BAB 11
Meninggalkan Kota Penuh Kenangan
Kami masih menunggu Salim dan Mama keluar dari ruang kelas. Betapa makin bangganya kami saat melihat Salim benar-benar memegang piala serta piagam yang ada di tangannya. Terlihat jelas semua orang yang berada di dalam ruangan itu memberikan selamat kepada Salim dan Mama.
“Waaahhh, hebatnya La Bau,” kataku yang langsung menghampiri Mama dan Salim yang sedang berada di kerumunan orang.
“Kami bangga punya saudara sepertimu,” Iman pun menimpali ucapanku sambil merangkul adiknya itu.
“Kenapa kalian ada di sini?” tanya Mama saat melihat kami datang bersama-sama.
“Iya, Ma. Kita sengaja datang ke sini. Kami benar-benar takjub hari ini karena Salim dinobatkan jadi murid terbaik,” jawab Zura sambil ikut merangkul bangga adiknya Salim.
“Iya, dong. Kan saya sudah pernah bilang kalau saya pasti bisa dapat yang terbaik,” kata Salim yang mulai membanggakan dirinya. Kepercayaan diri Salim memang sudah tidak diragukan lagi. Rasanya ingin sekali kutarik kembali ucapanku barusan agar aku tak perlu lihat gaya bicara yang bangganya setinggi langit itu.
“Ya sudah, ayo kita pulang. Kalian pasti belum makan, kan? Habis ini Mama mau ke pasar untuk beli ayam. Nanti Mama masakan kalian makanan enak,” Mama tersenyum mengangkat imut kedua alisnya. Terlihat senyuman Mama yang sangat bahagia. Senyuman yang belum pernah lagi kulihat saat Bapak sudah tidak bersama kami. Garis halus kerutan Mama kini sudah mulai nampak saat kuperhatikan dengan jelas. Kami pun pulang dengan muka yang sumringah. Mama memasakkan makanan kesukaan kami. Sop ayam dan kari ayam. Kami biasanya makan ini saat lebaran saja. Maklum saja, makanan ayam itu mahalnya nauzubillah, hingga kami tak mampu membelinya. Hari itu kami semua benar-benar sangat bahagia. Beban hidup kami hilang. Sudah lama kami tidak merasakan kumpul bersama seplong ini. Sejak kepergian Bapak, rasanya rumah kami seperti rumah hantu. Tidak ada canda tawa lepas seperti yang kami jalani dulu bersama Bapak. Akhirnya, keluarga kami kembali lagi walau tanpa adanya Bapak di tengah keluarga kami.
***
Didalam sepertiga malam itu, aku mendengar suara merdu Mama yang sedang mengaji setelah melaksanakan sholat Malam. Biasanya aku terbangun karena suara berisik dari kamar Salim. Namun, kali ini suara merdu Mama yang membangunkanku. Mama melantunkan asma Allah dengan sangat indahnya. Aku membuka mata dan berusaha mengumpulkan separuh nyawaku yang belum terkumpul rapi malam itu. Dengan suara yang mulai gemetar, Mama menangis setelah membaca Alquran. Entah apa yang ada dipikiran mamaku saat itu. Aku tak kuasa beranjak dari tempat tidurku. Kebetulan hari itu aku tidur di kamar mama. Setelah bapak meninggal, hampir tiap hari aku menemani mama tidur.
Tetesan air mata yang hanya akan selalu diperlihatkannya untuk Allah, tetesan keringat yang hanya dirinya yang tahu. Senyuman yang selalu ditebar untuk kami anak-anaknya, canda tawa, dan ilmu yang selalu dibagi untuk para muridnya. Itulah mamaku sang pejuang untuk keluarga. Tidak pernah mengeluh akan segala yang sudah ia lakukan untuk kami.
Tidak mempedulikan kesehatannya, tidak mempedulikan rasa lelahnya, Mama selalu berjuang untuk bisa mencapai semua targetnya. Yang dipedulikannya adalah bagaimana bisa membesarkan dan mengantarkan anak-anaknya sukses seperti permintaan Almarhum Bapak. Semangat Mama selalu berkobar tanpa rasa lelah demi menabung untuk membiayai seluruh biaya pendidikan anak-anaknya hingga kejenjang yang lebih atas. Semangat kerja keras Mama, keringat Mama, dan pengorbanan Mama tidak akan pernah dilupakan oleh kami.
