Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi pada hidup kita nantinya. Akankah berakhir bahagia ataukah malah meyedihkan kita pun tak pernah tahu. Karena semuanya adalah takdir Tuhan. Seberapa keras pun kita mencoba untuk menghindari takdir itu, kita tak akan pernah mampu. Salah satunya adalah sebuah kematian. Saat kita mati adalah saat dimana kita tidak akan lagi memikirkan orang-orang yang berada disekitar kita. Kita hanya tertidur dengan damai dalam kekakuan dan kebekuan. Entah bagaimana dengan orang-orang yang tengah kita tinggalkan, akankah ada tangisan yang mengiringi kepergian kita dari dunia ini, ataukah hanya senyuman yang berkembang dibibir mereka untuk menghantarkan kita pada tempat terakhir kita, kita tak akan pernah tahu.
Tapi, itulah yang kupikirkan sebelumnya. Jika saja aku mati mungkin aku bisa melupakan semuanya. Segala yang ada di sekitarku, segala kesedihanku dan ketakutanku, dan semua hal yang membuatku berfikir bahwa tidak ada lagi artinya untuk diriku hidup di dunia ini. Aku sempat berfikir, untuk menyudahi perjalananku di bumi ini dan menggantinya dengan perjalanan lainnya, jika saja ada kehidupan setelah mati.
“ Dunia tidak akan berakhir hanya karena kau berduka.”
Seseorang membuyarkan lamunanku dan melingkarkan tangannya dipundakku. Aku menoleh, seseorang telah memberikan kehangatan dalam kedinginan tubuhku yang telah tersegel oleh kebekuan sepanjang waktu.
Orang itu hanya memandangnya dengan senyuman. “Sudah cukup kau berduka, tidakkah kau tahu bahwa ini sudah waktunya untuk berhenti sekarang,” ucapnya lagi dengan lebih mempererat pelukannya. Tapi akumasih mematung, tak bergerak, tanpa ekspresi. Hanya tatapan mata kosongku yang tampak seketika itu. Lebih dari siapapun aku juga ingin berhenti, batinku. Aku juga lelah, dan aku ingin menyerah sekarang. Tapi, aku tak bisa mengucapkan kata-kata itu, lidahku kaku sejak terdengarnya berita kematian itu, hingga proses pemakaman itu berakhir.
Tak ada bekas-bekas air mata yang menetes dipipiku. Tak ada sedikitpun, ku teteskan sebuah cairan bening yang kerap mengiringi sebuah kesedihan itu, aku tak berbicara dan bahkan aku pun tak makan dan minum selama beberapa hari. Mungkin kebanyakan orang akan berfikir bagaimana seseorang bisa masih tetap hidup dengan tidak makan dan minum beberapa hari. Namun, itulah kenyataan yang terjadi padaku.
Aku hanya mematung ditempat tidur, masih mengenakan baju yang sama dengan pemakaman saat itu, dan masih melingkarkan kedua tanganku yang mendekap erat lututku dengan daguku yang tentu saja bersandar di atasnya.
“ Tidakkah kau akan takut sekali jika melihat dirimu di cermin sekarang. Wajahmu benar-benar sangat menyedihkan sekarang. Pantas saja kau tak berani menghadapi semua orang-orang di luar sana,” ucap suara itu lagi.
Lagi, lagi aku pun tak menganggapi pembicaraannya sama sekali. Aku masih mematung dan terpaku pada pikiranku yang bahkan tak pernah ku tahu apa yang tengahku pikirkan.
“ Menangislah,, jika kau ingin menangis maka menangislah. Menangislah sekeras-kerasnya, hingga semua beban itu bisa terlepas darimu,” dia berucap itu dengan ketulusan yang dengan memandangi kedua mataku yang masih saja dengan tatapan kosong.
Dan saat itulah aku menangis. Aku menagis sekeras-kerasnya. Tanpa ku tahu apa yang tengah ku tangisi.Tapi, itulah tangisan pertamaku sejak terdengarnya berita kematian itu sampai berakhirnya prosesi pemakaman.
