“Din, mau kerjain di kontrakan Bima gak?”
Dina, yang tengah menyelesaikan tugasnya lantas berhenti mengetik. Ia memejamkan matanya, kemudian mengembuskan napas perlahan. “Boleh aja, sih. Tapi di sana ada siapa aja. Itu, kan, kontrakan cowok, Brin,” ucap gadis itu pada seseorang di seberang sana melalui ponsel yang ia letakkan di samping laptop. Speaker teleponnya dinyalakan, sehingga suara Shabrina terdengar keras memenuhi kamar kosannya yang sepi.
Shabrina tertawa. “Ada gue kok, ada Fega, Nadia, banyak deh ceweknya,” gadis itu berdeham. “Nanti lo dijemput Panji, Din,” kata Shabrina, membuat Dina menimbang keputusan akhirnya.
Selama satu menit dia berpikir, akhirnya gadis itu mengangguk. “Oke, gue siap-siap deh. Panji jemput sekarang?”
“Iya noh, cowoknya udah nyelonong keluar buat jemput lo,” katanya kemudian telepon terputus.
Dina pun langsung berganti pakaian, tidak mungkin dia pergi mengenakan celana training lusuh dan kaus yang sudah dipakai selama 2 hari. Oke, dia memang jorok. Tapi udara di Malang sama sekali tidak membuatnya merasa sangat panas hingga banjir keringat seperti di Jakarta. Membuatnya betah memakai kaus selama 2 hari bahkan lebih, asalkan masih wangi dan tidak terkena kotoran seperti tumpahan es atau minyak.
Setelah memolesi sedikit lip balm, gadis itu mengecek ponselnya yang bergetar. Ada pesan masuk, dan itu dari Panji. Teman sekelasnya pada semester 3 ini.
Panji Anggara : Udh di depan nih din
Dina : Wait
Gadis itu memasukkan laptop beserta casan ke dalam tas laptopnya, tak lupa menarik handphone yang masuk tersambung dengan kabel casan, dan memasukkannya ke dalam kantung jaket. Dia mengunci kamar kosannya dan memakai sepatu dengan tergesa-gesa, gadis itu tidak ingin membuat temannya menunggu terlalu lama.
“Eh, sori ya, lama. Abisan mendadak sih,” kata Dina pada Panji yang tengah bermain ponsel.
Cowok itu mendongak, kemudian tersenyum lebar. “Santai, Din. Oh, iya, helm gak dibawa?” cowok itu menunjuk kepala Dina yang tidak terpasang helm. Gadis itu bahkan tidak membawanya.
Dina menepuk dahinya, merasa semakin bodoh. “Astaga, Nji! Lupa gue. Yaudah gu—“
“Nggak perlu, Din,” Panji menahan lengan gadis itu sebelum berbalik. “Gue sengaja bawa dua,” katanya.
Gadis itu memandang helm yang diberikan Panji, kemudian tersenyum senang. “Thanks!” Dia pun mengenakannya kemudian naik ke atas motor vespa matic berwarna merah milik lelaki itu.
***
“Hai, Dina!”
Dina kaget saat dapat sapaan dari Fega, teman sekelasnya saat semester 1. “Oh, hai!”
“Nggak usah sok kaku lo, sialan,” cemooh Arya yang duduk di pojok ruangan, tengah menghisap sebatang rokok. “Biasanya juga bawel,” katanya.
“Bacot, ih,” Dina pun berjalan menghampiri Shabrina yang melambai ke arahnya, diikuti Panji yang melangkah di belakangnya.
“Ya nggak usah diikutin juga, kali, Nji,” ledek Bima yang datang dari arah dapur, membawa nampan berisikan cemilan dan juga es jeruk. “Hai, Din. Tumbenan ke sini,” katanya.
Dina yang tidak mengerti hanya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Rasanya dia ingin pergi jauh-jauh dari tempat ini. Entah karena apa.
