Besok paginya, kamar Anne digedor oleh pihak keamanan kampus dan dalam pakaian tidurnya berupa kaos dan celana pendek longgar, ia diseret ke ruang Dekan universitas. Bp. Steven Wijaya--si Dekan--dan Leyla--dalam pakaiannya yang rapih karena shift pagi--sudah berada disana sedang menunggu kedatangannya.
Anne merasa seperti penjahat perang yang disergap sewaktu dalam tidur untuk di eksekusi diam-diam. Ia didudukkan diatas sofa bersampingan dengan Leyla. Dihadapannya--diatas coffee table--tergeletak beberapa surat kabar dengan judul dalam huruf besar yang ditebalkan.
"MENINGGAL OVER DOSIS DI UNMUNUS - Seorang perempuan muda ditemukan...."
Anne terhenyak melihat foto perempuan memegang buku perpustakaan dengan wajah diburamkan, Anne sangat mengenal pakaian yang sedang dikenakan mayat itu. Ia baru bertemu perempuan itu kemarin. "Alice..."
"Kau mengenalnya? Itu adalah headline berita di surat kabar yang terbit hari ini. Karena kejadiannya di perpus, kalian kupanggil kemari." Dekan yang bertubuh gemuk itu menghempaskan bokongnya ke sofa di depan mereka. Ia berusaha tenang, namun wajahnya yang lebar dan memerah di bagian pipi jelas menunjukkan emosinya terhadap kejadian itu.
"Dia kemarin pagi ke perpus pak bersama tiga orang lelaki, tetapi tidak lama kemudian mereka pergi." jelas Anne tanpa diminta. "Kemudian sorenya, Alice kembali ke perpus sendirian. Itu saja yang saya tau pak, karena shift saya sudah berakhir."
"Ya pak, perempuan itu disana waktu saya menggantikan shift Anne-Marie. Dia menangis diantara rak buku, banyak saksi koq. Waktu saya datangi dia menghindar, jadi ya saya tidak jadi menanyakan keadaannya." Lanjut Leyla.
"Alice menangis Ley?" Tanya Anne penasaran.
"Iya, aku juga bingung. Setelah kalian keluar, aku mendengar suara terisak gitu. Anak-anak disana juga jadi bertanya-tanya kan. Trus aku inisiatif mendekat, pas aku ngintip, dia lagi nangis sesegukan. Kasihan sih..." Leyla menerawang.
Kemudian secepat itu dia menatap Anne kembali dan melanjutkan ceritanya, "Baru aku mau bertanya dia kenapa, pas dia nengok eyeliner-nya luntur Anne! Trus wajahnya jadi menakutkan gitu. Aku kaget banget, sial! Mungkin dia liat reaksiku ketakutan gitu kali ya jadi dia kabur."
"Kabur keluar?" Tegas Anne.
"Ya iya lah Anne masa dia loncat dari lantai delapan." Jawab Leyla sambil memutar bola matanya.
"Maksudku siapa tau dia kabur ke lorong lainnya gitu Ley, sewot gitu ah kamu." Anne jadi sebal.
"Bukan gitu, sekarang itu anak sudah meninggal, aku bingung kapan dia masuk ke perpus lagi ya?"
"Dari jendela kali." Kata Anne nyinyir sambil mendengus membalas kesewotan Leyla.
"Kamu tuh yang sewot!" Leyla mencibir ke Anne.
"Hey! Kalian itu dimintai keterangan malah gosip." Dekan gemuk itu mencoba melerai perang mulut mereka.
"Bukan gosip ini pak, ke-nya-ta-an." Leyla mengeja kata-kata terakhir di depan Dekan. "Aku ini anak Fakultas Teknik Sipil, jadi keterangan saya lebih logis dibanding seniman disamping saya."
"Enak saja. Aku sudah bertemu Alice paginya tau. Dia mencium Bas! Di de-pan u-mum." Anne mencoba meniru gaya bicara Leyla.
"Hah? Gila, berani banget dia!" Mata Leyla membelalak. "Wait! Bukannya kak Bas itu pacarmu ya Anne, yang mana membuatmu punya motif membunuh Alice." Leyla menyipitkan matanya dengan curiga ke Anne.
"Eh, pakai otak logismu Ley, kau pikir demi Bas aku rela membunuh? Dipenjara dalam waktu yang lama? Lagian aku bukan pacar siapa-siapa, asal kau tau saja." Anne mendengus lebih keras dan bersidekap dengan gengsi.
Leyla dan Anne terdiam asik dengan pikiran masing-masing. "Sudah gosipnya?" Dekan gemuk itu memecah keheningan. Anne dan Leyla tersenyum malu mendengar teguran untuk kedua kalinya.
