Geo berdengap. Tidak bisa bernafas selama beberapa detik ketika kaos basah Beni mencetak dada berototnya. Rambut beni yang tersibak ke belakang. Tetesan air yang mengalir di sela rambutnya. Air membuat lekukan maskulinnya tercetak jelas. Laksana tersengat petir, Geo mengalihkan tatapannya. Wajahnya panas. Geo merasa dirinya sudah gila.
"Kenapa bengong? Nasinya bisa gosong itu!" Suara Beni yang tidak ada lembut-lembutnya itu menyentak Geo. Bahunya bergetar. Dia tidak ingin berbalik arah dan menatap Beni lagi.
Geo diam sambil berperang dengan pikirannya. Masih sepagi ini tapi Beni kembali dalam keadaan basah kuyup, padahal tidak ada hujan. Tidak tahu apa yang dia lakukan dan kembali dengan penampilan yang berbahaya.
Sebuah sentuhan di bahunya membuatnya menjerit. Terasa seperti dialiri listrik Geo mendorong tubuh Beni menjauh. Tangan Geo menempel di dada Beni karena berusaha mendorongnya. Geo tersadar dan langsung menarik tangannya dengan panik. Debaran jantungnya kian meningkat. Wajahnya semakin panas.
Beni mengangkat alisnya, tampak kesal. Kini, Geo kembali menatap Beni. Dalam penglihatan Geo, Beni jadi lima kali lebih tampan dari biasanya. Dari cara Beni mengangkat alisnya, wajah kesalnya, dan cara Beni memarahinya sekarang, Geo mengagumi itu.
Sontak Geo tersadar. Pikiran anehnya mulai tidak masuk akal. Geo menggelengkan kepalanya cepat dan bergerak mengangkat nasi yang sudah hampir gosong. Kemudian secepat kilat pergi menjauh dari Beni. Menenangkan jantungnya yang sudah turun ke perut.
"Kenapa, sih?" Geo sempat mendengar Beni berteriak. Namun, kesehatan jantungnya lebih utama.
Sepertinya keberuntungan berada di pihak Geo. Beberapa saat setelah pertemuan berbahaya di dapur pagi tadi dan sampai menginjak tengah hari, Beni seakan menghilang ditelan Bumi. Dia tidak perlu berusaha menghindar apabila bertemu Beni. Pikirannya juga menjadi lebih rasional setelah memaksa sel rasionalnya untuk bangkit.
Mbak Tutik berhenti mengiris bawang putih dan menatap Geo dengan tatapan menyelidik. Serasa ada sesuatu yang janggal. Tidak biasanya Geo terus menerus menunjukkan seulas senyum lebih dari lima menit. Pasti ada hal menyenangkan yang tidak diketahui Mbak Tutik. Merasa penasaran, Mbak Tutik bertanya, "Apa ada sesuatu?"
Geo menoleh, "Apa?" Sebelah alisnya terangkat. Mbak Tutik tiba-tiba mengajukan pertanyaan padanya.
"Kamu kenapa senyum-senyum terus? Ada sesuatu yang menggembirakan?"
"Tidak ada. Moodku sedang bagus." Geo memamerkan senyum cerahnya. Sekarang Geo merasa telah kembali menjadi dirinya sendiri. Dia juga mengakui kalau pikirannya tadi pagi sangat konyol dan memalukan.
"Oalah, tak pikir ada opo to, nduk." Mbak Tutik kembali melanjutkan memotong bawang putih yang sempat terhenti tadi. Geo juga melanjutkan pekerjaannya.
Kemudian, Beni menampakkan dirinya di dapur. Geo tidak lagi merasa terganggu oleh kehadiran Beni. Sekarang Geo sedang berada dalam mode rasional di mana sel rasional sedang berkuasa di dalam kepalanya.
"Saya mau ke kota." Beni berpamitan pada Mbak Tutik sambil melirik ke arah Geo yang tampak tidak peduli. Hasan muncul di sebelah Beni dan mengatakan hal yang sama.
"Iya, le. Tidak biasanya kamu pamit sama saya." Mbak Tutik kembali menghentikan perkerjaannya dan menatap Beni. Beni hanya mengangkat bahunya malas.
