Read More >>"> Do You Want To Kill Me? (11.) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Do You Want To Kill Me?
MENU
About Us  

 

            “Ini aku kembalikan, makasih, buku-bukumu memang sangat membantu,” ujarnya seraya menyerahkan sebuah buku.

            Lawan bicaranya segera mengambil buku tersebut dan melakukan scan pada catatan peminjaman yang terletak di lembar terakhir, lalu berkata, “Dendamu banyak sekali.” Dia terkikik kecil, seperti keledai bergigi ompong.

            “Tenang, aku sadar diri, ini uangnya,” ujarnya sambil menyerahkan beberapa lembar uang.

            Si mata empat mengeryitkan dahi, memutar dan menyipitkan mata, kemudian kembali berkata, “Sudah ada yang membayar semua dendamu, lain kali jangan tidak kamu ulangi lagi.”

            “Dasar mata empat duitan!” gerutunya. Bukan kalimat kedua yang membuatnya kaget, melainkan kalimat pertamanya.

Sudah ada yang membayar semua dendamu, apa maksudnya ini? Apa aku punya semacam penggemar rahasia?

            “Taka,” panggilnya.

            Seseorang yang dimaksud dan memiliki nama itu mengangkat kepala dan menembakan mata pada sumber suara. Dalam tatapannya, ada kebingungan dan ketidaktahuan, persis seperti yang selalu dipancarkan saat dunia dinyatakan akan berakhir. Ditambah lagi, dia yang dibawa, dilibatkan, dan harus menyelesaikan sebuah tugas penting. Tidak ada medali yang didapatkan olehnya setelah menjadi penyelamat. Justru, dia harus berjuang kembali; melupakan rasa kehilangan, tuk kesekian kalinya.

            Taka berdeham, dan si mata empat berjalan menuju ke gudang belakang. Dia berdiam diri tanpa membuntuti langkahnya, sesekali matanya yang melakukan. Rasa penasaran memang bisa mengundang berbagai hal; positif dan negatif. Tanpa adanya itu, siapapun hanya akan berjalan pada garis lurus yang membentuk lingkaran. Ke manapun, sejauh apapun, dan sampai kapanpun hanya itu-itu saja yang menghiasai pelupuk mata.

            Si mata empat yang konon bernama Prisna membawa sebuah buku di tangan kanannya. Dia menaruh buku tersebut di atas meja; persis di depan pandangan Taka. Jadi, mau tak mau rasa penasaran menggugah dirinya kembali.

            “Apa buku astronomi yang dipinjam oleh teman perempuanku waktu itu sudah dikembalikan?” tanya Taka, setelah melihat mulut si mata empat akan menggempurnya.

            Ada hal yang harus diklarifikasi olehnya. Ada hal yang haris diketahui; bekas keberadaan gadis itu, Rafethea.

Apa semua bukti keberadaan akan dihapus dari ingatan semua orang? Jika begitu, kenapa hanya aku yang memilikinya? Pikirnya. Ini semakin menyakitkan bagiku.

            “Teman perempuanmu? Buku astronomi?” gumamnya sembari menutup wajah dengan telapak tangan kanannya. “Aku tidak pernah tahu jika kamu dekat dengan perempuan, kecuali kakakmu sendiri.”

            Ternyata benar, batin Taka.

            Taka tertegun setelah mendengar penjelasannya. Sebenarnya tidak ada yang perlu dikagetkan atau dikhawatirkan. Pada saat itu, semua tentang gadis itu sudah dihapus olehnya. Tapi, ada satu tempat yang masih mengingatnya; kepala Taka. Dia mau tidak mau harus menanggung kenangan yang menyebabkan perih sendirian. Ingin hati menyuruh mata membuang semua airnya, tapi sudah terlanjur terkuras habis.

            “Kenapa wajahmu menegang?” Si mata empat memainkan jari dan mata tepat di depan wajah Taka. Sebuah endusan kesal menjadi bentuk respon dari Taka.

            “Ahh jangan-jangan kamu ditolak olehnya?” tambah mata empat, menjadi-jadi.

            “Heh?”

            Taka mengerutkan dahi, dan sedikit memundurkan kepala, lalu membuka lebar mulutnya.

