CHAPTER SEVEN
“gue peringatin lo untuk yang terakhir kali ya. Ga usah ikut campur urusan gue. Dan ga usah sok-sok mengintimidasi Arra, dia ga salah.”
“gue bersikap sebagaimana mau gue.”
“oke gue juga. Lo usik sahabat gue dan hidup gue, itu tandanya lo siap gue lupain sepanjang sisa hidup gue.”
Sekarang setiap mau berangkat sekolah, aku mempersiapkan diri lebih baik, ah bukan, mempersiapkan mental lebih tepatnya. Rama masih saja memperhatikan aku dan Arra dengan tatapan tajam dan mematikan, setiap hari, setiap waktu saat aku berbincang dengan Arra.
Rama sudah aku beri peringatan dan sepertinya itu berhasil. Dia ga lagi tiba-tiba nguping atau nyerobot pembicaraan kami. Walaupun dia masih galak dengan aku dan Arra, setidaknya hubungan antara dia dan Arra sudah membaik, lebih baik ketimbang beberapa minggu kemarin.
[dia minta maaf sama aku Lana. Dia uda ga marah lagi sama aku]
Ketika aku mendapat chat Arra malam itu, aku hanya menemukan kelegaan, meski ada rasa ngilu yang tidak bisa diabaikan begitu saja.
Secara jujur aku juga belum berani menjawab chat dari Rayi ketika dia akhirnya menghubungiku. Aku hanya membaca, karena Rayi juga hanya menyapa ringan. Sepertinya dia tahu bahwa ada yang belum selesai antara aku dengan dia, maka dia tidak memaksa memaksaku untuk membalas chatnya. Hanya saja sesekali tiap pagi dia memberikan pesan-pesan pagi atau bahkan puisi.
Puisi? Ya puisi!
Beda betul memang jika dibandingkan dengan kembarannya, Rama. Rayi memang lebih lembut pembawaannya, tidak memaksa. Tapi, kelembutannya itu tidak bisa dikhususkan hanya untuk satu wanita, saying sekali. Sedangkan Rama, yang aku pelajari, dia ramah juga ke hampir semua orang, tapi dia mengkhususkan diri hanya kepada satu wanita. Setidaknya, itu yang aku pelajari.
“Lana.”
“ya?” aku menatap ke arah Arra, sedangkan yang ditatap justru sedang tersipu malu.
“apa menurutmu, kalau aku mulai berpacaran dengan Rama?”
Aku mengedipkan mata sekali, berusaha menahan rasa terkejutku, melirik ke arah Rama sekilas. Sedangkan yang dilirik, untuk kali ini, tidak menyadari sama sekali.
“ah, benarkah?” aku hanya mengucapkan dua kalimat pendek itu sambil menelan ludah. Arra mengangguk mantap.
“iya, semalam, kami telponan lagi. Sepertinya dia benar-benar menyesal dan merasa bersalah banget sama aku karena kejadian pas ngegebrak meja waktu itu. Dia mau menebus kesalahannya itu.”
“dan itu dengan berpacaran?” tanyaku tidak percaya, lebih kepada diriku sendiri. Arra lagi-lagi mengangguk dengan senyumannya yang semakin lebar, dia melirik sekilas kepada Rama.
“hari ini kita akan pulang bareng hihi.”
Aku menghela nafas berusaha mengatur nafasku sebaik mungkin. Drama ini sudah berakhir. Entah karena nafasku yang tidak beraturan atau karena jantungku yang sempat berdetak tidak menentu, aku tidak tau yang jelas saat ini aku sedang merasakan sakit di bagian dada.
Aku berusaha untuk tersenyum dan memberikan selamat kepada Arra, aku tau seberapa sulitnya itu.
“oke, ga papa. Selamat ya, haha. Bener kan, dia ga suka sama aku, wooo dibilangin juga”
“hihi, iya maaf ya, aku salah duga selama ini. Kamu gimana? Rayi sudah chat kamu kan? Kemarin dia bilang makasih uda dikasih nomermu.”
