Aku berdiri di depan kelas di hadapan orang-orang yang menatapku, ntah apa yang mereka pikirkan tentangku. Beberapa orang tidak memperdulikanku mereka asyik dengan kegiatannya masing-masing.
“Jadi anak-anak, ini Jingga." ucap Bu Nanik memperkenalkanku kepada mereka.
“Wah... Biru mana Bu.” ucap seorang cowok sambil cengengesan.
“Iya Merah juga ngak kelihatan.” ucap cowok di sebelahnya, semua jadi tertawa. Olokan seperti itu sudah biasa ku dengar tapi aku tetap suka dengan namaku.
“Husss... semua diam.” ucap Bu Nanik, lalu menoleh padaku untuk mempersilahkanku meperkenalkan diri sendiri.
“Ayo Jingga perkenalkan dirimu pada teman-temanmu.” ucap Bu Nanik, aku mengangguk.
“Namaku Jingga, aku tinggal di Kompleks Perumahan Edellwis.” ucapku lalu diam, semua mata menatap padaku menunggu kelanjutan perkataanku namun aku hanya diam. Tak ada yang perlu aku katakan lagi.
“Sudah Jingga?” tanya Bu Nanik, yang tidak mendengar kelanjutan perkataanku sambil menoleh kembali padaku. Aku mengangguk.
“Oke anak-anak itu perkenalan singkat dari Jingga nanti kalian boleh kenal lebih lagi dengan Jingga saat pelajaran sudah usai. Kamu silahkan duduk Jingga di bangku yang kosong.” ucap Bu Nanik, aku bernafas lega akhirnya boleh duduk dan berlalu dari hadapan mata-mata yang menatapku dari tadi.
Aku melangkah pelan aku nggak tahu harus duduk di mana, ada dua bangku kosong di ruangan ini. Di bangku sudut dekat jendela dan di barisan tengah. Aku ingin menghindari tatapan mata semua orang. Jadi sebaiknya aku duduk di bangku sudut. Aku melangkah ke bangku itu seorang cowok duduk di sudut samping jendela di sebelah bangku yang kosong. Dia asyik dengan buku bacaannya. Aku langsung duduk di bangku kosong di sisi cowok itu. Dia seperti tidak merasakan kehadiranku masih asyik dengan bacaannya. Tapi baguslah jadi aku tak perlu bicara dengannya. Pelajaran dari Bu Nanik pun dimulai. Satu persatu pelajaran terlewati dan akhirnya jam istirahat tiba, semua siswa langsung berhamburan keluar. Beberapa siswa masih tinggal di kelas termasuk aku dan teman sebangkuku yang tak bersuara hanya duduk diam dengan bukunya yang super tebal itu. Dua orang cewek yang duduk di depanku pun tidak keluar kelas dan mereka mengajakku ngobrol kelihatannya mereka ramah.
“Hei Jingga, Aku Karel dan ini Weny.” ucap Karel, cewek yang duduk di depanku sambil megulurkan tangannya. Aku menyambut uluran tangannya, cewek yang di sebelah Karel juga ikutan mengulurkan tangannya. Aku kembali menyambut uluran tangannya.
“Kamu pindahan dari sekolah mana?” tanya Karel lagi.
“Aku dari SMU Dikari.” jawabku singkat.
“Kamu kok pindah diakhir SMU, nanggung banget.” ucap Weny, aku hanya senyum kecil.
“Ihh... biarin aja suka-suka dia dong...” ucap Karel sambil menoleh pada Wenny.
“Ya iya kan cuma nanyak Rel...” ucap Weny cemberut kepada teman sebangkunya itu.
“Ya udah, jangan cemberut...” ucap Karel jenaka, weny senyum. Karel kelihatan lebih dewasa dan tenang sedang Wenny manja dan ceria. Lalu Karel beralih kepadaku kembali.
“Jingga kalau kamu mau keliling sekolah kita aku mau kok temani kamu. Aku akan menunjukan dimana Perpustakaan, Laboratorium, Ruang internet, atau yang lainnya.” ucap Karel ramah.
