Read More >>"> A Place To Remember
Loading...
Logo TinLit
Read Story - A Place To Remember
MENU
About Us  

Aku menatap green house tua di hadapanku sejenak, sebelum kemudian meraih knop pintu dan memutarnya. Serta-merta aroma apak menyeruak ke dalam hidungku.

Pelan-pelan aku melangkah memasuki bangunan ini. Seluruhnya diselimuti debu dan sarang laba-laba yang bergelantungan di sana-sini. Pepohonan yang tumbuh di sekitar bangunan membuat ruangan ini lindap.

Terakhir kali aku menjamah tempat ini adalah pada minggu kedua terakhir bulan September. Saat di mana kali pertama aku benar-benar merasa kehilangan.

Laki-laki itu, penghuni green house tua ini, pergi―terpaksa dan dipaksa. Tanpa meninggalkan jejak, seakan memang tidak pernah ada di sini. Dia pergi begitu saja. Tanpa sempat aku menyampaikan perasaanku terhadapnya. Dan tanpa sempat aku tahu perasaannya terhadapku.

***

Sore ini menjadi yang keempat kalinya bagi gadis mungil itu menginjakkan kaki di green house tua ini. Dia lekas berjongkok di pelipir sepetak lahan di seberang tempatku berdiri. Mulutnya mengunyah oat choco, sementara tangannya menyiram bunga-bunga yang memenuhi lahan itu. Kadang dia juga bersenandung pelan. Kemudian pergi usai melaksanakan rutinitasnya.

Sore ini gadis itu muncul lagi. Aku sempat terkesiap karena semestinya jadwal kedatangannya adalah dua hari sekali.

Aku tetap berdiri di dekat rak sayuran. Mengamati gadis itu melakukan kegiatannya seperti yang sudah-sudah. Kali ini tanpa oat choco. Dan masih tidak menyadari keberadaanku.

Berdasarkan pengamatanku minggu lalu, gadis itu adalah Aya Sabrina. Salah satu siswi sekolah ini yang duduk di kelas tiga jurusan IPS dan merupakan pengurus OSIS bagian Pembinaan Lingkungan Hidup.

Entah mengapa, aku menyukai kehadirannya di sini. Kerap timbul dorongan untuk menyapa gadis itu. Namun, selalu segera kupadamkan ketika sadar siapa diriku sebenarnya.

Gadis itu menegakkan tubuh lalu beranjur ke rak sayuran.

Seketika tubuhku membeku, jantungku berdebar-debar ketika dia berhenti pada jarak kurang dari satu meter dariku. Pandangannya tertuju pada kecambah-kecambah brokoli yang tertanam di beberapa gelas plastik bekas air minum yang tertata di rak paling atas.

Pada kedekatan ini, aku menangkap mata gadis itu bulat dengan sorot cemerlang. Alisnya tebal dan ramping. Beberapa helai rambut panjangnya jatuh menutupi kedua pipinya. Bibirnya tersenyum samar.

Gadis itu terus beringsut ke ujung rak, memeriksa tiap kecambah dengan cermat. Lalu dengan cepat kembali ke pemberhentian awal. Namun, dia hanya berdiri. Diam. Bola matanya bergerak-gerak gusar. Mestinya aku bisa tahu mengapa dia begitu. Namun, sekarang, berada di dekatnya membuat kemampuanku dalam membaca pikiran orang mendadak nonaktif.

Aku menahan napas. Was-was. Dan selanjutnya ... gerakan singkat gadis itu benar-benar membuat jantungku berhenti berdetak.

“Yo.”

Gadis itu tersenyum, sebelah tangannya terangkat, dan fokus matanya ke mataku.

Kepadaku?! Dia bisa melihatku?!

“Kaget, ya?”

Senyum gadis itu melebar.

“Aku bisa melihatmu. Aku juga sudah tahu keberadaanmu sejak pertama kali ke sini. Sebenarnya aku ingin menyapamu lebih awal, tapi selalu kuurungkan dengan alasan menunggu waktu yang tepat. Dan kupikir kamu akan berbuat sesuatu karena kehadiranku, tapi ternyata malah diam saja. Aneh.”

Gadis itu terkekeh. Entah apa yang lucu, aku tidak tahu.

“Kamu terganggu?”

“Tidak.”

Gadis itu masih tersenyum. “Kamu bisa bahasa Indonesia ternyata. Hmm .... Kenapa tidak terganggu? Bukannya aku sudah mengusik tempat tinggalmu?”

