Seperti itulah yang kurasakan saat ini; tersesat, kebingungan, dan tidak yakin ke mana harus melangkah. Jadi...Read More >>"> ALLBLACK (α - Nous (Bagian Pertama)) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - ALLBLACK
MENU
About Us  

Tempat tidak diketahui

Lokasi tidak diketahui

Waktu tidak diketahui

Apa yang akan kau lihat saat kau mati?

Serantai kata terlintas dalam benakku saat aku menatap lemah ke arah permainan warna hitam dan abu-abu di langit badai yang tampak murka. Pemandangan inilah yang pertama kali kulihat setelah entah apa yang sudah terjadi padaku dan entah sudah berapa lama aku tidak sadarkan diri. Serantai kata itu juga adalah hal pertama yang kupikirkan. Entah apa alasannya. Mungkin hanya instingku yang mencoba mencari tahu apa aku masih hidup.

Namun pertanyaanku tidak berubah; apa yang akan kulihat saat aku mati? Pikiranku terlalu lemah untuk melakukan simulasi. Meski pertanyaanku belum terjawab, bisa melihat semesta yang tak terbatas dengan jarak yang terbatas sudah pasti adalah pertanda bahwa aku masih hidup. Aku hanya bisa mengedip berulang kali sementara seluruh tubuhku serasa terseret ke atas dan ke bawah tanpa menyentuh permukaan yang padat. Aku tidak sedang jatuh, tapi sesuatu yang lain.

Ditambah, seluruh badanku terasa basah. Seluruh tubuhku juga terbalut kain yang tebal. Tetesan hujan yang jatuh ke wajahku pun memantul menari. sementara pakaian yang kukenakan menyerapnya. Merasakan sensasi terseret ke atas dan ke bawah ini, aku mulai sadar kalau aku sedang mengapung di atas lautan yang bergejolak dengan langit yang sedang mengamuk di atasku.

Indra pendengaranku perlahan mulai aktif, suara yang bisa kudengar hanyalah suara tetesan hujan jatuh dari langit dan gagal menembus timbunan air asin Bumi. Meskipun bukan musik, namun suaranya terdengar indah di telingaku. Terkadang aku sempatkan mengagumi bagaimana samudra bagai mengasihani diriku. Meski cuacanya begitu ganas dan ombak yang terus bergejolak, tidak pernah sekalipun samudra menggulungku ke dalam satupun ombaknya yang kokoh.

Bisa saja aku tenggelam sekarang, namun lautan ini bagaikan memiliki rencananya sendiri. Jika bicara secara teori, berat badanku tidak cukup untuk menekan kepadatan air asin samudra, itulah sebabnya aku tidak tenggelam. Namun aku tetap merasa bagaikan sedang dipermainkan oleh takdir.

Sejujurnya aku tidak yakin aku bisa selamat dari situasi ini. Sendirian di tempat yang luas seperti ini, meskipun aku memeras suaraku hingga habis, aku tidak yakin akan ada orang yang mendengar suaraku.

“...”

Meskipun aku mencoba, tidak ada sedikitpun suara keluar dari mulutku. Ketidakadaannya harapan dalam keadaanku ini, rasa dingin yang kurasakan di dalam balutan kain tebal lembab yang membalut tubuhku yang letih, ayunan lemah yang menenangkan dari nyanyian penidur badai, dan chiaroscuro yang dimainkan langit saat awan gelap menyembunyikan angkasa pudar, semuanya mengakibatkanku merasakan kantuk yang tidak terahankan oleh tubuhku yang sudah sangat lemas. Perlahan dan pasti, mataku terjerumus ke dalam pertempuran yang tidak mungkin kumenangkan melawan kantuk.

“...”

Ada orang mengapung di sana!

“...”

Selamatkan dia!

“...”

Siap?! Tarik!

“...”

Dia masih hidup?!

Apa dia bernafas?!

Bagaimana dia bisa ada di tempat seperti ini?!

“...”

Detak jantungnya terlalu lemah!

“...”

...

“...”

Kita sudah melakukan apa yang kita bisa, sisanya tergantung dia sendiri...

“...”

Mungkin aku hanya bermimpi, aku kira aku mendengar suara-suara masuk ke dalam indra pendengaranku saat aku sedang beristirahat dalam tidur tak bermimpi. Meski aku sedang tidur dalam tidur yang teramat dalam, tubuhku mulai mendapatkan kembali fungsi-fungsinya, hanya saja belum cukup untuk bisa membangunkanku. Justru pikiranku malah menciptakan sebuah mimpi. Bukan mimpi liar di mana aku mengalami sesuatu yang belum pernah kualami dalam saat-saat mengecewakan yang tak bisa dikalahkan yang kita sebut dengan nama ‘kenyataan,’ namun sebuah mimpi yang terasa sangat nyata. Mimpi itu memerangkapku dan membuatku kesulitan membedakan mana yang nyata dan mana yang bukan.

