Langit mulai berubah warna. Semburat kuning tampak di ufuk barat. Para pedagang mulai mengemasi barang dagangan mereka. Dengan raut wajah khawatir seolah tahu sesuatu akan segera terjadi, mereka bergegas mengemasi dagangan mereka. Tidak ingin terlalu lama berada di luar dan harus segera kembali pulang. Angin dingin yang berhembus meremangkan tulang belakang. Menghantarkan perasaan tidak nyaman. Seperti akan ada sesuatu yang tengah bersiap untuk menyelinap.
Kebingungan, gadis itu menoleh ke kanan dan ke kiri. Tubuhnya berputar sembari menatap sekeliling. Kembali kebingungan, gadis itu tidak tahu dirinya berada di mana. Sebuah tempat asing yang tidak pernah dilihatnya. Di sekitarnya hanya ada para pedagang yang tengah sibuk mengemasi barang dagangan mereka. Pakaian mereka, gaya bicara mereka, raut wajah mereka, semuanya terasa janggal. Mereka seperti datang dari zaman dahulu.
Seiring bertambah gelapnya hari, para pedagang bergegas pulang dengan tergesa-gesa. Gadis itu masih kebingungan. Berjalan mengikuti beberapa pedagang tanpa tahu arah dan tujuan. Jalanan juga terlihat sepi. Tatapannya linglung.
Walau jalanan sepi, tetapi kota itu tidak benar-benar sepi. Sebagian kios kaki lima masih buka. Mencoba mengais rezeki di tengah atmosfir yang aneh. Salah satu pedagang makanan ringan terlihat menata dagangannya di atas sebuah tambir. Mensejajarkannya di atas sebuah gerobak kayu tua yang berada di pinggir jalan. Ditemani lampu yang temaram, melayani pembeli dengan senyum lelah yang menghiasi bibirnya.
Merasa tengah melihat makanan, gadis itu mendekat. Melongok ke dalam tambir dan melihat makanan apa saja yang dijual. Tanpa sadar perutnya berbunyi. Namun, sepertinya dia harus menelan rasa laparnya. Makanan yang ada di dalam tambir belum pernah dia lihat sebelumnya. Merasa tidak ada yang bisa dimakan dan ditambah dia baru saja ingat kalau tidak punya uang, gadis itu menyingkir. Merasa kecewa karena tidak bisa mendapatkan makanan.
Suasana sangat tenang dan damai untuk sesaat sebelum badai datang. Kemudian terdengar suara rentetan tembakan yang menggema di sore yang sepi itu. Pedagang kaki lima yang tengah melayani pembelinya menampilkan wajah terkejut. Matanya mendelik dan menoleh ke sana ke mari mencari sumber suara. Pembeli di kios yang baru saja dia layani bergegas menyabet bungkusan makanan yang dia beli dan segera melarikan diri. Apa pun yang baru saja dia dengar, itu pertanda yang tidak bagus. Dia hanya harus pergi dari tempat itu.
Tak terkecuali gadis itu. Dia ikut terkejut dan memutar tubuhnya ke berbagai arah, mencari sumber suara. Perasaan takut mulai menghinggapinya. Dia bertanya-tanya pada dirinya sendiri, sebenarnya dia ada di mana?
Lagi. Rentetan tembakan kembali terdengar. Kali ini semakin dekat. Di suatu arah, beberapa pemuda berlarian seperti menjauhi sesuatu. Dilihatnya pedagang kaki lima itu masih panik dan tidak tahu harus berbuat apa. Dia hanya mondar-mandir di depan kiosnya sambil sesekali melambai-lambai ke arah pemuda yang melarikan diri.
"Ono opo, le?" (Ada apa, nak?) Pedagang itu mencegat seorang pemuda yang tengah berlari sambil menoleh ke belakang. Pemuda itu menampilkan wajah panik dan mendorong pedagang itu menyingkir. Pedagang itu tidak menyerah. Dia kembali melambai pada pemuda yang lain.
"Bereskan daganganmu, mbah! Mlayu wae, pasukan Londo ngamuk!" (Bereskan daganganmu , mbah! Lari saja, pasukan Londo mengamuk!) Teriakan seorang pemuda membuat mata pedagang itu terbelalak.
