Read More >>"> NADI (Tanda Petik) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - NADI
MENU
About Us  

           Angin masih terasa dingin, matahari bahkan tidak sepenuhnya muncul ke permukaan. Pagi-pagi buta aku terbangun dari tidur dengan peluh membasahi bajuku. Tidurku tidak nyenyak semalaman penuh, mimpi-mimpi buruk selalu mendatangiku saat mataku baru saja terpejam. Mimpi-mimpi itu tidak lebih menyeramkan daripada keadaanku di dunia ini.

            Suara ketukan menyadarkanku kalau aku sudah dalam keadaaan sadar. Bunyi gembok beradu dengan dinding sel tahanan terniang di kepalaku. Kedua pria gagah yang selalu ku temui di depan kamar mempersilahkanku untuk keluar menemui seseorang. Aku bisa menebak siapa orang tersebut.

            Matahari bahkan enggan menampakan diri hari ini, tapi kedua orang itu terlihat berambisi bertemu denganku. Jika dihitung-hitung ini sudah tiga hari penuh saat terakhir mereka menemuiku. Dimas dan Lisa mempersilahkan aku untuk duduk di hadapan mereka.

            Tatapan Dimas dan Lisa terfokus padaku, sedangkan aku hanya membalas dengan wajah datar. Tak bisa kubaca apa yang ada didalam pikiran kedua orang tersebut, apakah mereka bersedih untukku atau mungkin mereka sedang merendahkan ku. Aku meyakinkan diriku untuk tidak terbuai oleh pemikiranku.

            Dimas melipat tangan di atas meja, sementara Lisa memijit pelipis kananya. Cukup hawa dingin dari angin-angin pagi buta yang mengusik ketenangan ku. Kedua pria gagah yang mengantarku juga tidak lagi terlihat, mereka memilih kabur dari suasana dingin ini.

            “Bagaimana keadaanmu?” Dimas bertanya santai, namun aku tidak menangkap jika ia sedang khawatir. “Kau terlihat kurus.” Tambahnya.

            Aku hanya memilih membungkam suaraku, karena aku memiliki tujuan untuk tetap diam.

            “Apa kami terlalu memaksamu?” Lisa membuka suaranya, “Mungkin kau terguncang akhir-akhir ini. rawatlah dirimu sendiri Aqila.” Kata Lisa entah itu tulus atau tidak.

            “Kau terguncang karena kasus ketiga?” Dimas bertanya kembali, “Apa kau bisa menjawab setiap pertanyaanku sekarang?” ia bahkan lebih mementingkan jawaban kasus tersebut dibanding dengan keadaan batinku.

            “Aku ingin kalian mengabulkan keinginanku.” Pintaku lantang. Dimas dan Lisa bertatap mata bimbang. “Aku akan memberi jawaban asal kalian memenuhi keinginanku.”

            “Apa itu?” Tanya Dimas.

            “Aku ingin bertemu dengan Rasti dan juga Edwin.” Jawabku mantap.

            Dapat ku lihat Dimas dan Lisa terkejut mendengar permintaanku. Mereka bahkan terdiam cukup lama, sampai akhirnya Dimas memutuskan untuk memandangku lekat. Dimata Dimas seakan bertanya apakah aku yakin dengan keinginanku.

            “Baiklah.” Putus Dimas.

            “Dimas!” pekik Lisa pelan, ia menahan lengan Dimas. Lisa seakan tidak setuju dengan permintaanku.

            “Tenanglah,” jawab Dimas. Akhirnya Lisa melepaskan tanganya dari lengan Dimas. “Kami akan membuatmu bebas satu hari ini, kau dapat menemui mereka.” tambah Dimas.

            Aku terkejut mendengar tawaran Dimas. Aku kira mereka akan membawa Edwin dan Rasti tanpa harus aku keluar dari rumah sakit, namun aku dibuat bebas walau hanya satu hari. Ini memberatakan diriku, aku tidak yakin apakah aku bisa.