Kedua kelopak mataku mulai terangkat, kedua bola mataku mengenali sebuah meja kayu di hadapanku. Sementara sosokku terduduk di atas sebuah kursi dengan kedua tanganku tergeletak di kedua sandaran lengannya. Saat aku perlahan menaikkan kepalaku, aku bisa merasakan sedikit tolak balik dari gerakanku sendiri. Aku merasakan tubuhku sedikit berputar, saat itulah aku sadar bahwa aku sedang terduduk di sebuah kursi putar.

“Anda sudah bangun?”

Sebuah suara membuatku waspada, untuk sesaat aku berbalik dengan panik untuk mencari sumbernya. Namun bukannya menemukan dari mana asalnya, aku malah menyadari sebuah fakta yang menakutkan; tempat di mana aku berada ini benar-benar sebuah tempat yang tidak mungkin ada. Baik kursi, meja, dan sosokku berada di sebuah ruang luas di mana lantainya adalah hitam tak berdasar dan langit-langitnya adalah abu-abu tak beratap dan dindingnya—jikapun ada—adalah gradasi antara hitam dan abu-abu tak berujung.

“Tidak perlu panik, ingatlah bahwa saya sudah berjanji untuk tidak menyakiti Anda.”

Sontak aku beranjak dari kursi tempatku duduk, sambil berusaha mencari asal suara itu. Sudah kucoba memindai setiap sudut dari tempat ini—dari belakang berputar hingga ke belakangku lagi—namun masih tidak bisa kutemukan, aku benar-benar sendirian di tempat ini.

“Silahkan, ———, duduklah, saya akan jelaskan semuanya.”

Aku balikkan badanku dengan terkejut, kali ini karena aku yakin bahwa suara itu datang dari belakangku. Kedua bola mataku mengembang saat aku menemukan sesosok siluet hitam seorang pria berdiri di belakang meja. Seluruh sosoknya ditutupi kegelapan hingga sulit bagiku melihat apapun bagian tubuhnya. Namun dari siluetnya, yang bisa kulihat hanyalah bahwa tingginya yang sekitar 170 centimeter dan mengenakan sejenis mantel dokter.

[Sebentar, bagaimana dia memanggilku tadi?]

Dia hanya baru mengatakan tiga kalimat dan di kalimat terahirnya dia baru saja menyebut namaku. Aku bisa ingat semua yang ia katakan. Namun berapa kalipun aku mengulang apa yang ia katakan dalam benakku, aku tidak bisa mendengar namaku yang ia ucapkan.

“Saya paham bahwa Anda sudah bersedia mengikuti program kami—”

“Apa panggilanmu padaku tadi?!”

Aku beranjak dan berjalan mengitari meja untuk mendekatinya dengan beringas. Namun saat kuayunkan tanganku untuk meraih kerahnya, tanganku hanya menembusnya seakan aku mencoba untuk menyentuh hantu. Sosoknya juga menghilang saat jariku menyentuh siluetnya. Menghilangnya sosok itu membuatku berputar-putar dengan panik mencari sosoknya. Meskipun sosoknya sudah hilang, suaranya masih bisa terdengar melanjutkan perkataannya dari punggungku.

“...dan saya berterima kasih atas kesediannya. Percayalah pada saya saat saya bilang Anda akan sangat berjasa jika anda berhasil.”

Begitu aku berbalik, aku menemukan bahwa logika di tempat ini sudah dibengkokkan. Meja yang harusnya sudah kuitari dan berada sekitar empat langkah dariku kini tiba-tiba sudah berada tepat di hadapanku. Karena merasa ketakutan, aku mengambil sebuah langkah mundur. Namun punggung pahaku menabrak sesuatu yang membuatku kehilangan keseimbangan. Aku siapkan pantatku untuk mendarat di atas sesuatu yang padat, namun jatuhku berhenti di tengah jalan dan mendarat di sesuatu yang kukenali; si kursi berputar.

Aku benar-benar kaget, aku sampai tertegun dan mulai terengah-engah, tidak hanya dari hidung, namun juga dari mulutku yang menganga. Segera aku sadar bahwa aku harus tenang. Dimulai dengan berhenti bernafas lewat mulutku dan menutup bibirku. Perubahan jalur nafas yang tiba-tiba membuatku tersedak ludahku sendiri. Namun aku sedikit terbantu, aku sudah sedikit merasa lebih tenang.