"Oh! Mas Hasan mau ke kota? Hati-hati ya, Mas!" Geo berteriak kencang ketika melihat wajah Hasan.
Beni menampakkan wajah kesalnya lagi. "Saya juga mau ke kota. Tidak ada yang mau kamu ucapkan ke saya?"
"Mau pergi juga, ya. Silahkan."
Mendadak Beni menjadi marah lalu keluar dari dapur dengan wajah menyeramkan. Kemudian terdengar suara bantingan pintu dari arah depan. Geo terbengong sambil mengurut dadanya. Suara bantingan pintu tadi membuatnya terkejut. Beni selalu berindak kasar yang kadang tidak dipahaminya. Mbak Tutik tersenyum. Sepertinya dia tahu kenapa adiknya bertingkah begitu.
***
Inilah Kota Yogyakarta di tahun 1949. Kemarin Geo bersama Beni telah mengunjungi tempat yang disebutkan sebagai Kota. Ternyata Kota yang mereka sebut adalah tempat teramai di mana semua pedagang berkumpul. Tidak hanya pedagang tetapi juga para orang-orang Belanda yang berkeliaran di jalanan.
Beni sampai harus berkali-kali menyamar menjadi pembeli pisang untuk mengelabui beberapa tentara Belanda yang kebetulan tengah patroli. Kata Beni, di antara orang-orang lokal ini juga ada mata-mata yang memihak Belanda. Bersembunyi di antara warga lokal dan mencari informasi keberadaan para tentara Gerilya dari warga lokal lain yang tidak sengaja membicarakannya.
Kota Yogyakarta kini sangat berbeda dari Kota Yogyakarta di masa depan. Tidak terpikirkan sama sekali oleh Geo bahwa Kota Yogyakarta awalnya seperti itu. Benteng-benteng Keraton masih berdiri kokoh membentang dari sudut ke sudut. Ada gorong-gorong besar tempat menyelinap para Gerilya. Jalanan dipenuhi pohon-pohon tinggi yang mirip seperti hutan. Pasar Beringharjo juga benar-benar seperti pasar tradisional yang kuno. Dikelilingi dengan puluhan pohon Beringin.
Langit mulai berubah warna. Udara lembab menerpa wajah Geo yang tengah duduk di teras depan rumah. Menyapa beberapa orang lewat. Masih tidak menyangka, Geo hidup di zaman ini. Sebuah kesimpulan sempat hinggap di benaknya. Sepertinya karena terlalu membenci sejarah, semesta tengah mempermainkannya dan memberinya pelajaran. Mengirimnya kembali ke masa lalu untuk lebih menghargai sejarah.
Geo mendesah. Kalau semesta tengah mempermainkannya, kapan kiranya semesta akan berhenti bermain-main? Geo beranjak dan mengambil sebuah lidi dari sapu yang tergeletak di dekatnya. Sebelumnya dia sudah mengintip supaya Mbak Tutik tidak tahu kalau satu lidi sudah berkurang. Geo berjongkok di bawah lincak dan mulai menggambar peta. Peta perjalanannya bersama Beni kemarin juga mengira-ngira letak desa yang dia tinggali sekarang dengan peta di tahun 2018.
Geo menyadari seseorang ikut berjongkok di sebelahnya. Geo menoleh dan mendapati Hasan tengah mengintip gambarnya. "Kamu sedang apa?"
"Menggambar peta."
"Apa Yogyakarta sangat berbeda dengan Kotamu?"
"Berbeda sekali. Walaupun ada beberapa yang masih berada di tempatnya tetapi rasanya tetap berbeda."
"Hmm? Kamu ingin kabur dari sini makanya membuat peta?"
"Wah, Mas Hasan pintar sekali membaca pikiranku! Dari mana Mas tahu!" Geo pura-pura terkejut mendengar kesimpulan yang dibuat Hasan. Wajah Hasan berubah.
"Sungguh? Beneran mau kabur?"
Geo tergelak. Sekarang dia menyadari kalau Hasan adalah orang yang mudah diganggu. Wajahnya terlihat lucu. Sepertinya dia benar-benar mengira Geo akan kabur.
"Siapa yang mau kabur?" Suara keras seseorang membuat mereka berdua terlonjak. Geo sampai sedikit menjerit.
