Loading...
Logo TinLit
Read Story - Carnation
MENU
About Us  

Kipas angin berputar di tengah ruangan dengan cukup kencang. Hembusan anginnya melambaikan tirai pada jendela dan membolak balikan halaman buku secara acak pada tanganku.

 

Mengamati putarannya, aku mengistirahatkan mataku yang mulai terasa penat karena membaca. Tubuhku tersandar pada tepian tempat tidur berwarna putih. Melihat kipas yang berputar kencang itu membuat ilusi seolah ada lebih dari tiga sayap yang dimilikinya. Semakin lama aku mengamati putaran itu, matakku mulai mengantuk seakan terhipnotis.

 

"Aahhh... Aku bosan!"

Suara perempuan bergema di dalam ruangan bersama dengan sepasang tangan yang memeluku dari belakang.

 

"Apa yang kau lakukan? Lepaskan tanganmu!"

 

"Habisnya aku bosan. Muu...!"

Wanita itu mengeluh tepat di samping telingaku.

 

"Kalo gitu bacalah buku atau sesuatu."

 

"Hee... Gak mau ah, soalnya membaca itu gak ada asyiknya!"

Dia benar-benar sangat menggangu.

 

Mengabaikannya, aku mulai kembali membalik buku ke halaman sebelumnya. Aku sudah lupa sampai mana aku membaca karena halamannya berantakan oleh hembusan kipas. Tapi, memulai dari manapun tak masalah, yang penting aku harus mengabaikannya.

 

"Ian..!"

 

"Ian...ian...ian..!"

Aku mengabaikannya dan dia mulai memanggilku terus-terusan.

 

"Iaaannn...!"

 

*Buukk...buuk... buuk...

Dia berteriak sambil menendang-nendang kasur.

 

"Hmmmm!"

Dia mulai marah karena aku tetap mengabaikannya.

 

"Fuuuhhh...!"

 

"Ah! Apa yang kau lakukan?!"

Dia tiba-tiba meniup telingaku.

 

"Habisnya, aku dicuekin."

Hening sejenak dengan suara kipas.

 

"Mau merebut keperawananku?" Dia mengatakan itu dengan suara menggoda.

 

"Jangan mengatakan hal yang aneh-aneh."

 

"Hee..."

 

Tidak ada alasan tergoda dengan omongannya. Hampir setiap hari dia menggodaku untuk melakukan hubungan sexual seperti itu, tapi tak ada alasan untuk melakukannya.

 

Dengan rambut merah muda yang panjang dan halus, kulit putih dan lembut serta bibir merah alaminya. Bohong jika aku tidak tertarik dengan penampilannya. Aku hanya tidak ingin menyentuhnya karena perbedaan diantara kami, sebuah perbedaan yang tidak akan pernah aku terima. Sesuatu yang tergambar di jari manis kirinya yang membuatku selalu menahan diri akan godaannya.

 

"Ian, aku bosan."

Mepererat pelukannya, dia mulai merengek lagi.

 

"Bacalah sebuah buku."

 

"Boosaaannn!"

 

Buka buku ke halaman selanjutnya.

 

"Kalo begitu tidur saja sana."

 

"Tidur bareng?"

Mencolek-colek pipiku.

 

"Gak bakalan."

 

"Beneran gak mau?" Meniup telingaku.

 

"Gak mau."

 

"Huhu..." Entah kenapa dia berekting menangis.

 

Lisa berpikir sambil menyandarkan kepalanya di pundaku. Melepaskan pelukannya, lalu dia pun berbicara

 

"Kalo begitu gimana kalo kita main tebak-tebakan?" Mengatakan itu sambil meletakan telunjuknya di bibir.

 

"Tebak-tebakan?" Melirik Lisa

 

"Ya, tebak-tebakan. Kita akan memberikan pertanyaan dan menjawabnya secara bergilir, poin hanya didapat dari jawaban yang benar dan jawaban yang salah tidak akan dihitung minus ataupun mengurangi poin yang sudah di dapat. Selain itu, jika salah satu menyatakan menyerah untuk menjawab, maka dia langsung dinyatakan kalah. Bagaimana?"

Mengatakan itu sambil duduk di kasur.

 

"Hmm... Tak masalah." Ini lebih baik daripada dia terus menempel padaku. Karena jujur saja itu akan merepotkan untuk perasaanku.

 

"Kalo begitu Ian yang mulai duluan." Dia memeluk gulingnya.

 

Sebuah pertanyaan ya, permainan ini mungkin untuk anak kecil. Tapi, jika Lisa yang bermain tingkatnya pasti berbeda. Pertanyaan yang cukup untuk membuatnya berpikir setidaknya sepuluh detik. Memang target yang memalukan untukku hanya ingin membuatnya berpikir selama sepuluh detik. Tapi, karena tak mungkin ada kesempatan menang, aku tetap ingin membuat pertanyaan yang setidaknya sedikit mengecohnya. Aku tak mau dihina dalam permainannya.

 

Kalau begitu...

 

"Ferdi berada di sebuah lomba lari. Setelah pistol ditembakan, dia mulai berlari seperti peserta lain. Awalnya Ferdi berada di posisi terakhir, namun berhasil menyusul hingga akhirnya tiba di finish duluan. Akan tetapi saat hasil lomba diumumkan yang menjadi juara bukanlah Ferdi, melainkan orang ke dua yang berada di belakangnya. Kenapa?"

 

Aku memberi pertanyaan sambil menatap Lisa dan mengetukan jari ke pahaku sebagai penghitungan mundur saat Lisa mulai berpikir.