Suara itu tak lagi terdengar, tak sepatah katahpun. Dia hanya mendekap ku dengan sangat erat dalam pelukannya yang penuh kehangatan. Kebisuan tercipta saat itu, hingga tangis ku berhenti tapi pelukan itu masih dapat ku rasakan.
“ Kau sudah baik sekarang,” tanyanya. Aku menganngguk pelan. Dia mengusap air matayang menggenang dipelupuk mataku, dan kemudian pergi meninggalkanku. Aku masih melihatnya di saat-saat terakhir,ketika dia hendak menutup pintu kamarku untuk memberi isyarat terima kasih padanya. Tapi dia seolah tahu, “ Tak perlu berterima kasih, aku bukan orang lain bagimu. Kita diciptakan oleh dua tulang rusuk yang sama. Dan mereka sedang menunggu disana untukmu. Karna itu bergegaslah jika kau sudah siap, jangan membuat mereka mengkhawatirkanmu lebih dalam,” ucapnya dengan senyuman terakhir yang mengembang di wajahnya.
Aku pun kembali mengambil alih diriku. Aku tak tahu sudah berapa lama aku hanya terdiam disitu sepanjang waktu, tanpa tahu apakah hari tengah pagi ataukah tlah beralih siang dan beranjak malam. Aku tak tahu, yang ku tahu semua disekitarku hanyaterasa gelap oleh penglihatanku. Akutersadar, bahwa ini bukan diriku, aku bukanlah tipe orang yang membiarkan orang lain mengkhawatirkanku. Aku bukan tipe orang yang membuat orang lain mencemaskan kondisiku. Dan aku bukanlah tipe orang yang membuat orang-orang yang ku cintai menderita dan terluka karenaku terlebih orang tuaku.
Aku bangkit dari tempat tidur. Rasanya tubuhku telah beku dan kaku. Terasa begitu sulit untuk digerakkan dan akukesulitan untuk berdiri. Tubuhku lemas tak bertenaga dan aku pun terjatuh seketika itu. Aku menangis, lagi dan lagi dengan sekencang-kencangnya. Tapi tak ada seorang pun yang menghampiri seolah mereka semua tahu bahwa aku perlu waktu untuk sendiri, untuk dapat melepaskanbeban berat yang ada dipundakku saat ini.
Aku akhirnya berhasil bangun kembali dengan tubuhku yang lemah itu. Aku menuju kamar mandi dan membersihkan diri. Setelahnya aku hanya merapikan diri seperlunya, ku hindari cermin yang tengah bertengger di meja rias. Aku tahu perkataan kakakku tadi benar bahwa wajahku kini benar-benar sangat jelek dan menyedihkan karenanya sebisa mungkin aku tak ingin melihat wajahku di cermin.
Aku pun keluar dari kamar tidur dan menuruni beberapa anak tangga menuju ruang makan dan tepat seperti dugaanku, mereka semua tengah menungguku disana. Ayah, Ibu, dan kakak-kakakku tercinta tengah menungguku dengan setia disana dan menyambut kedatanganku dengan senyuman yang mengembang di wajah mereka. Tidak ada pertanyaan yang terucap dibibir mereka tentang bagaimana keadaanku, seolah mereka semua sudah tahu apa jawabannya.
“ Beberapa minggu lagi kuliahmu dimulai, apa kau mau masuk, atau barangkali kau ingin menambah waktu liburanmu?” tanya ayahku yang membuyarkan kesunyian.
“ Aku akan masuk,” ucapku.
“ Tapi..kauuu....,” ucap ibuku yang langsung terpotong oleh perkataan ayahnya. “ Yahh,, baguslah kalau begitu, tidak baik memang libur lama-lama. Kamu akan bosan dirumah terus-menerus,” ucap ayahnya dengan penuh semangat dan senyuman ke arahku.
