Awal semester genap, Bang Elang dan Bang Alca sibuk dengan proposalnya. Bang Alca akan seminar proposal minggu depan, cepat juga proses revisi proposalnya. Waktu mereka bermain jadi berkurang, sekarang mereka asyik di perpustakaan atau paling tidak di jurusan mengurus proposal mereka. Hari ini aku cuma mengambil satu mata kuliah, Lara mengambil dua mata kuliah jadi saat selesai kuliah pagi tadi kami pisah. Lara ambil kuliah lain dan aku pergi ke sini, taman kampus. Hari masih pagi masih jam 10 pagi, suasana taman masih sepi dan cuaca juga tidak terik. Aku berjalan di jalan setapak taman melangkah dengan santai sambil menatap rerimbunan pepohonan. Aroma pinus yang banyak tumbuh di taman ini memberikan kesegaran apalagi masih pagi. Bangku-bangku taman berjejer di sisi jalan. Ada beberapa mahasiswa duduk di bangku-bangku itu. Ada juga yang duduk di atas rerumputan hijau yang terpangkas rapi. Suara burung berkicau merdu, ku tatap ke atas. Jalanan ini diatapi dedaunan pohon yang saling menyatu, yang tumbuh di tepian jalan setapak ini. Suasana yang menyejukkan. Nanti saat aku sudah selesai dari kampus ini, pasti hal ini yang akan ku rindukan dari kampus tercinta juga kisah indah di dalamnya. Aku melangkah ke arah kolam di tengah taman. Aku mencari posisi duduk yang nyaman di taman ini yaitu di bawah pohon di dekat kolam. Hmmm... aku menatap kolam di depanku teratai putih menghiasi permukaannya. Ku melihat ada seekor kodok melompat ke dalam kolam. Aku tersenyum teringat di awal perkuliahan dulu mencari kodok kemari bareng Bang Alca. Teringat Bang Alca, aku mendesah pelan ternyata aku punya perasaan lain padanya selain perasaan seorang adik. Beberapa hari ini aku sudah memikirkan semua ini dan akhirnya mengakui pada diriku sendiri kalau aku menyukainya. Aku selalu merindukannya setiap tidak melihatnya, selalu cemburu kalau dia lebih dekat dengan Lara. Aku selalu suka dengan senyumnya...tawanya. Mataku selalu tertuju padanya huhh... Padahal dia sudah mengangapku sebagi adiknya. Apa yang harus aku lakukan... Aku memeluk kedua lututku dengan kedua tanganku. Lalu aku meletakkan daguku di atas lututku. Sebelah tanganku meraih batu kecil yang ada di dekat kakiku dan melempar batu itu ke kolam.
“Nah kan melamun lagi...” sebuah suara mengagetkan aku, aku menoleh. Bang Alca... Kenapa dia bisa muncul disini... Bang Alca lalu duduk di sisiku duduk sangat dekat sampai aku merasakan pergerakan tangannya meski tidak tersentuh. Aku kembali memeluk kedua lututku dengan kedua tanganku dan menaruh daguku di atas kedua lututku. Bang Alca duduk bersila.
“Kenapa?” ucapnya sambil menyenggol tanganku yang memeluk kedua lututku dengan sikunya membuatku sedikit terdorong. Pelukanku terhadap kedua kakiku terlepas.
“Nggak ada, cuma sedang menikmati alam aja. “ ucapku, sambil kembali memeluk kedua lututkuku dan meletakkan daguku di atas kedua lututku.
“Hmmm...alasan yang sudah biasa...” ucapnya, aku tersenyum kecil habis nggak tahu lagi kasi alasan apa.
“Nggak ada kuliah lagi...” ucapnya.
“Nggak tadi cuma satu...” jawabku tanpa menoleh padanya.
“T’rus ngapain di sini kenapa nggak pulang aja...” ucapnya.
“Malas, pengen menikmati pagi disini...” ucapku.
“Abang ngapain di sini...” ucapku sambil mengulurkan tanganku ke rerumputan di dekat kakiku. Aku memetik daunnya pelan...
“Baru dari jurusan dan semua sudah selesai, undangan untuk dosen penguji, dosen pembimbing dan semua persiapan untuk seminar proposal minggu depan.” ucapnya aku meliriknya.
“Jadi sekarang tinggal menunggu hari H dan saatnya sedikit santai di taman kampus.” ucapnya sampil menjulurkan kakinya ke depan dan meletakkan tangannya ke rerumputan di belakangnya untuk menopang tubuhnya. Semilir angin menambah sejuk suasana...