            “Tunggu, kamu mengingatnya?” tanya Taka, penuh penasaran. Namun, dia tetap mencoba setenang mungkin, agar tak timbul curiga, entah untuk apa.

            “Maksudmu? Tentu saja, seminggu yang lalu dia ke sini untuk mengembalikan buku, sekaligus membayar dendamu, setelah tanpa sengaja melihat catatanku,” jelasnya, lalu nampak akan melanjutkan ucapannya. “Dia mengenakan gaun terusan putih, dan ketika kutanya mau ke mana, dia menjawab, Aku akan menuju ke tempat yang cocok untuk melontarkan keegoisanku.”

            Mengelus dada, reaksinya saat mengetahui jantung tidak akan senam kembali. Semua sudah stabil;  napas, detak jantung, pikiran, dan keringat tidak akan merembes melalui pori-pori kulit.

            “Syukurlah, bersyukur, kan?” desahnya sembari menundukkan kepala, menghembuskan napas, dan terkikik kecil.

            “Untuk apa? Karena dia membayar dendamu, kan? Dasar laki-laki tidak modal.” Taka tersenyum mendegar ucapan si mata empat. Dia mengangguk untuk mendukung pernyataannya. Dia akan membiarkannya dalam kesalahpahaman, sebab terkadang kebenaran bukan segalanya.

            “Dia juga meninggalkan buku ini untukmu,” jelas si mata empat sembari menyerahkan buku.

            Taka langsung mengambil buku yang tidak terdapat judul pada sampul depan. Mungkin dengan dibiarkan kosong, dia bisa memberi judul apapun untuk buku itu. Cover buku dibuka perlahan; muncul lembar pertama yang berisi banyak tulisan. Taka yakin jika itu hasil tulisan tangan gadis itu, Rafethea.

            “Prisna, apa aku boleh membacanya di sini?” tanya Taka.

            “Tentu saja, silahkan, tumben banget langsung menyebut namaku.”

            “Satu lagi, mungkin aku akan membuat kebisingan, aku mau minta maaf dulu.”

            Si mata empat, Prisna, melintangkan senyum kecil yang begitu terlihat dengan pas kacamata yang dikenakan. Sekilas dia memang terlihat seperti orang yang jahat. Tapi, sebenarnya dia baik, pada aspek tertentu.

            Taka menuju meja untuk membaca dengan tenang. Mengambil salah satu kursi dan duduk di atasnya. Mulutnya mulai bergetar seiring mata yang mengikuti setiap kata.

            Intro

            Ini mungkin bukan diary book, karena aku menulisnya seminggu sekali, maklum ada hal yang harus kerjakan, rahasia ya. Jadi aku menamainya “weekly book” Gimana keren kan? Pasti kamu sekarang sedang mengernyitkan dahi. Tapi kupikir-pikir, isi buku ini khusus aku tulis untukmu. Sebab kamu pernah berkata, “Bisa kamu tunjukkan pada seseorang di waktu yang akan datang.”

            Tanpa disadari, Taka tersenyum ketika berhenti membaca. Dia merasa seperti berbicara kembali dengannya. Setiap kata di dalam buku tersebut memang Rafethea banget. Kikikan kecilnya nampak membuat kebisingan di perpustakaan, pengunjung lain mulai memerhatikannya. Dia menundukan kepala pada mereka untuk meminta maaf.

            “Jika begini kurang lebih hanya akan ada tiga sampai empat lembar lagi, terlalu pendek, aku masih belum puas,” gumamnya seraya membuka halaman selanjutnya, dan kembali membaca.

            Minggu pertama sejak aku bertemu dengan Arwantaka

            Dia itu murid pindahan yang unik. Tidak pernah memasang ekspresi yang sesuai terhadap situasi. Hanya tersenyum kecil dan sinis, itu yang dapat dilakukannya. Terkadang tertawa, tapi jarang sekali.