Aku tahu ayahku tak sebenarnya ingin aku melanjutkan kuliah. Ayah tahu betul bahwa anak gadisnya ini, belum siap untuk itu. Tapi, dia lebih suka melihat ku yang sibuk dengan kuliah daripada harus terdiam dirumah dan mematung di kamar. Dan mungkin dengan masuk kuliah dan disibukkan oleh tugas-tugas kuliah aku bisa melupakan kesedihanku dan untuk itu aku sependapat dengan pemikiran ayahku.
“ Kapan kau berangkat ?” tanya kakak laki-lakiku.
“ Em,,seminggu lagi,” ucapku sembari melahap sarapan yang telah ibu siapkan untukku meskipun aku tak dapat mengenali lagi seperti apa rasa dari makanan itu yang dulunya sering ku makan.
“ Ah,, baiklah kalau begitu. Oh, ya,, adik kakak iparmu rencananya juga akan kuliah di tempat yang sama denganmu. Em,, apa kau tidak keberatan jika dia tinggal di kontrakan bersamamu?” ucap kakak perempuanku yang telah menikah sekitar tiga tahun yang lalu.
“ Tapi, apakah boleh seorang wanita dan seorang pria tinggal bersama di sebuah rumah. Tidakkah itu akan menimbulkan prasangka yang tidak baik untuk para warga disekitar situ?” ucap ibuku.
“ Ah, itu tak masalah bu, aku yang akan minta izin ke RT setempat dan menjelaskan pada mereka bahwa mereka bersaudara,” ucap kakak iparku.
“ Oh, baguslah kalau begitu. Jadi akan ada orang yang menjagamu di sana Karin. Ayah jadi tak perlu khawatir dan was-was untuk membiarkanmu kuliah di tempat yang jauh dan masih asing bagimu itu,” ucap ayahku.
“ Yah, kalau itu keputusan yang baik dan tepatibu setuju,” tambah ibuku.
“ Baiklah, tapi mungkin aku agak sedikit sibuk mengenai kepindahannya di rumah ku kak, karena harus mengurus beberapa dokumen untuk professorku,” ucapku.
“ Ah,, tak masalah, biar kakak yang membantunya untuk pindahan. Kau hanya perlu meninggalkan kunci cadangannya di tempat biasanya,”
“ Ah,, baiklah,,,” ucapku.
Acara sarapan pagi telah selesai beberapa jam yang lalu. Semuanya pun tengah meninggalkan rumah untuk pergi bekerja. Hanya tinggal aku dan ibuku dirumah. Aku kembali ke kamar tidurku seusai sarapan pagi itu. Tanpa berkomentar apapun, ibuku langsung menggangguk ketika aku meminta izinnya.
*****
Ku buka tirai kamar tidurku, dan jendelanya. Debu-debu berterbangan keluar dari kamar tidurku. Rasanya udaranya menjadi segar. Dapat kurasakan terik sinar matahari yang menyilaukan mataku dan melihat burung-burung yang berkicau di dahan-dahan pepohonan. Sepertinya, sudah sangat lama aku tak merasakan kehidupan pagi. Yang ku tahu beberapa hari ini hanya malam yang menemaiku tanpa pernah berpikir bahwa ada pagi yang senantiasa akan menggantikan malam yang panjang itu. Dan aku sadar, betapa banyak waktu yang kuhabiskan untuk hanya melihat pada satu sisi, hingga kebiasaan yang seringkali ku lakukan menjadi begitu asing olehku saat itu, seolah inilah pertama kalinya aku melihat terik matahari, awan-awan putih yang indah di langit biru dan burung-burung yang berkicau merdu. Ya, ini sudah cukup untukku, aku harus kembali, batinku.