“Iya, t’rima kasih tapi sekarang aku belum ingin berkeliling sekolah ini.” ucapku, untuk apa hanya akan menjadi tontonan berpasang-pasang mata yang asing melihatku.
“Oh tidak apa-apa, kalau butuh bantuanku bicara aja ya.” ucap Karel aku mengangguk. Tiba-tiba cowok di sebelahku bangkit berdiri.
“Mau kemana Banyu?” tanya Weny pada cowok itu. O... namanya Banyu.
“Lapangan.” ucapnya singkat sambil berjalan. Mataku mengikutinya sampai hilang di balik pintu.
“Kamu tidak usah merasa tidak enak hati pada Banyu ya Jingga, Banyu itu memang begitu. Banyu itu tidak banyak bicara dan tidak terlalu peduli dengan sekelilingnya.” ucap Karel.
“Iya yang dia peduliin itu cuma bukunya dan snopy.” ucap Weny sambil melirik ke pintu.
“Snopy?” ucapku.
“Iya, Snopy itu anjingnya Banyu.” ucap weny sambil senyum.
“Weny itu tetanggaan dengan Banyu.” ucap Karel.
“Dengan kamu juga kan.” ucap Weny.
“Aku?” tanyaku heran.
“Iya, kami tinggal di Kompleks Edellwis juga.” ucap Weny, aku menatap Weny. Apa iya? Aku kok tidak pernah lihat Weny.
“Aku masih dua tahun di kompleks itu.” ucap Weny menjawab tanya dihatiku, dalam dua tahun ini aku jarang sekali keluar rumah.
“O... tapi kita tidak pernah ketemu ya.” ucapku, Weny senyum.
“Aku di blok G dengan Banyu, kamu di blok apa?” tanya Weny.
“Blok D.” Jawabku.
“Tidak begitu jauh kok dari kami. ” ucap wenny.
“Kalau Banyu sudah lama loh tinggal di Kompleks Edellwis.” ucap Weny lagi. Banyu sudah lama tinggal satu kompleks denganku tapi aku kok tidak pernah ketemu Banyu ya...
“Wah... pasti seru punya banyak teman satu kompleks.” ucap Karel.
“Iya dong, makanya pindah ke kompleks kami.” ucap Weny.
“Yee... emang suka-suka aku.” ucap Karel kami senyum lalu bel tanda masuk berbunyi. Satu persatu teman-teman memasuki kelas. Suara-suara mereka dengan obrolan mereka memenuhi ruangan kelas. Kemudian Ibu Widya guru Seni Budaya dan Ketrampilan masuk ke kelas. Kelas yang tadinya bising berubah tenang. Aku lirik bangku di sebelahku Banyu belum masuk kelas padahal guru sudah datang. Pelajaran di mulai, beberapa menit setelah pelajaran dimulai Banyu baru masuk ke kelas. Bu guru tidak bertanya apa-apa padanya hanya membiarkannya masuk. Aku meliriknya yang sudah duduk di sebelahku. Dia sudah asyik kembali dengan bukunya...
Sudah tiga hari aku sekolah di sekolah baru, aku merasakan sedikit kelegaan. Aku pindah sekolah karena sudah tak bisa bernafas bebas di sana. Rasanya dadaku sesak dan aku tidak bisa lagi menikmati persekolahanku. Aku melangkahkan kaki ku memasuki kelas pasti masih kosong karena aku datang lebih pagi hari ini... Tapi aku salah sudah ada Banyu teman sebangkuku di kelas plus dengan bukunya. Aku melangkah perlahan seakan tidak mau dia terganggu dengan suara gesekan sepatuku. Lalu aku duduk di bangkuku. Dia masih tidak bergeming, selam tiga hari ini mmm... Ini hari ke-empat aku sekolah di sini kami belum pernah saling menyapa... sungguh aneh. Padahal kami teman sebangku, apakah dia bisu? Ah.. nggak mungkinlah, kemaren pada saat guru bertanya dia bisa jawab. Tapi... peduli amat aku justru bagus jadi aku tidak perlu bicara dengannya. Aku malas basa basi dengan orang. Banyu tiba-tiba berdiri dan berjalan meninggalkanku aku menatap punggungnya sampai hilang di balik pintu. Huhhh... aku membuka novel yang sengaja ku bawa dari rumah. Mudah-mudahan tidak ada razia hari ini. Aku tenggelam dalam bacaanku dan tidak menyadari teman-teman yang mulai berdatangan tapi ketika Karel dan Weny datang konsentrasiku buyar.