Beni berdiri di belakang mereka dengan tangan terlipat di depan dada. Wajahnya terlihat marah seperti biasanya. Geo menahan nafasnya. Penampilan Beni saat ini membuatnya terlihat lebih macho. Sepertinya kekuasaan sel rasional di otaknya sudah berakhir. Pikiran gilanya kembali.
"Ini tadi katanya ...." Sebelum Hasan mulai bicara yang tidak-tidak, Geo langsung membekap mulutnya.
"Hahaha, Mas Hasan, kayaknya Mbak Tutik manggil kamu deh." Geo memelototi Hasan. Mengirimkan sinyal bahwa dia harus segera pergi. Hasan mengangguk dengan susah payah dan segera berlari pergi. Sementara Beni masih berdiri di sana memandangi Geo dengan wajah marahnya.
"Pak Beni juga sepertinya harus segera masuk. Wah, sudah hampir maghrib." Geo berdiri dan dengan kikuk menggerak-gerakkan tangannya. Kemudian Geo melangkah melewati Beni, hendak masuk ke rumah. Beni menahan lengan Geo. Jantung Geo serasa berhenti. Ini seperti cerita roman klasik di mana si tokoh utama pria tidak menginginkan si tokoh utama wanitanya pergi. Geo menoleh, wajah Beni tepat berada di depannya.
"Katakan! Kamu sungguhan mau kabur? Atau kamu sudah menemukan cara untuk kembali?"
"Tidak! Pak ...."
"Mas. Kamu sudah janji tidak akan memanggil saya Pak lagi."
"Benar, Mas. Ahh, rasanya aneh di lidahku."
Beni melotot membuat Geo menjadi ciut. Rasanya mustahil melawan Beni yang sedang marah begini.
"Apa kamu sudah menemukan cara kembali?"
Sekarang Geo menghadap Beni. Saling bertatapan. "Kalau iya, kenapa?"
Rahang Beni mengeras. Dia tambah marah. Cengkeraman tangannya di lengan Geo bertambah erat. Geo sampai harus sedikit meringis menahan cengkeraman Beni. "Kamu, tidak boleh pergi tanpa seizinku!"
"Apa?" Mata Geo melotot. Geo merasa harus protes dengan apa yang baru saja dikatakan Beni. Memangnya dia siapa berani memerintahkannya untuk tidak boleh pergi. Beni ini seperti seorang diktator yang setiap perkataannya harus dipatuhi. Seperti raja dengan kekuatan absolut. Geo hendak membuka mulutnya untuk protes tetapi suara lembut seseorang mengurungkan niatnya.
Sulistyowati, kekasih Beni mendadak muncul. Dia bergeming. Tatapan matanya menatap tangan Beni yang mencengkeram lengan Geo. Geo tersadar dan langsung melepaskan cengkeraman Beni. Kemudian, Geo menunduk dan pamit pergi.
Di dalam kamar, Geo bergerak-gerak gelisah. Dia cemas. Sepertinya Sulistyowati akan marah besar padanya. Mendadak Geo merasa menjadi seorang pelakor. Tidak pernah dalam kehidupannya, Geo berpikir akan menjadi pelakor. Bahkan saat mengetahui Fian, gebetannya di kampus yang sudah punya pacar pun, Geo masih menjaga jarak dengannya.
Namun, Geo merasa seharusnya dia tidak cemas. Dia bertingkah seolah-olah dia memang pelakor. Padahal hubungannya dengan Beni tidak sampai sejauh itu. Kemudian dia menyalahkan Beni. Untuk apa Beni sengaja menghentikannya begitu dan mengatakan hal tidak masuk akal seperti tadi. Geo mengacak rambutnya frustasi. Dia jadi gila sendiri. Satu hal yang dia harapkan, semoga Sulistyowati tidak mendengar apa yang dikatakan Beni tadi.
***
Sulistyowati menginap di rumah Beni. Tidak tahu tidur di mana tapi sepertinya di kamar Beni. Geo menempel pada Mbak Tutik dan berbisik, "Apa mereka sudah melakukan hal begitu?"