10

Lisa memengang dagunya

9

8

7

Dia mulai memejamkan matanya

6

Setengahnya lagi aku akan berhasil.

5

4

3

"Baiklah aku sudah tahu jawabannya."

 

Cih... padahal sedikit lagi. Memang ada kemungkinan jawabannya salah, tapi bagi Lisa-

 

"Jawabannya adalah, Ferdi bukanlah peserta lomba melainkan seorang kameramen yang merekam lomba lari secara lagsung."

Kesalahan tidak memiliki tempat dalam pemahamannya.

 

"Kau benar." Menyebalkan.

 

"Hehem... Pertanyaanmu sudah bagus, tapi itu belumlah cukup untuk menjatuhkanku." Menjengkelkan.

 

"Berarti sekarang giliranku ya."

 

"Iya." Aku menutup buku di tanganku dengan kesal.

 

"Hmm... Coba kita lihat." Lisa memiringkan kepalanya sambil memejamkan mata.

 

"Seorang lelaki dipanggil oleh seorang putri untuk menjadi pahlawan. Sang putri menjelaskan bahwa sang pahlawan telah dianugrahi kemampuan luar biasa untuk menyelamatkan negaranya dari kekalahan perang. Sang pahlawanpun menerima tugas tersebut dan berhasil memenangkan peperangan. Setelah usai perang, di istana sang pahlawan hendak mandi untuk menghilangkan lelahnya. Di perjalanan dia bertemu dengan pelayang pribadi putri yang menyapa lembut padanya, namun tidak mengatakan apapun selain memberikan senyuman ramah."

 

"Saat masuk kamar mandi, ternyata di sana ada sang putri yang hendak membersihkan diri dan sang pahlawan tanpa sengaja melihat tubuh putri yang telanjang."

 

Kenapa harus telanjang?

 

Melanjutkan-

 

"Ternyata di sana ada peraturan bahwa barang siapa yang melihat tubuh putri yang telanjang tanpa seijin sang putri maka harus dihukum mati. Sang pahlawan mencoba membela diri. Namun semua bukti mengarah padanya. Karena ada papan di pintu kamar mandi yang menunjukan bahwa itu adalah kamar mandi yang sedang digunakan oleh putri."

 

Lisa menengahi-

 

"Sang putri benar-benar hobi mandi di pemandian umum kerajaan itu."

 

Lanjut lagi-

 

"Belum lagi pelayan pribadi putri yang melihat sang pahlawan menuju kamar mandi, walaupun dia tak mengira bahwa sang pahlawan akan masuk karena sudah ada papan pengumuman."

 

Dan sekarang pertanyaannya-

 

"Dari semua petunjuk yang mengarah pada sang pahlawan, putri berhasil membuktikan bahwa sang pahlawan tidaklah bersalah dengan satu alsan. Dan alasan apakah itu?"

 

Aku hanya berkedip pada Lisa dengan soal ceritanya itu.

 

Benar-benar menjengkelkan.

 

"Pertanyaanmu panjang sekali." Aku mulai berpikir.

 

"Gak papa dong, terserah yang nanya. Lagian ini cuma kisah pengantar tidur anak-anak." Lisa menggerakan tubuhnya ke kiri dan ke kanan.

 

Kisah pengantar tidur? Oleh karena itu Lisa memilih tokoh seorang pahlawan dan putri ya?

 

Jika ini memang kisah pengantar tidur anak dengan tokoh pahlawan dan putri, bukankah ini mengarah pada ending cerita seperti 'mereka pun hidup bahagia selamanya.' sesuatu seperti itu?

 

Dan alasan untuk seorang perempuan membela lelaki yang bahkan telah melihat tubuh telanjangnya sendiri. Kurasa memang tak ada alasan lain selain itu. Ditambah bukti tentang kesaksian si pelayan pribadi dan papan pengumuman di pintu kamar mandi. Kurasa memang ini jawabannya, atau lebih tepatnya hanya ini yang dapat aku pikirkan akan jawabannya.

 

"Alasan sang putri adalah kerena dia jatuh cinta pada sang pahlawan dan tak keberatan bila dia dilihat oleh sang pahlawan dalam keadaan telanjang."

 

Itu jawaban yang dapat aku berikan dengan berpikir panjang. kurasa.

 

"Fufu.." tertawa

 

kenapa?

 

"Jawaban Ian mungkin masuk akal, tapi itu terlalu polos."

 

Terlalu polos, apa ,aksudnya?

 

"Tapi, aku suka sisi Ian yang polos itu kok." Tersenyum.

 

"Terus jawabannya?" Aku menyerah dengan memikirkannya. Atau lebih tepatnya, aku tak memiliki kemampuan untuk menemukan jawabannya. Karena itulah aku-

 

"Sudah nyerah?"

 

Sial. Ini memang menyebalkan, tapi ini juga karena aku yang tidak berbakat sehingga tak bisa menemukan jawaban dari pertanyaannya.

Aku pun mengangguk.

 

"oke deh kalo Ian udah nyerah."

 

Lisa menghadap ke atas, menutup matanya dan menikmati hembusan angin dari kipas.

 

"Jawabannya adalah sama seperti alsan anak kecil yang dibacakan dongeng sebeum tidur."

 

Apa?

 

Hanya itu.

 

"Begitu...ya?" Aku menjawab ragu-ragu.

Karena sebenarnya aku sama sekali tidak mengerti.

 

"Fufu... kalo gini udah diputuskan kalo aku yang menang dan Ian yang kalah. Benar kan?"