Namun aku masih belum bisa memahami apa yang terjadi di sini, bahkan aku mulai meragukan jika aku masih hidup. Karena semuanya—meliputi ‘ruangan’ ini, kursi ini, meja di hadapanku, sensasi menangkap hantu yang kurasakan saat kumencoba menangkap sosok misterius itu, sensasi yang kurasakan saat aku tersedak ludahku sendiri, dan sensasi yang kurasakan saat terjatuh ke atas kursi ini—terasa terlalu nyata untuk sebuah mimpi.

“Mulai saat ini, Anda akan tinggal di tempat ini. Anda akan mendapatkan segala yang Anda inginkan, namun kami harapkan Anda siap kapanpun Anda kami butuhkan.”

Meskipun aku punya beberapa pertanyaan berdasarkan dari apa yang ia katakan—seperti apa panggilannya padaku, apa yang dia maksud dengan ‘program,’ atau siapa dia sebenarnya—aku sudah menyerah untuk bertanya. Satu-satunya yang kuinginkan hanyalah keluar dari tempat ini.

“Sesekali, saya akan memonitor keadaan Anda secara pribadi. Tidak ada jadwal pasti, saya akan melakukannya secara sporadis—”

“Diam! Keluarkan aku dari sini!”

Aku berteriak sekeras yang aku bisa, namun dia tidak bereaksi. Bahkan aku menyadari bahwa teriakanku tidak bergema, seakan ‘ruangan’ ini tidak memiliki batas—bagaikan sebuah tempat yang tak terhingga.

“...hanya itulah yang perlu Anda ketahui untuk saat ini. Seorang petugas akan mengantarkan Anda ke kamar Anda. Jika Anda butuh sesuatu, Anda bisa langsung beritahu saja pada kami.”

Aku tidak bisa menahan ketidaksabaranku lagi, tidak jika aku memang akan terperangkap di ruangan ini selamanya. Aku ingin berteriak, sekeras mungkin hingga paru-paruku pecah. Aku berdiri dari kursi tempatku duduk dan membanting kedua tanganku ke atas meja kayu di hadapanku.

“Kau tuli, hah?! Aku ingin ke—”

Dalam sekejap, aku bisa merasakan sesuatu. Aku mulai bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang tidak. Rasanya sama seperti seakan aku diculik, penculiknya lalu menutup kedua mataku, kemudian membawaku naik ke dalam sebuah pesawat, dan melemparku ke luar pesawat saat sedang terbang.

“—LUAR!!!”

Aku terbangun dari tidurku sambil masih melanjutkan hal terakhir yang kulakukan di dalam mimpi; berteriak sekuat tenaga hingga nafasku habis. Suaraku begitu kencang, hingga hanya suaraku yang bisa kudengar sampai sepuluh detik kemudian. Perubahan kesadaran yang tiba-tiba seperti ini membuatku sedikit kebingungan, namun hanya butuh sesaat sebelum aku bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan baruku.

Segera begitu aku berhenti berteriak, kelima indraku mulai bekerja dengan sendirinya. Hal pertama yang aku lakukan adalah mencoba memahami apa yang sudah terjadi. Aku harus tahu di mana aku berada sekarang. Saat ini, aku sedang terduduk di atas sebuah kasur dalam sebuah kamar putih dengan satu tempat tidur tempatku terduduk saat ini. Kalu ada satu meja dengan kursi, sebuah cermin, sebuah jaket tergantung di sebelahnya, dan sebuah kabinet obat-obatan.

Setelah beberapa detik, aku bisa merasakan kepalaku mulai pusing akibat ruangan ini yang berayun pelan. Aku pun sadar bahwa kamar ini adalah bagian dari sebuah kapal. Tidak lama setelahnya, aku mulai mendengar suara langkah kaki berderap-derap dari luar kamar ini. Ruangan ini tidak punya pintu, hanya sebuah lubang persegi yang ditutupi tirai.

Semakin suara derapan langkah kaki terdengar mengeras, instingku mulai bekerja. Aku pindai ruangan ini mencari senjata untuk mempertahankan diri karena aku sendiri masih kurang tahu di mana aku sekarang. Namun sayangnya aku tidak melihat sesuatu yang bisa berguna.

[Ah!]

Tiba-tiba suara kain disibak memaksaku untuk memindahkan fokus; dari mencari senjata ke arah mulut pintu kamar yang ditutupi kain. Di sana berdiri dua pria bertubuh tegar yang memakukan pandangannya ke arahku untuk beberapa saat.

“DIA SUDAH BA—”

Pria kedua berteriak. Meskipun berhasil memberi isyarat teriakan, aku berhasil membungkamnya dengan melempar bantal ke wajahnya. Tidak kusangka, lemparanku cukup kuat untuk menghempaskannya ke belakang hingga keluar dari mulut pintu. Melihat itu, pria satunya langsung berlari ke arahku sambil terlihat beringas. Aku bisa membaca gerakannya, dia sedang mencoba mengunciku ke atas kasur tempatku terduduk ini.