Di hari terakhir minggu ini, aku mengajaknya keluar bersama, orang-orang mungkin akan menyebutnya kencan. Tapi, tidak ada istilah seperti itu dari raut wajahnya saat bersamaku. Dia mengantarku mencari buku tentang astronomi. Aku bisa melihat diriku lebih dekat dari buku itu.  Sebab kalau aku melihatnya langsung ke langit; hanya titik-titik berkelip-kelip yang ada di sana. Ingin rasanya aku mengenggam dan memeluk diriku sendiri yang ada di sana.

Lalu, aku juga mengajaknya makan siang. Sepertinya dia tidak suka makanan manis. Aku tertawa ketika mendegarnya, walau tidak disampaikan secara langsung olehnya. Oh iya, soal gaya penampilannya, aku suka, dia baik.

            Taka memberi jeda sebelum masuk ke lembar berikutnya, dia tidak ingin menghabiskan waktu bersamanya dengan singkat. Dia ingin mennghadirkan Rafethea di samping, depan, atau belakangnya. Dirinya ingin mendengar suara khas miliknya; disertai dengan kikikan dan senyuman kecil, selalu begitu. Bahkan Taka sudah mulai jadi penerusnya; dibuktikan dari gaya bicaranya dengan si mata empat, Prisna.

            Halaman selanjutnya masih belum terbuka. Tangannya yang biasa lihai membalik setiap halaman dari ratusan buku, kini hanya mematung. Pikirannya berhalusinasi sekuat mungkin untuk membayangkan wujud Rafethea. Jika dia dibawa ke psikolog, pasti sudah dinyatakan terkena gangguan jiwa. Dan hidupnya berakhir di rumah sakit jiwa, bersama manusia yang kehilangan dirinya.

            “Tidak bisa ya?” gumamnya. “Memang tidak bisa,” lanjut Taka. Setelah mengumpulkan sesuuatu, entah apa itu, dia membuka halaman selanjutnya.

            Minggu kedua setelah mengenal Arwantaka

            Hari pertama setelah kami keluar bersama, suasana di kelas memanas, entah apa yang terjadi, tapi aku tahu, tidak perlu aku tulis di sini. Kelihatannya dia tidak suka terlibat dalam konflik secara langsung. Jadi, mau tidak mau aku yang harus bertindak.

 Aku juga menjadi penjaga perpustakaan abal-abal bersamanya. Di sana aku tidak melakukan apapun, karena dia tidak mengizinkanku terlibat, “Takut rusak,” itu katanya. Cukup kesal sih, tapi aku tidak ingin menganggunya. Jadi, kuputuskan untuk melihat diriku kembali di buku yang kupinjam. Pada hari itu juga, aku kembali menemukan darah di tanganku, dan entah kenapa aku telah berada di atap sekolah. Tapi, tidak ada mahluk hidup; manusia atau hewan, yang berada di depan mataku.

Aku tahu itu…

Di hari-hari selanjutnya aku tetap datang ke perpustakaan sekolah, mengobrol dengannya. Aku senang, tapi juga sedih karena minggu ini berlalu sangat cepat. Memang jika untuk kesenangan, waktu akan berakhir sebelum disadari, tapi aku senang, lihat senyumku, dong!

            Taka menggerakkan kuas untuk melukis senyuman di wajah. “Aku melihatnya kok dari setiap kata-katamu ini,” gumamnya. Entah sudah berapa kali dia menggumamkan sesuatu dari mulutnya. Lisannya bahkan ingin sekali saling menembak bersamanya.

            Suasana di dalam perpustakaan menjadi hening. Tanpa disadari semua pengunjung telah pergi. Kalimat itu, tidak terlalu panjang dan banyak. Dia hanya membacanya dengan selambat mungkin. Ini bukan dirinya. Dia yang dulu, tidak suka berbicara terlalu banyak.

            Matanya berkeliaran di seluruh perpustakaan; selama masih dalam jangkauan. Si mata empat, Prisna, sibuk menulis sesuatu pada buku besar bersampul hijau. Dia tidak memanggil, menyapa, atau mengajaknya berbicara.

            “Aku masih ingin berbicara denganmu,” gerutu Taka.

            Minggu ketiga bersama Arwantaka

            Gila! Dia mengajakku keluar, malam hari pula. Ini pasti akan menegangkan dan seru layaknya film-film horror, walau aku takut sih. Dia mengatakan sesuatu yang bernama Fantastic MVMJ. Kupikir dia akan mengajakku ke luar angkasa menggunakan kekuatan supernya, tapi dia hanya manusia biasa-

            “Hahahahaha.”