“Aku tidak merasa kamu begitu.”

Gadis itu mengangguk-angguk.

“Aku akan sering datang. Mereka membutuhkanku.” Gadis itu menunjuk bunga-bunga dan sayuran. “Jadi, kurasa kita bisa saling menemani bila sedang di sini. Kamu keberatan?”

“Tidak.”

Nice answer! Namaku Aya. Kamu?”

“Sean ... van Koenraad.”

“Sean.” Gadis itu tersenyum lebar. “Nice name! Cocok sama wajah Belandamu. Kalau begitu aku pulang dulu. Sampai jumpa.”

Seperti kata Aya, dua hari kemudian, pertemuan keenam kami pun terjadi. Segera setelah kegiatan belajar mengajar berakhir. Aya datang dengan wajah semringah. Sambil merawat tanaman dan mengunyah oat choco, gadis itu menceroros tentang kuis Matematika dadakan yang membuatnya belingsatan.

Dua hari setelahnya, pada pertemuan ketujuh, aku sempat bertanya mengapa dia memilih green house tua ini di saat telah dibangun yang baru.

Katanya, “Tempat ini memang creepy, mungkin karena itu ditinggalkan. Tapi, secara objektif di sini lebih menguntungkan untuk berkebun. Cahaya mataharinya cukup dan udaranya tidak panas. Kontras dengan green house baru.”

“Sampai kapan kamu mau merawat tanaman-tanaman itu?”

Aya mengangkat bahu. “Mungkin akhir semester satu.”

Ah, benar. Dia kelas tiga, ya ....

Serta-merta kesepian menyelubungi diriku lagi. Aneh. Aku ini kan, sudah mati. Jadi, semestinya aku tidak bisa merasa begini, kan?

***

Sean van Koenraad.

Makhluk tembus pandang yang cenderung bicara seperlunya, namun tidak tergolong pendiam. Hanya ... tenang. Dia mungkin sudah puluhan tahun menghuni tempat itu, tapi dilihat dari fisiknya dia tampak sebaya denganku. Aku sudah berfirasat kalau dia itu makhluk yang baik sejak pertemuan pertama pada pertengahan Agustus lalu. Terbukti kan, bagaimana tindakannya selama belum kusapa.

Ada rasa nyaman dan betah ketika bersamanya. Bukan karena dia ganteng dalam balutan jas hitamnya―walau sekilas mirip Ansel Elgort. Tapi, karena dia mampu menjadi pendengar dan komentator yang baik, meskipun dia cenderung lebih sering menjadi pendengar.

Sore ini pertemuan kedelapan kami. Aku datang agak telat karena ada belajar kelompok untuk UTS minggu depan. Ketika dia menyuruhku belajar, aku menolak dan malah memperkenalkan diri. Aku bercerita tentang aku secara umum. Anak bungsu dari dua bersaudara, jarang pulang karena kegiatan OSIS, dan aku yang bisa melihat sejak kecil.

Hal itu kulakukan agar dia juga melakukan hal serupa. Dan ternyata mau ketika kuminta. Tentu saja setelah dibujuk ekstra.

Sejauh ini, yang kutahu, Sean meninggal―lebih tepatnya dibunuh oleh tentara Belanda saat berusia delapan belas tahun, sekitar sembilan puluh tahun lalu. Dia bersama orangtuanya segera ditawan begitu Belanda mencium fakta bahwa ayah Sean lebih memilih meminang wanita pribumi dan mendukung perjuangan rakyat Indonesia.

“Kami dibunuh di sini, tapi cuma Ayah dan Ibu yang dibuang, entah ke mana. Sampai sekarang aku tidak tahu keberadaan mereka,” kata Sean pelan. Dia duduk di sebelahku, pandangannya lurus ke depan, seperti menerawang.

“Sudah kucari, tapi tetap tidak ketemu. Lalu kuputuskan menyerah dan tetap tinggal di sini,” lanjutnya.

Aku masih bergeming, sejenak aku terharu akan pengorbanan ayah Sean. Aku ingin menanggapi, tapi tidak tahu kalimat apa yang tepat untuk dikatakan. Jadi, kuputuskan untuk diam dan mendengarkan. Dia pun melanjutkan kisahnya, bahwasanya dia adalah anak tunggal dan mengaku lebih nyaman tinggal di Indonesia.