Aku tahu Mama sering tertekan dengan keadaan kehidupan kami yang apa adanya. Gaji Mama yang pas-pasan untuk makan dan biaya empat orang anak. Segala usaha untuk mendapatkan uang tambahan untuk sekolah anak dijalankannya. Usaha jual es tidak cukup banyak membantu penghasilan keluarga kami. Namun, Mama selalu berusaha keras agar segala kebutuhan kami tercukupi. Mamaku memang wanita hebat. Mama tidak butuh balasan untuk diberi sebongkah berlian dari anaknya, tapi Mama hanya ingin menjadikan anaknya manusia sukses yang tidak dipandang dan dilirik sebelah mata oleh orang lain. Mama memberi kami bekal ilmu kehidupan agar menjadi insan yang Allah sayangi dan manusia yang bermanfaat untuk orang lain. Pelajaran yang dulunya sering kami dapat dari Bapak, kini tugas itu berpindah kepundak Mama.
Keputusan terbesar yang Mama ambil untuk keluarga kami adalah pindah ke Kota Bima, tempat Mama berasal. Bagiku, kami sudah cukup bahagia di Baubau. Walau tanpa Bapak, namun kami masih bisa bertahan hidup dan mengumpulkan puing-puing kebahagiaan kami yang dulunya amburadul. Kata Mama, “Mungkin kita akan jauh lebih bahagia dan bisa menata kembali hidup kita di Kota Bima.” Keluarga di Bima juga sudah menyuruh Mama untuk mengurus surat kepindahan ke Bima. Sepertiga malam hari itu, ternyata tangisan itu adalah tangisan yang tak tega memberi kabar memilukan ini pada kami. Kami sekeluarga harus angkat kaki dari kota yang sudah banyak membuat hidup kami memetik pelajaran berharga.
Dengan bermodalkan rumah di Baubau, mungkin itu bisa menjadi aset kami untuk dipakai membiayai seluruh kehidupan kami sampai kami lulus kuliah nanti. Dengan harus menjual rumah peninggalan Bapak yang dibangun dengan penuh keringat, melepas rumah dan meninggalkan kota kelahiran kami untuk bisa melanjutkan hidup yang lebih baik harus kami jalani. Mama sudah memikirkan ini sejak lama. Memikirkan biaya sekolah kami nanti sampai kami bisa meraih gelas sarjana. Tidak bisa hanya mengandalkan gaji PNS Mama sebagai guru dan gaji pensiunan Bapak. Mama sadar kalau usia kami yang kejar-kejaran yang hanya beda setahun ini membutuhkan banyak lonjakan dana yang harus ditutupi. Keputusan ini pun muncul karena dukungan keluarga di Bima walaupun awalnya keluarga di Baubau tidak ingin melepaskan kami. Namun, karena banyak pertimbangan rasional yang Mama berikan, keluarga di Baubau pun akhirnya bisa dengan ikhlas membiarkan kami menjalani hidup di tempat baru. Berpikir untuk masa depan anak-anaknya, Mama melepas rumah yang sangat memiliki sejarah penting di dalam keluarga kami.
Februari ditahun 2000. Setelah 5 tahun kepergian Bapak, kami dan keluarga pindah ke Kota Bima, NTB. Kami tinggalkan semua kenangan yang sudah merasuk dalam daging. Kami tinggalkan semua kebahagiaan dan pengalaman hidup kami di sini untuk melanjutkan hidup di Kota Bima. Kami akan merindukan keadaan nyaman kota yang telah mengukir banyak sejarah kehidupan kami. Kami akan merindukan semua kenangan indah dan air mata yang pernah menetes di sini dan kami akan selalu merindukan canda tawa yang pernah terukir jelas di kota ini. Kota yang mengukir banyak kenangan manis dan pahit. Kota Baubau bagai nadi yang selalu berdetak di dalam jiwa kami
Sore itu di Pelabuhan Murhum, Baubau, Sulawesi Tenggara. Disinilah kami mengangkat kaki untuk bergegas pergi dari kota yang sudah begitu akrab di hati kami. Pelabuhan itu seakan-akan mengucapkan kata pisah sembari melambaikan tangan dan berkata padaku, “Jangan lupakan Baubau” ,Angin lautnya seakan memelukku dengan sangat erat. Pelabuhan yang menjadi saksi bisu dari berakhirnya hari-hari kami di sini, menjadi sangat dramatisir. Meninggalkan rumah yang dibangun dengan susah payah dari keringat Bapak dan Mama, meninggalkan tetangga dan keluarga kami, menjadikanku sangat tidak rela melepaskan ini semuanya.
