CHAPTER FOUR
“Arra masuk rumah sakit, percobaan bunuh diri. Dia ngiris nadi pergelangan tangan, sampai tadi gue dapet kabar dari ibunya, dia belum siuman. Lo kesana sekarang.”
Aku memburu motorku sebisaku, entah kecepatan keberapa, aku tidak peduli. Aku bahkan terkadang lupa untuk mengerem ketika lampu jalan berubah warna merah. Terkadang aku dengar klakson dari kendaraan lain di belakang atau di sampingku setelah aku menerobos mereka, aku tidak peduli.
Sungguh, kenapa jalanan terasa panjang sekali??!! Kenapa tidak segeraa sampaaaii!!!
Aku semakin memburu motorku dengan segala kegundahan dan kekesalan. Ya, aku kesal dengan amarahku yang entah datang dari mana. Kemarahan yang membuat sahabat terbaikku memilih untuk mengakhiri hidupnya, harusnya dia bunuh saja aku yang telah menyakitinya. Sungguh, aku orang yang paling hina!
15 menit kemudian aku tiba di kamar inapnya Arra.
Aku hanya mematung, entah apa yang akan aku katakan dihadapan orang tuanya atau bahkan di hadapan Arra. Entah, apa yang akan mereka pikirkan tentang aku, orang yang hampir membuat anak kesayangan mereka pergi untuk selamanya. Entah apa..
Kriieett..
Pintu kamar terbuka dan aku tersentak mundur perlahan.
“lho, Lana?”
Aku menatap wajah wanita yang memanggil namaku itu dengan tatapan takut dan bingung, sedang beliau menatapku dengan wajah sedih dan tidak bergairah sama sekali namun kulihat senyum tersungging di wajahnya.
“kamu datang… mau menjenguk Arra ya? Senangnya tante.. tante kira kalian sedang bertengkar, sepertinya tidak. Silakan masuk, ada temenmu juga di dalem”
Aku menyalami tangan Ibunya Arra dan mengangguk sambil tersenyum simpul.
Arra tidak memberitahukan kepada ibunya permasalahan kami? Ah bodoh sekali kamu Lana, BODOH! Dengan ibunya saja dia tidak cerita, lalu bagaimana mungkin dia sengaja menceritakan masalahmu kepada Rama?? Kamu BODOH!!
Aku terus mengutuk diriku sendiri sampai aku tiba di sisi gorden kasur Arra, aku belum berani membukanya hingga sebuah suara mengagetkanku.
“buka aja, akhirnya dateng juga. Gue kira lo ga bakal dateng.”
Kemudian gorden kebuka dan kulihat Rama sudah berada di sana, sedang duduk dan memegang hapenya. Entah apa yang ia lakukan tadi.
“gue hampir nelpon lu kalau lo ga dateng juga, tapi ternyata lo dateng”
Rama kemudian berdiri dan mempersilahkan aku duduk di tempatnya tadi, sedang aku masih terdiam, mencerna.
“temuilah, ajak dia bicara, dia menantimu memaafkannya.”
Kemudian Rama pergi entah kemana.
Ketika aku duduk, aku lihat ujung mata Arra berair, dia sudah bangun.
Aku memegang tangannya perlahan, kulihat perban membebatnya. Tanda sakit hatinya yang sudah kusakiti.
“maafkan aku.”
Hanya kata itu membuatku menumpahkan segala air mata penyesalan yang sudah kutahan sejak kudengar kabarnya di rumah sakit. Arra pun menangis dan menggeleng kepalanya perlahan. Ia tidak mengatakan apa-apa, aku pun tidak. Kami menikmati tangisan kami masing-masing, dan kurasakan kelegaan di hati. Rasanya kosong dan tenang.
***
“kata dokter, kondisinya sudah mulai membaik. Sekitar 3 hari lagi uda boleh pulang.”
Aku hanya mengangguk mendengar penjelasan Rama, kami berdua berada di depan kamar Arra.
Setelah proses tangis-tangisan tadi, dokter masuk ke ruangan untuk mengecek kondisi Arra. Aku kemudian mengatakan pada Arra bahwa aku akan menunggu di luar dan ia mengangguk, kali itu untuk pertama kalinya aku melihat mata Arra kembali. Terlihat merah dan sedih, hanya saja tidak ada lagi ketakutan di matanya ketika melihatku, seperti kali terakhir.