“Apa kamu selamanya akan tetap di sini?”

Sean mengangguk, tanpa sangsi.

“Aaah ... padahal aku sempat berencana mengajakmu tinggal bersamaku. Tapi, kalau keputusanmu begitu ... apa boleh buat.” Aku menoleh ke arahnya dan tersenyum. Meski dalam hati ada sesuatu yang terasa pupus.

Ketika waktu menunjukkan pukul lima, aku pamit pulang walau sejujurnya masih ingin berlama-lama. “Nanti, begitu UTS selesai aku pasti datang lagi. Jadi, tunggu aku, ya.”

Sean mengangguk dan menatapku lembut. “Semangat!”

“Tunggu aku, ya!”

Sean hanya tersenyum seraya memperhatikan aku meninggalkan tempat bernaungnya.

***

Begitu bel tanda rampungnya ujian hari ini berdering, aku segera bangkit lantas berderap ke meja pengawas, menyerahkan lembar jawabanku ke pengawas, lalu mengambil tas di bawah papan tulis.

Sejak tiga puluh menit lalu, kepalaku sudah dipenuhi sosok Sean van Koenraad. Aku sudah berencana akan menghabiskan sisa sore ini bersama laki-laki itu. Aku benar-benar bersemangat, apalagi ditambah fakta bahwa hari ini adalah hari terakhir ujian. Aku bahkan―

“Aya!”

Aku tersentak lantas menoleh ke arah si pemanggil.

Oh. Antonio.

Serta-merta air wajahku mendatar. Kupu-kupu yang sejak tadi bergumul bersama bunga-bunga yang bermekaran di hatiku lenyap tak tersisa begitu melihat sosok laki-laki tinggi dan tegap di depan sana.

“Langsung ke ruang rapat, ya!” kata Antonio. Dia menatapku dengan sorot tegas dan tajam.

Sialan. Aku lupa akan agenda itu. Rapat panitia LDK (Latihan Dasar Kepemimpinan) calon pengurus OSIS baru.

Aku mengembuskan napas kasar seraya menatap Antonio kesal. Aku pun bergabung bersama beberapa pengurus OSIS yang memang sejak tadi berada di sekitar Antonio, lalu melangkah bersama ke ruang rapat.

Andai saja tidak lupa kalau hari ini ada rapat, aku pasti tidak akan galau begini. Beberapa pengurus OSIS kerap menanyakan keadaanku, lalu menghiburku dengan nasihat dan senda gurau. Tapi tidak mempan. Aku baru benar-benar meredam kegalauan ketika ketua panitia membuka rapat.

Sepuluh menit sudah rapat berlangsung. Koordinator seksi kegiatan masih dipersilakan memaparkan kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan selama LDK.

Aku belum bersuara, masih setia menyimak. Namun, aku mulai mengerutkan kening ketika tiba-tiba telingaku menangkap topik rapat menyinggung soal seksi keamanan.

“Karena ada kegiatan di malam hari, tidak menutup kemungkinan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Jadi, untuk antisipasi, menurut saya lebih baik diadakan pembersihan area sekolah,” celetuk Antonio dari tempatnya duduk.

“Pembersihan ... maksudnya?” tanya Wina, koordinator seksi keamanan.

“Menetralkan area sekolah. Kalian pasti paham maksudku.”

Serta-merta ingatanku melayang pada Sean. Mendadak aku mendapat firasat buruk.

Aku menegakkan tubuh lalu berkata, “Apa itu perlu sekali?”

Antonio menatapku dengan alis terangkat sebelah. “Menurutmu?”

“Menurutku tidak. Tahun lalu tanpa pembersihan juga tidak ada kejadian buruk.”

“Memang. Tapi, kita tidak tahu apa yang akan terjadi nanti.” Antonio mengedarkan pandangan ke seluruh anggota. “Jadi, kuputuskan tetap diadakan penetralan.”

“Aku tidak setuju!”

“Aku juga tidak.” Hengki, salah satu anggota seksi kegiatan turut bersuara. Serta-merta seluruh perhatian peserta rapat beralih kepadanya. “Penetralan itu bukan barang sepele. Kita harus melibatkan orang dewasa untuk melakukannya. Itu merepotkan. Ini kan, hanya LDK. Pramuka juga tidak pernah mengadakan yang begituan. Pokoknya aku tidak setuju. Selama kita sopan, aku yakin tidak akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.”