Gadis itu terkesiap. Mendengar sebuah nama negara yang terdengar kuno itu disebut. Sebelum sempat menguasai keterkejutannya, datanglah seseorang yang berlari ke arahnya dan menembus dirinya. Jantungnya terasa seperti sudah keluar dari tempatnya. Menyadari baru saja orang itu menembusnya. Shock mengguncang dirinya dan bertanya-tanya apa dia sudah mati?
"Londo? Mereka belum puas juga?" Pedagang itu komat-kamit sendiri dan tatapannya menjadi kosong. Gadis itu sepertinya masih belum menerima keadaannya, dia mendekati pedagang itu dan berniat menyentuhnya. Namun, puluhan orang berseragam dengan wajah pucat mendekat dan mengarahkan tembakan ke segala arah dengan membabi buta seperti tidak akan membiarkan seorang pun meloloskan diri. Gadis itu juga menyadari kalau ada beberapa peluru yang tidak mengenainya. Di antara takjub dan terkejut dia melihat satu buah peluru tepat mengenai perut pedagang di depannya. Teriakan pilunya bergema di sore yang sepi dan dingin.
***
Suasana berat dan tidak nyaman kembali berlanjut keesokan harinya. Gadis itu masih kebingungan dengan apa yang menimpa dirinya. Berkeliaran di sepanjang malam, berada di tempat aneh dan langit sepertinya cepat sekali berubah. Baru saja hari menginjak malam, tiba-tiba sudah pagi. Jam besar di tengah kota menunjukkan pukul 04.00. Gadis itu merasa seperti berada di dalam sebuah film.
Hari masih gelap dan para pedagang sudah mulai menata barang dagangannya di pasar. Beberapa pedagang mulai berkerumun. Rasa penasaran dalam dirinya bangkit hingga membuatnya mendekati kerumunan itu. Desas-desus Londo kembali menyerang menjadi pembicaraan panas mereka. Raut wajah khawatir dan ketakutan mulai terlihat menggelayut di wajah mereka. Mereka bertanya-tanya, sampai kapan kiranya Londo akan terus mengganggu mereka? Padahal gaung kemerdekaan telah mereka gemakan. Tanah ini sudah merdeka, apa lagi yang diinginkan Londo?
Gadis itu mendengarkan dengan tanda tanya besar di kepalanya. Orang-orang ini membicarakan tentang Londo, lalu Londo yang mereka maksud ini apa? Londo seperti yang gadis itu pikirkan atau bukan?
Matahari mulai muncul. Sinar hangatnya bahkan tidak menghangatkan suasana pagi itu. Kabar penyerangan semalam sudah tersebar dari mulut ke mulut. Gadis itu semakin merasa tidak tenang. Bagaimana cara dia kembali? Ini semua bukan tempatnya berada.
Kemudian sebuah lagu patriotisme yang diputar dari radio butut menggema dari salah satu kedai dan sedikit menenangkan orang-orang di sekitar sana. Senyum simpul mereka mengembang. Mengingat bahwa tanah ini sudah merdeka. Perjuangan mereka sudah berakhir dan sekarang waktunya menikmati kemerdekaan itu. Namun, semua itu hanya dapat menjadi sebuah khayalan manis saja.
Tepat pukul 06.45 pagi, lagu dari radio tua itu berganti dengan suara seseorang yang terdengar renyah. "Good morning everyone. Seperti yang sudah saya janjikan pada anda semua, saya Wakil Tertinggi Mahkota Netherland, Dr. Beel, akan menyampaikan sebuah pidato singkat yang penting. Bahwasanya Netherland tidak lagi terikat dengan perjanjian Renville. Dengan demikian, penyerbuan terhadap wilayah Jawa dan Sumatera telah dimulai. Ini merupakan sebuah Aksi Polisional. Have a nice day." Pidato berakhir dengan suara tawa orang itu. Suaranya yang renyah membuat geram orang-orang yang mendengarnya. Alis gadis itu terangkat. Aksen orang itu terdengar seperti orang asing yang berada di dalam sebuah film perjuangan milik ayahnya.
Dari kata-kata orang asing itu, sepertinya gadis itu menyadari sesuatu. Dia ingat di sebuah pelajaran sejarah, ada sebuah kejadian di mana Londo masih menyerang Indonesia walau sudah merdeka sekali pun. Dia tidak ingat nama kejadian itu karena dia sama sekali tidak tertarik mempelajarinya. Namun, yang dia tahu, sepertinya Londo sedang merayap untuk bangkit lagi. Kembali mencoba menguasai tanah ini lagi. Banyak pedagang yang mulai panik. Mungkin ingatan tentang kekejaman mereka di masa lalu membuat mereka sepakat bahwa Londo tidak boleh kembali berkuasa di tanah ini. Tanah ini sudah merdeka dan Londo seharusnya tidak punya hak untuk kembali berkuasa.