Aku kemudian tidak lagi masuk ke dalam saat dokter akan memberikan keterangan, Rama yang sedari tadi ternyata menunggu di luar meminta izin kepada orang tua Arra untuk ikut ke dalam dan mendengarkan.
Entah ada perasaan apa di hatiku, ketika hari ini aku lihat Rama sangat memperhatikan kondisi Arra. Lelaki yang ketika itu jelas-jelas mengatakan padaku bahwa hatinya tertuju padaku, namun kenapa kini rasanya seluruh perhatiannya tertuju pada sahabatku?
Rama menatapku sejenak, kemudian mengalihkan pandangannya, seakan apa yang aku pikirkan terucap mulutku,
“tidak usah berfikir yang tidak-tidak, aku hanya sekedar khawatir. Dia sahabat lo, kalau sampe ada apa-apa gue juga ngerasa bersalah. Ga usah cemberut gitu.”
Aku gelagepan, seperti tertangkap basah cemburu kepada kekasihnya karena lebih memperhatikan sahabatnya.
“apa sih maksud lo.”
Jawabku ketus seperti biasa, tanpa ada senyum tanpa ada nada penyangkalan yang berlebihan. Meski begitu, aku tetap membalikkan badan, karena seketika mukaku terasa panas.
Lo kenapa lagi Lana?
Rama seperti menghela nafas, kemudian ia mengatakan.
“lo tahu, gue masih nunggu jawaban lo.”
Aku membalikkan badanku dan benar-benar menatap Rama tidak percaya. Rama juga sedang menatapku, serius.
“gue tahu, ini bukan waktu yang pas buat gue nanyain masalah ini. Tapi gue ga peduli, lo uda lama ngediemin gue, gue uda lama banget ga ketemu lo, gue ga mau membiarkan momen ini ilang gitu aja.”
Setelah Rama mengatakan itu aku justru tertawa terbahak-bahak. Kemudian duduk di kursi tunggu yang agak jauh dari kamar Arra, agar dia tidak terganggu dengan percakapan kami di luar. Rama hanya mengikutiku dan duduk dua kursi dariku, dia menjaga jaraknya.
“ahahaha, lo egois banget ya, sumpah”
Rama menatapku bingung,
“apa maksud lo gue egois?”
“lo, laki-laki, ga mungkin bisa ngasih hati lo ke dua hati gadis sekaligus. Ngerti ga?”
Rama semakin bingung, aku kembali mengalihkan pandanganku. Menatap sepatuku yang bergerak tidak menentu, melawan kegelisahan.
“maksud lo? Gue.. agak berharap nih jadinya..”
Nadanya terdengar senang, aku segera memutus kesenangannya tanpa ragu.
“ga usah mikir macem-macem, gue ga memaksudkan kalimat gue itu kaya yang lo pikir. Kalo lo saat ini khawatir sama Arra cukup khawatirin dia aja, ga usah lo bawa-bawa urusan gue sama lo. Itu akan menyakiti Arra.”
Setelah mengucapkan kalimat itu, entah apa yang aku rasakan, aku juga tidak tahu. Apakah aku berfikir bahwa Arra menyukai Rama? Atau apa? Lalu kenapa kalimat itu aku sampaikan?
Rama hampir menjawab kalimatku namun kedatangan orang tuanya Arra mengurungkan niatnya.
“Alhamdulillah kalian masih di sini, Arra sudah sadar. Dia mencarimu Rama.”
DEG!
Rama menatapku dan aku mengalihkan pandanganku, entah ada apa, hatiku diselimuti rasa panas, mukaku juga memanas.
Aku segera menarik napas panjang dan mengatur kendali diriku, ketika melihat Rama masuk ke dalam kamar Arra, sendirian.
***
“Tante, saya pulang dulu yaa.. sudah hampir gelap”
“lho, ga bareng sama Rama pulangnya Lana?”
Aku menggeleng sambil tersenyum kemudian berpamitan.
15 menit kepergian Rama ke kamar Arra dan tidak ada tanda-tanda dia akan keluar segera maka aku memutuskan pulang. Ada kegelisahan di hati yang membuatku memutuskan untuk menghindari kegiatan menungguku.