Antonio mengembuskan napas, seperti sedang berusaha meredam emosi. “Begini saja, yang setuju diadakan penetralan angkat tangan.”

Kulihat lebih dari separuh peserta rapat mengangkat tangan kanan.

“Oke. Cukup. Dengan begini maka, penetralan tetap dilakukan. Sesegera mungkin.”

Aku menghela napas. Membuang pandangan ke arah lain. Aku yakin orang-orang itu berpihak kepada Antonio hanya karena laki-laki itu adalah ketua OSIS, dan mereka tidak ingin terlibat perseteruan jika sewaktu-waktu terjadi. Intinya, cari aman. Menyebalkan sekali.

Untuk selanjutnya, aku tidak peduli lagi tentang rapat hari ini. Begitu usai, aku bergegas ke green house lama. Yang ada dikepalaku saat ini hanya Sean van Koenraad.

Pintu besi green house terbanting keras. “Sean!”

Pandanganku beredar.

“Sean! Kamu di mana?!”

Aku menilik tiap sudut green house. Kepanikanku menjadi-jadi setelah sadar bahwa laki-laki itu tidak ada di sini. Langkahku berhenti di dekat rak sayuran. Menatap hampa tempatku dan dia menghabiskan sisa sore. Hingga kusadari air mataku telah mengalir.

“Sean ....”

“Sudah gue duga lo ada di sini.”

Aku menoleh pelan ke arah sumber suara. Samar-samar kulihat sosok Antonio berdiri tegap di ambang pintu. Ketika kuseka air mataku, barulah sosok Antonio tampak jelas.

“Gue nggak nyangka lo bisa kayak gini,” ujar Antonio pelan. Sorot matanya terasa menembus hatiku.

Perlahan aku berdiri.

“Gue kaget banget pas liat lo di sini sama cowok itu minggu lalu,” lanjut Antonio. “Pengurus OSIS teladan yang jadi panutan adik-adik kelas, bergaul dengan makhluk yang nggak semestinya digaulin. Lo bersyukur cuma gue yang tahu. Aduh, gue sampai bingung harus komentar apa lagi.”

“Jadi, lo ...,” kalimatku menggantung. Otakku berusaha mencerna ucapan Antonino. Kalau dia bisa bilang begitu, itu artinya ....

“Jadi, lo yang ngelakuin semua ini? Jadi, lo udah ngadain penetralan tanpa sepengetahuan yang lain?”

That’s right.

Aku menatap laki-laki itu bengis. “Dasar penipu!”

Antonio tersenyum mencemooh. “Lagi pula pada akhirnya gue tetap dapat suara terbanyak.” Dia mulai mendekatiku sambil melanjutkan, “Setelah tahu lo punya hubungan sama cowok itu, gue sebagai ketua OSIS nggak bisa tinggal diam punya anak kayak lo. Memalukan. Mungkin menurut lo dia baik, tapi siapa yang tahu apa yang dia sembunyikan di balik wajahnya.”

Tiba-tiba Antonio mencengkeram bahuku dan memandangku dalam. “Gue nggak mau terjadi sesuatu sama lo, Ay. Lo nggak seharusnya bergaul sama mereka.”

Air mataku menderas.

“Gue lakuin ini semua demi lo, demi ... demi yang lain juga.”

“Tapi, nggak kayak gini juga caranya!” Aku menepis lengan Antonio. “Lo emang ketua OSIS, tapi bukan berarti lo bisa seenaknya ikut campur urusan pribadi gue!”

Aku berlari meninggalkan green house, tanpa cegahan Antonio.

***

Beberapa hari setelah kejadian itu, aku bertekad untuk tidak datang lagi ke sini. Aku tidak ingin tampak melankolis, dramatis, dan membuat hatiku lebih menderita karena kejadian itu.

Aku tidak menganggap kami berpisah. Karena kami tidak saling berkata ‘selamat tinggal’ dan melambaikan tangan. Dan dia, akan selalu ada di dalam sudut hatiku. Bersemayam di sana bersama kenangan-kenangan yang kerap membuatku takut untuk mengingatnya. Takut akan membuatku sedih.

Aku mengedarkan pandangan. Mencoba merekam tiap sudut ruangan ini untuk terakhir kali. Tempat ini benar-benar sesuatu bagiku. Aku sangat berterima kasih kepada pihak sekolah yang membiarkan bangunan tua ini tetap ada.