Selama mengerjakan tugasnya bersama Shabrina, gadis itu merasa Panji terlalu dekat duduk di sampingnya. Kadang lelaki itu melihat hasil kerjanya di laptop dengan wajah yang cukup dekat dengannya, membuat Dina merasa risih dan bingung. Dia bingung ini cowok kenapa, ya?
“Hati-hati, ya, Din, pulangnya!” teriak Shabrina dan Fega berbarengan saat Dina sudah naik ke atas motor Panji. “Nji, anak orang jangan diapa-apain!” ancam mereka pada Panji yang tertawa.
“Kalau mau ngegas, langsung aja, Nji! Jangan pake ditunda-tunda,” ledek Abi dari dalam kontrakan Bima.
Lagi-lagi Dina dibuat bingung. Maksudnya apa, coba?
“Yaudah, yuk, Nji. Gue gak mau makin gila gara-gara kalimat mereka,” ungkap gadis itu pada Panji yang masih salah tingkah. Ditambah Dina yang menyentuh bahunya membuat dirinya makin merasa linglung dan meleleh.
“O-oke, ayo pulang,” kata cowok itu pada akhirnya sebelum menstarter motor dan meninggalkan kontrakan Bima.
Selama perjalanan, Dina sama sekali tidak memperhatikan Panji yang sesekali melirik kaca spion, menatap wajah gadis itu yang kadang tertekuk murung atau bahkan tersenyum. Panji pikir, gadis cuek seperti Dina memiliki sifat moodyan.
“Makasih, ya, Nji. Sori ngerepotin pake dianter jemput segala,” katanya sembari memberikan helm berwarna hitam pada Panji.
Panji tersenyum. “Eh, iya, Din. Sans aja lah, gue ini kok yang mau,” balas cowok itu kemudian membiarkan Dina berbalik, baru ingin menggeser gerbang kosannya sebelum refleks Panji menahan lengan gadis itu. Membuat Dina menoleh dengan bingung. “Din, gue capek.”
“Maksudnya?” Dina mengerutkan kening. “Capek kenapa? Lo abis lari?”
“Iya, gue lari ngejar lo, dan gue capek,” cowok itu mengela napas panjang. “Gue suka sama lo sejak pertama kali kita kenalan sebagai teman sekelompok, terus berjalnjut hingga akhirnya gue capek buat diem mulu sedangkan lo udah kenal dekat sama semua cowok di kelas, Din, dan gue takut,” Panji menghentikan kalimatnya, menarik Dina semakin mendekat hingga kini wajah mereka hanya terpisah 1 senti. “Gue takut, lo jadi kekasih cowok lain.”
Dina meneguk air liurnya dalam-dalam. Oke, di kelas Panji termasuk cowok yang menarik perhatiannya. Lelaki itu good looking, tampang bad boy, punya bibir tebal dan mata bulat. Tapi, tapi, Dina tidak benar-benar jatuh cinta dengannya. Tapi, Dina suka jika melihat Panji. Cuman sebatas itu.
“Lo mau nggak, jadi pacar gue?” tanya lelaki itu.
Refleks, Dina menjawab. “Iya, gue mau,” dan Dina menyesali keputusannya.
Setelah jawaban Dina yang kelewat cepat karena, ya, sebenarnya Dina kalau udah panik jadi nggak bisa mikir. Panji mendekatkan bibirnya dengan gadis itu, membuat Dina semakin panik dan bingung serta takut. Dia takut ada yang lihat meskipun jam 12 malam di kompleks perumahan tempat Dina nge-kos pasti sudah sepi. Seluruh warga sudah terlelap di mimpinya. Paling-paling cuman mahasiswa ambis organisasi atau kelewat sibuk ngerjain tugas di kampus. Makanya pulang jam segini.
Bibir cowok itu terserasa lembut menyentuh bibirnya, menggerakannya perlahan membuat Dina bingung dia harus mendorong Panji atau membiarkan lelaki itu menciumnya. Dina pikir, ciuman Panji tidak baik untuk jantungnya yang berdebar kaget. Maka gadis itu mendorong dada cowok itu, membuat Panji terlihat kaget. “Astaga, Din, maaf.”