Mbak Tutik menatap Geo heran. Tidak tahu apa maksud perkataan Geo. Geo mendesah. Dia kembali mendekati Mbak Tutik dan berbisik di telinganya. Mbak Tutik langsung membelalakan matanya.
"Hush ... Jangan ngawur! Yang tidur di kamar itu cuma Sulis, si Beni tidur di lincak ruang tamu."
"Oh, begitu. Kirain."
"Kamu masih kecil pikirannya sudah begitu, ya. Saya jadi curiga sama kamu."
"Aduh, Mbak Tutik ini! Aku nggak ngapa-ngapain, lo. Lagian aku cuma penasaran."
Mbak Tutik tertawa. Hobi baru Mbak Tutik adalah menggoda Geo. Katanya, melihat perubahan wajah Geo sangat menarik mulai dari panik, kadang jengkel, kadang malu, semua itu menjadi hiburan tersendiri bagi Mbak Tutik.
"Dalam satu dua hal, kamu itu sangat menarik. Saya bahkan sempat membayangkan kamu jadi adik ipar saya."
Geo tertawa keras sekali. "Nggak. Aku nggak mau Mbak. Kalau aku jadi adik ipar Mbak berarti aku menikah sama Beni. Dan itu nggak mungkin. Kecuali kalau Mbak punya adik lainnya."
"Sepertinya saya punya adik lain yang disembunyikan, deh." Mbak Tutik berlagak tengah berpikir. Mengingat adik lain yang memang tidak ada. Hingga kemudian Beni muncul di dapur. Wajahnya datar tetapi tatapannya terlihat kesal. Geo menelan ludahnya. Mungkinkah Beni mendengar semua pembicaraan Geo dengan Mbak Tutik?
Beni berjalan mendekati Geo dan melotot tepat di depannya. Rambut kusutnya sangat mengganggu Geo. Dengan rambut berantakan begitu saja, Beni tetap terlihat mempesona.
"Duh, pacar orang kok lebih keren begini, ya," pikir Geo sekilas. Menyadari jantungnya kembali berdegup, Geo berdeham sambil mengalihkan tatapannya.
"Pak, eh, Mas, mundur sedikit. Nanti Mbak Sulis lihat!"
"Kamu masih berpikir mau kabur?" Nada suara Beni meninggi.
"Siapa yang mau kabur?" Nada suara Mbak Tutik juga ikut meninggi. Beni menunjuk Geo dengan dagunya sementara matanya terus memelototi Geo. Geo jadi gelagapan. Ternyata Beni masih mengungkit-ungkit pembicaraan kemarin. Padahal kemarin, Geo hanya berniat membercandai Hasan tetapi malah Beni yang kena.
"Nggak, Mbak. Sumpah, bukan aku. Mas Beni bercanda!" Geo gantian memelototi Beni. Menginjak kakinya dan bergumam untuk menghentikan semua itu.
"Terserahlah!! Saya mau keluar mengantar Sulis dulu. Lalu, kamu! Kalau saya tahu kamu keluar dari desa ini selangkah saja, saya tembak kakimu!"
Geo melongo. Beni kembali lagi seperti saat pertama kali bertemu. Seenaknya menyuruh Geo untuk melakukan apa yang dia suruh.
"Kamu mau menjadikanku tawanan lagi? Aku nggak mau! Suka-suka akulah mau ngapain juga!"
"Brak!!" Beni menggebrak meja dengan keras. Mbak Tutik sampai melonjak. Untung sayur yang dipegangnya tidak ikut jatuh.
"Kali ini saya sungguhan! Kamu berani keluar dari desa, kakimu benar-benar akan saya tembak. Ingat itu!" Setelah memberi Geo tatapan tajamnya yang terakhir, Beni pergi keluar dari dapur.
"Wah, dia kenapa sih, Mbak? Marah-marah terus sama aku!!"
"Saya tahu alasannya tapi saya tidak berhak mengatakannya. Kalau mau tahu tanya sendiri saja padanya."
Geo menoleh ke arah Mbak Tutik. Ternyata Mbak Tutik jago menyembunyikan rahasia juga. "Ah, Mbak Tutik! Sekarang main rahasia-rahasiaan, nih? Nggak berani aku tanya sama dia. Ntar dia beneran nembak aku!"