“Jingga...” sapa mereka, aku menaikkan wajahku dan tersenyum.
“Wah... bawa novel.” ucap Weny, aku senyum.
“Eh... Banyu belum datang?” tanya Karel sambil melihat ke bangku banyu.
“Sudah, tadi dia pergi keluar.” ucapku.
“Paling di lapangan...” ucap Weny, lapangan.. Setiap Banyu tidak kelihatan Karel dan Weny selalu bilang Banyu ke lapangan. Maksudnya apa? Ngapain lagi Banyu ke lapangan.
“Nah tuh orangnya muncul.” ucap Weny, Banyu berjalan ke arah kami. Dan duduk di bangkunya.
“Lihat PR biologi dong Ban.” ucap Karel, ku lirik Banyu. Banyu mengeluarkan bukunya dari dalam tas dan menyerahkannya pada Karel. Karel menerimanya dengan girang, lalu Banyu mengambil buku yang lain dari dalam tasnya lalu mencoret-coret sesuatu di bukunya. Suasana tiba-tiba hening aku melihat ke depan ternyata pak guru sudah masuk, Pak Dayat. Aku mengeluarkan buku pelajaranku. Pak Dayat mulai mengajar di depan sedang Banyu masih asyik dengan coret-coretnya. Aku meliriknya dan mencoba melihat apa yang dicoretnya tapi terhalang tangannya. Huhhh... percuma saja tidak kelihatan juga. Tapi... aku kok penasaran ya? Jingga jangan ikut campur urusan orang, urusin aja dirimu sendiri ucapku dalam hati pada diriku sendiri. Aku kembali melihat ke depan kelas dan mencoba konsentrasi dengan pelajaran yang diajarkan guru. Saat Pak Dayat memberikan kami tugas ku lihat Banyu sudah memperhatikan Pak Dayat. Dia mengerjakan tugas dari Pak Dayat. Aku melirik ke buku yang dicoret-coretnya tadi yang sekarang sudah tertutup. Aku tidak bisa melihat isi buku itu yang selalu jadi tempatnya mencoret-coret sesuatu. Aku lalu mengerjakan tugas dari Pak Dayat. Aku dan Banyu teman duduk yang cocok karena kami tidak saling menganggu. Aku dengan duniaku dia dengan dunianya. Hari-hariku di sekolah ku lalui dengan cara seperti ini, kami cocok dalam hal ini.
Saat jam istirahat aku diajak Karel dan Weny ke kantin untuk yang kesekian kalinya mereka mengajakku dan baru kali ini aku bersedia ikut. Saat menuju kantin tiga orang cowok menghadang kami.
“Hai Weny.” ucap seorang cowok, Weny menatap cowok itu malas.
“Ada apa...” ucap Weny cuek. Cowok itu menoleh padaku.
“Kamu punya teman baru kok ngak di kenali ke Aku?” ucap cowok itu.
“Heh... siapa Kamu, tidak penting kenalan denganmu.” ucap Weny sewot lalu menarik tanganku dan tangan Karel untuk pergi menjauh dari mereka. Tapi mereka masih mengikuti kami. Dan menghalangi kami berjalan, huhhh...ini cowok mengesalkan sekali.
“Weny... Weny.... nggak boleh gitu dong....” ucap cowok itu lagi.
“Udah Deri jangan ganggu kami.” ucap Karel kesal.