“Ah, eh, iya. Eum..” Dina melirik gerbang kosannya yang sudah sedikit terbuka. “Gue masuk, ya!” kemudian gadis itu terburu-buru masuk dan mengunci gerbang. Dia terduduk lemas. Bibirnya terasa bengkak namun sapuan bibir cowok itu masih menempel di bibirnya. Dina pikir, dia gila.
Panji Anggara : Btw, kita resmi pacaran kan ya?
Panji Anggara : Good night baby girl
Dina : Night
***
Pagi hari Dina dimulai dengan salat Subuh, kemudian beberes kamar bentar, lalu mandi. Selesai mandi, gadis itu melirik ponselnya yang bergetar, tumben sekali pagi-pagi udah ada yang ngirim dia pesan. Saat dibuka, Dina kaget. Tunggu, dia pasti pikun. Semalam Panji nembak dia dan mulai hari ini mereka resmi pacaran. Waw, ini Dina lagi gila kan ya?
Panji Anggara : Pagi J
Panji Anggara : Udh bangun?
Dina : Udah dari tadi nji
Panji Anggara : Widih, gua baru bangun L
Panji Anggara : Mulai bsk boleh minta bangunin gue gak? Ehehehhe
Panji Anggara : Nggak nyangka kalo skrg kita pacaran din :))
Dina : Sama nji
Dina : Iya bsk gue bangunin
Panji Anggara : Pake aku-kamu mau gak?
Panji Anggara : Eh tp enakan pake gue-elu yak? Wkwkkw
Dina : Terserah deh, tp kebanyakan org pacaran pakenya aku-kamu
Dina : Kita gue-elu aja, biar so sweet
Panji Anggara : Duh emang cocok deh lu sama gua din hahaha
Panji Anggara : Mau dijemput jamber?
Dina : Eh? Harus ya?
Dina : Gue sendiri aja, dkt juga kok ke kampus
Panji Anggara : Gue otw kosan lu jam 7 krg ya
Panji Anggara : Gk pake nolak
Dina : Oke ._.
***
“Cie elah, pasangan baru!” ledekan Shabrina membuat Dina sadar bahwa saat ke kelas, gadis itu bersama Panji di sampingnya.
Panji terkekeh. “Sa ae lu, tukang cimol,” cowok itu menarik Dina ke arah kursi di barisan kiri. Mengajak gadis itu untuk duduk bersama dengannya. “Duduknya bareng gue aja,” ucap Panji.
Dina bingung. Dia lebih nyaman duduk bersama teman-temannya seperti Eryn, Rina, Aya dan gadis-gadis alim lainnya. Dia tidak terbiasa bergaul dengan anak-anak Jabodetabek di kelas, meskipun Dina sendiri berasal dari Jakarta. “Eum, gue mau duduk di san—“
“Kali-kali ah, sama gue, Din,” kata Panji, membuat Dina mengangguk kalem dan melirik ke arah belakang. Di mana sosok laki-laki yang paling good looking di kelasnya berada. Lelaki itu tengah menatapnya sekilas, sebelum asik dengan ponselnya lagi.
“Ada apa?” Panji bertanya saat melihat gerakan aneh Dina.
Gadis itu salah tingkah. “Eh, bukan apa-apa, kok,” dia merasa sedih. Entah untuk alasan apa.
***
“Kamu beneran pacaran sama Panji, Din?” tanya Eryn saat mereka tengah istirahat. Lebih tepatnya menunggu asisten tutor praktikum datang ke kelas. Hari senin merupakan salah satu hari di mana terdapat satu mata kuliah 6 SKS yang dimulai dari jam 7 pagi hingga jam setengah 5 sore.
Dina mengangguk. “Iya, Ryn. Semalam dia nembak aku.”
“PDKT sejak kapan?” Soni, salah satu cowok yang menjadi teman dekatnya bertanya. “Kalian toh gak pernah keliatan dekat, Din,” katanya bingung.