            “Aku tidak bisa mengenali mereka, wajah Edwin dan Rasti sudah pudar dalam ingatanku.” Aku menunduk pasrah.

            “Kau masih memiliki gambar mereka bukan? Gambar yang kemarin kami tinggalkan untukmu.” Lisa memandangiku lekat.

            “Aku tahu, tapi semuanya sudah berubah. Itu hanya gambar lima belas tahun lalu. Apa kalian tidak bisa membawa mereka kemari?” pintaku pada kedua orang dihadapanku.

            “Tidak. Tapi kau dapat menemui mereka di alamat ini.” Dimas menyodorkanku sebuah kertas kecil, “Aku akan meminta mereka untuk menemuimu di alamat tersebut.” Tambahnya.

            Lisa sekilas melirik lokasi yang ditulis Dimas, ia menatapku langsung. Aku kemudian mengambil kertas tersebut dan membacanya, alamat itu asing untukku. Aku berpikir keras apakah aku sanggup meninggalkan tempat ini dan pergi menemui Rasti dan Edwin disana.

            “Ini tempat asing untukku, aku tidak yakin mampu sampai kesana.” Dimas menghela napas panjang.

            “Akan ada mobil yang akan mengantarmu kesana, tempatnya cukup jauh mungkin sekitar dua jam menuju kesana. Kau bisa pergi dari sekarang dan beristirahatlah di perjalanan.”

            Ku genggam tanganku menekan kuat kertas tersebut. Ku tatap wajah Dimas dan Lisa bergantian, aku bangkit dari duduk ku menghadap mereka.

            “Aku akan ganti pakaian dulu.” Aku memalingkan badan dan berjalan gontai.

            “Kau pincang?” kata-kata Lisa menghentikan kakiku. “Aku baru menyadarinya.”

            Aku terdiam sesaat tidak berniat menjawab pertanyaan Lisa. Ku abaikan mereka dan melanjutkan jalanku yang terhuyung-huyung karena lemah.

            Aku mengenakan pakaian yang dibawa seorang suster. Sebuah jeans panjang dan kaos lengan pendek serta jaket untuk melinduiku dari hawa dingin. Aku juga mengenakan sepatu kets warna putih, rambutku ku biarkan di gerai. Lama ku tatap diriku dalam pantulan cermin, ini mengingatkan aku akan masa-masa sebelum diriku berada di tempat ini.

            Aku beralih ke meja dekat kasur, disana kutemukan sebuah note yang tak pernah kusentuh dan sebuah pena untuk aku menulis. Aku tidak tertarik dengan note itu, aku lebih tertarik dengan penanya. Ku pandangi pena itu dan membuka penutupnya, kemudian kututup kembali menyimpanya di saku jaketku.

            Aku menatap wajah Edwin dan Lisa di gambar yang ku pajang. Aku meyakinkan diriku untuk mengingat wajah-wajah itu. Ku sentuh foto tersebut dari ujung kanan ke ujung kirinya, mungkin bahan dasar dari foto tersebut terlalu tajam sehingga melukai jari telunjukku.

            “Mereka akan menagih ini jika tahu kalau aku terluka karenanya.” Lirihku pada diri sendiri.

            “Aqila!” Dimas memanggilku dari arah pintu, “Mobilnya sudah siap, bergegaslah!” katanya lalu pergi.

            Ku langkahkan kaki ku pelan, bahkan kaki kanan yang sudah tidak bisa berjalan seperti biasa tak membuatku patah semangat untuk pergi mengikuti Dimas dan Lisa. Mereka berjalan di depanku tanpa ada kata-kata yang bisa meluruhkan suasana.

            Pintu keluar terbuka lebar. Sinar matahari yang masih redup membakar mataku. Entah sudah berapa lama aku tidak melihat dunia luar, aku seperti kura-kura yang keluar dari tempurungnya.