“begitulah.” Aku memaksa tersenyum, lalu percakapan berputar sekitar bagaimana Arra akan sangat bahagia jika dia akhirnya nanti benar akan menjadi kekasih hatinya Rama, dan aku, sedang membayangkan bagaimana aku akan mengelola hatiku melihat mereka bersama.
16.30, kamar kost
BLUG!
Aku membanting diriku ke atas kasur. Hari ini rasanya lelah sekali, setelah sekian jam aku harus mendengarkan bayangan kebahagiaan sahabatku, aku juga masih harus menemaninya belajar bersama dengan calon masa depan sahabatku.
Aku memaksa diriku, memaksa tersenyum, memaksa berbicara, memaksa bercanda, memaksa tertawa, hingga memaksa memanggil namanya dengan cara paling biasa yang aku bisa.
Rama juga terlihat berusaha bersikap biasa saja walaupun kaku sekali rasanya, dia bahkan tidak memanggil namaku sama sekali. Aku sempat jengkel dengan sikapnya yang seperti itu, tapi kemudian kejengkelan itu aku redam. Semakin hatiku bereaksi dengan semua sikapnya, semakin aku tidak bisa merelakan dengan baik-baik saja.
Tilililit tilililit.
Aku membalik badanku dan mencari benda itu di dalam tas sekolahku.
Tilililit tilililit.
“Assalamualaikum.” Aku mengangkat tanpa melihat dengan jelas siapa yang menelpon.
“huft..” terdengar desahan lega dari seberang, “dikira belum mau diangkat, hehe.”
DEG!
Jantungku rasanya mau loncat keluar dari tempatnya mendengar suara yang selalu mendatangkan sensasi bahagia dulunya. Aku buru-buru mengecek layar handphoneku,
Rayi.
Aku menyesal, kenapa tadi di cek dulu sebelum diangkat.
“halo? Lana?”
Aku tergagap dan segera menjawab sapaannya,
“ah iya, ini gue. Ada apa?”
“ahahaha, ternyata benar katanya Rama, kamu sekarang jauh lebih jutek dibanding yang dulu.” Aku mengernyit mendengar kalimat Rayi, kenapa bawa-bawa Rama?
“kalian ngomongin gue? Luar biasa..” aku berusaha menjaga kestabilan diriku.
“ahahah gaa koo.. dia nyuruh aku nelpon kamu sore ini, katanya kamu lagi bete. Jadi, aku coba menemani. ”
Aku mengernyitkan dahi kembali, kesimpulan dari mana itu?
“kata siapa ih, ngayal. Gue baru sampe rumah.”
“ahahaha iyaa.. jadi, apa kabar Lana?”
Aku menghentikan tanganku yang sedang melepas kerudung, sedikit termenung dengan pertanyaan Rayi. Ini Rayi yang kukenal, yang tidak akan memaksa sebuah jawaban yang dia inginkan, yang berusaha untuk memahami lawan bicaranya.
“Lana?”
“ah iya, gue? Baik-baik aja, thanks.”
Aku berusaha menyimpan rasa gugupku, yang aku tau betul Rayi akan segera menyadarinya.
“ahahahaha. Lagi apa sih Lana, ko kayanya dari tadi bengong aja..”
“baru sampe ini. Baru banget nyelonjorin kaki, eeh di telpon.”
“Yaa Allah.. salah dong aku yaa nelponnya, hehe, terlalu terburu-buru.”
Aku hanya diam.
Ada apa? Kenapa Rayi tiba-tiba terlihat ceria begini di hadapanku? Apa dia mau mengatakan bahwa dia akan segera mengirim undangan setelah lulus kuliah?
“apa Lana merasa terganggu?”
“apa?” kali ini jawabanku malah terdengar terlalu cepat.
“apa Lana merasa terganggu dengan panggilanku? Kalau iya, aku akan tutup dan besok atau ketika Lana sudah siap, aku akan telpon lagi.”