Suara ketokan pintu terdengar di kamarku. Ternyata ibuku tengah berdiri disana menunggu isyarat dariku untuk mengizinkannya masuk. Tak biasanya ibuku mengetuk pintu terlebih dahulu sebelum masuk kamarku saat pintu itu benar-benar tak terkunci. Mungkin beliau tidak ingin menggangguku, atau tak ingin melihat air mataku yang akan menetes diam-diam karena beliau sangat tahu bahwa ketika aku tengah sedih aku tak ingin memperlihatkannya pada siapapun termasuk ibuku.
“ Ada apa bu,,?” tanyaku.
“ Em,, tak apa,, Ibu hanya ingin melihatmu,,” ucap ibuku yang kemudian mendekatiku dan melingkarkan lengan hangatnya dipundakku dimana aku tengah sibuk menatap beberapa pasang burung yang tenggah bertengger di atas pohon.
Aku memegang tangan ibuku yang begitu hangat dan melingkarkan tanganku ke pelukan ibuku. “ Ma’afkan Karin, bu,,” ucapku kepada wanita separuh baya itu yang ku tahu karena sikapku lingkaran hitam itu terlukis dimatanya dan kecemasan menyertainya sepanjang waktu.
“Minta ma’af untuk apa?” timpalnya balik bertanya padaku.
“Ma’af untuk mengkhawatirkanku selama beberapa hari ini,” ucapku dengan penuh penyesalan karena membuat wanita separuh baya itu meneteskan airmata yang mungkin lebih banyak dari air mata yang telah ku keluarkan untuk kematian kekasihku itu.
“Kenapa harus minta ma’af. Itu kewajiban seorang ibu untuk mengkhawatirkan anak-anaknya. Tanpa disuruh pun seorang ibu pasti akan selalu mengkhawatirkan semua anak-anaknya. Tapi, jujur ini adalah untuk pertama kalinya ibu benar-benar mengkhawatirkanmu. Untuk sebelum-belumnya ibu selalu bisa mempercayaimu, hanya untuk kali ini ibu benar-benar sangat-sangat mengkhawatirkanmu. Ibu takut bila kau,,,”
“Tenang saja bu, aku tidak akan melakukan hal-hal yang tidak rasional. Dunia tak akan berhenti hari ini hanya karena aku berdukan kan? Itulah yang kakak ucapkan padaku. Karenanya, karena hidupku bukan untuk diriku sendiri, maka aku tidak akan berbuat hal-hal yang akan menyakiti ibu, ayah ataupun kakak,” ucapku memberi penjelasan pada ibuku untuk mengusir kekhawatirannya jika saja aku memutuskan untuk menyerah pada dunia dan memilih bersama kekasihku di surga.
“ Ya, ibu tahu, kau orang yang bijak. Dan terima kasih jika kau memutuskan untuk hidup seperti itu,” ucap ibuku sembari mempererat pelukannya untukku.
“ Ibu, ayah dan kakaklah yang bisa menjadikanku menjadi orang seperti itu. Dan akulah yang harusnya berterima kasih untuk itu, bu,,,” ucapku.
Ibuku mendaratkan ciuman di pipiku sebelum meninggalkanku sendirian di kamarku. Ibu tau bahwa aku masih membutuhkan waktu untuk memulihkan kembali tenagaku, agar bisa menjadi diriku yang dulu, yang ceria dan penuh akan semangat.
*****
Hari menjelang sore ketika aku tengah menyelesaikan beberapa laporan yang ditugaskan oleh profesor kepadaku. Aku tahu mungkin hasilnya tidak akan maksimal seperti biasanya karena aku sedang tidak bisa konsentrasi akan apapun saat-saat ini. Tapi, aku tetap mencoba untuk menyibukkan diriku agar aku tak lagi teringat dengan Farish, kekasihku yang meninggal beberapa hari yang lalu karena penyakit yang dideritanya.
Semua orang sudah berkumpul di ruang makan untuk makan malam ketika kulihat jam yang tengah menunjukkan pukul 08.00 malam. Tak terasa waktu berjalan begitu cepat bagiku hari ini, dan aku bersyukur untuk itu. Karena biasanya hari-hari terlalu panjang untuk ketika aku hanya terdiam termenung tanpa melakukan apapun.