Pintu diketuk dan semua mata menatap ke pintu lebar yang terbuat dari kayu jati yang dipelitur mengkilap. Pak Dekan membukanya dan mempersilahkan masuk orang tersebut. Sebastian muncul di muka pintu, tubuhnya yang tinggi membuat Dekan itu telihat seperti kurcaci gemuk.
Bas menatap Anne seakan-akan menatap seorang gadis yang baru pernah dilihatnya. Dengan kaos longgarnya yang juga kebesaran, Anne tampak sangat feminin. Rambutnya yang acak-acakan membuatnya lebih cantik. Hanya ada dua sofa di ruangan itu dan Bas tidak mau duduk bersebelahan dengan Dekannya. Bas memilih mendekati sofa two seater yang ditempati Anne dan Leyla; ia duduk berdempetan disamping Anne dan merasa girang ketika bahu Anne menyentuh lengannya.
Setelah mahasiswanya duduk, Dekan itu ikut duduk. Sekali lagi menghempaskan bokongnya ke sofa dan Sebastian bersumpah ia mendengar sofa itu meringis. "Kedua temanmu ini sudah mengatakan banyak hal. Menurut informasi, kau adalah pacar Alice. Ada yang ingin kau sampaikan mengenai kasus Alice?"
Sebastian menarik nafas dan menghembuskannya perlahan. "Alice itu mantan pacarku Pak, tapi sudah lama kami tidak kontak. Baru kemarin kami bertemu lagi di lapangan dan di perpus. Itu saja." Hening. "Bagaimana dia ditemukan Pak?"
Sekarang Dekan gemuk itu yang menarik nafas. "Subuh tadi, petugas kebersihan yang membersihkan perpus datang sesuai jadwal dan menemukan mayat Alice di sudut perpus tergeletak setengah duduk. Mulutnya mengeluarkan busa yang sudah mengering. Menurut kepolisian yang menangani kasus Alice--dengan kondisi AC menyala--perkiraan kematian antara jam satu atau jam dua pagi. Dan positif penyebab kematiannya adalah over dosis narkoba jenis Methamphetamine atau shabu." Anne dan Leyla berpegangan tangan dan menarik nafas bersamaan.
"Kemudian petugas itu menelpon ke manager General Affair dan dia segera menelpon kepolisian serta menelponku. Jam 5 pagi kami sudah membungkus Alice dan mengirimnya ke RSCM untuk otopsi lebih lanjut. Perpus ditutup sementara. Aku memberi polisi waktu satu minggu untuk mengumpulkan informasi di ruang perpus. Kemudian perpus harus dibuka untuk umum agar mahasiswa bisa menggunakannya untuk persiapan UTS awal Desember." Dekan itu menatap tajam mahasiswanya satu persatu, namun Bas yakin dia tidak menemukan apa-apa dari mereka. Mereka bersih.
"CCTV sedang di cek dan belum diketahui apakah ada info yang bisa membantu menyelesaikan kasus ini. Ada kemungkinan kalian akan dipanggil polisi. Aku minta jika ada yang ingin kalian sampaikan, tolong beritahukan kami dulu agar kami bisa mengantisipasinya." Ia menyatukan tangannya memohon pada mereka. Bas bisa mengerti, popularitas universitas ini akan turun drastis karena pengaruh pemberitaan media yang jelek.
Setengah jam kemudian mereka dibebaskan dari ruang Dekan. Liam dan Andrew sudah menunggu diluar ruang Dekan. Mereka khawatir Sebastian akan terseret dengan kasus ini karena pertandingan basket antar universitas akan dimulai bulan Desember dan mereka tidak boleh kehilangan Bas sebagai center player.
"Bas, bagaimana? Kau tidak apa-apa?" Tanya Liam dan Andrew bersamaan begitu melihat Bas yang keluar pertama kali, Bas menggeleng. Leyla menyeruak keluar dari belakang Bas dan berjalan pergi dengan cuek. Anne ikut menyeruak dibekalakang Bas dan pergi.
"Anne," Bas menangkap tangan Anne. "Jangan pergi." Liam dan Andrew melongo melihat penampilan Anne yang berbeda. Bas mengerti pemandangan indah yang mereka lihat dari Anne; Bas lalu menempatkan dirinya diantara Anne dan teman-temannya untuk menghentikan temannya meneteskan air liur.
Liam menyingkirkan Bas, "kau cantik sekali Anne." Wajah Anne merona dibalik kacamata berbingkai hitamnya, Bas menggertakkan giginya. Satu hal yang tidak disukai Bas dari Liam adalah semua orang menyukai Liam, lelaki dan perempuan bahkan anak kecil sampai kakek nenek. Liam itu--kata banyak orang--kalem, adem, dewasa dan tipe menantu yang diimpikan mertua.