Sebelum dia bisa mendekatiku, aku sudah lebih dulu melompat ke arahnya dan mendaratkan kaki kananku ke pundak kirinya. Kumanfaatkan arah jatuh dan berat badanku untuk menjatuhkannya. Berat badanku tidak cukup berat untuk menguncinya ke lantai, namun aku berhasil menghimpun cukup gaya untuk mendorongnya dengan menghentakkan kaki kananku yang masih menempel di pundaknya.

Dia terhempas ke arah dinding dan punggungnya bertabrakan dengan kabinet obat yang tergantung. Isinya berhamburan keluar dan jatuh ke lantai. Beberapa obat-obatan dalam botol juga sampai tumpah keluar begitu botol-botolnya pecah saat menyentuh lantai. sementara beberapa botol lain yang terbuat dari plastik hanya memuntahkan isinya karena tutupnya yang lepas saat jatuh.

Di antara pil-pil yang berserakan di lantai, aku melihat ada gunting yang juga ikut terjatuh dari kabinet obat. Menyadari lawanku masih mencoba bangkit dari seranganku barusan, aku ambil kesempatan ini untuk mengambil gunting dari lantai dan menggenggamnya erat di tangan kananku.

Begitu aku sudah menggenggam guntingnya, pria itu menabrakkan pundak kanannya ke dadaku sambil tangan kirinya menangkap lengan kananku. Kekuatan dari serangannya mendorongku ke belakang, cukup kuat untuk menabrakkan punggungku ke arah dipan kasur. Dia mengunci badan atasku ke atas kasur dan cengkramannya di lengan kenanku terasa sangat erat hingga memaksaku untuk melepaskan gunting yang kugenggam. Bahkan tangan kiriku yang bebas masih kurang kuat untuk mencakar wajahnya mencoba untuk membebaskan diriku.

Tiba-tiba aku sadar bahwa kedua kakiku masih bebas. Tidak butuh lama hingga aku menarik kedua kakiku ke atas ke arah perut lawanku dan mendorongnya dengan seluruh kekuatanku. Dia tertatih-tatih berjalan mundur mencoba untuk meraih keseimbangan, namun pil-pil di lantai tidak membuatnya mudah. Hingga akhirnya dia terpeleset, jatuh ke lantai dan punggung kepalanya terantuk ke dinding.

Dia mengerang kesakitan. Mungkin jatuhnya sudah membuat kepalanya pusing. Suara kepalanya terantuk dinding juga cukup keras untuk mengalihkan perhatianku untuk beberapa saat sampai aku sadar bahwa di luar ruangan ini sudah ada suara derap langkah kaki yang terdengar ramai. Segera aku pindahkan pandanganku ke arah gunting di sebelah kananku. Aku putar badanku dan meraihnya dengan tangan kiriku karena tangan kananku masih terasa sakit.

Dari sudut mataku, aku melihat ada empat pria berdiri di mulut pintu. Menatapku dengan heran setelah mereka melihat pria yang kujatuhkan sudah terkapar di dinding. Aku eratkan genggamanku pada gunting di tangan kiriku sambil mengatur nafas. Kaki kiriku perlahan mencoba meraih lantai dan mencari dasar yang padat sementara kaki kananku masih terduduk di atas kasur bersama bagian lain dari tubuhku, bersiap untuk menerjang ke arah mereka.

“Cepat! Tahan dia!”

Tiba-tiba sebuah suara memerintah dari luar. Suara itu mengalihkan perhatian kami semua, namun juga memberiku kesempatan untuk menyerang duluan. Aku terjang maju ke depan sambil menggenggam gunting dan berlari ke arah mereka. Hanya ada sedikit kemungkinan aku bisa menang melawan empat orang. Namun memanfaatkan ketidaksigapan mereka, mungkin aku bisa menangkap salah satu dari mereka dan menjadikannya sandera.

Hanya butuh tiga langkah sampai aku mencapai pria yang berdiri paling depan. Namun sayangnya langkah pertamaku langsung membuat mereka siaga. Pria yang berdiri paling depan berhasil mengelak serangan pertamaku. Namun dia tidak melakukan apa-apa setelahnya. Pria yang lain melanjutkan dengan menangkap lengan kiriku dan pria lain menerjang dadaku. Keduanya mendorongku ke belakang ke arah kasur.

Setelah mereka berdua mengunciku, kedua pria lainnya ikut mengunciku, membuatku semakin sulit membebaskan diri. Pria yang menggenggam lengan kiriku lalu menggigit tanganku, membuatku berteriak kesakitan dan terpaksa melepaskan genggamanku. Entah apa yang dilakukannya dengan gunting itu. Aku tidak bisa melihatnya. Aku sudah siap menghadapi situasi terburuk. Namun selama aku menunggu, mereka hanya terus mengunci gerakanku tanpa berbuat apapun yang bisa melukaiku dengan fatal.