Aku baru akan membuka suara tapi kemudian aku tutup kembali. Aku harus memikirkan baik-baik jawabanku kali ini, aku hanya takut apa yang seharusnya tidak terulang justru akan terulang.
“ah, tidak. Emang, apa yang mau lo omongin?”
“ada banyak. Jadi, pasti ga akan sebentar, ehehe.”
“begitu.. apakah penting?”
Jeda. Kali ini tidak terdengar apapun dari seberang..
“eum, penting, buatku. Menurutku, ini juga penting untuk Lana.”
Untukku?
“apakah di telpon cukup?”
“waw, kamu tidak berubah untuk bagian ini Lana.” Aku merasa Rayi tersenyum lebar ketika mengucapkan ini, dan aku menyesali kebiasaanku dulu. Memang tidak bisa, masa lalu tidak pernah bisa dijalani kembali sebaik apapun aku menata hatiku. Tidak akan pernah bisa.
“maksudku..”
“ya, aku paham. Maaf, aku tidak bermaksud apa-apa. Eeumm.. Lana apakah mau jika aku minta bertemu?”
“boleh, dimana?” aku hanya berusaha mengakhiri semuanya, sampai ke akar-akarnya. Maka menurutku, semakin cepat semakin baik.
“di tempat biasa bagaimana? Menurutku, tempat itu tempat yang paling baik untuk bertemu kembali.”
Kemudian kami memutuskan waktu bertemu.
Setelah telpon aku tutup, aku masih menatap layar handphoneku sesaat. Aku meraba dadaku, ada rasa yang berdesir walaupun tidak sekuat biasanya. Ada rasa sakit yang tidak bisa didefinisikan, rasanya tidak seperti biasa.
***
“apa perasaan kita akan terus seperti ini? Sampai kapanpun tidak akan terganti?” tanyaku pada Rayi saat usia hubungan kita baru tiga bulan. Jika diibaratkan dengan bayi, maka kita baru mulai belajar merangkak atau malah baru bisa bolak-balik badan tidak menentu.
“entahlah, aku tidak tahu. Menurutku, tidak akan semudah itu.”
“iya, kenapa?”
“karena kamu adalah wanita pilihanku dari sekian banyak pilihan. Ciiiieee..”
Aku langsung tersipu seperti orang bodoh dan melupakan pertanyaan awalku. Aku dan Rayi pacaran yang tidak seperti orang pacaran, kami jarang jalan bareng, seringnya jalan bertiga sama kakak. Rayi tidak pernah merasa masalah karena katanya, dia juga tidak akan melakukan apapun. Mau jalan bertiga atau berdua baginya tidak ada masalah.
Kami hanya rajin chattingan saja, karena saat itu aku terlalu malu untuk ditelpon. Belum lagi ketika dia menelponku selalu saja aku diganggu oleh kakak atau ayah. Maka, sebaiknya tidak menelpon. Semua berjalan sebaik itu selama beberapa bulan, sampai akhirnya kami benar-benar tidak terlihat sebagai sepasang kekasih ketika Rayi mulai duluan masuk sekolah.
Dan disitulah mimpi burukku terjadi.
“Lana! Uda lama?” aku menatap Rayi yang tersenyum lebar seraya berlari ke arahku. Tidak ada yang berubah dari terakhir aku bertemu dengannya saat dia sedang bersama seorang wanita, bahkan tidak ada yang berubah ketika ia masih bersamaku.
“belum terlalu.” Kataku sambil tersenyum dipaksakan. Aku hanya ingin hari ini tidak terlalu salah, aku hanya ingin menyelesaikan semuanya sampai ke akar-akarnya. Sebelum Rama merubah pikirannya kembali atau merubah sikapnya lagi, atau bahkan sebelum Rayi kembali menghilang atau justru memilih kembali ke dalam kehidupanku.
“gue pesen makan dulu ya.”
Aku mengangguk.
Ada yang aneh.
