Remang-remang suasana ruangan itu, seperti biasanya. Botol-botol bertebaran dimana-mana. Pemabuk merajarela disana. Ada satu ruangan yang begitu heboh disana. Seseorang sedang bertaruh disana. Ada pihak yang tertawa terbahak-bahak dengan kemenangannya, ada pihak yang memasang wajah emosi dengan kekalahannya.
"Pasang itu semua, saya pertaruhkan adik perempuan saya" Ucap Beni dengan berani tanpa pernah berfikir panjang.
"Gila lo ben, gimana kalo kalah ? Sadar ben, bang biyok gak pernah main-main" Salah satu kawan Beni mencoba untuk menyadarkanya. Namun apalah daya bila sudah tercandu oleh judi, meski kalah tetap saja ingin lagi, ingin lagi.
"Kalo lo gak nyerahin adek lo, gua penjarain lo ben" Ucapnya terbahak-bahak.
Suasana semakin memanas, kartu di kocok. Lalu di tebarkan beberapa pada masing-masing petarung. Hati beni berdebar hebat. Ini hidup dan matinya, bila ia kalah, tamat riwayatnya.
20 menit berlalu ....
"Brengsek !!!!!!" Beni membanting kartunya. Dan kekalahan menerpanya lagi.
"Kapan lo bawa adek lo, biar cepet gua jual. Hahaha" Tawa para lawan meledak hebat.
"Gak usah hawatir, gua tepatin janji gua" Beni menantangnya
"Gua tunggu malam ini juga" Tunjuk bang biyok pada Beni.
Beni menarik kuat rambutnya, wajahnya memerah, urat lehernya mengeras.
"Ahh, bangsat !!!!!" Dia membanting botol minumannya. Semua orang terkejut oleh Beni.
"Gua udah coba ingetin lo ben" Dengan berani salah satu temannya berkata demikian.
"Diem lo, bajingan !!!" Ucap Beni dengan wajah yang menakut.
"Lo brengsek yang bajingan. Mana ada abang yang tega jual..."
"Brukkkkkkk" Sebuah pukulan menepi di wajah Gugun teman Beni itu.
Darah mengucur dari bibir Gugun yang berhasil Beni pecahkan. Ia mengusap darah yang keluar dari bibirnya. Lalu menatap tajam Beni saraya meludah.
"Bangsat lo"
Perkelahian pun terjadi disana, Beni yang kalah main judi melampiaskan kekesalannya pada sahabat satu tongkrongannya sendiri. Babak belur adalah hasil dari perkelahian mereka. Dari berbagai pihak mencoba memisahkan mereka tapi tak bisa dihentikan. Sampai rasa letih bertarunglah yang menghentikan perkelahian mereka.
Beni dan Gugun sama-sama tumbang di lantai yang penuh dengan lalu-lalang orang-orang yang tak peduli akan apa yang mereka lakukan. Setelah beberapa saat berbaring di lantai, Beni menimpuk dada Gugun lantas beranjak dari sana. Gugun sedikit tertawa melihat sahabatnya itu. Menatapnya lekat-lekat, seharusnya ia lebih keras lagi untuk menyadarkan temannya yang memang masih kerasukan setan tadi hingga hal gegabah seperti ini tidak akan terjadi.
***
"Selamat datang, semoga menikmati hidangannya" Ucap Tisa.
Dari kejauhan Beni mengintai adik perempuanny itu. Apa yang harus ia perbuat ? Haruskah ia menyeretk adiknya dan menyerahkan ada bang biyok ?
Beni menggesek-gesekkan sepatunya ada lantai seraya menunggu adiknya itu pulang dari bekerja, seraya mengisap sebuah rokok. Bahkan ia belum sepenuhny sadar dari mabuknya.
"Sa..." Panggil seseorang
"Iya..," Tisa menoleh
"Berbenah gih, udah mau jam 9"
Tisa sepontan melihat ke arah jam yang ia kenakan.
"Oh, iya. Selesain ya" Ucap Tisa tersenyum.
"Berapa mas ?" Tanya seorang pengunjung setelah Tisa masuk ke dalam ruang ganti.
"Meja berapa ya ?"
"Tiga"
" 68 rbu mas"
Jimy mengeluarkan dompetnya.
"Ini kembaliaannya mas"
"Makasih" Jimy lekas pergi dari WK
Tak lama Jimy pergi, Tisa keluar dari ruang ganti.
"Ssuuttt, duluan ya" Pamit Tisa pada temannya.
"Oke, hati-hati" Tisa melambaikn tangannya.
Ia berjalan menuju halte. Di jakarta meski sudah jam 9 pun, dunia seolah masih jam 5 sore. Saat Tisa berjalan ke depan. Dia bertemu dengan abangnya yang seolah sedang menunggu seseorang.
"Abang ...." Sapa Tisa heran
"Eh sa, udah balik ?" Tanya nya yang jelas-jelas Tisa sudah mengganti pakaian kerjanya. Ia hanya mengangguk dengan wajah yang masih heran.
"Abang ngapain disini ?"