Di tengah kekacauan ini, aku melihat ada satu orang lagi yang memasuki ruangan. Dia berjalan cepat ke arahku dan mencoba melihatku tanpa harus membiarkan orang-orangnya melepaskan cengkraman mereka dariku. Sejujurnya, aku mulai berpikir kalau dia adalah pimpinan mereka—seseorang yang bertanggung jawab atas keadaanku sekarang.

Dengan seluruh kekuatan yang masih tersisa dalam tubuhku, aku mengangkat tubuhku mencoba untuk berdiri. Aku sendiri terkejut mengetahui kalau ternyata aku masih cukup kuat untuk melawan mereka. Meskipun sangat sulit, akhirnya aku bisa melihatnya, seorang pria yang berdiri mengenakan sweater hijau. Perlahan dia mundur menjaga jaraknya denganku. Empat orang masih menahanku sekuat tenaga mereka. Satu menarik lengan kiriku, satu menaruk tangan kananku, dan dua lainnya mengunci leherku, namun semua usaha mereka tidak berarti. Aku masih lebih kuat dari mereka berempat.

“Tidak perlu panik...”

Pria di hadapanku perlahan mendekatiku, dia mengangkat tangan kanannya ke arah keningku. Saat itu aku bisa merasakan sebuah sensasi lembab di daerah kumisku. Sejenis cairan menetes dari lubang hidungku ke gigi-gigiku yang terentak. Dari situ bisa kurasakan sedikit rasa asin bagai garam.

“Tenanglah! Kau berdarah!” perintah pria itu dengan keras. Bahkan tanpa perintahnya, perlahan kekuatanku sirna. Aku mulai merasa lemah, bahkan tidak cukup kuat untuk berdiri. Juga perlahan, cengkraman keempat pria mulai melemas. Namun tanpa dukungan mereka aku tidak mampu berdiri sendiri.

Begitu aku kehilangan keseimbangan, pria di hadapanku menangkapku. Sosoknya yang sedikit lebih tinggi dariku membuatku harus menengadah agar aku bisa menatap kedua matanya.

“Apa yang terjadi? Di mana aku? Apa yang—”

Dengan lemah aku lontarkan pertanyaan-pertanyaan beruntun karena aku sendiri tidak yakin berapa lama lagi aku akan sadar. Aku berharap setidaknya dia menjawab satu saja pertanyaanku.

“Tenanglah, aku tahu kau punya banyak pertanyaan.”

“Jawab saja— Tunggu dulu— Siapa... aku...?”

“Istirahatlah...” suaranya perlahan memudar seiring kesadaranku yang mulai melemah, “kita bicara nanti.”

“...”

“...”

Lagi, aku terjatuh ke dalam tidur tak bermimpi. Namun aku masih terlalu tidak tenang untuk beristirahat. Berikutnya kusadari bahwa aku sudah kembali ke ruangan itu. Sebuah ruangan dengan satu meja dan kursi. Aku angkat tanganku ke atas meja, sekali dua kali aku mencoba menepuk tanganku. Sensasi sentuhan yang kurasakan dan suara yang dihasilkan terasa begitu nyata. Meski demikian aku sangat ragu kalau tempat ini nyata.

“Tempat apa ini?”

Pertanyaan lain. Seakan masih belum cukup hal yang membuatku bingung saat ini. Kesendirian yang diberikan tempat ini memberiku kedamaian untuk mencerminkan diriku. Aku mencoba untuk menjawab semua pertanyaan yang sendiri, namun aku kekurangan petunjuk untuk menyusun fakta.

“Apa yang terjadi padaku?” itulah pertanyaan pertamaku, “apa alasan yang membuatku berakhir di sini?”

Hal terakhir dan—ironisnya—hal pertama yang bisa kuingat adalah terbangun menatap langit badai sambil terhanyut di atas samudra.

“Tapi apa yang membuatku berakhir di sini? Brengsek! Aku tidak bisa ingat apa-apa!”

Kutangkupkan kedua telapak tanganku ke atas kepalaku dan menggarukkannya dengan kesal. Aku merasa marah pada diriku sendiri yang tidak tahu apa-apa.

“Siapa aku?!” tanyaku pada diri sendiri. “Apa yang sudah kulakukan sampai nasibku jadi seperti ini?!”

Selamat siang, ———.

“Apa?”

Hal ini terjadi lagi. Aku tidak sendirian. Ada orang lain atau sesuatu yang mencoba berkomunikasi denganku. Bukan hanya itu. Dia juga memanggil namaku namun aku tidak bisa mendengarnya menyebut namaku.

“Siapa di sana?!”