            “Naiklah! Ingat, kau harus hati-hati.” Kata Dimas. Aku memasukkan diriku ke dalam mobil hitam tersebut. Dimas menutup pintunya dan mobil itu berjalan meninggalkan mereka. Aku mendapatkan kebebasan untuk satu hari.

            Perjalanan untuk menuju tempat lokasi sangat lama, aku bahkan tertidur di dalam mobil. Guncangan kecil membangunkan ku yang terlelap, mobil kami mendaki karena jalanannya yang tanjakkan. Aku mengusap kedua bola mataku menyadarkan diriku dari mimpi yang kualami. Mata ku melerik sekitar dan kutemui hanya sawah dan gunung-gunung yang indah. Tebakkan ku berkata jika ini sebuah desa jauh dari kota.

            Lirikanku berganti di kaca spion kanan mobil ini, aku melihat mobil warna hitam yang berada di belakang mobil ini. Aku tidak tahu siapa pengemudinya, namun sejak meninggalkan rumah sakit mobil itu sudah ada dibelakang kami.

            “Apa kita dibuntuti?” tanyaku pada sang supir.

            Ia melirikku dari kaca depan, “Tidak.” Jawabnya enteng.

            “Aku pikir kita sekarang sedang dibuntuti, aku melihat mereka sejak meninggalkan rumah sakit,” Aku sedikit meninggikan nada bicaraku sambil menunjuk mobil dibelakang.

            “Kita akan segera sampai.” Hanya kata itu yang keluar dari mulut si sopir. Aku tidak menyukainya, ia membuatku kesal.

            Kami tiba lima menit setelah aku tersadar dari tidurku sebelumnya. Aku membuka pintu kanan dan melihat sebuah rumah sederhana yang hanya berlantai satu dan terbuat dari kayu. Aku melangkahkan kakiku masuk kedalam rumah tersebut.

            Walau hanya berlantai satu tapi rumah itu sangat luas. Aku menekan bel dan mengetuk pintu namun tidak ada jawaban. Aku menoleh kebelakang dan mobil tadi juga sudah menghilang. Kucoba untuk membuka pintu tersebut yang ternyata tidak terkunci.

            Aku masuk ke dalam tanpa ijin siapapun, kulewati ruang depan dan masuk ke ruang tengah. Aku penasaran dengan suara yang kudengar dari ruang depan, mungkin itu suara pemilik rumah. Namun hanya seorang anak laki-laki yang bermain gitar yang ku temui, ia mungkin sudah kelas tiga SMP atau satu SMA.

            Anak itu menghentikan permainannya karena melihatku, ia meletakkan gitarnya ke samping dan menatapku aneh.

            “Anda siapa? Ingin bertemu siapa?” ia bertanya padaku, dan aku bingung harus menjawab apa. “Ibu! Ada yang datang!” teriak anak itu memanggil ibunya.

            Seorang wanita keluar dari arah belakang, ia masih mengenakan celemek bermotif di tubuhnya. Mungkin saja ia tadi sedang memasak untuk sarapan. Namun saat melihat kedatanganku wanita itu terkejut, ia menjatuhkan sudip di tanganya spontan.

            “Aqila!” pekiknya gemetar,

            “Khe! Jadi kau disini?” Aku memandang remeh pada wanita itu.

            “Gilang, panggil ayahmu cepat!” anak yang dipanggil Gilang itu tak bergerak, ia juga kebingungan. “Cepatlah!” bentakkan wanita itu akhirnya mengerakan kaki anak itu berlari ke belakang.

            Aku melirik anak itu pergi, “Kau melahirkannya?” tanyaku datar.

            “Apa yang kau lakukan disini? Pergilah!” pekik wanita itu.

            “Kenapa? kau takut?” aku berjalan mendekatinya, sementara ia bergerak mundur hingga kami berakhir di dapur. “Sudah lama kita tidak bertemu, Rima.”