“Waduh jangan marah dong Karel.” ucap cowok yang disebut Deri.
“Kami mau ke kantin nih.” ucap Karel.
“Sabar dong... kami kenalan dulu dengan teman baru kalian.” ucap Deri.
“Ahh... sudah deh dari tadi mengganggu aja.” ucap Karel.
“No...no.... kami ngak menganggu.” ucap Deri.
“Namaku Jingga.” ucapku lalu mengulurkan tanganku. Tidak mau memperpanjang masalah ini.
“O..O... gini kan enak.” ucap Deri lalu menerima uluran tanganku.
“Deri.” ucapnya sambil menggengam tanganku. Lalu aku hendak menarik tanganku dari gengamannya tapi Deri tidak melepaskan tanganku.
“Lepasin Der...” ucap Weny tapi Deri tidak melepaskan tanganku juga.
“Lepasin tanganku...” ucapku dingin.
“Sebentar dong cantik.” ucapnya, huhhh mengesalkan banget ini orang.
“Aku bilang lepaskan tanganku.” ucapku lebih keras dengan wajah yang dingin. Deri menatapku dan melepaskan tanganku lalu aku berbalik menuju ruang kelas.
“Jingga...” panggil Karel dan Weny lalu mengejarku dan menjejeri langkahku.
“Maaf ya Jingga, jadi gini.” ucap Weny.
“Iya padahal ini pertama kamu mau ke kantin.” ucap Karel.
“Ya sudah tidak apa-apa.” ucapku sambil tersenyum kecil supaya mereka tidak merasa bersalah. Lalu kami masuk ke kelas, aku duduk di bangkuku dan mendesah pelan. Kenapa di mana pun aku berada selalu saja ada yang mengusikku tidak membiarkanku tenang menjalani hariku. Aku membuka bukuku mencoba melupakan kejadian barusan, Deri itu sungguh menyebalkan. Aku tahu Weny dan Karel merasa bersalah padaku karena itu. Mereka suka melihat-lihat ke belakang ke arahku. Buku di hadapanku tidak bisa membuatku tenang ku tutup bukuku dan kutopang daguku sambil memainkan pulpen yang ada di tanganku satu lagi. Kebiasaanku bila kesal dan tidak tenang. Bel tanda masuk sudah bunyi ruangan sudah kembali ramai, hatiku masih kesal aku tidak bisa menghentikan tanganku yang memainkan pulpen. Bu Nanik memasuki ruang kelas, kelas menjadi hening. Aku menghentikan tanganku memainkan pulpen lalu membuka buku pelajaran. Saat Bu Nanik mengajar di depan kelas mataku memperhatikannya tapi tangan kiriku masih saja memainkan pulpen, aku masih kesal. Dan sampai usai sekolah hari ini aku masih kesal.
Hari ini aku kembali menolak ajakan Karel dan Weny untuk ke kantin. Aku tidak mau kejadian kemarin kembali terjadi. Di kelas hanya aku dan Banyu. Banyu asyik mencoret-coret bukunya dan aku asyik dengan lamunanku. Biasanya kalau tinggal berdua begini dia pasti langsung pergi meninggalkan aku. Kali ini dia tetap tinggal diam di bangkunya. Keasyikan kami dengan dunia kami masing-masing terganggu dengan hadirnya Deri dan teman-temannya.
“Hai Jingga...” sapanya sok akrab, aku mendesah pelan. Aku menolak ke kantin untuk menghindari dia ehh... sekarang muncul di kelas.
“Kok di kelas aja, kantin yuk.” ajaknya, aku hanya diam.
“O ya, ini temanku mau kenalan denganmu..” ucapnya seorang cowok yang berdiri di belakangnya berjalan mendekatiku. Seorang cowok yang tampan, dia senyum padaku.
“Aku Mario.” ucapnya sambil mengulurkan tangannya. Sebenarnya aku malas menerima uluran tangannya meski dia tampan tapi aku tidak ingin ribut seperti kemarin. Aku menyambut uluran tangannya.