Mbak Tutik hanya mengangkat bahunya lalu berjalan keluar dari dapur. Terkadang Geo menyadari kalau Mbak Tutik dan Beni itu mirip. Bedanya hanyalah Beni yang lebih temperamental. Geo menggeleng kepalanya kesal. Masa bodohlah. Sekarang lebih baik dia melakukan pekerjaan lain yang lebih berguna.
***
Sekumpulan burung membentuk barisan terbang mengarungi langit. Membentuk huruf V besar di atas langit. Di ujung sana langit mulai menguning. Angin berhembus lumayan kencang. Daun-daun bergerak ke sana ke mari. Geo membungkuk hormat ketika melewati seseorang yang tengah menyapu halaman.
Kemudian langkahnya terhenti saat melewati segerombolan wanita yang tengah mengelilingi seorang penjual jamu. Mbak Tutik ada di antara gerombolan itu. Mbak Tutik melambaikan tangannya menyuruh Geo mendekat. Geo dengan bingung melangkahkan kakinya mendekat dan menunduk pada semua orang di sana, lalu duduk di sebelah Mbak Tutik.
"Wah, ini ya pasangannya Beni. Cantik juga. Kamu tahan, ya, sama Beni. Banyak perempuan yang tidak mau dekat-dekat Beni tapi kamu malah bisa jadi pasangannya."
Geo mendadak langsung merasa marah. "Ap ...." Belum sempat Geo berteriak, Mbak Tutik membekap mulutnya. Geo melirik marah ke arah Mbak Tutik.
Semua orang sepertinya tidak mempermasalahkan gelagat aneh Mbak Tutik. Rasanya ada yang janggal. Kenapa orang-orang mengenal Geo sebagai kekasih Beni dan bukannya Sulistyowati? Padahal Sulistyowati juga sering berkunjung ke desa ini. Geo mendekat ke arah Mbak Tutik dan berbisik. "Apa-apaan ini Mbak? Tolong bilang, bukan aku pasangan si Beni!"
Mbak Tutik tersenyum. "Mereka tidak kenal Sulistyowati. Lagipula yang menyebarkan berita itu juga Beni sendiri."
"Apa? Si bereng ...." Hampir saja Geo mengumpat. Mbak Tutik buru-buru menjejalkan segelas jamu ke mulut Geo.
Geo megap-megap. Jamu yang diminumnya sangat pahit. Lidahnya terjulur. Penjual jamu memberinya jamu lain yang katanya sebagai obat. Geo awalnya ragu tetapi semua orang bilang jamu yang itu manis. Akhirnya Geo mengambil jamu itu dan langsung meminumnya. Memang benar manis tetapi rasa pahit yang menempel di lidahnya masih terasa. Mbak Tutik menahan tawanya dan menyuruh Geo pulang. "Pulang saja dulu. Bisa gawat kalau Beni pulang dan kamu tidak ada di rumah."
"Nah, benar itu, nduk. Kasihan calon suamimu kalau disuruh menunggu."
"Ca ... Calon suami?" Nada suara Geo bergetar. Berani-beraninya Beni menyebarkan gosip murahan begitu. Geo hampir menangis dan Mbak Tutik sudah tertawa di belakang para wanita itu.
Dengan langkah yang dipenuhi amarah, Geo kembali ke rumah. Geo sudah bertekad akan menendang Beni dengan tendangan Taekwondonya. Selama di sini, Geo dipaksa menjadi perempuan rumahan yang bekerja di dapur, sehingga dia lupa kalau bisa melakukan Taekwondo.
Geo melewati kebun ketela dan melihat sosok yang tidak asing. Geo berhenti dan memperhatikan orang itu. Kaos putihnya berkibar tertiup angin. Orang itu mendongak menatap langit, menerawang jauh ke awang-awang.
"Mas Hasan!" Geo berteriak. Orang itu menoleh lalu tersenyum. Rambut cepaknya terlihat berkilauan karena keringat. Geo berlari mendekat dan duduk di sebelah Hasan. "Ngapain di sini?"
"Latihan pegang senjata." Di sebelah Hasan ada sebuah bakul berisi senjata hasil rampasan beberapa minggu yang lalu.
"Aku juga boleh coba?"