Meninggalkan suasana yang sempat panik, lagu patriotisme kembali bergema. Suasana menjadi sepi. Orang-orang di sana saling bergulat dengan pikiran masing-masing. Penyerangan semalam pasti juga bagian dari rencana Londo yang disebut Aksi Polisional tadi. Sementara gadis itu tidak peduli. Satu-satunya pikirannya adalah, bagaimana cara keluar dari tempat itu.
Matahari semakin meninggi menghantarkan suasana yang semakin memanas. Pukul delapan pagi, siaran Radio Republik Indonesia bergemerisik. Suara berat seseorang terdengar menyapa. "Selamat pagi. Saya, Kapten Suparjo, melalui siaran ini, menyampaikan sebuah pesan dari seorang Panglima Besar kebanggaan kita, Letnan Jenderal Soedirman, kepada seluruh rakyat Indonesia terutama pasukan TNI."
Suara itu melambat sejenak. Sepertinya tengah mengambil nafas. Radio bergemerisik dan suara orang itu kembali terdengar. "Perintah kilat No. I. Kita diserang Londo. Pada tanggal 19 Desember 1948 pukul 06.45 pagi, angkatan perang Londo menyerang kota Yogyakarta dan lapangan terbang Maguwo. Pemerintah Londo telah membatalkan persetujuan gencatan senjata. Semua angkatan perang menjalankan rencana yang telah ditetapkan untuk menghadapi serangan Londo. Perintah ini dikeluarkan di: tempat. Tanggal: 19 Desember 1948 pukul: 08.00. Dari Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia, Letnan Jenderal Sudirman."
Setelah itu, siaran radio berakhir. Rakyat yang mendengarkan mulai terusik. Kemarahan menggeliat dalam jiwa mereka. Londo benar-benar membuat Indonesia tidak dapat menikmati kemerdekaan dengan tenang. Gadis itu tersedak, mendengar tahun yang disebutkan orang di dalam radio. Tahun 1948. Dia bahkan belum lahir. Sepertinya gadis itu mulai gila. Rasa panik naik ke kerongkongannya. Bagaimana bisa dia berada di tempat ini, di tahun ini? Pikirannya kalut. Dia harus segera kembali. Namun, dia bahkan tidak tahu bagaimana cara untuk kembali. Tidak ada yang bisa mendengar bahkan menyentuhnya di tempat ini.
Satu jam setelah siaran singkat dari radio, kegaduhan yang sebenarnya muncul. Dentuman keras terdengar. Debu berterbangan disertai teriakan histeris banyak orang. Bangunan hancur berkeping-keping. Puluhan tubuh manusia bergelimpangan di sana-sini. Sebuah bom diterjunkan dari sebuah pesawat yang terbang mengelilingi kota. Kota menjadi medan perang. Bom kembali dijatuhkan. Ratusan orang berlarian menyelamatkan diri. Suara tangisan, jerit kesakitan, dan kepanikan menyayat hati siapa saja yang mendengarnya. Gadis itu terguncang. Melihat pemandangan mengerikan di depannya. Kakinya terasa lemah. Sebuah kemungkinan buruk muncul di pikirannya. Bagaimana kalau dia terjebak di sini tanpa ada satu orang pun yang menyadari keberadaannya?
Tiba-tiba, seorang pemuda bertubuh kekar berlari ke arahnya dan menatapnya. "Apa yang kamu lakukan di sini?"
Hening. Gadis itu masih terguncang.
"Pergi dari sini! Kamu bisa mati!"
Perlahan gadis itu menatap pemuda itu. Pemuda itu bisa melihatnya? Gadis itu masih terdiam sampai akhirnya pemuda itu berteriak keras. "GEO!!!"
***
Mata Geo dengan sekejap terbuka lebar. Teriakan pemuda itu menyadarkannya. Matanya mengawasi sekeliling dan bertatapan dengan sorot mata lain yang tengah memelototinya. Sedetik kemudian dia tersadar. Dia tertidur di atas meja dengan kepala menempel di atasnya. Ternyata selama ini dia hanya bermimpi, tetapi mimpinya tampak terasa nyata. Teriakan keras pemuda itu di tengah keributan masih menimbulkan gaung di telinganya. Tanpa sadar Geo menghela nafas. Untungnya cuma mimpi. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana kalau dirinya benar-benar terjebak di tempat itu.