Aku melihat sekelilingku, setidaknya mengharapkan suara lain. Kumohon biarkan aku percaya kalau aku belum gila.

Siapa di sana?

Suara lain, namun aku tidak suka dengan suara itu. Aku tahu persis suara itu, suara serak itu adalah suaraku.

Apa suaraku bergema? Suara tadi jelas-jelas suaraku, suaraku yang berbicara kepada suara yang satunya lagi. Aku tidak bisa ingat, namun aku merasa seperti sudah tahu apa yang akan kukatakan. Apakah aku yang mengendalikan ruangan ini? Atau justru aku yang dikendalikan ruangan ini?

“Saya yang bertanggung jawab atas project ini.”

Tiba-tiba sesosok siluet hitam seorang pria muncul dari sebelah kananku. Dia mengitariku hingga ke sisi lain meja sampai aku bisa melihat seluruh sosoknya. Dia benar-benar berbeda dari sosok yang kutemui di kunjungan terakhirku ke ruangan ini. Sosok yang ini sedikit lebih tinggi, sekitar 180 centimeter, dia juga mengenakan setelan dan rambutnya disisir rapih ke belakang.

“Berarti Anda pasti Doktor Einhorn...”

Berarti Anda pasti Doktor Einhorn.

Aku menebak dengan tepat apa yang akan dikatakan oleh diriku yang tidak ada wujudnya. Akhirnya aku menyadari bahwa semua ini bukanlah sesuatu yang sedang terjadi, namun sesuatu yang sudah terjadi padaku. Ruang ini adalah tempat perwujudan ingatanku. Namun tidak peduli seberapa keras aku mencoba, aku tidak bisa ingat apapun tentang Doktor Einhorn, bagaimana dia memanggilku, atau apapun yang sudah terjadi di ruangan ini.

Siluetnya mendekatiku yang masih tertuduk di belakang meja dan menawarkan tangannya untuk berjabatan. Dengan ragu aku angkat tanganku dan menjawab gesturenya. Namun betapa terkejutnya aku saat aku merasakan tekstur yang padat saat aku menyentuh tangannya. Sensasinya sangat jelas, kulit, daging, dan otot. Jabatannya sangat erat, namun juga lemah lembut, rasanya seperti berjabat tangan dengan patung, namun jauh lebih hidup.

“Bagaimana kemajuan Anda?”

Saya masih mencoba membiasakan diri, kalau boleh tahu, apa yang Anda harapkan saya untuk capai?

Saat dia bicara, aku sudah tahu bagaimana jawabanku akan keluar. Namun di sisi yang sama, aku merasa bahwa aku belum pernah mengalami semua ini. Rasanya bagai merasakan ulang sebuah pengalaman yang belum pernah kualami sebelumnya. Meski aku yang mengalami semua ini, namun aku hanya bisa menonton.

“Bukahkah bawahanku sudah memberitahumu?”

Ya, tapi tidak sampai detail.

“Baiklah, apa yang ingin kau ketahui?”

Bisa mulai dari awal?

“Aku tidak tahu bagaimana harus mengawalinya...”

Sesaat dia berpikir, mungkin memikirkan apa yang harus dia katakan selanjutnya.

“...apa kau suka dengan dunia ini?”

Maaf?

“Apa pendapatmu dengan dunia yang dikendalikan oleh orang tua dan lemah yang memanipulasi mereka yang muda dan kuat untuk melindungi apa yang mereka punya dan mendapatkan apa yang bukan hak mereka?”

...

Untuk sesaat, suaraku terdiam, bahkan jika aku memang sudah mengalami semua ini, aku tidak tahu bagaimana aku harus merespon pertanyaan semacam itu.

Entalah, tapi sepertinya aku tidak suka.

“Tentu saja. Di masa mudaku, aku sudah membunuh terlalu banyak nyawa sebelum aku memahami betapa berharganya satu jiwa manusia, bukan bagiku, namun bagi seseorang yang peduli pada mereka.”

Anda mantan prajurit?

“Ya, masa laluku adalah sesuatu yang tak bisa tergantikan oleh perbuatan sebaik apapun.”

...

“Aku tidak pernah merasa bahagia, dan aku tidak ingin orang lain merasakan hal yang sama.”

Karena itu Anda memilih untuk mengubahnya?

“Ya, dan kau adalah kuncinya.”

Maksud Anda?

“Kau tahu apa itu time travel, kan?”

Ya, apa hubungannya denganku?

“Dua tahu lalu, aku menyaksikan sebuah peristiwa yang mungkin adalah peristiwa paling berpengaruh dalam hidupku.”

Peristiwa apa?

“Ceritanya panjang, namun cukup untuk membuatku memutuskan untuk mengubah dunia.”

Tapi apa hubungannya dengan... time travel?

