Pondokan tempat Poni, Aida, sama Fani tidur pagi-pagi udah rusuh. Pada nyariin barangnya yang hilang. Poni kehilangan sisir, Aida kehilangan pasta gigi, dan Fani kehilangan shampoo. Belum lagi ada yang kehilangan dompet, jam tangan, sampai parfume impor. Bu Ruk juga sama, dia kehilangan kacamata barunya, padahal sengaja dia beli buat liburan ini. Satu jam pencarian masih nggak ketemu. Tambah panik deh yang kehilangan barang, beda halnya sama Poni, Aida, dan Fani yang baru sadar mereka bukan kehilangan tapi emang lupa bawa sisir, pasta gigi, sama shampoo, akhirnya mereka pinjem sama yang punya.
Balik lagi ke kejadian barang-barang yang hilang. Kemanakah gerangan hilangnya? Apa pondokan mereka ini nggak aman? alias ada pencuri masuk. Diplopori Bu Ruk yang kehilangan kacamata barunya, semua yang merasa kehilangan melapor ke Pak Black. Mereka dibantu petugas penginapan berkeliling ke semua sudut penginapan. Tidak ada yang mencurigakan karena semua akses masuk penginapan, pintu, dan jendela di pondokan tidak ada yang rusak. Jangan-jangan pencurinya orang dalam.
Ternyata selain pondokan Poni, pondokan lainnya juga ada yang kehilangan barang, yaitu pondokan yang dipakai menginap Cherry Cs. Atas usulan salah satu orang dan persetujuan semua pihak, dilakukan penggeledahan tas tamu-tamu yang menginap. Penggeledahan pertama di pondokan Poni tidak ditemukan barang yang hilang, lanjut ke pondokan cowok-cowok juga sama, dan terakhir ke Pondokan Cherry.
“Awas yah kalau barang saya ada yang rusak! Itu barang mahal semua,” ancam Cherry waktu tasnya diperiksa. Cherry sendiri bawa dua koper dan satu tas jinjing.
Koper pertama tidak ada yang mencurigakan. Isinya baju-baju branded punya Cherry. Tapi betapa kagetnya orang-orang yang menyaksikan penggeledahan ketika barang-barang yang hilang ditemukan di koper ke dua Cherry, tepatnya di salah satu resleting dalam koper. Ada dompet, jam tangan, perfume, kacamata, dan barang lainnya yang hilang.
“Bukan saya! Jelas bukan saya!” kata Cherry yang sama kagetnya. “Untuk apa saya ambil barang-barang murah begitu.”
“Tapi buktinya ada di tas lo Cher,” sahut Aida.
“Ini pasti ada yang mau fitnah gue,” kata Cherry membela diri. Ya logikanya sih emang nggak mungkin dia yang ambil, saat Cherry punya semua yang dia mau. Tapi melihat buktinya ada dalam koper Cherry, dia sulit mengelak lagi di hadapan semuanya. Muka Cherry memerah, dia marah-marah sendiri, seperti orang yang menahan tangis. Cherry terus bilang dirinya difitnah.
Permasalahan barang hilang sebetulnya selesai saat itu juga. Semua sepakat tidak ingin memperpanjang masalah dan merusak suasana liburan. Cherry diharuskan minta maaf ke semua orang yang kehilangan barang dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Jelas awalnya Cherry nolak mentah-mentah, dia masih bersikeras bilang bukan dia pelakunya. Tapi waktu diancam akan dilaporkan ke Polisi, Cherry melakukan apa yang diminta. Cherry sadar, bukti yang ditemukan padanya akan memberatkan dirinya sendiri, walau belum tentu juga benar dia pelakunya.
Dari kejadian itu, anak-anak jadi menjauhi Cherry, bahkan teman-teman yang sering bersamanya. Cherry benar-benar dikucilkan. Melihat Cherry seperti itu, ada yang mengusik hati Poni. Poni kali ini sepakat dengan Cherry. Menurut Poni, bukan Cherry pelakunya. Poni ingat kemarin malam, saat semua asik menikmati api unggun, Poni sempat kembali ke Pondokan karena lupa mengunci pintu. Saat itu, dia melihat Luna baru ke luar dari pondokan Poni. Pas Poni tanya, Luna bilang sih dia salah masuk pondokan. Karena malamnya nggak ada yang merasa kehilangan, Poni nggak cerita apa-apa. Nah! hal itu yang terus mengusik hati Poni. Walau tampang Luna yang polos seperti tidak mungkin melakukannya, tapi apa yang dilakukan Luna semalam patut dicurigai. Poni akhirnya mutusin ceritain apa yang dia lihat ke Pak Black dan Bu Ruk.