"Enak, ya, yang tidur! Kamu pikir aku lagi mendongeng? Aku sedang menjelaskan sejarah padamu." Orang itu berkata dengan kesal. Mulutnya mencibir. Mata Geo berputar. Dia ingat, orang di depannya itu tadi sedang menceritakan tentang sejarah sebelum Serangan Umum terjadi. Tentang latar belakang sebelum Serangan itu terjadi.
"Sudah kubilang, aku nggak tertarik. Aku ke sini bukan buat dengar cerita begituan. Kamu ingat, kan? Aku ke sini buat kabur. Kamu malah menambahi pakai cerita begitu." Geo berucap sambil mendengus. Dia mendatangi temannya ini untuk kabur dari ayahnya yang memaksanya menjadi bagian dari sebuah acara bersejarah setahun sekali. Padahal dia sama sekali tidak tertarik dengan hal-hal yang berbau sejarah.
"Bocah sinting! Ayahmu itu koordinator peringatan Serangan Umum Satu Maret dan dia meminta anaknya buat jadi ketua yang menangani acara ini, tapi apa? Anaknya malah kabur ke sini!" Temannya itu kembali memelototinya.
"Udah deh, diam aja. Aku nggak tertarik jadi ketua. Aku udah bilang pada ayah sejak seabad yang lalu. Lagian apa hebatnya, sih, sejarah itu? Itu kan cuma masa lalu yang nggak ada hubungannya sama aku." Geo memalingkan wajahnya. Pembicaraan mengenai sejarah ini membuatnya kesal.
"Heh, bocah gila! Kamu itu warga negara mana? Berani bilang nggak ada hubungannya sama kamu?"
"Ya, walau gitu, aku tetap nggak tertarik."
"Kamu nggak tertarik karena nggak tahu alurnya. Makanya aku ceritain tadi."
"Ceritamu cuma membuatku mimpi buruk! Udah, ah, aku nggak mau dengar apa-apa lagi!"
"Terserah deh. Eh, mumpung kamu di sini, mau jalan-jalan nggak?"
"Kemana?
"Ke tempat yang keren."
Senyum cerah terkembang di bibirnya. "Oke." Tanpa pikir panjang, Geo langsung menerimanya.
Sebentar lagi matahari akan terbenam. Langit mulai menguning walaupun ada sedikit awan gelap di sana. Geo mengerutkan wajahnya sembari menatap marah ke arah seorang gadis yang tengah bercanda dengan sekumpulan anak SMA di dekat replika tank. Dia mendesah lalu menyenderkan tubuhnya di patung salah seorang jenderal yang terkenal di Indonesia, Jenderal Soedirman yang patungnya dapat dilihat langsung dari pintu masuk Benteng Vredeburg.
Ya, sekarang dia berada di tempat bersejarah bernama Benteng Vredeburg. Beberapa jam yang lalu, orang yang tengah bercanda dengan anak SMA itu mengajaknya jalan-jalan ke tempat yang keren. Siapa tahu, ternyata pengkhianat itu mengantarkannya pada ayahnya. Tanpa bisa kabur, akhirnya Geo terpaksa menjadi ketua acara bersejarah itu. Badge merah putih tanda sebagai ketua terasa berat di lengannya. Dia bahkan ingat bagaimana ayahnya mengancamnya.
"Lakukan dengan baik. Acara ini terselenggara berkat kerjasama ayah dengan Kemendikbud. Jangan permalukan ayah di depan mereka. Kamu paham, kan, nak?" Tatapan ngeri ayahnya membuat Geo tak berkutik. Tidak ingin mempermalukan nama ayahnya di depan perwakilan menteri, Geo harus melakukan tugasnya dengan baik walaupun dia sangat terpaksa melakukan itu. "Oh, dan satu lagi. Tersenyum, nak, tersenyum. Kamu terlihat lebih tua kalau cemberut."
Geo menendang kerikil di depannya dengan kasar. Peringatan ayahnya yang terakhir membuat rasa kesalnya memuncak. Bagaimana dia bisa tersenyum di tengah ini semua?