Kuletakan sebuket mawar di rak sayuran teratas sebelum kemudian, dengan segenap keikhlasan, aku meninggalkan tempat ini. Untuk selamanya.

-SELESAI-

Tags: drama

How do you feel about this chapter?

0 0 0 1 0 4
Submit A Comment
Comments (1)
Similar Tags
Search My Couple
485      260     5     
Short Story
Gadis itu menangis dibawah karangan bunga dengan gaun putih panjangnya yang menjuntai ke tanah. Dimana pengantin lelakinya? Nyatanya pengantin lelakinya pergi ke pesta pernikahan orang lain sebagai pengantin. Aku akan pergi untuk kembali dan membuat hidupmu tidak akan tenang Daniel, ingat itu dalam benakmu---Siska Filyasa Handini.
Untold
1126      468     4     
Science Fiction
Tujuh tahun lalu. Tanpa belas kasih, pun tanpa rasa kemanusiaan yang terlampir, sukses membuat seorang dokter melakukan percobaan gila. Obsesinya pada syaraf manusia, menjadikannya seseorang yang berani melakukan transplantasi kepala pada bocah berumur sembilan tahun. Transplantasi dinyatakan berhasil. Namun insiden kecil menghantamnya, membuatnya kemudian menyesali keputusan yang ia lakukan. Imp...
Pertualangan Titin dan Opa
2822      1130     5     
Science Fiction
Titin, seorang gadis muda jenius yang dilarang omanya untuk mendekati hal-hal berbau sains. Larangan sang oma justru membuat rasa penasarannya memuncak. Suatu malam Titin menemukan hal tak terduga....
Lost Daddy
3961      832     8     
Romance
Aku kira hidup bersama ayahku adalah keberuntungan tetapi tidak. Semua kebahagiaan telah sirna semenjak kepergian ibuku. Ayah menghilang tanpa alasan. Kakek berkata bahwa ayah sangat mencintai ibu. Oleh sebab itu, ia perlu waktu untuk menyendiri dan menenangkan pikirannya. Namun alasan itu tidak sesuai fakta. AYAH TIDAK LAGI MENCINTAIKU! (Aulia) Dari awal tidak ada niat bagiku untuk mendekati...
30 Days of Bless
825      453     5     
Short Story
Aku tidak percaya bahwa malaikat bisa berkamuflase menjadi manusia. Tapi di sebuah festival lampion, keajaiban bisa datang kapan saja.
Say You Love Me
80      76     0     
Romance
Mendapati suaminya sendiri berselingkuh dengan adik tirinya, Adelia merasa hatinya hancur berkeping-keping. Ia akhirnya percaya, bahwa peringatan Raffi - sahabatnya - benar. Namun semuanya telah terlanjur terjadi, ia telah memilih melepaskan Raffi dan menerima Morgan sebagai pemilik hati.  Setelah pernikahannya rusak, hidupnya perlahan hancur, kemalangan terus menerus menimpanya. Hingga berak...
Sadness of the Harmony:Gloomy memories of Lolip
580      309     10     
Science Fiction
mengisahkan tentang kehidupan bangsa lolip yang berubah drastis.. setelah kedatangan bangsa lain yang mencampuri kehidupan mereka..
Took A Step Back
1435      806     2     
Short Story
Turning sadness to happiness with a step.
Backstreet
1027      367     1     
Fan Fiction
A fanfiction story © All chara belongs their parents, management, and fans. Blurb: "Aku ingin kita seperti yang lain. Ke bioskop, jalan bebas di mal, atau mancing di pinggiran sungai Han." "Maaf. But, i really can't." Sepenggal kisah singkat tentang bagaimana keduanya menyembunyikan hubungan mereka. "Because my boyfie is an idol." ©October, 2020
CLBK: Cinta Lama Belum Kelar
4219      1059     20     
Romance
Tentang Edrea Lovata, yang masih terjebak cinta untuk Kaviar Putra Liandra, mantan kekasihnya semasa SMA yang masih belum padam. Keduanya dipertemukan kembali sebagai mahasiswa di fakultas yang sama. Satu tahun berlalu dengan begitu berat sejak mereka putus. Tampaknya, Semesta masih enggan untuk berhenti mempermainkan Rea. Kavi memang kembali muncul di hadapannya. Namun, dia tidak sendiri, ada...