            Rima gemetar, ia berlari menjauhiku. Matanya tertuju pada benda tajam yang baru digunakannya untuk membersihkan sirip ikan. Rima menodongku dengan pisau tajam di tangannya dari tempat ia berdiri. Aku tahu jika kaki dan seluruh tubuhnya gemetar ketakutan.

            “Kau pergilah dari sini! Aku sudah muak melihatmu!” pekiknya gemetar.

            Aku tetap mendekatinya sampai tubuh belakang Rima membentur meja, ia tidak lagi bisa berjalan mundur. Kedua tangan ku masukkan ke saku jaket, wajahku datar dan tenang.

            “Kau menghancurkan segalanya, kau menipuku!” bentakku nyalang.

            Aku berlari mendekati Rima dan tiba-tiba menyudutkannya, ia tekejut dan menjatuhkan pisau ditangannya hampir saja melukai kakinya. Aku mencekik leher rima dengan tangan kiriku, ia tersedak kehabisan napas. Tangan kananku merogoh benda itu, benda yang biasa untuk menulis.

            “Q-qila..., Hen-hentikan!” Rima tersedak.

            Aku mengangkat tinggi tanganku, runcingan pena tepat di depan mata Rima. Iblis dalam diriku membangkitkan emosi yang terpendam, aku meluap-luapkan amarah dan dendam. Aku mulai menggerakan tanganku cepat.

            Bugh!

            Kesadaranku terputus, pengelihatanku buram. Rasa sakit dari kepala belakangku membuatku terhuyung-huyung lemah, aku meraba-raba kepala belakang dan darah segar memenuhi telapak tanganku. Sedikit demi sedikit pengelihatanku kembali, aku melihat anak bernama Gilang dan Rima sedang berpelukan. Di dekat mereka ada batu gilingan cabai, pikiranku berkata anak itu menggunakannya untuk menghantam kepalaku.

            “Aww! A-aku akan membalasmu!” aku berteriak menantang pada Rima dan juga anaknya. Ku lihat pisau di dekat kaki ku yang tadi dijatuhkan Rima, aku mengambilnya dan bergerak cepat menuju mereka. sedikit lagi aku meraih mereka namun seseorang menubrukkan badanya hingga kami tersungkur kebelakang.

            “Berengsek! Lepaskan aku!” bentakku pada orang tersebut.

            “Cepat ambilkan aku tali!” aku memberontak di kurungan pria itu. Gilang dengan sigap memberikan tali kepadanya. Pria itu mengikatku meskipun aku memberontak.

            “Lepaskan aku! Ku bilang lepaskan aku Haras!” aku menggigit lengannya, namun ia terlalu kuat dan masih tetap tak ingin melepaskan aku.

            Setelah aku berhasil diikat oleh Haras barulah Haras beranjak dari atas tubuhku. Ia melihat Rima dan Gilang sambil memeluk mereka. Setelah itu Haras menghampiriku.

            “Aku sudah bilang kita jangan bertemu lagi!” teriak Haras marah.

            “Wanita itu, dia menipuku! Aku membencinya!” aku menatap mata Haras nyalang.

            Suara derap kaki mendekati kami. Semua mata menoleh pada kedua orang tersebut. Haras bergerak maju dan menubrukkan tinjuanya pada rahang sang pria, ia bahkan terlihat menyeramkan saat itu.

            “Aku sudah bilang jangan bawa dia dihadapanku lagi, Edwin!” pekik Haras marah.

            “Haras tenanglah! Kami terpaksa melakukannya.” Wanita di samping pria itu menenangkanya.

            “Bawa dia pergi dari sini! Aku tidak ingin melihatnya lagi Rasti.”

            Edwin? Rasti? Ku tolehkan kearah ketiga orang tersebut. Namun dimataku tidak ada Edwin atau Rasti yang ada di mataku hanya Haras, Dimas dan Lisa. Dimas memberikan kepada Lisa sebuah jarum, ia menerimanya dan berjalan ke arahku. Aku menatap Lisa menyenduh, Lisa menancapkan benda tersebut ke lenganku.

