Kata seluruh manusia di sekitar Helena, waktu akan menyembuhkan luka.
Tapi bagi Helena, semua itu adalah omong kosong.
Apa semua lupa tentang kehidupan yang selama ini tapaki? Helena sudah terbiasa dengan luka dan rasa sakit. Baginya, hidup dipenuhi warna hitam dan merah, lalu penuh berbagai macam luka serta goresan. Goresan pertama adalah saat Lux, kampung halamannya hancur lebur karena gempa bumi ketika usianya tujuh tahun. Dari kejadian itu Helena belajar, bahwa dia tidak boleh terus berada di satu tempat, karena jika tempat itu menghilang, goresan di hatinya akan bertambah. Goresan kedua adalah ketika orangtuanya meninggal karena banjir bandang, di usianya yang ke sembilan. Sejak hari itu, Helena tahu dia tidak akan lagi tergantung pada satu orang untuk kehidupannya.
Helena akan menyembuhkan dan merawat lukanya sendiri, sambil terus menapaki kehidupan. Terus berlarut dalam kesedihan tidak membuat waktu berhenti dan lukanya akan mengering. Cara terbaik untuk melupakan duka adalah terus berjalan mengiringi takdir. Di usianya yang ke sembilan, dengan tinggi sepinggang orang dewasa, Helena berjuang keras untuk menghidupi dirinya sendiri.
Dan menghidupi adiknya.
Kiara.
Kiara hanya anak perempuan kecil berusia lima tahun saat mereka yatim piatu. Demi melihat air mata Kiara di depan kuburan orangtuanya, Helena telah berjanji, Kiara adalah pusat kehidupannya. Untuk Kiara, dia hidup dan berjuang. Untuk Kiara, dia rela dicaci maki dan dihina karena mau melakukan pekerjaan kuli yang tidak seharusnya dilakukan gadis kecil. Untuk Kiara, dia akan tersenyum, agar Kiara percaya, hidup mereka akan baik-baik saja.
Demi Kiara, Helena membiarkan dirinya terluka, berdarah, dan jatuh, lalu bangkit kembali.
Setelah orangtua mereka meninggal, Helena membawa Kiara ke Tenebris—sebuah desa yang tidak jauh dari desa mereka dulu, hanya sekitar dua puluh kilometer. Untuk Kiara, Helena mengabaikan prinsipnya tidak ingin menetap di satu tempat terlalu lama—yang gadis kecil itu pikirkan hanya kenyamanan Kiara. Mereka berhasil mendapatkan rumah kecil di tengah desa. Dari pagi sampai malam Helena bekerja, setelah memastikan Kiara aman, nyaman dan terjaga. Di dekat rumah mereka ada lapangan yang biasa dibuat anak-anak bermain, dan Kiara pun bermain di sana bersama anak-anak sebayanya.
Mengangkat barang-barang di pasar desa adalah pekerjaan Kiara sehari-hari selama empat tahun, sampai usianya dua belas tahun sekarang. Harusnya gadis seusia Helena akan duduk di rumah, membantu ibu mereka memasak, menyulam, dan menjahit. Tapi Helena tidak peduli.
Helena tidak punya pilihan. Dia tidak memiliki ibu lagi, dan hanya dialah yang menjadi tumpuan hidup Kiara.
Demi Kiara, Helena akan terus tersenyum. Agar Kiara yakin, semua baik-baik saja. Agar Kiara tahu, kakaknya adalah seorang gadis hebat. Agar Kiara menjadikannya panutan, Helena akan terus tersenyum.
***
Hari itu, Helena tidak merasakan apa pun. Angin bertiup seperti biasa. Helena bersiap-siap berangkat bekerja dan menyiapkan bubur jagung yang biasanya menjadi sarapan Kiara. Kiara terbangun dari tidurnya dan menghampiri Helena.
“Kau harus bekerja lagi?” tanya Kiara pelan, menarik kaus hitam Helena. Helena menoleh, tersenyum tipis, menatap mata biru gelap Kiara.
“Aku bekerja untukmu, Kia. Aku berjanji besok aku akan memasakkanmu sup jagung, ya?” bujuk Helena. Kiara mengangguk pelan, memeluk pinggang Helena erat-erat dan lama, lebih lama dari biasanya. Hanya itu yang terasa aneh, meski setelah itu Helena mengabaikan pelukan Kiara.
Ketika matahari beranjak tinggi, Helena menerima kabar bahwa Kiara sudah meninggal.
***
Katanya, Kiara sedang bermain dengan gadis kecil dari keluarga yang menyewa kamar di rumah besar di seberang lapangan.
Katanya, mereka bermain lempar bola.
Katanya, bola itu jatuh ke sungai berarus deras di tepi lapangan.
Katanya, gadis kecil dari keluarga kaya itu juga tiada.
Katanya, kedua gadis kecil itu tenggelam di sungai.
Katanya, semua remaja lelaki di desa sudah berusaha menyelamatkan Kiara dan gadis kecil itu.
Tapi mereka gagal.