            Gelak tawa taka yang tiba-tiba, langsung menyebar dan menggema di dalam perpustakaan. Pernyataan yang selalu sesuai fakta dari Rafethea mengajak disko isi perutnya.

            “Woi! Apa yang kamu tertawakan?” teriak si mata empat, Prisna. Dia mulai bangkit dari duduknya, dan menuju ke Taka.

            “Tadi kan aku sudah minta maaf,” ucapnya sembari menoleh ke arah Prisnya yang mulai mendekatinya.

            “Ternyata ini.” Dia memangutkan kepala. “Okelah, jika itu bisa membuatmu tenang. Aku tidak ingin muka jeruk nan asam milikmu itu, terus bergentayangan di perpustakaanku.” Dia mulai kembali ke tempat duduknuya, semula.

            Kedua pupilnya mulai bernisiatif untuk berlari mengejar kata kembali setelah mulut menganggu langkahnya.

Walau begitu, dia istimewa. Dia telah mengajak dan membawaku ke sebuah keindahan untuk terakhir kalinya.

Aku, bersyukur…

Bisa bertemu dengannya. Aku harap ini segera berakhir. Dia menyelamatkanku, tidak, mencegah diriku yang lain menguasai. Memang yang dikatakannya itu sebagian besar kebohongan, satu-satunya kartu as miliknya. Dia begitu suka meringis ketika menahan perih dari luka. Sampai sekarang aku menulis ini, bekas pukulan di pelipisnya masih terlihat jelas, biru sedikit ungu.

Aku telah mengakui siapa diriku padanya. Aku memilihnya. Aku memutuskan jatuh dan menyerahkan diri padanya. Mungkin itu akan membunuhku, tapi aku juga ingin keindahan ini tetap berlanjut sampai masa yang ditentukan. Jadi aku mencintaimu mulai saat ini, Arwantaka.

“Aku juga mencintaimu,” gertaknya. Kubangan air mulai muncul di balik kelopak mata; cocok sekali sebagai tempat berendam babi.

Jadi, memang benar, jatuh cinta adalah cinta kemudian jatuh, sakit, pikirnya.

Dia tidak menyangka benihnya akan tumbuh pada saat terakhir. Bukan momen yang pas;  ladangnya bahkan  sudah menghilang. Tidak ada tempat baginya untuk bercocok tanam. Dia hanya akan membiarkannya tumbuh di polybag, lalu mati sebelum sempat berbuah.

Minggu keempat, akhir bersama Arwantaka

Aku berencana mengisi ini pada malam di hari terakhir minggu ini. Aku akan menceritakan semua yang terjadi. Jadi, jika aku tidak sempat menulis, cukup biarkan kosong, karena dengan begitu, mungkin aku akan tetap berada di dalam pikiran Arwantaka. Ini mungkin tidak akan sempat kusampaikan.

“Do you want to kill me?”

Berakhir sudah masa singkat  Taka bersamanya. Dia berjanji pada diri sendiri; Rafethea tetap hidup, di dalam ingatan dan pikirannya. Dia mengenggam erat ucapan terakhir dari Rafethea yang ada di dunia putih. “Sampai bertemu kembali, Arwantaka.” Dengan hanya berharap janji itu akan ditepati.

“Prisna, boleh aku membuat kebisingan lebih dari ini?” tanyanya. Si mata empat langsung merespon, “Tentu saja, memang apa yang akan kamu lakukan?”

“…”

Tangisannya setika pecah seperti vas yang dibanting. Tidak disangka, dia menangis begitu nyaring seperti anak kecil yang minta susu. Kedua telapak tangan menutupi wajah; sedikit meredam. Awan hitam yang sedari tadi berkumpul di pelupuk mata, sekarang tumpah, berupa air yang membasahi. Bahkan halaman pada buku tersebut yang hanya berisi sedikit tulisan, mulai terisi dengan air mata.