Entah apa yang aku tunggu. Apakah Rama yang kutunggu atau kabar dari Rama mengenai kondisi Arra, aku tidak tahu. Aku juga bertanya, mengapa yang Arra panggil adalah Rama bukan aku?
Ah, mungkin dia masih canggung denganku sehingga malu jika harus bicara berdua saja. Lalu, kenapa tidak bicara bertiga?
Ah sudahlah Lana, kau yang mencari masalah lalu kini kau yang gelisah?
Apakah pantas?
Tulilut tulilut tulilut
Suara handphone membuyarkan lamunanku, aku segera mencarinya di dalam tas.
“ya?”
“heh, lo dimana?”
Suara itu membuatku menjauhkan handphone dan melihat layarnya, Rama.
“di kostan.”
Aku mulai melepas kaus kaki dan cardiganku, kemudian naik ke atas Kasur.
“laaaaahh, ko pulang duluan kaga ngabarin?”
Aku diam sebentar, menahan mulutku untuk meracau tidak jelas yang nantinya akan Rama anggap sebagai bentuk kecemburuan, sungguh aku tidak ingin itu terjadi.
“yaaa, ga papa. Tadi gue ngabarin orang tuanya Arra kok. Minta mereka menyampaikan ke lo berdua.”
“yeeeeu.. ya bukan itu lah.” Suara Rama terdengar tidak senang. Di sekelilingnya terdengar sepi, sepertinya Rama masih di rumah sakit.
“masih di rs?” tanyaku tanpa maksud apa-apa.
“ya iyalah, gue nyariin lo nih. Sampe gue ke parkiran nyari motor lu. Malah udah pulang.”
Aku diam, tidak meminta maaf.
Ada perasaan bahagia mengetahui bahwa Rama mencariku, tapi aku tahan. Senyumku yang minta disunggingkanpun aku tahan. Aku tidak mau ada kesalahpahaman apapun dalam hubungan kami, tidak mau.
“jadi, gimana kabar Arra tadi?”
“ah, dia baik. Mungkin lusa uda bisa pulang. Tadi dia juga mau ketemu lo tau.”
Aku mengangkat alis, “oh ya?”
“eheum”
“tapi kenapa tadi yang dicari cuma lo?”
Aku mendengar Rama menghela nafas, terdengar berat.
“udah gue duga. Lo pulang karena cemburu ya?”
Aku terkesiap, segera berusaha membuat suaraku sebiasa mungkin.
“maksud lo?”
“iya lo pulang karena cemburu kan? Lo menyangsikan perasaan gue Lana.”
“apa ya?”
Saat itu aku rasakan debaran jantungku yang tidak karuan, mukaku terasa panas dan jantungku berdegup tidak beraturan. Entah, perasaan gila macam apa ini?
Lemah kau Lana! Lemaaah!!
“sudahlah Lana, sore ini gue balik dari rs nyamper lo dulu. Jangan kemana-mana, awas lo yak kalau sampe pergi.”
Setelah menutup telpon aku dilanda kepanikan luar biasa, aku celingukan merapihkan kamarku, kemudian bergulingan di kasur tidak tentu arah, setelahnya aku terdiam memandang langit-langit karena kehabisan nafas.
Kamu jatuh cinta kepadanya Lana, kamu jatuh cinta. Kamu menjatuhkan hatimu karena perasaannya. Kamu bukan gadis kuat Lana!
Kemudian aku menarik nafas, tanda bahwa aku mengaku kalah dengan perasaanku sendiri. Lalu aku terpejam, dan tidak sadarkan diri..
Tulilut tulilut tulilut
Tulilut tulilut tulilut
Aku meraba-raba kasurku mencari benda yang sedari tadi berbunyi tidak tahu diri.
“ha..lo?” kataku masih setengah setengah.
“halo? Lana? Lo kenapa?”
Aku memicingkan mata dan menatap layer handphone, Rama.
“hah? Kenapa apanya?”
Aku membalikkan badan menatap langit-langit, sudah gelap.
“lo ga papa?”
Aku semakin bingung, kemudian memiringkan badanku ke arah kanan.
“apaan siih? Gue masih pusing niih, lu nanya jangan yang aneh-aneh apa”
Tak ada jawaban dari Rama kemudian dia angkat bicara kembali.
“lo.. ketiduran ya?”
Aku mengangguk, “hhmm..”