Dina nyengir. “Nggak pernah PDKT, hehe. Dia tiba-tiba nembak, terus aku jawab iya.”
“Bukannya kamu suka sama Kenan?”Ayu tiba-tiba bertanya yang membuat Dina diam seribu bahasa. “Kalian loh, udah mulai dekat. Di grup kita juga kalian kalo udah ngobrol berasa roomchat berdua doang,” ucapnya.
“Padahal Kenan suka sama kamu, loh, Din,” Gerry yang baru datang dari kantin pun ikut mengobrol.
“Au nih, si Dindin. Aku loh, gak suka sama si Panji. Anaknya males gitu,” ujar Soni. “Aku lebih suka kamu sama Kenan.”
“Lagi ngobrolin apaan, sih?” Panji tiba-tiba berada di antara mereka. “Oh, iya, Din. Lo belum sempet makan, kan?” cowok itu memberikan sandwich yang dia beli di kantin. “Nih, buat sarapan,” katanya.
Dina menerimanya dengan senang hati, namun pikirannya melayang ke tempat lain. Dia jadi sadar bahwa sejak tadi pagi Kenan sama sekali tidak berbicara dengannya. Sosok lelaki yang paling pendiam di kelas itu sejak tadi hanya diam di kursinya, sesekali bermain games, kemudian tidur, lalu menatap Dina dengan tatapan murung.
Selama ini, Dina menyukai siapa?
“Din,” Panji menepuk bahu gadis itu. “Jangan ngelamunin gue, Din. Kan gue di sini, di depan lo.”
“Hilih, Nji,” ledek Raka yang baru datang. “Woi, Dinoyo! Pajak jadian lah buat gua sama Ana. Kan kita sekelompok!” sahut cowok itu membuat Dina merasa sebal.
“Bacot banget, sih, ih! Rak!”
***
“Lo sejak tadi kenapa, sih, Din? Sejak tadi di kelas, gue perhatiin lo diem mulu,” Panji bertanya saat mereka perjalanan pulang. “Masih mikirin ciuman gue tadi malem, ya? Maaf deh, gue gak bermaksud,” ucapnya.
Dina menggeleng. “B-bukan, kok. Gue cuman, bingung.”
“Bingung kenapa?”
“Itu, pembahasan di laporan besar kayak gimana ya? Pusing,” dia mencoba mencari alasan. Meskipun alasannya terdengar ganjil dan aneh. “Oh, iya, nanti malam lo ikut futsal sama anak kelasan?” tanya Dina pada Panji yang asik mengendarai motor vespa merahnya.
“Ikut, kok. Nanti gue jemput, oke.”
“Oke.”
***
Sepanjang pertandingan, fokus Dina ke arah cowok berkaus hitam yang tengah menggiring bola menuju gawang. Dina sejak tadi hanya memperhatikan Kenan! Bukan Panji! Ini Dina kenapa, sih?
“Din,” panggilan Fina membuat fokus Dina teralih ke gadis itu. “Lo sejak tadi bengong aja, Din. Ngobrol kek, apa kek,” katanya sembari duduk di samping gadis itu.
Dina tersenyum tipis. “Sori, gue lagi... bingung?” tanya gadis itu, lebih pada diri sendiri.
Fina menoleh. “Bingung kenapa? Bingung kalau sekarang lo udah nggak jomblo?” gadis itu tertawa. “Sori, sori, gue bercanda doangan. Abisan kayaknya lo tuh kayak, lagi banyak pikiran? Bener nggak?” gadis itu menebak.
Dina menghela napas panjang. Dia nggak bisa berbohong pada Fina, karena gadis itu sudah lumayan dekat dengannya meski mereka baru kenal sekitar 4 bulan lebih semenjak awal semester 3 perkuliahan. “Ya, gitu, deh. Gue.. apa ya? Bego, tolol, atau idiot?”