“Jingga.” ucapku lalu melepaskan jabatan tangan kami.
“Kamu siswa baru ya?” tanyanya lumayan sopan dibanding dengan Deri.
“Ya.” jawabku.
“Semoga kamu betah di sekolah ini.” ucapnya sambil senyum. Aku senyum tidak ada salahnya senyum dia cukup sopan.
“Oke kami pergi dulu.” ucapnya lalu merangkul bahu Deri dan mengajaknya keluar. Deri seperti mau protes tapi ketika melihat wajah Mario dia akhirnya diam. Lalu mereka keluar dari kelas, aku mendesah lega. Aku menoleh ke bangku Banyu dan baru sadar kalau Banyu ada di sisiku. Dia masih asyik dengan coret-coretannya dan kali ini aku bisa melihat sedikit apa yang dicoretnya ternyata sebuah sketsa. Jadi selama ini dia mencoret-coret sketsa... Banyu menaikkan wajahnya aku langsung mengalihkan pandanganku. Satu hal yang ku ketahui dari Banyu, dia suka membuat sketsa...
Di minggu sore yang sejuk, aku duduk di taman belakang rumahku. Kembali duduk di rerumputan yang lembut ini setelah sekian lama. Senja menemaniku dalam lamunanku. Warna langit kemerahan terasa begitu sendu. Angin berhembus lembut seakan berbisik... berbisik lembut menghanyutkan jiwa...
“Hai... melamun.” Bang Dega duduk di sisiku dia tersenyum. Rerumputan di dekat kami bergoyang lembut akibat pergerakan Bang Dega.
“Suka banget melihat langit... bukan apa-apa abang takut itu langit runtuh kamu lihatin terus.” ucapnya sambil mengerling jenaka padaku. Aku tertawa.
“Langit itu indah Bang, lihat warnanya kemerahan. Kalau siang dia bisa putih seperti bulu domba... biru seperti laut dan terkadang hitam seperti malam...” ucapku yang selalu kagum akan langit.
“Hmmm... ya setuju... Abang juga suka langit.” ucap Bang Dega aku senyum.
“Abang lebih suka bintang di langit.” Bang Digo sudah ada di sisiku sebelah lagi.
“Yang penting ada langitnya.” ucap Bang Dega.
“Iya... dimana bintang bertaburan kalau tidak ada langit.” ucapku lalu kami tertawa bersama. Bang Dega merangkul bahuku begitu juga Bang Digo kami berangkulan sambil melihat langit senja. Menghabiskan senja yang indah di belakang rumah kami yang sejuk. Aku tersenyum menatap langit lalu menoleh ke Bang Dega. Bang Dega... Bang Dega hilang aku noleh ke sisiku satu lagi... Bang Digo juga hilang. Nafasku tak beraturan jantungku berdebar cepat. Aku melihat ke kiri dan kananku kemana kedua abang kembarku itu... Lalu aku tersadar... kalau semua itu adalah bayangan... bayangan dua tahun yang lalu... Air mataku mengalir... Kini semua hanya kenangan, kenangan yang tak bisa ku lupakan. Aku merapatkan lututku menelungkupkan wajahku ke atas lututku, Bang Dega... Aku rindu Bang... Rindu banget... Rindu rangkulan Abang, rindu candaan Abang, rindu senyuman Abang, tawa Abang... Aku rindu memelukmu Bang merasakan kehangatan kasih sayangmu... Air mataku terus mengalir, semua sudah berlalu dua tahun tapi semua masih teras sakit. Seperti masih kemarin kejadiannya.
“Jingga...” suara mama memanggilku, aku menghapus air mataku dan langsung bangkit berdiri. Suara mama seperti dari dapur, aku harus cepat masuk lewat pintu samping. Jangan sampai mama melihatku menangis. Aku berjalan cepat masuk dari pintu samping dan berjalan ke kamarku. Supaya jangan kelihatan habis nangis aku harus langsung mandi.
*