Hari ini adalah pameran nasional untuk mengenang Serangan Umum 1 Maret, mengenang perjuangan para TNI dan rakyat Indonesia yang bersatu menunjukkan eksistensinya. Ayahnya merupakan koordinator acara ini dan seperti yang ayahnya bilang, dia bekerjasama dengan Kemendikbud agar acara ini dapat terlaksana dengan baik. Kemendikbud ikut andil dalam acara ini karena mungkin saja dengan adanya acara ini dapat memajukan kebudayaan Indonesia dan juga meningkatkan animo masyarakat dalam memperingati kebudayaan Indonesia.
Ada banyak acara dalam pameran itu selain cosplay dari para sukarelawan yang mengenakan berbagai atribut khas TNI dan pejuang. Bahkan ada yang totalitas dengan membawa bambu runcing. Kemudian ada sebuah acara yang paling ditunggu-tunggu, yaitu pementasan drama yang mereka ulang adegan ketika Serangan Umum terjadi.
Geo menguap, rasa bosan mulai menyerangnya. Tugasnya menjadi ketua sudah mereda, tidak seperti tadi yang begitu sibuk sampai dia merasa tengah bekerja bagai kuda. Mata hitam Geo melirik ke arah temannya yang kini tengah mengobrol dengan seorang veteran tua. Veteran itu menatapnya lalu berbicara dengan temannya. Temannya menoleh dan memanggilnya.
Geo mendekat dengan malas. Pasti obrolan membosankan, pikirnya. Geo duduk di sebelah Vea, temannya yang pengkhianat itu. Namun, ada sesuatu yang aneh. Geo menyadari kalau veteran tua itu sedari tadi terus menatapnya tanpa berkedip. Geo merasa risih dan bulu kuduknya meremang seiring dengan pikiran gilanya.
"Semakin saya lihat, semakin tidak masuk akal. Kita pernah bertemu di tahun 1949 dan kamu terlihat seperti terakhir kali kita bertemu." Ucapan aneh kakek veteran itu membuat Geo terbengong heran.
Sebelah alisnya terangkat. "Bicara omong kosong apa, kakek ini!" pikirnya.
"Maaf, sepertinya ini pertama kali kita bertemu." Geo mencoba mengklarifikasi sambil melirik ke arah Vea yang juga kebingungan.
"Apa reinkarnasi itu mungkin? Kita benar-benar pernah bertemu." Kakek itu bersikeras.
"Maaf, kek, sepertinya anda salah orang."
"Namamu Geo, kan?"
Kali ini Geo benar-benar merinding. Dia ingat belum memperkenalkan dirinya. Kemudian sorot matanya menatap Vea seakan bertanya 'kamu yang beritahu?', karena mungkin saja Vea sudah memberitahunya. Namun, Vea menggeleng.
"Ah, ya, nama saya Geo." Geo tidak ingin berburuk sangka kepada kakek itu dan masih berpikir kalau semua orang pasti tahu namanya karena menjadi ketua di acara ini.
Kakek veteran itu tersenyum. "Nama saya Hasan. Saya tidak tahu apakah kamu Geo yang sama atau hanya reinkarnasinya yang mirip, tapi saya berterimakasih padamu karena telah menyelamatkan hidup saya di hari itu. Saya bisa hidup sampai sekarang juga berkat dirimu."
Geo tertawa gugup. Sepertinya kakek itu sudah tidak waras. Mungkin menjadi seorang veteran terlalu berat untuk orang tua sepertinya. "Ah, maaf, masih ada yang harus saya lakukan. Permisi." Geo buru-buru pamit. Dia tidak ingin berada di sana terlalu lama. Bagaimana pun kakek itu sedikit menakutkan.
"Tunggu. Boleh saya bertanya satu hal lagi?"
Geo melirik Vea dengan gugup. "Ah, ya, silahkan."
"Apa kamu kenal Beni?"
Geo hanya bisa terbengong. "Siapa Beni?"
Setelah itu, teriakan seseorang yang memanggil nama Geo terdengar. Geo buru-buru mengucapkan salam perpisahan dan segera berlari menghampiri orang yang memanggilnya. Tugas ketua sudah memanggilnya. Mari lupakan sejenak tentang kakek tua yang aneh itu.
Pukul 05.30 sore, hari belum mulai gelap tapi awan hitam di atas sana membuat suasana menjadi gelap. Mungkin sebentar lagi akan turun hujan. Padahal sepuluh menit lagi, acara yang paling ditunggu-tunggu akan segera dimulai. Apa lagi kalau bukan reka adegan saat Serangan Umum terjadi di kota ini. Setelah acara itu selesai, tugasnya sebagai ketua juga sudah berakhir dan akhirnya dia bisa mengembangkan senyumnya dengan bebas.