Aku mencoba memperhatikan Rayi dengan seksama. Dia tidak wangi, paling tidak, tidak wangi berlebihan seperti yang terakhir kali aku cium saat bertemu dengan Rama. Rayi juga tidak terlihat dandan, rambutnya seperti disisir sebagaimana mestinya, pakaiannya juga terlihat biasa saja.
Sepertinya, kali ini memang hanya pertemuan biasa saja.
Memang, apa yang kamu harapkan?
Aku mengangkat bahu.
“so.. apa kita langsung ngomong aja ke intinya?” Rayi yang langsung membuka pembicaraan sesaat setelah pesanannya tiba, membuatku yang memang sedang tidak siap menjadi gugup.
“ah, iya boleh. Rayi aja yang bicara ya.”
“ya.. Lana..” Rayi menatapku sesaat kemudian mengalihkan pandangan kembali ke meja, sedang aku semakin gugup dibuatnya.
“maafkan aku.”
DEG!
Sebuah kata yang sudah kutunggu entah berapa lama, rasanya sudah lama sekali. Kata yang aku minta keluar darinya untuk menjelaskan semua keadaan kami, kata yang bisa menenangkan hati dan jiwaku yang haus akan tanda tanya dan penjelasan. Sedangkan aku tidak bisa mendapatkan di waktu yang aku inginkan.
“maafkan aku Lana, aku terlalu… terlalu kekanak-kanakan..” jeda.., “saat itu, aku hanya tau bahwa hatiku merindumu, tapi tak mampu berbuat banyak. Aku yang sudah mulai disibukkan dengan berbagai macam kegiatan sekolah, aku sangat kelelahan kala itu, aku yang teramat merindumu, namun aku juga yang sedang dihinggapi berbagai macam godaan syaithan. Aku akhirnya kalah dari semuanya.” Suara Rayi terdengar pilu yang tidak dibuat-buat, aku bersimpati. Aku berusaha untuk tidak terlalu larut dalam perasaannya, karena sampai saat ini sejujurnya aku tidak tahu apa yang ingin Rayi sampaikan.
“Kau tau Lana arti dari pelarian? Itu makna yang bisa aku temuka untuk pertama kali. Aku tergoda oleh hawa nafsu. Kau ingat betulkan bagaimana aku memperlakukanmu? Aku bahkan tidak pernah berani untuk berniat menyentuh tanganmu, aku berusaha menjagamu semampuku sampai aku menemui ayahmu. Dan itu, akhirnya tidak pernah terlaksana.” Rayi kembali menatapku, “maafkan aku Lana.”
“Rayi..” aku kehilangan kata-kata, aku bahkan tidak tahu harus mengatakan apa. Aku memilih diam, aku tidak tahu.
“apakah ada yang mau kau sampaikan Lana?”
Aku menatap Rayi kemudian meminum minumanku secara paksa, aku berusaha menghalau rasa gelisahku.
“aku.. apa yang harus aku sampaikan?” tanyaku dengan suara yang, menurutku, terdengar aneh.
“apapun, aku akan dengarkan. Semua rasamu akan aku terima.”
Lalu seketika rasanya aku terbawa kepada diriku yang sangat menderita, yang terus-terusan menanti panggilan darinya, yang terus-terusan menatap layar hadnphone dengan penuh harap, yang terus-terusan menghindar dengan dari semua kata-kata kakak ataupun ayah.
“aku.. sangat terluka Rayi.” Aku mencoba menatap Rayi sekilas dan kudapati mukanya yang sangat merasa bersalah, “setahun setelah kau pergi tanpa kata, aku bahkan tidak bisa berbicara dengan teman lelakiku di sekolah. Aku menghindar, aku tidak ingin membuka hubungan dengan siapapun. Aku terluka cukup berat sampai aku tidak merasakan kesendirian saat Ayah dan Kakak pergi ke Malang. Aku meratap begitu lama. Kau tidak tahu kan?”
Rayi menggeleng lemah, “maafkan aku.”