Aku segera turun ke bawah untuk makan malam keluarga. Ku dapati semua orang tengah berkumpul di meja makan termasuk satu orang asing disana. Sebenarnya sih tak sepenuhnya orang asing. Aku pernah bertemu beberapa kali dengannya saat pernikahan kakakku waktu itu. Ya dia adalah adik laki-laki kakak iparku yang umurnya dua tahun lebih muda dariku.
Kami makan bersama malam itu. Kakakku mengajak serta adik iparnya untuk makan malam bersama kali karena dia baru saja menjemputnya dari stasiun kereta karena dia baru saja tiba dari Bandung. Mungkin kakakku hanya ingin memperkenalkan dia sekali lagi apabila aku sudah lupa dengan wajahnya yang hanya ku temui beberapa kali saja itu.
Seusai makan malam kakak berpamitan pulang ke rumahnya. Ya selama beberapa hari ini sejak kekasihku meninggal hingga pemakamanya kakakku tinggal dirumah untuk menemaniku. Karna hanya dialah satu-satunya kakak perempuan yang kupunya dan tempat dimana aku sering mengadu jika aku punya sesuatu yang menggangguku karnanya dia sengaja menemaniku untuk memberi penghiburan padaku. Dan sekaranglah saatnya untuk kembali ke rumahnya, karena dia pikir aku sudah jauh lebih baik dan tak terlalu menyedihkan dari sebelumnya.
“ Kakak pulang dulu ya, kalau ada sesuatu yang ingin kau ceritakan pada kakak kau tinggal telpon, dan kakak pasti akan meluncur dengan cepat kesini,” goda kakakku sebelum beranjak dari rumah.
Rumah kakakku memang tak terlalu jauh dari rumah orang tuaku. Hanya butuh waktu sejam untuk dapat sampai ke sini dari rumahnya.
“ Ya, baiklah,, ucapku,” sembari memberikan senyuman kepadanya sebagai pertanda agar ia tak perlu terlalu khawatir lagi memikirkan keadaanku.
“ O, ya kuncinya,,” pinta kakakku.
Aku menyerahkan kunci cadangan rumah kontrakanku di Jogja pada kakakku. Ya, aku kuliah di Yogja. Aku tidak kuliah di Jakarta karena sudah terlalu bosan hidup di sini. Aku ingin merasakan sesuatu yang baru, yang jauh dari hiruk pikuk dan padatnya kota Jakarta ini. Karenanya saat di suruh memilih aku memilih untuk kuliah di Jogja. Setelah ku dengar dari banyak sumber bahwa orang Jogja ramah-ramah dibandingkan dengan orang Jakarta itulah salah satu alasanku pula untuk memilih kota itu sebagai tempat kuliah yang kutuju. Kalau tentang adik ipar kakakku itu, aku tak tahu apa yang mendasarinya untuk memilih kuliah di tempat dan universitas yang sama denganku.
“ Baiklah, Ayah, Ibu, Dicky dan kamu Karina kakak pulang dulu ya,,Jangan kaget kalau tiba-tiba adik kakak ini ( sembari menunjuk adik iparnya) sudah ada di rumahmu saat kau tidak ada, karena kau terlalu sibuk dan mungkin kakak tidak akan bisa menghubungimu terlebih dahulu ketika dia sudah ada disana,” jelas kakakku.
“ Baiklah,,” ucapku.
Kakakku melambaikan tangannya sebelum mobilnya melaju untuk mengucapkan salam perpisahannya. Aku, Ayah, Ibu dan Kak Dicky pun langsung masuk ke dalam rumah setelah mobil kakak sulungku itu tak lagi terlihat batang hidungnya. Dan seperti biasanya aku langsung menuju kamar tidurku saat itu juga karena aku harus menyelesaikan beberapa tugas yang profesor berikan padaku.
*****