 

Mengesalkan, Menjengkelkan, Menyedihkan. Sial,sial,sial,sial,sial,sial.

 

Jangan mempermainkanku!

 

"Hmm..." Aku hanya mengangguk.

 

"kalo gitu, karena Ian sudah kalah, kamu harus mengambilkan minuman dari dapur untukku." Dia menyondongkan tubuhnya ke depan dan tertawa dengan suara 'hehem...'

 

"....iya"

Aku menutup buku di tanganku, meletakannya ke atas meja dan berjalan menuju pintu.

 

"Kamu tahu minuman kesukaanku kan?"

 

"Iya, yang rasa stawberry dan tanpa soda, kan?"

 

"Iya,iya. yang itu."

 

Aku keluar dari pintu kamar yang berwarna putih, menyusuri koridor yang pendek dan menuju tangga yang berwarna coklat mengkilap.

Ini adalah bangunan dengan dua lantai. Lantai atas adalah ruangan pribadi yang di dominasi oleh tempat tidur dan kamar mandi, itu adalah ruangan khusus yang dibangun untuk Lisa. Semuanya dibangun atas keinginannya, bahkan kamar dengan dua kasur yang menjadi tempat tidur kami adalah keinginan dari Lisa.

 

Lantai pertama dari bangunan ini memiliki desain yang lebih indah dari ruangan di lantai dua. Begitu kau menuruni tangga maka kau akan disambut oleh tiga jendela raksasa yang berada di dinding sebelah kirimu. Tangga itu sendiri berwarna coklat mengkilap dengan desain yang menunjukan kemewahan di masa klasik dan melingkar mengelilingi dinding merah di tengah ruangan. Karpet lantai juga berwarna merah yang menambah rasa anggun. Di tengah ruangan terdapat sofa coklat dan sebuah meja klasik beserta buah-buahan di atasnya.

 

Di ujung tembok terdapat pintu masuk tinggi dengan sebuah bel yang digantungkan di sana yang membuatnya mirip seperti kafe barat. Jika kau berjalan lurus dari pintu masuk dan melewati sofa tempat duduk, maka kau akan menemukan lantainya memiliki tiga langkah tangga dan di atasnya terdapat sebuah meja khusus beserta beberapa tumpukan buku dan sebuah kursi hitam empuk dibelakangnya.

 

Belum selesai sampai di sana, di belakang kursi terdapat lemari yang menyimpan koleksi dari tumpukan gelas antik. Gelas-gelas itu bersinar dengan terang karena terkena sinar matahari yang masuk dari jendela raksasa. Sedangkan di atas ruangan yang tinggi ini terdapat sebuah lampu mewah dengan hiasan bunga di sekitarnya yang berwarna bening. Atapnya sendiri berwarnya coklat dan memberi gambaran seperti sebuah kubah dengan pola yang unik di permukaannya.

 

Alasan kenapa lantai pertama dibuat megitu mewah adalah untuk menyambut para klien yang datang.

 

Dan jika kau bertanya kenapa seorang anak perempuan berumur delapan belas tahun seperti Lisa dapat tinggal di rumah semewah ini, maka aku dapat menjawabnya dengan sebuah kata.

 

Bakat.

 

Ya, jawabannya adalah bakat. Lisa bekerja sebagai salah saru detektif di kota ini yang meyelesaikan berbagai kasus kejahatan. Dia membantu polisi dalam penyelidikan dan mendapatkan semua fasilitas ini sebagai imbalannya. Dan sekali lagi harus ku katatakan semua ini adalah karena Lisa berbakat.

 

Bagaimana denganku?

 

Alasanku tinggal di tempat seperti ini bukanlah karena aku orang yang penting atau sejenisnya. Sejujurnya seperti yang sudah ku katakan bahwa aku tidak memiliki bakat sama sekali. Kenyataan bahwa aku bisa tinggal di tempat seperti ini adalah karena Lisa yang membawaku. Kami adalah teman yang tumbuh bersama di sebuah panti asuhan dan Lisa begitu menempel padaku. Karena itu dia membawaku untuk tinggal bersama di tempat ini sebagai asistennya.

 

Jika kalian berpikir semua itu karena Lisa menyukaiku, maka harus ku katakan bahwa itu adalah salah. Kenyataannya aku yang tidak memiliki bakat apapun ini dapat tinggal bersama dengan Lisa yang merupakan anak pilihan Tuhan adalah sebagai aksesorisnya semata.

 

Ya, aku hanya sebagai penambah keindahan Lisa yang bersinar dengan bakatnya itu.

 

Berjalan menaiki tiga anak tangga di lantai dan melewati lemari gelas, aku sampai di dapur. Dapurnya sendiri dibuat begitu mewah dengan peralatan memasak yang lengkap dan dibangun dengan cukup luas. Dapur sengaja di letakan di lantai satu agar mudah untuk menyambut klien dengan makanan dan kue.

 

Aku menuju kulkas dan mengambil sebuah minuman kaleng, membuka dan menuangkannya pada sebuah gelas cantik. Membiarkan sodanya menguap, aku mengambil sekaleng minuman lagi untukku sendiri dan langsung meminumnya.

 

Menunduk ke lantai bersih berwarna putih, aku melihat bayanganku sendiri.

 

Rambut hitam biasa dengan mata yang sedikit sayu.