“Semuanya!” Fina tertawa lagi. “Tapi, ya, apapun masalah lo. Jangan sampai membuat lo terbebani gini. Lo harus cerita sama gue, atau sama siapapun, dan juga lo harus selesain itu masalah, Din,” katanya.
Dina mengangguk. “Iya, tau kok.”
“Btw, itu Kenan ganteng parah, ya! Anjir lah, beruntung banget kelas kita punya cowok macem itu orang,” Fina tersenyum-senyum memerhatikan Kenan yang tengah bermain. Sesekali lelaki itu mengusap dahinya yang penuh keringat. Bagi Dina, Kenan adalah seseorang yang membuatnya lupa. Lupa tentang kenangan masa lalunya, lupa tentang cinta pertamanya semasa SMA, lupa bahwa dia sebenarnya menyukai lelaki itu.
“Iya, Fin, iya gue tau. Gue lupa akan satu hal,” Dina mulai mencerocos.
Fina menghentikan aktivitasnya dalam memerhatikan Kenan bermain. “Apa, apa? Lo lupa apaan? Bawain Panji handuk?” tanya gadis itu kelewat polos.
Dina menggeleng, dia serius. “Gue lupa kalau gue move on dari mantan gue gara-gara Kenan,” Fina diam memperhatikan setiap kalimat yang diutarakan Dina padanya. “Gue jatuh cintanya sama Kenan, bukan Panji.”
***
“Nji, gue mau minta maaf,” Dina tiba-tiba menahan laki-laki itu ketika mereka sedang di parkiran GOR.
Panji menghentikan langkah kemudian menoleh ke arah gadis yang berdiri di sampingnya. “Minta maaf? Buat apa?” tanya lelaki yang kini menatap lekat Dina. “Lo buat masalah apa, sih, Din, sama gue? Kayaknya baru seharian kita pacaran, dan gak ada masalah apapun.”
“Nah, itu, Nji masalahnya,” Dina mendongak, matanya berair. “Gue udah buat lo merasa bahagia selama seharian ini, tapi gue sama sekali nggak merasa bahagia karena lo. Gue jatuh cintanya bukan sama lo, tapi sam—“
“Udah, Din, udah,” Panji menutup mulut gadis itu agar berhenti mencerocos. “Gue udah tau, kok. Kalau yang lo suka itu Kenan, bukan gue. Makanya gue nembak lo, berharap gue bisa bikin lo jatuh cinta meskipun, ya, sulit. Tapi, apa sih yang nggak bisa?” lelaki itu tertawa. Dia melepaskan tangannya dari mulut gadis itu, kemudian perlahan menghapus jejak air mata di wajah Dina. “Din, lo tau apa hal indah yang selalu gue temui pas di kelas?”
“Apa?” Dina mengucek matanya, merasa gatal.
“Tawa lo.”
Gadis itu diam.
“Dina, percaya sama gue. Kalau lo bakalan jatuh cinta sama gue, Din. Kalaupun emang nggak bisa juga, oke, gue bakal lepas lo dan biarin lo sama Kenan,” lelaki itu menangkup wajah Dina. Menempelkan dahinya pada dahi gadis itu, membungkuk. Kemudian mengecup sekilas bibir Dina sebelum menciumnya dengan perlahan, seperti yang ia lakukan pada malam saat Panji menembak gadis itu. Kali ini, Dina membiarkan Panji melakukannya. Bahkan gadis itu membalas ciuman lelaki yang kini, berhasil merebut hatinya dari Kenan.
“Gue sayang sama lo.”
“Gue juga,” gadis itu refleks lagi.
Panji tertawa. “Oke, bercanda lo kurang lucu.”
“Ih, gue serius, tau!”
“Udah, ayuk, kita pulang.”
“Panji!”
-FIN-
a.n
Dina itu tipe cewek yang gampang jatuh cinta. Tapi, tapi.. kalo udah dibuat jatuh cinta, dia bakal setia! Jadi Panji, kamu harus jaga Dina baik-baik, yap!