“Oh...” ucapku, aku menoleh padanya dengan masih membiarkan daguku di atas lututku. Bang Alca juga sedang melihat ke aku, mata kami bertatapan tepat di kedua bola matanya yang hitam. Aku nggak bisa menterjemahkan arti tatapan matanya. Mata itu begitu sulit ku tebak, meski dia menatap dengan lembut. Ingin rasanya seperti ini terus menatapnya dengan begitu dekat. Aku tersadar dan langsung memalingkan wajahku. Dadaku berdesir halus dan menghangat.
“Memang menyenangkan duduk di sini...” ucap Bang Alca, aduh kok aku bisa menatapnya seperti itu. Apa yang di pikirkan abang itu terhadapku? Huh...kali ini aku ngak bisa melarikan diri. Alasan apa lagi yang ku cari untuk pergi... Aku melepaskan kedua lututku dan menjulurkannya ke depanku seperti Bang Alca.
“Suasana taman ini pasti yang aku rindukan saat selesai dari kampus ini.” ucapnya, tepat seperti apa yang ku pikirkan tadi. Aku menoleh padanya kali ini dia tidak melihatku dia menatap ke langit.
”Langit yang biru di atas taman yang menghijau...” ucapnya lagi. Yah...kita sama-sama akan merindukan suasana ini tapi bedanya adalah aku juga akan merindukanmu berada di sini... Sedangkan kamu mungkin tidak... Aku ikutan melihat langit yang cerah saat ini langit biru sebiru hatiku. Suasana menjadi hening hanya sesekali terdengar suara burung yang berkicau. Kami sibuk dengan pikiran kami masing-masing sampai...
“Duar...” Bang Alca mengagetkan aku dengan menyenggol lenganku. Aku menoleh dia tersenyum.
“Masak kita jadi sama-sama melamun...” ucap Bang Alca aku senyum.
“Selesai kuliah Abang rencananya apa?” tanyaku mencoba mencari pembicaraan yang hangat.
“Mmm...aku akan kembali ke kotaku...” ucapnya, kembali ke kotanya? Berarti pergi selamanya dari sini? Aku tertunduk menatap rerumputan.
“Aku akan kerja di sana atau mungkin kalau ada rezeki bisa lanjut studi S2...” ucapnya, aku hanya diam rasanya ada yang hilang di hatiku. Berarti Bang Alca akan pergi...
“Kamu?” tanya Bang Alca balik. Aku menaikkan wajahku.
“Aku akan tetap di kota ini tentunya Bang, ini kan kota kelahiranku. Melakukan pekerjaan yang ku suka.” Jawabku sambil senyum berusaha menyembunyikan kesedihan yang tiba-tiba hadir di hatiku.
“Iya, melakukan pekerjaan yang kita suka. Dan menikah dengan orang yang kita suka....” ucapnya jenaka aku tertawa kecil. Menikah?
“Mmm...Abang sudah punya pacar?” tanyaku sedikit penasaran dari dulu pertanyaan ini selalu gantung tak pernah mau dijawabnya dengan pasti.
“Belum, mantan ada.” ucapnya sambil tertawa menunjukan barisan gigi putihnya yang rapi. Aku tersenyum kecil.
“Mantan yang diingat ya...” ucapku.
“Bukan gitu, itu artinya belum punya pacar.” ucapnya menjelaskan.
“Berarti mantan Abang itu melekat banget ya...” ucapku.
“Hmmm...jadi ingat mantan neh...” ucapnya aku senyum.
“Dimana dia sekarang...” tanyaku
“Di London...” ucapnya.
“O... di sana kuliah? Kerja? Atau dianya orang sana?” tanyaku makin penasaran.
“Dia orang Indonesia asli, dia kuliah di sana. Tahun ini mungkin dia selesai study-nya” jawab Bang Alca. Lalu melemparkan batu kecil ke kolam.
“Terus kenapa kalian putus?” tanyaku lagi, sambil mengubah posisi dudukku menghadap Bang Alca karena semakin tertarik dengar ceritanya. Rasa grogi berubah jadi rasa penasaran. Aku duduk bersila, Bang Alca masih duduk seperti posisinya semula sehingga aku hanya melihatnya dari samping.