 

Membandingkan diriku dengan Lisa dan menemukan banyaknya perbedaan di antara kami. Bukan hanya dari penampilan. Namun yang aku lihat adalah seberapa luas perbedaan kami dalam cara memandang. Lisa, hanya dengan duduk dan menjawab beberapa pertanyaan dapat mendapatkan semua ini. Sedangkan aku hanyalah aksesoris yang bahkan tak terlihat di mata orang lain. Perbedaanku dengan Lisa tidak hanya antara sebongkah emas dan kerikil, melainkan itu lebih seperti sebongkah berlian dan debu.

 

Tak ada satupun yang melirik debu saat berlian berada di sampingnya.

 

"Menyedihkan."

 

Mengambil minuman yang ada di gelas dengan tangan yang lain, aku kembali ke kamar  Lisa.

 

"Ah... Ian,"

 

Lisa sedang di telepon.

 

"Ada apa, pekerjaan?"

 

Lisa menutup telepon.

 

"Ya, sepertinya kali ini adalah sebuah pembunuhan."

                                        

 

Jendela dengan tirai merah yang elegan, lantainya berwarna cokla, dindingnya berwarna merah darah dengan beberapa bintik hitam yang mirip seperti air hujan dan dihiasi berbagai lukisan klasik.

 

Aku duduk di atas sofa di samping Lisa sambil mengamati pemandangan sekitar.

 

"Maaf menunggu lama,"

 

Kemudian seorang perempuan yang mengenakan pakaian pelaian abad pertengahan datang sambil membawa tiga cangkir teh di atas nampan. Dia meletakan teh di atas meja dengan gerakan yang anggun lalu duduk di sofa yang berlawan dengan kami sambil memeluk nampan perak itu.

 

Rambut colat yang diikat ke samping, kulitnya berwarna pucat namun cukup menawan. Matanya memiliki warna pupil yang langka yaitu hijau. Namun sayang sekarang matanya sayu sambil menunduk ke bawah.

 

Wajar saja jika dia merasa gugup di situasi saat ini, namun begitu-

 

"Srruupp... Ahh... tehnya enak. Tapi aku lebih suka jika gulanya ditambah sedikit dan diberi susu di dalamnya. Pasti rasanya akan jauh lebih baik. Ah, tapi jika kau tidak suka susu, kau juga bisa memakai madu."

 

Lisa benar-benar bertingkah seperti tidak ada apapun yang harus dikhawatirkan, kenapa?

 

 

Beberapa saat yang lalu,

 

"Ah, ini dia."

 

Kami berhenti di depan sebuah rumah merah dengan gaya sedikit mengadaptasi gaya barat.

 

"Ini, rumah ini memiliki halaman yang cukup luas."

 

Terdapat gerbang hitam yang memisahkan rumah ini dari jalan. Lalu terdapat sebuah air mancur kecil dengan hiasan sepasang patung burung dara, juga ada beberapa bunga di jendela rumahnya dan sebuah jalan dari batu kapur yang menuntun kami ke pintu coklat yang terlihat berkelas.

 

Kami telah melewati gerbang dan sampai di depan pintu. Tak salah jika menyebut halamannya luas, karena dengan air mancur, taman bungan dan sebuah pohon mangga, taman ini masih memiliki bagian terbuka yang diisi dengan dua buah ayunan besi.

 

Benar-benar rumah orang kaya.

 

"Jadi, biar aku tekan belnya,"

Lisa berjinjit dan menekan belnya. Namun setelah tiga menit berlalu, belum ada yang membukakan pintu.

 

Tekan....tekan...tekan...

 

"Lisa, jangan bermain-main dengan bel nya,"

 

"Habisnya gak ada yang membukakan pintu. Ah, jangan-jangan semua orang sudah mati." Lisa mengatakan itu sambil meletakan telunjuk ke bibirnya.

 

"Jangan mengatakan hal yang aneh-aneh."

 

Saat aku hendak menekan bel, pintunya tiba-tiba terbuka.

 

Yang ada di balik pintu adalah seorang perempuan dengan pakaian pelayan.

 

Kami dipersilahkan masuk dan mendapat beberapa penejasan dari Helen sang pelayan.

 

Rumah ini merupakan rumah milik keluarga Fames. Keluarga ini dikenal sebagai pemilik dari tiga restoran Itali bintang lima yang membuat anak satu-satunya yaitu Nyonya Larisa Fames harus berada di luar rumah hampir setiap hari. Nyonya Fames sendiri memiliki seorang putri dari mantan suaminya, Tuan Vian yang bernama Lily Fames.

 

Sebenarnya ada empat orang yang tinggal di sini jika Helen dihitung. Yang satunya lagi adalah Dian Fames, Ibu dari Nyonya Larisa Fames, dan dia adalah korban dari pembunuhan kali ini.

 

"Silahkan sebelah sini," Helen mengantar kami ke dapur di mana mayat nyonya Dian berada.

 

Tubuhnya berada di atas kursi roda, rambutnya berwarna putih dan tampak kulit kepalanya karena rotok. Dia menghadap ke atas menunjukan leher dan dada yang kurus kering. Matanya terbuka lebar dengan warna yang tak menunjukan kehidupan lagi. Mulutnya agak bengkok dan berbusa putih. Raut wajahnya menunjukan ketakutan seseorang yang menghadapi kematian.

 

Melihatnya dalam penampilan seperti itu membuat napasku berhenti secara mendadak. Ini benar-benar mengerikan.

 

Lisa bejalan mendekat ke arah mayat itu dan memeriksa wajahnya. Dia mendekatkan wajah ke arah mulut si mayat seakan hendak menciumnya. Melihat adegan itu, aku hanya memalingkan wajah.