Geo menguap. Para pemain dari pementasan drama masih bersiap. Sementara temannya, Vea, entah pergi ke mana. Geo bosan hanya menunggu sambil melihat patung, replika tank, meriam, dan beberapa orang yang cosplay memakai pakaian TNI lengkap dengan senjata mainan. Dia beranjak dari tempatnya dan memilih menaiki undakan menuju ke atas benteng. Satu per satu undakan dia naiki. Badge di lengannya semakin terasa berat. Geo menenangkan hatinya dengan berpikir untuk bersabar sebentar lagi.
Geo berdiri di tepi tembok pembatas melihat ke arah Barat. Arus lalu lintas sore itu cukup padat mengingat itu satu-satunya jalan inti di Malioboro. Malioboro tidak pernah sepi pengunjung, selalu ramai dan macet. Gedung Agung berada tepat di depan benteng. Gedung itu pernah menjadi Istana Negara sementara sebelum Serangan Umum terjadi. Seingatnya saat Ibukota negara dipindahkan ke Yogyakarta. Dia tidak ingat kapan tepatnya hanya saja dia tidak habis pikir bagaimana bisa sebuah Istana Negara dibangun tepat di depan benteng musuh dan hanya dibatasi sebuah jalan raya. Saat ini memang jalan Raya tapi siapa tahu dulunya apa.
Geo memegangi badge merah putihnya lalu menaruh kakinya di lubang tepi tembok agar membuatnya terlihat lebih tinggi. Dia melongok ke bawah. Terdapat sebuah tempat yang menurutnya adalah sungai di bawah sana. Kata orang dulunya itu parit. Tingginya sekitar satu meter. Parit itu tidak ada airnya, hanya sebuah tempat kosong dan di sekelilingnya disemen. Mungkin hanya untuk mengenang kalau dulunya ini sebuah parit. Menyadari ada seseorang yang mendekat, Geo menoleh. Vea berjalan mendekatinya.
"Sedang apa?" tanyanya dengan wajah cerah.
"Heh, pengkhianat, begitukah wajahmu setelah menipuku?"
Vea tertawa. "Aku sudah membuat kesepakatan dengan ayahmu. Kesepakatan ayahmu benar-benar menggiurkan. Aku jadi nggak bisa nolak."
"Kamu menjualku hanya demi kesepakatan?"
"Kesepakatan ayahmu nggak main-main tahu!" Temannya tertawa dan duduk di atas sebuah gundukan seperti tempat untuk menempatkan meriam.
Geo berdecih kesal dan bermaksud menurunkan kakinya, tapi kakinya tersangkut. Dia mencoba untuk melepasnya dengan menggoyang-goyangkan kakinya. Sepertinya dia terlalu keras menggoyangkan kakinya hingga kehilangan keseimbangan. Tangannya tergelincir dan dia terjatuh ke sisi luar benteng. Vea berteriak dan berlari menghampirinya, tapi terlambat, Geo sudah jatuh dengan wajah menghadap ke arah Vea yang histeris.
Selagi dia jatuh, di satu titik tiba-tiba langit menjadi gelap gulita. Sepertinya awan gelap benar-benar sudah berkumpul. Dia jatuh dan terperosok di parit. Anehnya dia tidak merasa terjatuh di atas semen. Padahal seharusnya dia terjatuh di atas semen dengan keras. Tanah lembek mengotori pakaiannya. Lengannya tergores semak belukar di sekitar parit.
Geo bangkit dan mengamati sekitar. Rasa takut menghampirinya ketika dia tiba-tiba mengingat mimpi anehnya. Suasana gelap gulita. Tidak ada penerangan. Suasana benar-benar sepi bahkan suara-suara hewan pun tidak terdengar. Mungkin hanya detak jantungnya yang keras saja yang terdengar. Tangannya bergerak meraih tepian parit, berusaha memanjat naik.
"Auhh..." Dia meringis kesakitan. Lengannya terasa sakit. Kemudian ada tangan seseorang yang menutup mulutnya.
"Diam dan ikut saya. Kalau teriak - mati!" Sebuah benda keras terasa menekan punggungnya.
Mata Geo membulat. Apa yang sedang terjadi? Akal sehatnya masih dapat berpikir kalau pementasan drama yang ditunggu-tunggu sedang dimulai.