“Karena dia kuliah di sana dan aku memutuskan untuk kuliah di Indonesia, katanya hubungan jarak jauh itu sangat sulit. Jadi saat dia berangkat kami putus, dan aku pergi kemari. Aku seperti seorang pelarian...” ucapnya sambil menatap langit. Sepertinya dia masih sakit dengan perpisahan mereka.
“Jadi bukan karena perasaan yang pudar ya.” ucapku, Bang Alca menggeleng pelan. Bang Alca mengatakan bahwa tahun ini mantannya akan selesai perkuliahannya. Mungkinkah dia kan kembali ke Indonesia dan mereka akan kembali lagi? Aku menatap Bang Alca lekat.
“Dia akan kembali ke Indonesia?” tanyaku.
“Ya..., kemarin dia kirim email padaku.” ucap Bang Alca, jadi harapanku pupus untuk bisa masuk ke dalam hatimu...
“Itu artinya kalian masih bisa bersama lagi Bang...” ucapku pelan.
“Aku nggak tahu...” ucapnya lalu kami terdiam. Sesaat suasana hening, kami sama-sama diam hanya suara angin yang melewati dedaunan yang terdengar. Juga Suara ranting yang bergerak karena hembusan angin...
“Kamu gimana, sudah punya pacar?” tanyanya mengalihkan pembicaraan tentang dia, ku menggeleng. Kenapa harus ditanyakan, dia juga sudah tahu. Hari-hariku terus bersamanya dan Bang Elang juga kedua sahabatnya yang lain Bang Beno dan Aron. Aku tertunduk.
“Kalau orang yang kamu suka ada dong...” ucapnya jenaka, aku mengangguk eh...
“Siapa?” tanyanya penasaran, aduh...aku bingung menjawab apa.
“Aku tahu...” ucapnya aku menaikkan wajahku.
“Siapa?” tanyaku, apa dia tahu kalau aku suka dia?
“Pasti si...” dia menghentikan perkataannya... Aku menatapnya jantungku berdetak lebih kencang. Kalau dia tahu gimana nih... Aku tegang menantikan dia melanjutkan perkataannya.
“Kok jadi tegang gitu.” ucapnya, aku hanya diam bahuku rasanya kaku.
“Dewa kan...” ucapnya melanjutkan perkataannya huh..., Aku langsung lega dan kekakuan di bahuku langsung mengendor.
“Kok gitu reaksinya...” ucapnya aku senyum.
“Nggak aku pikir...” ucapku terhenti.
“Kamu pikir apa?” ucap Bang Alca jadi penasaran.
“Nggak ahh...” ucapku sambil tertawa.
“Jadi kamu masih ingat Dewa?” tanyanya.
“Kalau ingat ya pasti ingatlah.” ucapku jenaka.
“Maksudnya masih suka nggak?” tanya Bang Alca.
“Mmmm...nggak tahu... Mungkin nggak...” jawabku teringat Dewa.
“Kok nggak tahu, jadi siapa yang kamu suka...?” tanya Bang Alca. Aku diam saja...
“Si Dewa itu bagaimana kabarnya?” tanya Bang Alca merubah pembicaraan karena melihatku hanya diam.
“Nggak tahu, aku nggak pernah dapat kabar darinya.” jawabku.
“Dewa itu bagaimana orangnya?” tanya Bang Alca.
“Dewa itu orangnya sedikit cuek, kami akrab banget. Dewa cowok yang tampan dan menarik. Dewa itu pintar main basket, pintar dibidang pelajaran dan pintar membuat orang suka sama dia...hehehe...nggak deng. Dia nggak perlu membuat orang suka sama dia karena tanpa itu orang-orang suka pada dia. Kami sering pulang bareng karena arah rumah kami yang sama. Dia selalu cerita tentang impian-impian dia, sepanjang jalan pulang biasanya dia akan selalu bercerita tentang mimpi yang sama. Banyak teman-teman cewekku yang cemburu akan kedekatan kami. Mereka pikir aku begitu beruntung dekat dengan dia. Padahal mereka nggak tahu bagaimana tersiksanya hatiku saat itu karena perasaanku padanya. Dia mengangapku sahabat padahal aku perlahan menyukainya. Bahkan menyukai mimpinya.” ucapku sambil senyum.
“Apa impiannya...” ucap Bang Alca.
“Menjadi seorang Arsitek yang membangun bangunan-bangunan besar dan terkenal. Berkeliling ke seluruh dunia...melihat bangunan-bangunan tua yang memiliki nilai art yang tinggi.” ucapku menerawang.
“Jadi kamu punya impian yang sama?” tanya Bang Alca.