 

"Hmm... Racun, ya."

 

Aku melihat sebuah botol coklat di atas meja masak, aku mendekatinya dan mengambilnya. Saat aku melakukan itu, Helen menundukan tatapannya dan mundur dari tempatnya semula.

 

Dia gemetar.

 

Aku semetara menghiraukan Helen yang berdiri ketakutan dan Lisa yang mengamati sang mayat.

 

Botolnya berwarna coklat dan terbuat dari beling, mirip seperti botol obat cair dan isinya masih hampir penuh.

 

'Rattengift' Itu yang tertulis di botol tersebut.

 

'Rattengift' merupakan bahasa Jerman untuk menyebut racun tikus.

 

Lalu, di atas meja masak ini terdapat sebuah lemari dua pintu yang salah satunya terbuka. Di pintu sebelah kiri tidak terdapat apapun dan isinya kosang, aku kemudian membuka pintu sebelah kanan yang masih tertutup. Di sana terdapat sebuah botol lain dengan warna dan tampilan yang hampir mirip. Yang membedakannya adalah tulisan 'Medizine' di permukaannya.

 

'Medizine' juga merupakan bahasa Jerman untuk menyebut obat.

 

"Ah... ada sendok di sebelah kuri roda."

 

Lisa mengatakan itu dengan kencang sehingga memalingkan pandanganku padanya. Itu merupakan sendok makan dari metal dengan hiasan ukiran bunga di gagangnya.

 

Sendok itu dan dan racun tikus ini. Bukankah ini sudah cukup jelas.

 

Tapi, kenapa ini berada tepat di dekat sang mayat?

 

Aku melihat Helen yang menundukan mukanya dengan cemas, Ia gemetar seolah ketahuan melakukan kesalahan yang tidak dapat dimaafkan. Mungkinkah?

 

Helen adalah pembunuh dari majikannya?

 

Dilihat dari penampilannya mungkiin Nyonya Dian berusia sekitar delapan puluh tahun. Untuk mengurus wanita yang setua itu pasti membuatnya kewalahan. Tidak, ini tidak cukup untuk menjadi alibinya dalam membunuh majikannya sendiri.

 

"Ah, Ian kau menemukan sesuatu yang menarik." Lisa sudah selesai memeriksa mayat tersebut dan berjalan menuju ke arahku.

 

"Ya, aku menemukan sebuah botol di meja dan satu di dalam lemari."

 

"Boleh aku pinjem?"

 

"Emm..." Aku menyerahkan kedua botol itu kepada Lisa.

 

Dia membolak-balik kedua botol itu secara bersamaan.

 

"Hmmm... Begitu ya."

 

Kurasa itu adalah pertanda jika dia menemukan sebuah kesimpulan. Tapi, bukan hanya kau saja Lisa yang sudah menemukan kebenaran di balik ini. Aku juga sudah menemukan jalan keluarnya.

 

Setelah semua yang aku temukan aku mendapatkan jawabannya, alasan Helen membunuh majikannya bukanlah karena nyonya Dian sudah tua. Melainkan karena sesuatu yang lain.

 

Namun sebelum itu, aku harus memastikan sesuatu terlebih dahulu.

 

"Helen, bisa kita berbicara sebentar?"

 

Dan begitulah kami duduk bersama di tengah ruang tamu ini. Dengan teh di depan kami, namun jika kau berpikir Helen juga meminum teh, maka kau salah. Helen cukup handal untuk memahami bahwa sebagai pelayan dia tidak bisa minum teh bersama tuannya ataupun seorang tamu. Dan cukup mengagumkan karena dia tetap mempertahankan kesopanannya itu meskipun tuannya mati keracunan. Adapun dia ikut duduk di sofa adalah karena Lisa yang menyuruhnya.

 

"Baiklah Helen, jelaskan tentang bagaimana kamu bisa bekerja di sini dan hubunganmu dengan Nyonya Dian."

 

"Ba-baik... Awal saya bekerja di sini adalah dari satu bulan yang lalu. Saya merupakan anak tunggal dari kedua orang tua saya dan keluarga kami merupakan keluarga yang kurang mampu. Ayah saya meninggal karena kecelakaan kerja, beliau terjatuh dari gedung yang sedang dibangunnya, Ibu saya menjadi sakit-sakitan setelah ayah saya meninggal. Kemudian beliau menyusul ayah dua bulan yang lalu.

 

Saya menjadi hidup sendiri di rumah, namun karena keluarga kami yang terlalu miskin untuk menyekolahkan saya, saya sulit untuk mencari pekerjaan, saya mencoba melamar kerja kemana-mana namun tak ada satupun yang menerima. Saat saya sudah menyerah dan menjadi gelandangan, saat itulah saya bertemu dengan Nyonya Larisa. Beliau meminta saya untu menjadi seorang pembantu di rumahnya, nyonya bilang akan membayar saya dengan upah yang besar.

 

Selain menepati janjinya, nyonya juga memberikan saya tempat tidur yang lebih nyaman dibandingkan di rumah saya, nyonya bahkan mempercayakan nyonya kecil pada saya.

 

Itu memang pekerjaan yang berat untuk mengurus nyonya Dian sambil mengasuh nyonya kecil. Tapi, saya sangat menikmatinya karena nyonya kecil sangat baik dan pintar. Bahkan nyonya kecil selalu mendapatkan nilai terbaik di kelasnya meskipun saya memang tidak pernah membantunya belajar. Nyonya kecil juga menggambar diri saya yang seorang pembantu dalam tugas menggambarnya. Beliau adalah seorang gadis kecil yang manis dan pintar."