            “A-apa yang terjadi?” tanyaku pada Lisa namun aku sudah kehilangan kesadaran.

            Air dingin menyadarkanku dari mimpi buruk. Aku masih mengatur kesadaran, tapi aku terheran dengan tubuhku yang basah dan kaki serta tanganku diikat di sebuah kursi. Ku pandangi seluruh ruangan yang ternyata aku masih berada dalam kamar kecilku di rumah sakit. Mataku terhenti pada Dimas dan Lisa yang berdiri di depanku.

            “A-apa yang terjadi?” tanyaku pada mereka.

            Dimas meletakan sebuah ember yang digunaknya untuk menyiramku, “Kau harus berhenti sampai disini Aqila.” Kata Dimas.

            “A-apa maksud kalian? Aku tidak mengerti?” mereka masih terdiam, “Dimas, Lisa ak-“

            “Kami bukan Dimas atau Lisa,” aku terguncang, “Kami adalah Rasti dan Edwin.” Jawab Lisa. “Apa kau terkejut? Kami juga terkejut saat kau tidak mengingat kami, Qila.”

            Keputarkan ingatanku akan masa lalu, mungkinkah mereka sedang menipuku atau memang aku yang tidak mengetahui apapun. “Kita pernah saling kenal, yah... meskipun kita tidak begitu akrab tetapi aku kenal kau dan kau kenal aku.” Lisa pernah mengatakan itu pada ku, tidak terpikirkan olehku ternyata ia selama ini adalah Rasti.

            “Kalian menipuku? Jadi kalian menipuku!” aku marah, aku sangat kesal. “Tidak mungkin, aku hanya ingat Edwin seorang pembisnis bukan dektektif!” aku memekik.

            “Itu cuma usahaku Qila, pekerjaan tetapku adalah sebagai dektektif.” Aku benar-benar terguncang.

            “Aku kira kamu akan jadi pengacara atau hakim, ternyata kamu memilih untuk jadi pembisnis juga.” Aku ingat aku pernah mengatakan itu pada Edwin, jadi nyatanya kalau sebenarnya Edwin memiliki pekerjaan lain. Aku benar-benar telah tertipu.

            “Khe! Hahahahah!” gelakku bercampur emosi. “Kalian mempermainkan aku! Kalian semua berengsek! Apa mau kalian!” aku marah. “Aku sudah terlalu lelah dengan kalian semua!”

            Edwin menatap Rasti, ia kembali beralih padaku. “Katakan yang sebenarnya Aqila, jangan kau sembunyikan lagi. Apa sebenarnya yang sudah kau lakukan?”

            “Diam!” aku menatap mereka nyalang, “Aku benci kalian!”

            Edwin pasrah, ia kemudian membuka pintu kamar ini. Aku menatapnya, Rima dan Haras masuk ke dalam. Tak lama kemudian ada Adam yang mendorong Bimo di kursi rodanya ikut masuk kedalam. Yang membuat mataku membola adalah Ayahku dengan seragam narapidananya juga ikut masuk kedalam.

            “Aku cuma mengumpulkan kesaksian mereka, namun aku masih butuh ceritamu.” Edwin mamandangku remeh, ia mengeluarkan foto dari sakunya, “Ini kau yang melakukannya?” tanya Edwin.

            Aku melihat gambar tersebut, seorang wanita yang berlinang darah. Kepala dan tubuhnya tak lagi menyatuh, aku ingin muntah karenanya.

            “Apa lagi ini? Siapa dia?” tanyaku pada Edwin.

            “Ibu tirimu!” jawabnya.

.

.

.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • Citranicha

    Hai cerita yang bagus :)
    Udah aku like yaaa~
    Suka banget sama diksinya..
    Mampir ke Story aku juga yuk.. semangat!!