Tidak ingin pergi dari sini, tapi ini harus kami lakukan agar bisa melanjutkan hidup. Diantar tetangga dan keluarga yang akan kami tinggalkan. Mengucapkan kata pisah dan salam terakhir untuk mereka semua yang mencintai keluargaku. Pelabuhan Murhum dibanjiri tangisan air mata dari kami dan orang-orang yang tak rela melepaskan kami untuk pergi mengadu nasib di Kota Bima.
Tangisan air mata melepas semua kenangan di sini. Yang entah kapan kami akan bisa bertemu lagi dengan sanak keluarga serta teman-teman sepermainan kami. Yang pasti kaki kami sangat berat untuk melangkah. 20 menit lagi kapal berangkat. Aku dan keluarga berpamitan satu per satu pada tetangga dan keluarga yang mengantar kami ke pelabuhan. Kepergian kami di sambut isak tangis yang begitu ramai.
Seakan tak mampu kakiku untuk melangkah masuk ke dalam kapal yang akan mengantarkan kami sekeluarga ke Bima. Berat rasanya hati ini melepas Baubau. Kota yang sudah banyak mengajariku arti kehidupan yang sesungguhnya. Air mataku tak kuasa kubendung saat aku tahu ini bukan mimpi. Air mataku tak mampu untuk berhenti menetes saat aku tersadar ini adalah kenyataan yang harus aku jalani bersama keluargaku. Saat kubuka lebar kedua mataku, aku merasa tak sanggup untuk melihat lambaian tangan dan tetesan air mata dari para sahabat, keluarga, para tetangga dari atas kapal. Bu Sina dan Pak Arman yang kini telah menjadi pasangan suami istri pun ikut mengantar kami. Ingin tetap bersama menjalani hari-hari seperti biasa dengan mereka. Namun, inilah kenyataan yang harus dijalani. Kami harus kuat untuk melepas semua kisah kami di sini.
Kota Baubau penghasil aspal terbesar di Indonesia ini akan selalu menjadi bagian dari kehidupan keluargaku. Tidak akan pernah melupakan setiap moment berharga disini. Tidak akan pernah melepas mimpiku untuk kembali lagi ke sini. Semua tentang kota ini akan tetap melekat dalam sanubariku. Satu yang kusesali saat kepergianku dari kota Baubau, aku tak kuasa berpamitan pada Bapak. Aku tak sanggup mengucap kata pisah di tempat peristirahatan Almarhum. Aku tak ingin membuat Bapak bersedih karena kami akan sangat jarang berziarah ke makamnya. Hanya doa dari kejauhan yang akan selalu kami kirim untuknya.
Perjuangan hidup bertahun-tahun setelah Bapak tiada membuat kami mengerti arti perjuangan hidup yang sejati. Berusaha berjalan tegap walau sebenarnya kami rapuh. Namun, kami selalu percaya bahwa kami adalah orang pilihan yang Allah percayakan bahwa kami mampu.
Berusaha menahan goncangan hidup saat ditinggal kepala keluarga. Kini saatkan kami harus bangkit dari semua kesedihan yang telah kami ukir di kota ini dan melanjutkan hidup di kota tempat kelahiran Mama, yaitu Kota Bima. Kota Baubau memang banyak sekali mengukir kesedihan saat kepergian Bapak, namun Kota Baubau juga sangat banyak mengukir tawa dan kebahagiaan saat-saat indah ketika Bapak masih berkumpul bersama kami. Tidak ada penyesalan pernah berada di kota ini. Yang ada hanya rasa syukur karena sudah dilahirkan di kota yang penuh dengan manusia-manusia terbaik yang pernah ada.
kota Bima. Dikota ini kami mulai membangun kembali keluarga kami dengan penuh semangat dan di sinilah Mama mulai kembali berusaha untuk berjuang dan bekerja keras. Hubungan kami dengan keluarga serta sahabat-sahabat lortax masih terjalin dengan baik sampai sekarang.
Pertarungan dengan nasib digencarkan oleh mama. Berusaha lebih keras dibanding orang lain agar dapat merubah nasib menjadi lebih baik. Mama percaya dan akan selalu meyakini kalau kita dapat merubah nasib jika kita mau berusaha. Seperti yang sudah tertera jelas di Alquran pada ayat 11 surat ar-Ra’d (13) disebutkan, Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga mereka sendiri yang mengubahnya.
Ayat ini memberikan kesaksian bahwa antara perbuatan manusia dan kehidupan memiliki hubungan yang terjalin erat, sehingga sekiranya manusia menapaki kaki berdasarkan kaidah fitrah serta keberkahan Ilahi akan meliputi kehidupannya. Dan apabila ia berbuat kerusakan, niscaya kehidupannya juga akan mengalami hal yang sama. Intinya apa yang kita perbuat pasti akan mendapatkan hasil dari perbuatan kita. Tinggal memilih, ingin menanam kebaikan atau keburukan. Itu adalah pilihan hidup yang harus ditentukan.
