari jauh masak sudah tertarik padaku...,”
“Oh, mungkin itulah yang dinamakan cinta pada pandangan pertama,”
“Ah, kamu tuh...memangnya ada yang seperti itu,”
“Loh, itu beneran Ret..kamu gak percaya. Biar ku kenalin dia ke kamu. Kali aja kamu tertarik, tapi itu jika kamu masih sendiri,”
“Masih sendiri, bagaimana maksud kamu?”
“Maksudku kalau kamu belum punya pacar, aku mau kenalin kamu ke Nico,”
“Ah, nggak usah. Bilang aja sama temen kamu itu untuk tidak memperhatikanku lagi. Aku jadi risih jika tahu diam-diam ada orang yang memperhatikan gerak-gerikku,”
“Loh kenapa bukannya asyik ya kalau punya penggemar rahasia. Kecuali memang pacar kamu marah jika ada orang yang memperhatikamu,”
“Aku nggak punya pacar, tapi aku juga nggak mau jika dikuntitin oleh orang yang nggak aku kenal,”
“Oh, jadi kamu masih belum punya pacar,”
“Apa sih maksudmu. Jadi kamu ngomong panjang lebar cuman mau ngorek kehidupan pribadiku, apakah aku sudah punya pacar atau belum..,”
“Ah...gimana ya sayangnya itulah kebenarannya. Mau gimana lagi Niko itu sohib ku jadi aku harus bantuin dia dong...,”
“Ahhhh....kamu itu nyebelliiiinnnn.....,”
“Aku suka mimik muka kamu kalau sedang ngambek gitu. Lucu deh...,”
“Uh..kamu udah gila ya..atau tadi sempat terbentur sesuatu hingga terjadi sesuatu di kepalamu...,”
“Em...sekarang ceritanya kamu ngekhawatirin aku nih...,”
“Zelvin, udah deh aku malas ngomong sama kamu nggak akan ada habisnya plus nggak nyambung pula. Aku mau pulang dulu,”
“Aku bisa anterin pulang...,”
“Nggak usah aku bisa pulang sendiri...,”
“Hmmmm....ngambek nih sekarang...,”
“Sudah ah, aku nggak mau ngomong lagi sama kamu...,” ucap Reta sembari pergi meninggalkan Zelvin yang tengah berjalan di belakangnya.
Tapi Zelvin tetap menggoda Reta yang berteriak dari kejauhan.
“Kamu selalu ngomong kalau nggak mau lagi ngomong sama aku, sejak saat itu. Tapi, apa kamu nggak nyadar kalau tadi sudah ngomong banyak sama aku...,” teriak Zelvin.
“Aku nggak peduli...,” teriak Reta sebagai balasan.
“Aku suka kamu yang sekarang. Maksudku aku suka Reta yang banyak bicara dan mudah tersenyum,” teriaknya lagi meskipun dia tahu Reta sudah jauh darinya. Tapi Zelvin percaya bahwa Reta pasti mendnegarnya meskipun dia tahu itu tidak akan berarti bagi cewek yang dijulukinya sakura itu.
Ternyata benar Reta mendengar perkataan terakhir yang dilontarkan oleh Zelvin. Dia juga baru menyadari sejak kapan terakhir kali mereka saling bicara ataupun sekedar saling menyapa. Padahal dulunya baik dia ataupun Zelvin tak pernah ngobrol terlalu lama seperti tadi. Sebenarnya apa yang salah pada Reta. Apakah benar dia sudah berubah seperti apa yang dikatakan Zelvin. Lantas....
“Ada apa denganmu , Zelvin Reiki Alrezza?” batin Reta.
*****