    Comment on chapter Koma
Similar Tags
Evolution Zhurria
283      173     4     
Romance
A story about the evolution of Zhurria, where lives begin, yet never end.
Teman Khayalan
1395      598     4     
Science Fiction
Tak ada yang salah dengan takdir dan waktu, namun seringkali manusia tidak menerima. Meski telah paham akan konsekuensinya, Ferd tetap bersikukuh menelusuri jalan untuk bernostalgia dengan cara yang tidak biasa. Kemudian, bahagiakah dia nantinya?
Hear Me
460      328     0     
Short Story
Kata orang, menjadi anak tunggal dan hidup berkecukupan itu membahagiakan. Terlebih kedua orangtua sangat perhatian, kebahagiaan itu pasti akan terasa berkali lipat. Dan aku yang hidup dengan latar belakang seperti itu seharusnya merasa bahagia bukan?
Perjalanan Move On Tata
417      274     0     
Short Story
Cinta, apasih yang bisa kita katakan tentang cinta. Cinta selalu menimbulkan rasa sakit, dan bisa juga bahagia. Kebanyakan penyakit remaja sekarang yaitu cinta, walaupun sudah pernah merasakan sakit karena cinta, para remaja tidak akan menghilangkan bahkan berhenti untuk bermain cinta. Itulan cinta yang bisa membuat gila remaja.
Secret World
2945      960     6     
Romance
Rain's Town Academy. Sebuah sekolah di kawasan Rain's Town kota yang tak begitu dikenal. Hanya beberapa penduduk lokal, dan sedikit pindahan dari luar kota yang mau bersekolah disana. Membosankan. Tidak menarik. Dan beberapa pembullyan muncul disekolah yang tak begitu digemari. Hanya ada hela nafas, dan kehidupan monoton para siswa kota hujan. Namun bagaimana jika keadaan itu berputar denga...
SUN DARK
349      213     1     
Short Story
Baca aja, tarik kesimpulan kalian sendiri, biar lebih asik hehe
LUKA TANPA ASA
4778      1576     11     
Romance
Hana Asuka mengalami kekerasan dan pembulian yang dilakukan oleh ayah serta teman-temannya di sekolah. Memiliki kehidupan baru di Indonesia membuatnya memiliki mimpi yang baru juga disana. Apalagi kini ia memiliki ayah baru dan kakak tiri yang membuatnya semakin bahagia. Namun kehadirannya tidak dianggap oleh Haru Einstein, saudara tirinya. Untuk mewujudkan mimpinya, Hana berusaha beradaptasi di ...
Unexpected You
311      215     0     
Romance
Pindah ke Indonesia dari Korea, Abimanyu hanya bertekad untuk belajar, tanpa memedulikan apapun. tapi kehidupan tidak selalu berjalan seperti yang diinginkannya. kehidupan SMA terlalu membosankan jika hanya dihabiskan untuk belajar saja. sedangkan Renata, belajar rasanya hanya menjadi nomor dua setelah kegemarannya menulis. entah apa yang ia inginkan, menulis adalah pelariannya dari kondisi ke...
LASKAR BIRU
6979      1971     6     
Science Fiction
Sebuah Action Science-Fiction bertema Filsafat tentang persepsi dan cara manusia hidup. Tentang orang-orang yang ingin membuat dunia baru, cara pandang baru, dan pulau Biru. Akan diupdate tiap hari yah, kalau bisa. Hehehe.. Jadi jangan lupa dicek tiap malamnya. Ok?
Special
1147      628     1     
Romance
Setiap orang pasti punya orang-orang yang dispesialkan. Mungkin itu sahabat, keluarga, atau bahkan kekasih. Namun, bagaimana jika orang yang dispesialkan tidak mampu kita miliki? Bertahan atau menyerah adalah pilihan. Tentang hati yang masih saja bertahan pada cinta pertama walaupun kenyataan pahit selalu menerpa. Hingga lupa bahwa ada yang lebih pantas dispesialkan.