“saat itu, aku fikir aku sudah melakukan suatu kesalahan padamu, aku fikir aku tidak cukup baik untukmu. Aku terluka begitu dalam, tapi luka itu membawa kepada diriku saat ini. Aku berubah menjadi lebih baik, dan menurutku, itu juga berkat luka yang kau berikan.” Aku mencoba tersenyum dengan tulus, sedangkan Rayi seperti ini menahan tangis. Aku lihat tangannya mengepal.
“sekarang semua sudah baik-baik saja Rayi. Aku harap, kamu kembali menjadi Rayi yang aku kenal dulu.”
Rayi masih menunduk dalam meskipun sudah kuselesaikan apa yang ingin aku sampaikan.
“pertama melihatmu kemarin Lana, setelah kita berpisah. Aku sungguh terkejut, sungguh. Kamu terlihat anggun dengan kerudung yang menutupi rambutmu, kamu jadi terlihat semakin menarik. Saat itu aku tau, bahwa kau sudah lebih baik. Dan, aku tahu, bahwa aku bukan lelaki terbaik untukmu.”
Nyuutt..
Dadaku sesak dan sakit, rasanya air mataku ingin berhamburan tumpah. Aku menahan sekuat yang aku bisa.
“jangan bicara begitu..” kataku sambil menahan isak tangis yang mulai tak terbendung.
“aku tersadar Lana.. dari semua kesalahanku. Setelah kemarin aku bertemu denganmu tanpa sengaja, aku mulai sering menanyakan kabarmu dari Rama. Entah apa saja yang sudah kalian bicarakan, aku tidak tahu. Tapi, tentang aku yang menjadikanmu taruhan itu tidak benar. Sungguh, itu hanya bualan wanita itu dengan komplotannya, karena tau masih ada kamu di hatiku. Rama marah benar, tapi aku tidak ingin menjelaskan padanya panjang lebar. Aku ingin menyampaikan kepadamu secara langsung. Kemudian aku tidak lagi menghubungi wanita itu, aku putus kontak dengannya, bahkan sampai ganti nomer. Lalu.. perempuan terakhir yang kamu lihat kemarin, bisa dibilang dia perempuan terakhir yang akhirnya menyadarkan kesalahanku. Selain, karena aku mulai kembali mengagumi yang sudah berubah, aku tau bahwa wanita itu punya niat tidak baik denganku. Aku segera menyudahi apa yang baru kami mulai. Rama tidak tau ini.”
Aku mulai menangis tanpa suara, kejam sekali waktu mempermainkan kami seperti ini. Selama ini aku hanya melihat diriku tanpa benar-benar memperhatikan apa yang Rayi rasa, egois betul.
“sekarang tidak apa.. aku juga ingin mengikutimu berubah. Aku belum terlambat kan?” Rayi tersenyum. Aku menggeleng pelan masih dengan sisa tangisku.
“aku bicara padamu saat ini Lana, untuk menuntaskan rasa sakit hatimu. Untuk menyelesaikan apa yang aku mulai dengan lebih baik. Aku juga ingin menjadi baik bersamamu. Aku ingin bisa kembali diterima olehmu dengan keadaan lebih baik, meski bukan saat ini. Walaupun mungkin, hatimu bukan lagi untukku, aku akan menanti. Maafkan aku Lana, kini mari kita fokuskan bersama menuju kepada kebaikan. Aku tidak akan menghubungimu lagi, tapi aku juga tidak akan menghilang. Kapanpun kamu butuh, aku siap membantu, ah, tentu saja aku tidak akan sendirian menemuimu. Aku harap Lana juga sudah memaafkanku, sehingga bersedia menerimaku kembali kapanpun kamu siap.”
Rayi tersenyum kepadaku dan aku tersenyum kepadanya. Setelah makanan kami habis, kami segera pulang menuju tempat tinggal kami masing-masing tanpa ada beban dan rasa sakit hati yang tersisa.
Tanpa kami tahu, bahwa sedari tadi ada sepasang mata yang memeperhatikan dengan hati pilu dan gusar.