Tanpa konteks, aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Apa yang dimaksud Doktor Einhorn dengan time travel? Apa yang terjadi di antara kami? Aku mulai memahami pentingnya Doktor Einhorn untukku. Cukup untuk membuatku percaya bahwa jika aku ingin tahu apa yang sudah terjadi padaku, aku harus mencarinya.

“Sejujurnya, aku belum bisa bilang apa-apa karena aku sendiri belum seluruhnya yakin bahwa aku benar.”

Lalu apa yang akan terjadi jika Anda salah?

“...” dia terdiam untuk beberapa saat, dengan wajahnya yang hampa menatapku dalam. Anehnya, meski hanya siluet, aku bisa merasakan sesuatu dalam tatapannya yang tak berwajah. Semacam simpati. Seakan aku pernah menaruh kepercayaan yang sangat dalam padanya. “Pilihannya ada padamu untuk dipilih dan diperjuangkan. Aku hanya bisa menuntunmu di atas jalannya—jalan yang bahkan aku tidak yakin ada.”

“Doktor Einhorn?”

Tiba-tiba sebuah suara lain mengganggu pembicaraan kami. Suara itu memindahkan perhatian Doktor Einhorn dariku. Dia berbalik dan menghadap ke arah kananku, menatap kosong ke sesuatu yang tidak ada. Dia bagaikan berbicara lewat matanya. Setelah beberapa saat, dia mengangguk dan kembali menghadap ke arahku.

“Sepertinya sesi kita untuk kali ini harus diakhiri sampai di sini saja. Kita lanjutkan lagi nanti.”

Dia lalu berjalan mengitariku lewat sebelah kananku, aku pakukan mataku kepadanya, mengikuti gerakannya hingga aku melihatnya menghilang perlahan saat ia mencapai bagian belakang kursi yang kududuki.

Aku ditinggal di sini seorang diri, tanpa ada yang bisa dilakukan. Pembicaraannya dengan suaraku yang tak memiliki wujud tidak membantuku sama sekali, justru meninggalkanku dengan lebih banyak pertanyaan untuk dijawab. Aku tangkupkan wajahku ke kedua telapak tanganku yang bersandar pada lututku, seraya menutup mataku dengan erat sambil berharap saat aku membukanya, semua ini hanyalah mimpi buruk.

Hey, ———!

Sebuah suara tak berwujud lain bisa terdengar. Namun suara ini terdengar berbeda dengan suara-suara yang pernah kudengar sebelumnya. Suara ini begitu lembut, menenangkan, dan menghanyutkan. Suara ini juga memanggil namaku. Namun kemampuanku untuk menangkap suara menghalangiku untuk mendengar namaku. Suara itu juga terdengar sangat akrab, cukup untuk membuatku mencari asal suara itu.

Setelah berputar lebih dari setengah lingkaran—sedikit jauh dari kursi tempatku sekarang—aku bisa melihat satu sosok berwarna putih melambaikan tangannya ke arahku. gerakannya yang mengulang-ulang itu seakan mengundangku untuk mendekatinya. Aku beranjak dari kursi yang kududuki sambil menjernihkan pikiranku, dan perlahan kudekati sosok yang berdiri lumayan jauh itu.

Ayo!

Gerakannya berhenti, dia berhenti melambaikan tangannya ke kiri dan kanan lalu mulai melambaikan tangannya ke depan dan ke belakang. Aku pun mulai mengenali bahwa sosok itu adalah seorang perempuan.

Semakin dekat aku berjalan, semakin jelas bahwa sosok itu membentuk sebuah siluet. Seperti siluet Doktor Einhorn, hanya saja berbeda warna. Rambutnya yang sepanjang pinggang berayun mengikuti gerakannya. Tampak ia mengenakan gaun terusan panjang sepanjang lututnya dan sebuah topi anyaman lebar.

Cepatlah!

Saat aku kira-kira butuh lima belas langkah lagi sebelum mencapainya, dia menurunkan tangannya dan mulai berlari menjauhiku. Saat dia berlari menjauh menciptakan jarak, aku bisa mendengarkannya tertawa, seakan dia ingin aku menangkapnya.

“Tunggu!”

Dia sudah membuat jarak yang lumayan jauh dariku sebelum aku mulai berlari mengejarnya. Dia tidak berlari kencang, tidak butuh usaha keras sampai aku menangkapnya. Namun saat aku menyentuh sosoknya, tubuhnya pecah menjadi ratusan burung gagak putih yang mengepakkan sayapnya terbang ke atas dan menghilang di langit abu-abu. Kejutan ini memaksaku untuk melindungi wajahku dengan menyilangkan kedua tanganku. Namun anehnya, suara tawanya tidak menghilang, aku masih bisa mendengarnya dari suatu tempat. Aku putarbalikkan wajahku ke kanan dan ke kiri untuk mencarinya.