 

Dia benar-benar menghargai Nyonya Larisa yang merupakan penyelamatnya dan begitu mencitai anak dari Nyonya Larisa sendiri yaitu Lily Fames yang dipanggilnya Nyonya kecil. Bahkan raut wajahnya menjadi sedikit cerah saat membicarakan tentang mereka.

 

Hanya saja-

 

"Lalu, bagaimana perasaanmu terhadap Nyonya Dian? Bukankah merepotkan untuk merawat wanita setua itu?"

 

"Itu tidak benar!"

 

Aku terkejut dengan penolakan langsungnya itu.

 

"Nyonya Dian adalah ibu dari penyelamat saya, karena itulah..." Dia menundukan kepalaya dan wajahnya kembali menjadi lebih pucat.

 

"Karena itulah... Saya menganggapnya sebagai Ibu sendiri." Dia menangis.

 

"Ma-maaf... Semuanya benar-benar menyenagkan sampai hari ini. Apalagi saat Nyonya Larisa mengajak Nyonya kecil berlibur untuk pertama kalinya. Tapi, ketika saya memberikan obat kepada Nyonya Dian seperti biasa, hal itu terjadi."

 

Helen langsung menyangkal saat aku menuduhnya membenci Nyonya Dian. Tapi, itu bukanlah poin nya. Poinnya adalah Helen merasa aku secara tidak langsung menghina Nyonya Dian dengan sebutan 'Wanita Tua yang Merepotkan'. Dengan begitu sudah jelas jika Helen benar-benar menyayangi Nyonya Dian dengan Tulus.

 

Helen lanjut menjelaskan bahwa dia memberikan obat seperti biasa kepada Nyonya Dian, namun tiba-tiba Nyonya Dian menjadi kejang-kejang dan mulutnya berbusa. Helen dengan panik menelepon Nyonya Larisa yang kemudian menelepon polisi dan akhirnya meminta Lisa untuk menyelidiki kasus ini. Helen bilang bahwa Nyonya Larisa dan anaknya sedang menuju ke sini. Begitulah Helen menyelesaikan penjelasannya.

 

dan untuk yang terakhir-

 

"Helen, Kannst du deutsch?"

 

"Ma-maaf?"

 

Sudah kuduga Helen tidak mengerti. Itu adalah bahasa Jerman, yang kutanyakan adalah 'Helen, bisakah kamu berbicara bahasa jerman?'. Itu memang sederhana, tapi sudah cukup.

 

Dan begitu juga semuanya menjadi jelas.

 

Helen adalah pembunuh Nyonya Dian. Itu sudah pasti, namun satu yang harus dipahami di sini. Helen mungkin pembunuhnya, namun dia tidaklah bersalah.

 

Helen bilang jika semua ini terjadi saat dia memberikan obar kepada Nyonya Dian. Ya, kesimpulannya memang sesederhana itu, obatnya tertukar. Dan obat serta racunnya ditulis dengan bahasa Jerman yang tidak dipahami Helen, maka masuk akal jika obatnya tertukar dengan racun.

 

Memang ada kemungkinan jika Helen pura-pura tidak mengerti bahasa Jerman. Namun, aku sudah memastikan itu dengan membuktikan hubungan Helen dengan Nyonya Dian sendiri. Helen benar-benar menyayanginya sebagai seorang Ibu.

 

Karena itulah, Helen mungkin pembunuhnya, namun dia tidak bersalah.

 

Dan masalahnya sekarang adalah bagaimana cara membuktikan bahwa Helen tidak bersalah. Polisi tidak perlu dikhawatirkan karena mereka bergantung pada keputusan Lisa. Namun, Nyonya Larisa pasti tidak akan percaya pada kebenaran itu.

 

"Anu..." Helen masih menunggu pertanyaan selanjutnya dariku.

 

"Tak masalah, sudah tak ada pertanyaan lagi dariku."

Helen melihat Lisa,

 

"Ah, jangan khawatir aku sudah mendapatkan kesimpulannya. Hihi... Sruuup..."

 

Keadaan menjadi sepi untuk beberapa saat. Helen duduk lesu di sofa dengan ekspresi gelisah, Lisa menikmati teh di cangkir keduanya. Aku hanya menunggu apa yang akan Lisa lakukan dengan situasi saat ini, karena aku yakin Lisa pasti memikirkan sesuatu dengan sikap santainya itu. Dan lagi entah kenapa aku ragu akan persamaan kesimpulan yang aku ambil dengan Lisa. Akankah itu benar-benar sama?

 

"Ah, anu Nyonya Lisa," Yang pertama kali memecahkan kesunyian adalah Helen.

 

"Ji-jika saya boleh tahu, bagaimana hasil... pemikiran Nyonya?" Helen bertanya dengan sedikit gemetar di suaranya.

 

Ya, wajar saja dia merasa khawatir. Hukuman bagi seorang pembunuh adalah mutlak, karena itu dia pasti takut. Tapi tenang saja, Helen tidaklah bersalah dan aku tahu itu. Ini hanyalah sebuah kecelakaan.

 

"Ah, soal itu aku-"

Ding...dong...

 

Dua nada bel telah memotong kalimat Lisa.

 

"Itu mungkin Nyonya Larisa,"

 

Kami berjalan menuju pintu.