“Bukan mempunyai impian yang sama tapi aku jadi suka akan impiannya.” ucapku.
“Setelah kepergiannya pun aku masih mempunyai impiannya yang ku pikir juga impianku. Hingga di saat aku kelas tiga saat kami ada perkemahan siswa aku menyadari bukan itu impianku. Karena Ketika aku ada di alam rasanya aku hidup di duniaku sebenarnya. Karena itu aku memilih jurusan pertanian.” ucapku sambil senyum.
“Dan dia tidak pernah tahu apa yang jadi impianku sebenarnya, karena selama ini dia hanya bicara tentang mimpinya. Dia nggak pernah mendengar tentang impianku.” ucapku.
“Dia mencintai dirinya sendiri...” ucap Bang Alca aku senyum...
“Yah seperti itulah Dewa, tapi aku menyukainya saat itu dan sangat kecewa dengan kepergiannya.” ucapku sambil menunduk.
“Wah dalam banget sepertinya, sampai aku yang mendengarnya aja bisa merasakannya.” ucap Bang Alca, kamu bisa rasakan tapi dia tidak. Itulah mengapa aku menyukaimu karena kamu sepertinya selalu tahu apa yang kurasakan dan muncul di saat yang tepat.
“Seandainya nih dia datang kembali dan ingin bersamamu, bagaimana?” tanyanya. Aku menatap Bang Alca dan tersenyum.
“Terlambat, dia sudah terlambat karena aku sudah sadar dari mabukku akan dia.” ucapku. Bang Alca senyum.
“Yakin...?” tanya Bang Alca.
“Yakin.” Jawabku mantap, aku yakin karena kamu sudah bisa masuk ke dalam hatiku. Selama ini tidak ada seorang pun bisa bebas masuk kedalam hatiku. Meski aku harus merelakan kamu untuk pergi lagi dari hatiku.
“Yakin benar...” ucapnya, aku senyum.
“Iya dong, kan aku tahu yang ku mau...” ucapku sambil tertawa.
“Seperti iklan aja.” ucap Bang Alca lalu kami tertawa. Tertawa bebas bersamamu di antara rerimbunan pohon yang menaungi taman ini. Rasanya sangat nyaman dan aku ingin bersamamu seperti ini selamanya. Semilir angin berhembus membelai tubuh kami dengan lembut.
“Ahh... kalau gitu gimana kalau kita makan siang dulu di kantin. Sudah lapar nih...” ucap Bang Alca. Iya nih aku juga sudah lapar nggak terasa karena ngobrol dengan Bang Alca.
“Oke...” ucapku. Lalu kami bangkit berdiri dari duduk kami, aku membersihkan jeansku yang sedikit kotor karena duduk di rerumputan.
“Hei katanya impiannya hidup di alam kok takut kotor...” canda Bang Alca.
“Bukan takut tapi menjaga kebersihan aja...” ucapku membela diri, Bang Alca tertawa. Lalu kami berjalan menyusuri jalan setapak kampus menuju ke fakultas. Kami berjalan perlahan menikmati suasana taman. Hari sudah siang tapi di taman tidak terlalu panas karena pepohonan yang rimbun. Taman sudah ramai dengan kumpulan-kumpulan mahasiswa yang duduk di bangku maupun di rerumputan. Tapi ada juga beberapa yang sendiri sepertiku tadi sebelum kehadiran bang alca dan juga ada yang berpasangan merajut kisah di taman ini. Suasana tenang berubah agak sedikit berisik dengan suara obrolan, candaan dan tawa mereka. Satu persatu daun berjatuhan ditiup angin, angin membawanya terbang dan menghempaskannya di suatu tempat. Angin berhembus menyapu segala yang dilewatinya. Aku dan Bang Alca berjalan bersisian, aku menoleh padanya yang juga menikmati suasana ini. Tangannya mengayun pelan dengan bebas, ingin rasanya menghentikan kebebasannya dengan mengengamnya dengan jemariku... tapi itu hanya ada dalam khayalan semuku saja... Aku mendesah pelan lalu kembali menikmati suasana taman ini. Begini juga sangat menyenangkan tanpa berpegangan tangan. Berharap suatu saat aku ada kesempatan berjalan sambil bergenggaman tangan dengannya menyusuri taman kampus yang penuh cerita ini. Aku berharap... sangat berharap... Angin bawa harapanku tinggi sampai ke langit tertinggi sehingga Sang Khalik mendengarnya dan mengabulkannya...
*****