Pak Black akhirnya minta Poni panggil Cherry dan Luna untuk menemui Pak Black dan Bu Ruk. Cukup lama mereka bicara berempat. Bu Ruk lalu minta tolong ke Poni lagi untuk memanggil semua anak yang kehilangan barang.
Ternyata benar bukan Cherry pelakunya, tapi Luna yang kesal dan sakit hati sama tingkah Cherry selama ini. Luna merencanakan hal ini untuk memfitnah Cherry. Luna sengaja masuk ke pondokan Poni pas dia nggak sengaja tau pondokan itu lupa dikunci. Dia juga yang mencuri barang-barang di kedua pondokan dan menaruhnya ke dalam koper Cherry. Semua hal itu dilakukannya untuk balas demdam ke Cherry. Luna di hadapan orang-orang yang terlibat, akhirnya mengakui kesalahannya dan meminta maaf.
“Ibu tahu tentang Luna dari siapa?” tanya Cherry ke Bu Ruk saat mereka berduaan aja.
“Ibu tau dari Poni. Dia yang lihat Luna,” jawab Bu Ruk. “Cherry, Ibu yakin kamu bisa mengambil hikmah dari kejadian ini. Bisa jadi selama ini, ada orang-orang yang merasa tersakiti dengan ucapan atau perbuatan kamu. Cherry bisa perbaiki diri kan?” tanya Bu Ruk.
Cherry mengangguk setuju.
Siangnya acara bebas untuk anak-anak sebelum pulang dari Pulau Macan. Poni, Aida, sama Fani lagi berkeliling ke penjual souvenir. Mereka beli beberapa hasil kerajinan tangan penduduk setempat. Poni kaget saat itu Cherry menghampirinya dan ingin bicara empat mata dengannya.
“Thanks, udah ceritain soal Luna ke Pak Black sama Bu Ruk,” kata Cherry ke Poni.
“Sama-sama,” sahut Poni. “Menurut gue, lo harus minta maaf juga ke Luna.”
“Gue udah minta maaf ke dia tadi,” kata Cherry. “Gue bilang terimakasih bukan berarti berdamai sama lo. Danis tetep lebih pantes buat gue.”
“Terserah aja. Sesungguhnya semua orang punya hak yang sama untuk berteman, dekat, atau punya perasaan ke siapapun,” kata Poni.
“Kali ini gue bakal bikin Danis balik ke gue dengan cara yang fair,” kata Cherry kembali penuh percaya diri.
“Iya. Semoga berhasil,” sahut Poni santai.
Cherry kembali percaya diri. Teman-temannya juga kembali menemaninya. Siapa sangka liburan anak-anak ini diakhiri dengan drama balas dendam. Siapa sangka juga? apapun bisa dilakukan karena alasan sakit hati, sampai memfitnah teman sendiri.
Kapal yang akan membawa mereka pulang sudah menepi di dermaga Pulau Macan. Masih ada waktu satu jam untuk pulang. Kebanyakan mengecek lagi barang bawaan sebelum naik ke kapal. Sambil menunggu di pingir pantai pada foto-foto lagi.
Poni juga ikutan foto sana-sini, sampai semua foto sepertinya ada Poni ikut nimbrung. Eksis banget deh, sebelas dua belas sama Fani. Kalau kata Fani sekalian buat koleksi photoshoot. Siapa tau ada majalah yang minta fotonya untuk dimuat, Fani udah punya banyak pilihan.
Danis baru kembali dari pondokan mengambil barang-barang. Dia melihat poni lagi duduk di pinggir dermaga asik berfoto-foto. Danis langsung mendekati Poni dan mengajaknya menjauh dari kerumunan. Danis ngajak Poni berjalan lebih jauh dari dermaga. Masih ada waktu pikir Danis untuk bicara berdua dengan Poni. Liburan kali ini adalah waktu yang tepat menurut Danis.
“Akhirnya gue bisa ngajak lo bedua juga,” kata Danis. “Ada hal yang mau gue bilang ke lo.”
“Bilang aja,” kata Poni.
Danis seperti mempersiapkan dirinya untuk sesuatu. “Poni…”
“Hadir.”
“Gue..,” kata Danis.
“Manusia serigala?” tanya Poni bercanda.
“Bukan Po,” jawab Danis namun masih gugup.
“Syukur deh bukan,” sahut Poni. “Terus apa?”
“Ya manusia biasa,” jawab Danis.
“Sama gue juga, walau kadang Fani bilang gue masih punya gen mutan atau alien.”
“Po..”
“Iya.”