"Mau minta tolong" Ucapnya ragu. Lagi-lagi Tisa mengerutkan dahinya. Seorang Beni, bisa berkata "tolong" itu suatu hal yang menakjubkan.
"Apa ?" Tanya Tisa
"Ikut abang" Tanpa berfikir panjang Tisa ikut dengan abangnya. Dengan mengendarai sebuah motor milik temannya, Beni memonceng adiknya.
Lumayan cepat, tanpa memperdulikan ada adiknya di belakang, beni menempuh perjalanan dengan kecepatan yang tinggi.
Tisa menuruni motor yang ia tumpangi. Melihat tempat yang ada di depannya sekarang. Tempat asing, sepi, dan aneh.
"Tempat apa ini bang ?" Tanya Tisa
"Abang gak bisa apa-apa lagi selain bilang maaf, ayo masuk" Ucap abangnya membuat Tisa menjadi terheran-heran.
Tisa mengikuti abangnya masuk. Dengan terkejutnya Tisa melihat penghuni dari tempat yang memang sudah nampak menyeramkan dari luar. Berkali-kali Tisa membelangakkan matanya terkejut melihat hal yang tak pernah ia lihat sebelumnya, dengan langkah takut ia mengikuti abangnya dari belakang.
Yang Tisa heran, tak seorang pun disana yang peduli dengan kedatangannya, mereka asik dengan yang mereka kerjakan. Tisa dan abangnya masuk ke sebuah ruangan. Mengetuk pintu sebelum masuk. Ada seseorang yang menyahut dari dalam. Beni menutup pintu setelah mereka masuk.
"Ini bang"
Tisa masih terheran-heran. Dengan polosnya Tisa tersenyum pada bang biyok.
"Wawwww...." bang biyok menepuk-nepuk tangannya.
"Kalo gini dapat uang banyak gua, haha" Ia beranjak dari duduk nya dan mendekati Tisa.
"Iya enggak neng" Bang biyok menyentuh dagu Tisa, seketika Tisa menepis tangan bang biyok.
"Abang tinggal" Beni tak menjelaskan apa-apa pada Tisa dan sekarang pamitmeninggalkannya dalam ruangan yang ada satu pria. Sampai sejauh ini pun Tisa belum mengerti dari kata
"Tolong" yang abangnya maksud.
"Abang" Tisa menahan tangan abangnya.
"Ini maksudnya apa ?" Tisa menatap abangnya tajam.
Beni melepas tangan Tisa.
"Tadi gua udah bilang maap kan" Lalu beranjak pergi.
Tisa mengejar abangnya yang menutup pintu.
"Abang buka, Tisa takut. Abang....." Tisa merengek ketakutan.
"Jangan takut sayang" Ucap bang biyok seraya tertawa pecah.
Suasana hati Tisa tak karuan, jantungnya berdebar hebat. Kakinya bergetar, pikirannya sudah kemana-mana. Dia merogoh tasnya, mencari handphone yang ada di dalam tasnya. Namun, bang biyok mengambil handphone Tisa dan membantingnya. Tisa terkejut bukan main, badannya keringat dingin. Sesuatu keluar dari ujung matanya.
"Jangan mendekat" Ucap Tisa bergetar, seraya menahan isakan tangisnya.
Bang biyok tetap mendekati Tisa meski ia melarangnya. Dengan wajah nakalnya, biyok memandang Tisa dari atas sampai bawah. Tak berfikir panjang, Tisa melihat ada botol di sampingnya, dan mengambil botol itu lalu ia pukulkan ke kepala biyok. Darah segar mengucur dari kepal biyok.
"Ahh...." Biyok menyentuh kepalanya, dan menemukan darah di tangannya.
"Bangsat !!!" Pekiknya,Tisa terkejut dan ketakutannya menambah. Serpihan botol yang berhasil dipecahkan Tisa menggunakan kepala biyok berserakan di lantai bersama dengan satu, dua tetes darah biyok.
"Abang lo itu udah jual lo sama gua. Jadi sebelum gua jual lo lagi, mau gua coba terlebih dahulu lo. Malah betingkah, tinggal layanin aja, susah" Jelas biyok membuat Tisa tak menyangka dengan yang diperbuat abangnya.
"Saya mohon, jangan lakuin apa-apa ke saya" Tisa memohon pada biyok seraya bersimpuh dihadapannya.
"Gak semudah itu" Biyok mendekati Tisa lebih dekat lagi. Tisa merayap ketakutan, mengetuk-ngetuk pintu itu. Seraya berkata "tolong".
"Sini lo" Biyok mengangkat kerah baju Tisa. Tisa memberontak. Dn meludahi wajah biyok.
"Keparat lo anjing" Biyok yang memang emosional, di perlakukan demikian oleh Tisa menambah amarah nya 2x lipat dari biasanya.
Telapak tangan berhasil terjiplak di wajah Tisa, tamparan yang begitu keras.
"Gua udah baikin lo betingkah ya" Ucap Biyok.
Tisa berlari menghindari biyok, dengan tangis yang begitu deras mengucur di pipi mungilnya. Biyok mengejar Tisa, dan menangkapnya.