"Anne, aku ingin membahas mengenai kasus Alice, kau mau ikut?" Tanya Bas, mengalihkan perhatian semua orang.
"Mau, tapi sebaiknya aku ganti baju dulu bagaimana? Penampilanku kacau banget."
"Tidak perlu." Ketiga lelaki itu menjawab berbarengan.
"Oh~ ok kalau kalian tidak malu berjalan bersamaku." Anne tersenyum manis dan Bas bisa melihat teman-temannya menahan nafas mereka. Ia membencinya.
Mereka duduk di pojok kantin biru. Tadinya ada beberapa anak yang duduk disana mengobrol namun melihat Bas dan genk-nya datang, mereka langsung bebersih tempat dan pindah ke meja lain. Banyak sekali keuntungan hanya dengan berteman dekat dengan Bas, tidak heran semua perempuan sekampus ini berlomba-lomba menjadi pacarnya.
Liam mengeluarkan surat kabar dari jaketnya dan menggelarnya di meja. "Lihat baik-baik foto Alice disini. Mengapa dia memegang buku itu? Adakah sedikit aneh menurutmu?" Tanya Liam pada teman-temannya. Anne melihat dekat-dekat surat kabar yang memperlihatkan tempat kejadian perkara dan foto Alice yang berwarna dari balik kacamatanya.
"Buku apa itu Anne?" Tanya Bas yang duduk di sebelah Anne, ia menyampirkan tangannya kebelakang Anne dan memperhatikan teman-temannya yang sedang meneliti wajah dan tubuh Anne. Perasaan cemburu merasukinya, Anne belum menjadi miliknya, jadi Anne masih bebas memilih ke lain hati.
"Ini buku Human Dimension, kak Liam. Coba lihat." Anne menyodorkan koran itu kembali ke Liam. Liam mengangguk, membenarkan.
"Untuk apa mahasiswi TI membaca Human Dimension? Benar-benar aneh." Tanya Dru.
"Ya kak Dru, tadi di kantor Dekan aku melihat foto ini dan sempat bertanya-tanya. Awalnya aku tidak yakin itu buku Human Dimension, tetapi sekarang aku yakin sekali."
Kuping Bas sedikit gatal mendengar kata-kata Anne. "Anne, kalau aku gak salah dengar, kau memanggil Liam dan Dru dengan 'kak'. Tetapi kau memanggilku hanya Bas. Sepertinya ada yang salah disini." Anne merona, ia baru menyadari perbedaan itu, padahal Liam, Dru dan Bas seumur.
"Ah~ sensi kau Bas, Anne memanggilmu nama mungkin karena kau temperamen." Cetus Dru menggoda Bas.
"Mungkin kekanak-kanakan juga." Liam memberi cibiran ke Bas.
"Belum dewasa tepatnya." Dru mulai menyeringai lebar.
"Bukan panutan seperti kita, ya ga Dru?" Tawa mereka meledak dan mereka bahkan tidak peduli apakah Bas ikut tertawa atau tidak.
Anne ikut tergelak, dadanya naik turun dan semuanya memperhatikan keindahan itu. Bukan berarti dada Anne montok dan besar, tetapi tubuh Anne yang walaupun tidak tinggi itu proporsional dan indah dilihat.
"Okay, hentikan itu kalian. Anne pergilah berberes, kita tunggu kau disini segera." Bas tidak tahan lagi dengan tingkah laku teman-temannya. Dulu ia menganggapnya wajar ketika teman-temannya melongo melihat pacar-pacar Bas yang sexy dengan pakaian terbuka, sekarang dengan Anne semuanya berubah.
Ketika Anne minta ijin pergi, Bas dan teman-temannya termangu melihat Anne berjalan menjauh. Cahaya matahari pagi yang menyinari, menembus kaos longgar usang itu dan memperlihatkan dengan samar bentuk tubuh Anne yang ramping melenggok pergi. Tiba-tiba hari menjadi sangat gerah untuk Bas. "Hey! Hey! Hey! Mata kalian itu tolong dijaga." Mendengar teguran Bas, kepala-kepala itu seakan tertarik kembali ke tubuhnya. Dan mereka menyeringai satu sama lainnya. Bas memijit-mijit dahinya, mencoba merilekskan urat-urat tegang di kepalanya.
"Bas menyukai Anne, Liam. Jadi kau tidak boleh lirik-lirik ya." Dru menasehati.
Liam terkekeh, "finders keepers Bas. Dari awal aku sudah memperingatkan kalau Anne dibawah pengawasanku langsung. Jangan permainkan dia." Wajah Bas menggelap, tetapi Liam tetap santai. Dru tidak tau apa yang harus diperbuatnya kepada kedua temannya.
@deborahana hugs... terima kasih Deb
Comment on chapter 21. Semester Baru Bersama Anne