 

Begitu Helen membuka pintu, disana ada seorang wanita cantik berambut pirang dan memakai pakaian merah dengan topi onepiece. Dia memakai make up yang natural, namun sayang kecantikannya harus berkurang karena maskara di matanya dan bulu mata panjang itu berantakan oleh air matanya. Selain itu, disampingnya terdapat seorang gadis kecil yang memakai gaun putih dengan rambut hitam panjang dan hiasan bunga matahari yang lucu. Tidak ada kata yang tepat selain menyebutnya dengan anak manis.

 

"Nyonya Larisa..."

Helen akan menjelaskan perkaranya, atau begitulah yang aku pikirkan sampai-

 

"Larisa Fames!" Dengan mengatakan itu, Lisa mengangkat tangan kirinya.

 

"Tidak ada satupun kejahatan yang luput dari mata Tuhan dan tak ada satupun yang bisa lari dari hukuman-Nya. Dengan ini aku, Lisa Sieben menyatakan dirimu bersalah atas pembunuhan untuk Ibu kandungmu sendiri. God Hamer!"

 

Itu adalah sesuatu yang takkan pernah kudapatkan dan alasan diriku yang membenci Lisa. Hal yang hanya dimiliki orang mereka yang berbakat dan terpilih oleh Tuhan, God Hamer.

                                                                                                   ----

 

Dengan matahari merah di barat dan bayangan yang memanjang, kami meninggalkan rumah merah itu. Berjalan berdampingan dalam diam untuk beberapa saat. Aku memutuskan untuk mulai berbicara.

 

"Lisa,"

 

"Hmmm..."

 

"Aku,"

 

"Ssstt..." Lisa menempelkan telunjuknya pada bibirku.

 

"Aku sudah tahu apa yang Ian inginkan dariku." Dia mengatakan itu sambil memutar tubuhnya bagai penari balet.

 

"Aku tahu jika Ian juga mendapat kesimpulan bahwa Helen tidak bersalah kan?"

 

"Ya. Aku berpikir bahwa obatnya tertukar karena botolnya mirip dan itu ditulis menggunakan bahasa Jerman."

Lisa menghadapkan badannya padaku dan mulai berjalan mundur.

 

"Itu memang kesimpulan yang bagus dan benar, namun Ian ku sayang." Lisa memajukan wajahnya mendekat padaku. Itu begitu dekat hingga aku bisa merasakan hembusan napasnya.

 

"Kau benar-benar polos."

 

"Polos?"

 

"Ya," Lisa berbalik dan kembali berjalan sambil menggendong tangannya.

 

"Tapi aku juga suka kok Ian yang polos dan lucu seperti itu." Lisa mengatakan itu sambil berjalan dan melanjutkan.

 

"Pertanyaan pertama, kenapa obatnya bisa tertukar dengan racun?"

 

"Bukankah itu karena botolnya mirip dan menggunakan bahasa Jerman yang Helen tidak mengerti?"

 

"Ya, itu memang benar, namun Ian sayang, kau melupakan satu hal yang penting." Lisa mengambil kerikil dan melemparkannya ke sungai.

 

Aku melupakan sesuatu yang penting. Tapi, apa itu? Sesuatu yang membuat obatnya tertukar selain dari botol yang mirip dan nama yang tidak diketahui, itu adalah...

 

Mungkinkah-

 

"Karena keduanya terletak pada lemari yang sama?"

 

"Ya, Ian benar," Lisa berjalan di pinggiran jembatan.

 

"Lalu pertanyaan selanjutnya, kenapa mereka terletak pada lemari yang sama?"

 

"Itu karena..."

 

Benar, kenapa aku bisa sebodoh ini? Tidak ada satupun manusia bodoh yang akan meletakan obat di samping racun.

 

"Ya, itu benar. Tidak ada yang akan meletakan obat di samping racun." Lisa mengatakan itu seolah membaca pikiranku.

 

"Lalu, yang meletakan racun itu adalah,"

 

"Ya, Nyonya Larisa." Lisa memaikan siput yang ada di pinggir jalan.

 

"Dan satu lagi yang harus Ian ketahui, Ian lupa mengecek seluruh botol." Melemparkan siput, Lisa lanjut berjalan.

 

Benar, aku hanya membaca produk obat dan racun tersebut tanpa memperhatikan hal lain selain memastikan bahwa kedua botol itu sangat mirip.

 

"Ian mungkin tidak menyadari jika ada tulisan berbahasa Indonesia dibalik salah satu botol itu."

 

"Tulisan bahasa Indonesia?"

 

"Ya, 'RACUN TIKUS'. Tulisannya memang cukup kecil, tapi Lisa yakin siapapun dapat membacanya." Lisa menendangi kerikil.

 

Itu, aku benar-benar tidak menyadari ada tulisan seperti itu di balik botol racun tikus. Tapi, jika itu benar maka-

 

"Bukankan jika itu benar maka Helen yang harusnya disalahkan bukannya Nyonya Larisa?"

 

Jika memang ada tulisan seperti itu, bukannya Helen bisa membedakan kedua botol itu walaupun tak memahami bahasa Jerman?

 

"Tidak, Nyonya Larisa adalah orang yang merencanakan itu semua sejak memperkejakan Helen." Lisa memetik sepucuk bunga matahari.

 

"Tapi, bagaimana itu mungkin?" Aku tidak bisa memahaminya.

 

"Ian-ku sayang, alasannya adalah sama dengan sang pahlawan yang tak sengaja melihat sang putri yang telanjang."

Jawaban teka-teki dari Lisa tadi pagi, itu adalah-

 

"Dongeng pengantar tidur?" Aku menjawabnya dengan ragu.