“Selama kita deket, gue ngerasa semakin nyaman sama lo. Gue..gue..hhm.., gue suka sama lo. Poni, lo mau nggak jadi pacar gue?” akhirnya Danis berhasil mengucapkan perasaannya. Ada kelegaan yang terpancar dari wajah Danis.
Poni bukannya nggak sadar Danis mau ngomong hal ini, apalagi lihat gelagat Danis di tiga hari mereka liburan. Belakangan ini Danis emang semakin dekat dengan Poni. Setiap malam minggu, mereka nggak pernah absen bertemu. Termasuk setiap harinya di sekolah. Istirahat sekolah makan sama Danis, pulang sekolah dianter Danis, mau kemana-mana Danis hampir selalu menemani Poni. Bukannya Poni nggak senang. Poni senang Danis sering ada untuknya. Tapi setelah dipikirkan berulang-ulang, Poni tetap pada keputusannya.
“Gue juga nyaman dekat sama lo,” kata Poni.
“Jadi lo mau?” tanya Danis.
“Untuk deket sama lo, iya gue mau,” jawab Poni.
“Maksudnya sebagai pacar kan?” tanya Danis memastikan.
“Apa harus jadi pacar untuk bisa deket?” tanya Poni balik.
“Ya nggak sih,” kata Danis. “Lo nggak mau ya Po?”
“Gue belum siap Dan,” jawab Poni.
“Kenapa? Lo nggak suka sama gue?” tanya Danis.
“Gue suka sama lo. Gue juga ngerasanya sayang sama lo,” kata Poni.
“Gue juga sayang sama lo Poni, tapi kenapa lo nggak mau jadi pacar gue? Apa karena ada Hiro?”
“Hiro? Dimana? Kok gue nggak liat,” kata Poni celingukan.
“Di hati lo mungkin,” sindir Danis.
“Wahh..sejak kapan lo bisa tau isi hati gue?” tanya Poni.
“Jadi bener?” Danis kaget.
“Nggak tau juga. Abis gue belum punya kekuatan untuk ngeliat isi hati kayak lo,” sahut Poni.
“Poni gue serius,” kata Danis.
“Iya gue tau, lo serius, tapi bukan personel serius band, kayak Candil, tau kan?”
“Poni..,” kata Danis.
“Masih hadir,” sahut Poni.
“Lo lagi bercandain gue lagi yah?” tanya Danis.
“Ketauan deh,” kata Poni cekikikan. “Maaf yah.”
“Jujur.., gue sering heran deh sama lo,” kata Danis. “Gue sering ngerasa kesulitan buat artiin sikap lo ke gue. Kayak sekarang. Lo bilang sayang sama gue, tapi nggak mau jadi pacar gue.”
“Gue emang beneran belum siap untuk pacaran. Mungkin nggak sekarang, atau belum tau sampai kapan. Nggak jadi pacar, bukan berarti gue nggak sayang sama lo. Gue seneng bertemen sama lo, gue juga mau terus deket sama lo, selama lo juga mau,” kata Poni.
“Gue mau,” kata Danis. “Gue coba untuk ngerti keputusan lo.”
“Lo nggak punya keharusan untuk ngertiin gue Dan. Misal lo nanti ngerasa nggak nyaman sama gue, atau sebaliknya. Kita jujur yah. Nggak boleh buat satu sama lain jadi nggak enakan, apalagi ada yang merasa tertekan,” kata Poni. “Lo masih mau temenan sama gue kan?”
“Iya Po,” jawab Danis.
“Asiiikkk,” Poni senang Danis bisa menerima pemikirannya. Percayalah. Poni memang suka sama Danis, Poni juga sayang sama Danis, walau bukan jadi pacar.
Danis mengelus kepala Poni perlahan. “Lo emang unik Po. Beda sama cewek-cewek yang pernah gue kenal.”
“Kalau sama nggak ada variasinya dong,” sahut Poni sekenanya.
Danis hanya menggeleng-gelengkan kepalanya menghadapi Poni. “Boleh tanya lagi nggak?”
“Bolehlah.”
“Emang lo baru mau pacaran kalau apa?” tanya Danis.
“Kalau gue yakin lelaki itu bisa jadi nahkoda kapal buat gue,” jawab Poni lantang.
“Ohh ya udah nanti gue belajar buat jadi nakhkoda kapal. Biar lo yakin sama gue,” kata Danis. Dia bertekad ingin jadi nakhoda kapal sesungguhnya untuk Poni dan mengarungi lautan luas hidup ini.
“Gue dukung penuh,” sahut Poni mengemangati Danis.
“Tapi lo jangan mau sama Pak Kamil yah,” kata Danis.