Helena mengusap air matanya kasar, berlutut di depan kuburan Kiara, mengusap tanah kuburan adiknya berkali-kali, membiarkan tangan dan kukunya kotor karena tanah. Kiara dikuburkan di lahan luas di sudut selatan desa, di mana warga desa lain juga dikuburkan. Begitu juga dengan gadis kecil itu, namun gadis kecil itu dikuburkan di tepi lahan yang berbatasan dengan hutan, sedangkan Kiara dikuburkan di tengah lahan.
Helena menatap kuburan Kiara sambil menggigit bibir. Sekarang dia hanya sebatang kara. Dia sudah kehilangan Kiara, yang menjadi alasannya untuk hidup dan tetap tersenyum.
Sekarang, apa lagi yang dia punya?
Apa alasannya untuk bertahan hidup?
“Kasihan ya, anak berambut pirang itu. Dia yatim piatu dan sekarang kehilangan adiknya.”
“Iya. Kalau saja gadis kecil dari keluarga kaya itu tidak mengajak Kiara mengambil bola di sungai, pasti semua tidak akan begini.”
“Kalau saja kakak gadis kecil itu melarang adiknya mengambil bola itu di sungai dan mengambilnya sendiri, pasti Kiara dan gadis kecil kaya itu masih hidup.”
Mendengar kalimat yang diucapkan dua warga desa itu, Helena tertegun. Air matanya masih mengalir, tapi buru-buru ia mengusap air matanya, tidak peduli pipinya kotor terkena tanah.
Gadis dua belas tahun itu berdiri, menatap siluet tiga orang di kejauhan yang berdiri di kuburan gadis kecil kaya itu. Sepasang suami istri paruh baya dan seorang anak laki-laki seusianya. Berambut coklat berantakan, tingginya kira-kira sebahu ibunya, sedangkan tinggi ibunya kira-kira dua puluh senti lebih tinggi dari pada Helena. Singkatnya, anak laki-laki setinggi Helena, dengan perawakan kurus. Memakai celana hitam dan kaus hijau, bahu anak laki-laki itu naik turun.
Pasti dia kakak gadis kecil kaya itu, yang sedang menangisi kepergian adik perempuannya.
Helena menunduk, tertawa pahit.
Apa yang didengarnya tadi?
Gadis kecil kaya itu mengajak Kiara mengambil bola yang jatuh di sungai, maka dari itu mereka tenggelam.
Kakak gadis kecil itu tidak melarang Kiara dan adiknya, dan tidak mau mengambilkan bola itu.
Benar.
Kalau anak laki-laki itu melarang Kiara dan gadis kecil kaya itu ke sungai.
Pasti ceritanya akan berbeda. Kiara akan tetap hidup, dan sekarang tertawa bersamanya sambil bersantai di rumah.
Helena memejamkan mata.
Dia tahu apa alasan yang akan membuatnya bertahan di dunia ini.
Dendam.
“Kiara, aku tidak akan melupakan dosanya. Aku tidak akan membiarkan dia lolos setelah membuatmu pergi dari sisiku.” Helena bergumam lemah. “Aku bersumpah, Kiara. Dia akan mendapat balasan yang setimpal.”
Itu sumpah Helena.
***
Ibu Helena berdarah separuh peri hutan. Ibunya memiliki kemampuan mengeluarkan bola cahaya dari jarinya, yang sering dilakukannya dulu, saat dia masih hidup, tepat sebelum Helena dan Kiara tidur. Kiara terlalu kecil untuk mengingat kejadian itu, tapi Helena ingat.
Waktu usianya sepuluh tahun, tanpa sadar, tangannya mengeluarkan bola cahaya, dan dia tidak sengaja menembakkan bola cahaya itu ke arah seekor kucing.
Kucing itu mati terkapar.
Di detik yang sama, Helena tahu, dia memiliki senjata pembunuh dalam dirinya.
Guna bola cahaya itu hanya ada dua, membunuh—dengan cara ditembakkan, Helena hanya harus mengarahkan bola cahaya yang muncul di ujung jarinya ke arah sasaran selama lima detik, dan sasaran itu akan mati—dan memberikan cahaya.
Tapi untuk sebuah balas dendam, bola cahaya itu adalah senjata yang sempurna.
Helena tersenyum miring. Ia hanya perlu mengucapkan Mediocris lux lit dalam hati, sebuah kalimat yang dulu selalu ibunya ucapkan sebelum bola cahaya muncul di sepuluh jarinya.
Setelah ini, Helena akan pergi dari Tenebris, mencari ke mana anak laki-laki berambut coklat itu pergi. Ke mana pun dia pergi, Helena akan mengejarnya. Bahkan jika itu sampai ke ujung dunia sekali pun.
***
Siapa pun kau, kau telah membuatku kehilangan adikku.
Aku telah bersumpah untuk membalaskan dendamku.
Mungkin kau tidak akan mengingat dosamu itu.
Tapi ada aku yang selalu mengingat hari itu.
Aku sudah bersumpah di depan makam adikku.
Aku akan membuatmu mendapat balasan yang setimpal dengan perbuatanmu.
-Tamat-