Hidup susah sudah menjadi makanan kami sehari-hari. Rasa pahit, asin, kecut, segala sesuatu yang nyelekit sudah biasa kami cicipi. Keluarga besar dari Mama dan Bapak memang dari keluarga yang mampu. Namun, kami tak akan pernah jadi pengemis karena kami percaya akan rezeki yang Allah telah siapkan jika kami tetap berusaha. Kami sering hidup susah waktu kecil dan kami akan ubah hidup keluarga kami jauh lebih baik. Kami hanya ingin membanggakan Mama dan Almarhum Bapak. Sering kehilangan arah untuk maju, sering kehilangan arah untuk bertahan, tapi kami tidak boleh patah semangat untuk mewujudkan impian Mama. Kami tidak akan membiarkan air mata kesedihannya mengalir lagi, akan kami buat semuanya indah agar ia selalu bahagia dan tersenyum.
Kami memang orang susah, tapi kami punya otak yang bisa merubah dunia. Di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin. Tidak ada yang serba kebetulan. Semuanya sudah Allah atur sesuai dengan kegigihan kita dalam menghadapi hidup. Tidak ada yang bisa kami andalkan selain ilmu yang kami punya. Muka sudah pas-pasan, hartapun tak punya, namun ilmu tidak boleh pas-pasan. Ilmu itu harus berlebih untuk memantaskan hidup. Sukses itu adalah sebuah pilihan hidup. Hidup itu tidak mudah. Hanya orang-orang yang kuat yang bisa bertahan di bumi. Hidup memang keras, tapi kita bisa melembutkan dunia kalau kita mau merubah nasib jauh lebih indah.
Kami sudah bersahabat dengan kesedihan. Kami sudah tidak takut lagi melangkah walau sering terjatuh, karena kami adalah anak yang dilahirkan dari rahim wanita yang sangat luar biasa hebatnya. Seperti Mama yang selalu tegar menghadapi lika-liku kehidupan dan Mama yang akan selalu berjuang untuk menghidupi kami saat Bapak dipanggil sang Khaliq. Kami akan menjaga Mama seperti Mama menjaga kami tanpa kenal lelah. Kami akan menjaga Mama di pelukan kami hingga Mama tidak akan pernah lagi merasakan lelahnya hidup.
Atas nama cinta Allah kepada hambanya, atas nama cinta manusia kepada sang Khaliq, atas nama cinta orangtua kepada anaknya, atas nama cinta anak kepada orangtuanya, dan atas nama cinta saudara kepada saudaranya. Semuanya ada di dalam keluarga kecilku. Keluarga yang terbentuk atas nama cinta. Cinta yang timbul dari sebuah kebersamaan yang selalu melekat. Cinta yang timbul karena banyaknya ujian hidup yang dilalui bersama. Cinta yang timbul dari sebuah canda tawa kebahagiaan. Dan cinta yang timbul karena izin Allah.
Inilah kisah perjuangan seorang ibu untuk kebahagiaan anak-anaknya. Seorang ibu yang tidak pernah mengeluh dan tidak pernah berputus asa untuk selalu bertahan menerjang ombak kehidupan. Semua berawal dari bawah. Kita tidak akan pernah merasakan nikmatnya hidup di atas singgasana jika tidak pernah mencicipi kehidupan yang pahit terlebih dahulu. Menerobos pintu kesuksesan dengan usaha dan kerja keras. Inilah kisah hidup kami. Kisah hidup wanita luar biasa yang sangat sabar membanting tulang untuk menghidupi keempat anaknya dan dapat membiayai sekolah anaknya sampai mendapatkan gelarnya masing-masing.
Ambil semua hikmah yang terkandung dalam semua perjalanan hidup. Allah tidak akan memberikan cobaan di luar batas kemampuan kita. Sudah tertera jelas dalam QS al-Baqarah: 286 Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. Pandang semua masalah sebagai cobaan untuk lebih sabar menghadapi hidup dan di balik itu semua ada rencana terbaik dari Allah untuk kita.
Mama pahlawan bagi kami, Sang Proklamator untuk keluarga kami dan sang Guru terhormat untuk para anak didiknya di sekolah. Itulah gambaran seorang wanita hebat tanpa mengenal lelah. Kini, kami tidak akan pernah lagi takut untuk bermimpi menjadi manusia total yang akan siap melebarkan sayap kesuksesan. Wish Us Luck.
Mantaap
Comment on chapter BAB 1 : Colorful Life