Prisna berjalan mendekati, lalu menepuk punggung dan memijatnya. Dia merasakan sensasi yang begitu keras. Sebisa mungkin memberikan relaksasi untuknya. Ketegangan pada otot punggung, lengan, dan bahunya, perlahan mulai mengendur.

“Kamu pasti telah berjuang memikul beban yang sangat berat sendirian,” ujarnya, menenangkan.

Taka masih tersedu-sedu dalam tangisnya. Airnya sudah habis, saat yang tepat untuk menyeka. Perlahan dia mengusap dengan jaket yang dikenakan, menjijikan. Ingus ditarik ke dalam kembali dengan cepat. Dia menoleh ke arah Prisna, memasang topeng senyum ala joker.

“Jangan sok tahu!”

Si mata empat tersenyum, kemudian memukul pelan kepala Taka dengan telapak tangannya.

“Cepat pergi! Aku mau tutup,” timpal Prisna. Taka menyipitkan mata sembamnya.

“Sialan! Masa aku harus memakai mata yang terlihat menjijikan ini.”

Prisna berjalan menjauh darinya. Mengambil sebuah kacamata dari rak meja yang selalu digunakannya.

“Pakai ini!” perintahnya sembari melemparkan kacamata tersebut pada Taka. Dengan sigap, kacamata itu jatuh di pelukan Taka. Dia memakainya.

“Gelap sekali,” gerutunya.

“Bersyukurlah.”

Taka segera pergi dari perpustakaan itu setelah melihat ekspresi mengusir dari si penjaga. Dengan memeluk buku milik Rafethea, dia menyusuri jalanan saat matahari akan terbenam.

Dari perpustakaan itu, dia dapat melihat bukit yang menjadi saksi bisu atas tragedi. Mulai hari ini, dia memutuskan untuk tidak berkunjung lagi. Setiap hari setelah kejadian itu, dia terus datang ke bukit untuk sekadar berkabung dan mengingat. Pada hari pertama, dia sempat terpikir untuk bunuh diri dengan menusukkan pedang yang satunya pada dada kirinya. Memang Rafethea di dunia putih berkata, “Kamu dapat menggunakannya, jika kamu tidak kuat.”

Tapi, selama ini dia kuat, bagian luar. Dia begitu rapuh hingga disentil sedikit pasti hancur. Tapi, dia tidak ingin menjadikannya sebagai alasan untuk membuang keberhasilannya. Dunia ini berhasil diselamatkan olehnya. Berbahagia, itu yang harus dilakukan. Mungkin bisa membuat pesta perayaan yang mewah, sendirian.

Di satu sisi dia juga bersedih hati. “:Arghhhhhhh!” teriaknya. Untung saja dia berada di jalanan yang sepi. Jalur ini selalu dilewatinya ketika menuju ke rumah. Jalur ini juga yang membawanya bertemu gadis itu, Rafethea.

Kakinya tiba-tiba bergerak cepat ketika ada sesuatu yang disadari olehnya. “Mungkin saja dia ada di bawah lampu itu,” gumamnya sembari terus melangkahkan kaki.

Sesampainya di lokasi yang dimaksud, matanya terbelalak; tidak ada siapapun. Tiba-tiba sebuah tangan menepuk punggungnya. Tangan yang halus dan lembut ketika menyentuh kulit berlapis kain. Dia menolehkan kepala.

Ada sesosok perempuan yang memiliki penampilan seperti Rafethea.

Bukan, ini bukan sepertinya lagi, ini memang dia, Rafetheaku, pikirnya.

Dia sudah tidak sanggup berkata kembali. Niat hati ingin memeluknya setelah berucap, “Rafethea?” Tapi, perempuan itu menatapnya dengan dingin. Taka mulai membalikkan badan sembari menyiapkan lisannya.

“Apa namamu Rafethea?”

Sebuah pertanyaan frontal tergelincir dari mulutnya. Butuh waktu sekian detik untuk menunggu respon. Perempuan itu tersenyum, lalu menggelengkan kepala.

“Aku Lazuardhy, kamu Arwantaka, kan?”