Dipengang dengan kasar kedua tangan Tisa. Ia hentakan tubub Tisa pada dinding yang disana. Tisa berusaha memberontak, namun tenaga seorang pria dan perempuan jelas berbeda.
Saat itu juga Tisa pasrah dan hanya mengharapkan sebuah keajaiban yang datang menghampirinya. Biyok merobek kerah baju Tisa. Mengangakat kepala Tisa meski ia menahannya dengan sekuat tenaganya.
"Brukkkkkkkk" Pintu ruangan itu terbuka lebar-lebar, membuat biyok menghentikan perbuatannya.
Seorang pria dengan perangai tubuh yang hebat, tinggi dan tegap. Menghampiri mereka dan menarik biyok, lalu memukulnya dengan emosi yanh menggebu-gebu. Tisa menghela napasnya lega seraya menahan isakan tangisnya. Ia terduduk tak kuasa menahan gemetar pada kaki nya sembari merangkul lututnya.
Tanpa memperdulikan dua orangbyang sedang berkelahi dihadapannya sekarang.
Dengan napas yang terengah-engah pria yang dimemiliki nama Jimy itu memukul biyok yang sudah terbaring lemah. Kerumuan orang datang dan menghentikan Jimy. Ia menepis tangan yang mencoba menghentikan nya itu. Lalu Jimy bangkit, dan melepas jaketnya.
Ia sandarkan pada Tisa yang setengah bajunya sudah dirobek Jimy memperlihatkan sedikit bahunya. Jimy mengangkat kepala Tisa, seraya berkata "jangan takut" lalu mengusap air mata Tisa, membenarkan sedikit rambutnya yang berantakan. Dan membantu Tisa untuk berdiri. Mereka berjalan dengan dilihat banyak orang. Tanpa perduli sedikit pun Jimy melangkah seraya menuntun Tisa.
Saat tiba di depan, beni melihat Tisa keluar dari sana. Semula ia asik merokok dan berbincang dengan beberapa teman, kini dia terkejut melihat adiknya. Tanpa sedikit merasa bersalah, ia menghampiri Tisa.
"Saa...." Tisa menoleh ke arah suara yang tak asing baginya. Dengan wajah membengkak, pipinya merah, matanya sembab, seraya menahan isakan tangisnya, ia menatap tajam seseorang itu.
"Kamu ngapain disini ?" Tanya Beni seraya menyentuh tangan adiknya. Sontak Jimy menepis tangan Beni, ia terkejut dengan sikap Jemy padanya, seseorang yang tak ia kenal.
"Jangan sentuh dia" Ucap Jimy tegas.
"Lo siapa ?" Tanya Beni sengak.
"Lo gak perlu tau gua siapa, buat gak nyentuh dia" Timbal Jimy yang terdengar menantang.
"Aihh, gak ada waktu gua ngeladenin lo. Minggir" Beni mendorong Jimy.
"Sa, gua bisa jelasin" Ucap Beni.
Tiba-tiba Jimy menarik baju Beni dan memukul wajahnya.
"Gua bilang jangan deketin dia !" Pekik Jimy sementara Tisa menangis kembali.
"Brengsek !!" Beni terpancing emosinya.
Dengan amarah yang meledak-ledak pukulan demi pukulan hinggap di wajah satu dengan yang lainnya. Jimy berhasil membungkam tubuh Beni, ia menaiki perut beni seraya memukul nya yang sudah terbaring lemah di aspal jalan.
"Cukup...... " Pekik Tisa , seketika Jimy terhenti dan menarik napas panjang.
"Seberengsek apapun dia, dia tetep abang saya"
"Seburuk apapun niat dia ke saya, dia tetep abang saya"
"Bahkan sejauh yang ia perbuat ke saya sekarang ini, saya gak bisa benci sama dia. Karna dia abang saya"
Jimy beranjak dari atas tubuh Beni.
Sedang beni mengangkat tubuhnya untuk berdiri.
"Abang bisa jelasin sa"
"Sebangsat apapun abang, Tisa gak gak pernah berpikir abang bakalan ngelakuin hal serendah ini" Ucap Tisa dengan isakan tangisnya.
"Abang mau tau yang Tisa rasain, Tisa setengah mati ngerasa takut di dalam sana. Abang macam aa yang tega ngejual adeknya cuma demi uang. Apa Tisa serendah itu di mata abang" Pekiknya , beni hanya tertunduk diam mendengar amarah adiknya itu.
"Tisa gak pernah marah saat abang ambil uang simpenan Tisa diem-diem, bukan karna Tisa takut sama abang, apalagi karna Tisa enggak tau, bukan bang tapi karna Tisa takut hubungan kita rusak cuma karna uang" Tisa menatap abangnya lalu beranjak pergi. Jimy menyusul langkah Tisa yang mendahuluinya. Beni terduduk lemah di sana, meratapi kesalahan yang sudah ia perbuat kepada adik kandungnya sendiri.
Sedih bacanya kak :( semoga endingny bagus
Comment on chapter 1