"Perempuan itu tidak boleh pegang senjata. Kamu di dapur saja bantu Mbak Tutik."
Geo cemberut. "Sekarang sudah zamannya emansipasi wanita. Kenal sama yang namanya Ibu Kartini nggak? Dia yang memperkenalkan itu."
"Kamu membicarakan zaman mu lagi, ya. Di sini para wanita itu bekerja di dapur saja. Terlalu berbahaya keluar memegang senjata."
"Tapi aku ingin membantu. Kamu tahu, di zamanku memegang senjata itu dilarang apalagi menyimpannya kayak kamu begini. Bisa-bisa kamu langsung ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Namun, di zaman ini kamu bisa bebas menggunakan senjata, membunuh orang pun nggak masalah asalkan yang dibunuh adalah musuh. Jadi, sekali-kali aku ingin merasakan itu." Geo menyeringai membuat Hasan bergidik. "Aku bisa taekwondo tapi sepertinya nggak bisa digunakan di sini. Sebelum aku sempat menendang, yang ada aku kena tembak duluan," tambahnya.
"Benar. Kamu tidak boleh menggunakan itu saat melawan senjata tetapi kamu sudah pernah membunuh orang sekali. Itu sudah cukup!"
"Aku sudah melupakan itu padahal. Tolong izinkan aku memegang senjata sekali saja. Hari ini saja. Kan, ada kamu juga."
Geo terus merengek sampai Hasan sebal. Kalau Geo itu benar-benar adiknya sepertinya Hasan akan terus menerus memakinya. Mungkin itu sebabnya Beni selalu marah-marah ketika berada di dekat Geo.
Hasan mendesah dengan berat. "Baiklah. Cuma memegang. Jangan ditembakkan! Nanti bisa terdengar oleh Londo."
Geo mengangguk-angguk senang. Tidak pernah terbayangkan akan memegang senjata langsung. Hasan mengambil sebuah senapan laras panjang berwarna cokelat tua dan memberikannya pada Geo. Beban berat senapan itu langsung terasa di genggaman tangan Geo. Hasan memberi arahan pada Geo bagaimana harus mengangkat senjata itu.
"Angkat perlahan. Biarkan beban senapan membuatmu terbiasa."
"Kalian sedang apa?" Suara keras seseorang membuat Geo menjatuhkan senapannya. Mereka berdua menoleh dan bertatapan dengan si pembawa masalah. Beni berdiri berkacak pinggang di dekat pohon ketela.
"Kamu benar-benar ingin di tembak kakinya, ya?" Beni berjalan mendekat. Geo sedikit melangkah mundur.
"A ... Aku kan nggak keluar desa!"
"Hasan! Kemasi senjatanya dan bawa pulang!" Perintah Beni yang sepertinya memang absolut. Begitu Beni mengeluarkan perintah, Hasan langsung mematuhi dan bergegas mengemasi senjata yang dijatuhkan Geo, kemudian pamit pulang. Geo hanya bisa mengawasi Hasan dengan jengkel. Kenapa Hasan sebegitu patuhnya pada orang itu?
Geo menoleh dan melihat tatapan Beni yang seperti akan membunuh orang. Geo langsung mengalihkan tatapannya ke arah lain. Sebisa mungkin tidak menatap Beni. Langit sudah mulai gelap. Mbak Tutik pasti sudah sampai rumah dan pasti akan khawatir karena Geo belum sampai rumah.
"Kamu!" Suara berat Beni terdengar. Geo menoleh. "Kalau mau menggunakan senjata, kenapa tidak tanya saya saja? Saya yang lebih tahu!"
Geo terperangah. "Dari mana aku tahu kalau kamu yang lebih tahu? Kerjaanmu cuma marah-marah sambil mengancam mau menembak aku!"
Beni terdiam. Tidak berusaha menyanggah perkataan Geo. Kepalanya menunduk. Sepertinya dia sudah menyadari kesalahannya. Beni menghela nafas lalu mendongak menatap Geo. Tatapannya teduh. Tidak seperti tadi yang penuh dengan amarah. "Makanya, berhentilah membuatku bingung!"
Perkataan Beni yang aneh membuat Geo terperangah. "Hah? Apa maksudnya?"