“Kenapa Pak Kamil?” tanya Poni.
“Dia kan nahkoda kapal,” jawab Danis.
“Oh iya Pak Kamil yang udah sekuat tenaga ngebawa kita sampai ke Pulau Macan dengan selamat. Dia emang udah teruji sebagai nahkoda kapal. Boleh juga sih,” kata Poni.
“Boleh apa?” tanya Danis.
“Boleh dipertimbangkan jadi pacar,” kata Poni.
“Ehh jangan Po!” sahut Danis
“Kenapa?” tanya Poni.
“Nanti gue sedih lo sama Pak Kamil. Lagian kan dia udah punya lima anak, dua istri,” kata Danis.
“Lho! maksudnya kan bukan dipertimbangkan untuk jadi pacar gue. Lagian dia udah gue anggep jadi orang tua sendiri di atas kapal, karena Pak Kamil ngejaga penumpangnya udah kayak ngejaga anak-anaknya sendiri. Gue juga nggak mau dipoligami atau dimonopoli,” kata Poni.
“Bagus deh. Gue harap sih lo nggak mau ke siapa-siapa. Tunggu gue bisa ngeyakinin lo, biar lo maunya cuma sama gue,” kata Danis.
“Siapp,” sahut Poni. “Kita balik ke sana yuk,” Poni menunjuk tempat teman-teman mereka berkumpul.
“Boleh pegangan?” Danis mengulurkan tangannya.
Poni meraih tangan Danis dengan senang hati. “Boleh biar nggak kesandung kodok lewat,” kata Poni.
“Kodok??? Dimana? Dimana?” tanya Danis seketika panik dan nampak pucat.
Poni asal nyebut aja, “Di situ.”
“Aaarrrggh…,” Danis berteriak dan meloncat-loncat kegelian. Danis lupa langsung berlari meninggalkan Poni yang melongo melihat Danis semakin menjauh.
“Danis…! Kok gue ditinggal?” tanya Poni.
Seperti lupa kata-katanya yang ingin meyakinkan Poni beberapa menit lalu, Danis langsung pergi maninggalkan Poni karena kodok. Ternyata Danis emang phobia banget sama kodok. Well, tapi Poni nggak marah ke Danis cuma gara-gara phobianya.
Liburan kali ini tetap mengesankan buat Poni. Di balik perjalanan yang tidak mudah dan drama tentang Cherry, Poni menghabiskan banyak waktu menyenangkan bersama teman-temannya dan Danis tentunya. Poni merasa liburan ini bisa membuatnya refesh sebelum masuk sekolah lagi.
Di sisi lain dermaga, Pak Black dan Bu Ruk tampak letih menjalani liburan mereka. Menjaga anak-anak ini memang tidak mudah. Keduanya harus ekstra diri mengawasi mereka. Belum lagi menghadapi kasus kehilangan barang tadi pagi. Pak Black dan Bu Ruk terus berdoa semoga perjalan pulang mereka lancar dan aman sampai tujuan. Betapa rindunya mereka untuk pulang dan terbebas sementara dari murid-muridnya ini.
“Pak Black…Bu Rukmah…,” panggil Aida dari kejauhan.
Ingin rasanya Pak Black tidak menghiraukan Aida. “Pak Black dan Bu Ruk yang baik hati. Tolonglah kami yang kehausan ini dan sudah kehabisan uang jajan. Traktirlah kami masing-masing segelas es kelapa muda. Bukankah Bapak dan Ibu mengajarkan, berbagi ke yang membutuhkan adalah tindakan yang mulia?” kata Aida dengan tampang memelas akut.
Pak Black dan Bu Ruk dengan lesu mengeluarkan beberapa lempar uang dari dompet mereka. Asal Aida tidak berada di sekitarnya, mereka ikhlas mentraktir murid-muridnya ini.
“Ikhlas kan Pak, Bu?” tanya Aida.
“Iya Aida,” jawab Bu Ruk.
“Udah cepat beli sana,” kata Pak Black.
“Terimakasih Pak Black. Terimakasih Bu Rukmah,” kata Aida berlari meninggalkan kedua gurunya yang kembali menatap lautan lepas dengan tatapan kosong. Entahlah bagi mereka, apa ini liburan atau ujian kesabaran?
Kedatangan Aida disambut gembira teman-temannya. Mereka menunggu tidak jauh dari penjual es kelapa muda di pinggiran dermaga. Segar dan manisnya es kelapa muda menjadi penutup liburan remaja-remaja ini di Pulau Macan.
@dede_pratiwi ok sipp. Sorry telat respon
Comment on chapter SMA Bhineka