 

"Ya, itu adalah pertanyaan terakhirnya, kenapa anak kecil minta dibacakan dongeng sebelum tidur?" Lisa memakai bunga di rambutnya.

 

Alasan anak kecil meminta dibacakan dongeng pengantar tidur. Anak kecil yang biasanya banyak bicara, tapi malah meminta dibacakan dongeng saat hendak tidur. Itu, begitu ya...

 

Jawabannya adalah...

 

"Mereka tidak bisa membaca."

 

"Yap,"

 

"Sama seperti Helen, dia tidak bisa membaca."

 

"Yap." Lisa kembali berjalan.

 

 

 

 

Tiga hari kemudian, Larisa ames, dia mati karena keracunan makanan.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Be Yours.
2641      1305     4     
Romance
Kekalahan Clarin membuatnya terpaksa mengikuti ekstrakurikuler cheerleader. Ia harus membagi waktu antara ekstrakurikuler atletik dan cheerleader. Belum lagi masalah dadanya yang terkadang sakit secara mendadak saat ia melakukan banyak kegiatan berat dan melelahkan. Namun demi impian Atlas, ia rela melakukan apa saja asal sahabatnya itu bahagia dan berhasil mewujudkan mimpi. Tetapi semakin lama, ...
Mutiara -BOOK 1 OF MUTIARA TRILOGY [PUBLISHING]
13349      2685     7     
Science Fiction
Have you ever imagined living in the future where your countries have been sunk under water? In the year 2518, humanity has almost been wiped off the face of the Earth. Indonesia sent 10 ships when the first "apocalypse" hit in the year 2150. As for today, only 3 ships representing the New Kingdom of Indonesia remain sailing the ocean.
DEWDROP
1044      537     4     
Short Story
Aku memang tak mengerti semua tentang dirimu. Sekuat apapun aku mencoba membuatmu melihatku. Aku tahu ini egois ketika aku terus memaksamu berada di sisiku. Aku mungkin tidak bisa terus bertahan jika kau terus membuatku terjatuh dalam kebimbangan. Ketika terkadang kau memberiku harapan setinggi angkasa, saat itu juga kau dapat menghempaskanku hingga ke dasar bumi. Lalu haruskah aku tetap bertahan...
Princess Harzel
16154      2396     12     
Romance
Revandira Papinka, lelaki sarkastis campuran Indonesia-Inggris memutuskan untuk pergi dari rumah karena terlampau membenci Ibunya, yang baginya adalah biang masalah. Di kehidupan barunya, ia menemukan Princess Harzel, gadis manis dan periang, yang telah membuat hatinya berdebar untuk pertama kali. Teror demi teror murahan yang menimpa gadis itu membuat intensitas kedekatan mereka semakin bertamba...
Sendiri
441      292     1     
Short Story
Sendiri itu menyenangkan
27th Woman's Syndrome
10455      1994     18     
Romance
Aku sempat ragu untuk menuliskannya, Aku tidak sadar menjadi orang ketiga dalam rumah tangganya. Orang ketiga? Aku bahkan tidak tahu aku orang ke berapa di hidupnya. Aku 27 tahun, tapi aku terjebak dalam jiwaku yang 17 tahun. Aku 27 tahun, dan aku tidak sadar waktuku telah lama berlalu Aku 27 tahun, dan aku single... Single? Aku 27 tahun dan aku baru tahu kalau single itu menakutkan
Enemy's Slave
1421      635     7     
Romance
Kesha Ayu Shakira dan Leon Bima Iskandar. Keduanya saling bermusuhan. Bahkan generasi sebelumnya--alias mama dari Kesha dan mama dari Leo--keduanya juga sudah menjadi musuh bebuyutan. Berujung saat mama masing-masing saling menyumpah ketika kehamilan masing-masing; bahwa anak mereka akan saling jatuh cinta dan saling menjatuhkan. Apakah sumpah-serapah itu akan menjadi kenyataan?
My Brother Falling in Love
35830      3430     8     
Fan Fiction
Pernah terlintas berjuang untuk pura-pura tidak mengenal orang yang kita suka? Drama. Sis Kae berani ambil peran demi menyenangkan orang yang disukainya. Menjadi pihak yang selalu mengalah dalam diam dan tak berani mengungkapkan. Gadis yang selalu ceria mendadak merubah banyak warna dihidupnya setelah pindah ke Seoul dan bertemu kembali dengan Xiumin, penuh dengan kasus teror disekolah dan te...
Aleya
2340      739     4     
Romance
Kau memberiku sepucuk harapan yang tak bisa kuhindari. Kau memberiku kenangan yang susah untuk kulupakan. Aku hanyalah bayangan bagimu. Kita telah melewati beberapa rute tetapi masih saja perasaan itu tidak bisa kukendalikan, perasaanmu masih sama dengan orang yang sama. Kalau begitu, kenapa kau membiarkan aku terus menyukaimu? Kenapa kau membiarkan aku memperbesar perasaanku padamu? Kena...
Bulan dan Bintang
5714      1531     1     
Romance
Orang bilang, setiap usaha yang sudah kita lakukan itu tidak akan pernah mengecewakan hasil. Orang bilang, menaklukan laki-laki bersikap dingin itu sangat sulit. Dan, orang bilang lagi, berpura-pura bahagia itu lebih baik. Jadi... apa yang dibilang kebanyakan orang itu sudah pasti benar? Kali ini Bulan harus menolaknya. Karena belum tentu semua yang orang bilang itu benar, dan Bulan akan m...