           

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Petrichor
4109      1380     2     
Inspirational
Masa remaja merupakan masa yang tak terlupa bagi sebagian besar populasi manusia. Pun bagi seorang Aina Farzana. Masa remajanya harus ia penuhi dengan berbagai dinamika. Berjuang bersama sang ibu untuk mencapai cita-citanya, namun harus terhenti saat sang ibu akhirnya dipanggil kembali pada Ilahi. Dapatkah ia meraih apa yang dia impikan? Karena yang ia yakini, badai hanya menyisakan pohon-pohon y...
Sebuah Musim Panas di Istanbul
320      219     1     
Romance
Meski tak ingin dan tak pernah mau, Rin harus berangkat ke Istanbul. Demi bertemu Reo dan menjemputnya pulang. Tapi, siapa sangka gadis itu harus berakhir dengan tinggal di sana dan diperistri oleh seorang pria pewaris kerajaan bisnis di Turki?
Perjalanan Kita: Langit Pertama
1328      651     0     
Fantasy
Selama 5 tahun ini, Lemmy terus mencari saudari kembar dari gadis yang dicintainya. Tetapi ia tidak menduga, perjalanan panjang dan berbahaya menantang mereka untuk mengetahui setiap rahasia yang mengikat takdir mereka. Dan itu semua diawali ketika mereka, Lemmy dan Retia, bertemu dan melakukan perjalanan untuk menyusuri langit.
Ręver
5503      1642     1     
Fan Fiction
You're invited to: Maison de rve Maison de rve Rumah mimpi. Semua orang punya impian, tetapi tidak semua orang berusaha untuk menggapainya. Di sini, adalah tempat yang berisi orang-orang yang punya banyak mimpi. Yang tidak hanya berangan tanpa bergerak. Di sini, kamu boleh menangis, kamu boleh terjatuh, tapi kamu tidak boleh diam. Karena diam berarti kalah. Kalah karena sudah melepas mi...
THE WAY FOR MY LOVE
406      311     2     
Romance
Story Of Me
3097      1115     6     
Humor
Sebut saja saya mawar .... Tidaak! yang terpenting dalam hidup adalah hidup itu sendiri, dan yang terpenting dari "Story Of me" adalah saya tentunya. akankah saya mampu menemukan sebuah hal yang saya sukai? atau mendapat pekerjaan baru? atau malah tidak? saksikan secara langsung di channel saya and jangan lupa subscribe, Loh!!! kenapa jadi berbau Youtube-an. yang terpenting satu "t...
Sanguine
4434      1449     2     
Romance
Karala Wijaya merupakan siswi populer di sekolahnya. Ia memiliki semua hal yang diinginkan oleh setiap gadis di dunia. Terlahir dari keluarga kaya, menjadi vokalis band sekolah, memiliki banyak teman, serta pacar tampan incaran para gadis-gadis di sekolah. Ada satu hal yang sangat disukainya, she love being a popular. Bagi Lala, tidak ada yang lebih penting daripada menjadi pusat perhatian. Namun...
ALVINO
4140      1839     3     
Fan Fiction
"Karena gue itu hangat, lo itu dingin. Makanya gue nemenin lo, karena pasti lo butuh kehangatan'kan?" ucap Aretta sambil menaik turunkan alisnya. Cowo dingin yang menatap matanya masih memasang muka datar, hingga satu detik kemudian. Dia tersenyum.
in Silence
392      268     1     
Romance
Mika memang bukanlah murid SMA biasa pada umumnya. Dulu dia termasuk dalam jajaran murid terpopuler di sekolahnya dan mempunyai geng yang cukup dipandang. Tapi, sekarang keadaan berputar balik, dia menjadi acuh tak acuh. Dirinya pun dijauhi oleh teman seangkatannya karena dia dicap sebagai 'anak aneh'. Satu per satu teman dekatnya menarik diri menjauh. Hingga suatu hari, ada harapan dimana dia bi...
Mamihlapinatapai
5454      1517     6     
Romance
Aku sudah pernah patah karna tulus mencintai, aku pernah hancur karna jujur tentang perasaanku sendiri. Jadi kali ini biarkan lah aku tetap memendam perasaan ini, walaupun ku tahu nantinya aku akan tersakiti, tapi setidaknya aku merasakan setitik kebahagian bersama mu walau hanya menjabat sebagai 'teman'.