Hey, ———!

Aku bisa mendengar suaranya lagi. Namun bukannya mendekatinya, aku justru berpaling dan mencoba untuk tidak menghiraukannya. Namun ke manapun aku berpaling, aku masih bisa melihatnya berdiri jauh di hadapanku.

“CUKUP!”

Kulepaskan amarahku dengan berteriak sekeras mungkin. Namun karena teriakanku, langit dan tanah di tempat ini mulai berputar. Tanah hitamnya bergerak memutar ke depan sementara langit abu-abunya bergerak memutar ke belakang hingga tanah hitam berhenti di tempat langit abu-abu dan langit abu-abu berhenti di tempat yang dulunya ditempati oleh tanah hitam. Namun berkat itu juga, suara panggilan dan tawa sosok cahaya putih itu berhenti.

Perubahan paradigma tempat ini yang tiba-tiba membuatku ketakutan, membuatku ingin cepat-cepat meninggalkan tempat ini lagi. Untuk sekitar empat kali, aku memalingkan wajahku ke depan dan ke belakang mencari meja dan kursi tempatku datang atau—lebih baik lagi—pintu keluar. Namun sayangnya aku tidak menemukan apa-apa. Hingga tiba-tiba aku melihat sosok cahaya putih itu lagi. Namun kini dia bergelantungan dari langit-langit tanah hitam, menatapkan wajah hampanya ke dalam mataku.

“Kau terlamba~t!”

“Huh?”

Dia menyentuh keningku dengan telunjuknya. Sentuhannya membuatku tersentak hingga aku menutup kedua mataku. Sentuhannya memicu keruntuhan tempat ini, sensasi sentuhannya segera terlupakan oleh ledakan angin dari sekelilingku. Entah apa yang terjadi di tempat ini, namun hal berikutnya yang kusadari adalah aku kehilangan kesadaran. Jatuh ke dalam tidur tenang tak bermimpi. Waktu berjalan, dunia berputar, semuanya tanpaku.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 1 2
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Doa
405      292     3     
Short Story
Berhati-hatilah dengan segala pemikiran gelap di dalam kepalamu. Jika memang sebabnya adalah doa mereka ....
LUCID DREAM
482      329     0     
Short Story
aku bertemu dengan orang yang misterius selalu hadir di mimpi walapun aku tidak kenal dengannya. aku berharap aku bisa kenal dia dan dia akan menjadi prioritas utama bagi hidupku.
Petrichor
5532      1279     2     
Romance
Candramawa takdir membuat Rebecca terbangun dari komanya selama dua tahun dan kini ia terlibat skandal dengan seorang artis yang tengah berada pada pupularitasnya. Sebenarnya apa alasan candramawa takdir untuk mempertemukan mereka? Benarkah mereka pernah terlibat dimasa lalu? Dan sebenarnya apa yang terjadi di masa lalu?
Bells Flower
358      238     2     
Short Story
Bella mendekati ibunya. Dia mencoba untuk melepaskan ikatan namun tak bisa. Mata sang ibu melotot dengan mulut terbuka, menatap tajam ke arah Bella. Mulut terbuka itu menyemburkan kunyahan kelopak bells flower ke wajah Bella. Bau menyengat dan busuk jadi satu. Seketika Bella bangun dari mimpinya.
NADI
5518      1461     2     
Mystery
Aqila, wanita berumur yang terjebak ke dalam lingkar pertemanan bersama Edwin, Adam, Wawan, Bimo, Haras, Zero, Rasti dan Rima. mereka ber-sembilan mengalami takdir yang memilukan hingga memilih mengakhiri kehidupan tetapi takut dengan kematian. Demi menyembunyikan diri dari kebenaran, Aqila bersembunyi dibalik rumah sakit jiwa. tibalah waktunya setiap rahasia harus diungkapkan, apa yang sebenarn...
LUCID DREAM
461      326     2     
Short Story
aku mengalami lucid dream, pada saat aku tidur dengan keadaan tidak sadar tapi aku sadar ketika aku sudah berada di dunia alam sadar atau di dunia mimpi. aku bertemu orang yang tidak dikenal, aku menyebutnya dia itu orang misterius karena dia sering hadir di tempat aku berada (di dalam mimpi bukan di luar nyata nya)
Mask of Janus
17418      3079     9     
Fantasy
"Namun, jangan pernah memberikan topeng kepada mereka yang ingin melakukan hal-hal jujur ... karena mereka akan mengambil dunia dari genggamanmu." Vera van Ugde tidak hanya bermain di depan layar sebagai seorang model internasional, tetapi juga di belakang layar di mana dunia gelap berada. Vera adalah seorang mafia. Hanya saja, sekelompok orang--yang memanggil diri mereka sebagai par...