Terdengar kembali helaan nafasnya Rama dan kemudian ia berbicara dengan sedikit tersenyum.
“gue di bawah”
Aku diam, berfikir, kemudian langsung duduk tegak di kasurku. Aku mencari sosok jam dinding yang tidak terlihat karena kamar terlihat gelap dan suasana di luarpun gelap. Aku buru-buru mencari saklar lampu dan menyalakannya, sesaat setelah lampu kamar menyala, suara Rama kembali terdengar
“bener ternyata tadi lo tidur ya.”
Aku tidak segera menjawab, kupandangi diriku di depan cermin setinggi badanku yang berdiri di dekat lemari baju.
Kacau banget gue!! Sejak kapan gue ketiduraann
“eeuumm.. sebentar, lo masih di bawah?”
“eheum..”
“eeuumm.. gue siap-siap dulu. Sorry sorry”
Kemudian entah bagaimana, telpon Rama aku tutup dan aku segera menuju kamar mandi. Dalam hitungan 10 menit aku sudah sampai di hadapan Rama dengan nafas tersengal-sengal.
Rama memandangiku heran,
“lo abis bangun tidur langsung lari marathon?”
Aku menatapnya kesal, kemudian membuka pagar kostan. Rama kembali menatapku setelah aku selesai membuka pagar.
“ya, menurut lo?”
Rama tidak segera masuk, ia hanya mematung di tempatnya semula. Memandangiku keheranan.
“kenapa? Lo mau berdiri di situ aja?”
Dengan keraguan penuh, Rama balas bertanya.
“lo ngizinin gue masuk? Sejak kapan?”
Sontak aku terkejut dengan apa yang baru saja aku lakukan.
Aku benar-benar sudah merubuhkan tembok besar di hadapanku kali ini! Good job!
Tidak ada yang bisa aku lakukan selain menghela nafas, entah pembelaan apa yang akan aku lakukan setelah ini. Aku hanya berdiam di tempatku, terpejam sebentar kemudian kembali menatap Rama yang kini sedang tersenyum padaku.
“nampaknya, gue bisa dapet jawaban yang menggembirakan kali ini.”
Kakinya mulai melangkah maju ke pekarangan kostanku yang kemudian dengan gerakan sangat cepat segera aku hentikan.
Aku segera menutup kembali gerbang di hadapanku,
“eh eh eh..”
Rama berusaha menghentikan langkahku,
“ga jadi, soalnya lo ngeselin”
Rama terdiam, kemudian tertawa
“ahahahahaha, lo lucu juga ternyata yaaa.. jadi makin suka deh.. ahaha”
Aku melotot ke arahnya, antara marah dengan statementnya barusan atau karena aku salting. Entahlah, yang jelas di antara itu.
“oke, oke gue di sini aja.”
Dia berada di posisinya semula, setengah duduk setengah berdiri di motornya, sambil memandangiku.
“lo ke sini sebenernya mau ngapain ya?” tanyaku galak tanpa rasa ampun. Rama yang biasanya aku galakkin seperti ini mundur teratur kali ini hanya tersenyum tipis.
“ga mau ngapa-ngapain.”
Dia menggodaku!
“oke, gue masuk kalau gitu.”
Aku segera membalikkan badan dan ingin melesat pergi secepat mungkin. Jantungku terasa tidak sehat, entah kenapa, senyumannya, kata-katanya saat ini sangat mempengaruhi keadaan hatiku. Dan itu semua tidak aku sukai, aku tidak menyukai kenyataan ini walau aku sudah menerimanya.
“hei hei, ngambeknya jangan serius-serius doong.. ahaha”
Lagi, Rama lagi-lagi tertawa, aku benar-benar sudah runtuh di hadapannya.
“iya iya, sini sini, gue mau bahas terkait Arra.”
Mendengar nama Arra disebut, aku menghentikan langkahku. Rasa bersalahku padanya membuatku harus, sangat, peduli dengan apa yang terjadi padanya.
“lusa Arra sudah bisa pulang, kita datang ya ke sana?”
“iya.. gimana keadannya tadi pas lo ke kamarnya?”
“dia sudah membaik, melihat lo di sana, dia menjadi jauh lebih baik. Dia cerita semua rasa bahagianya karena lo mau dateng menjenguknya, lo mau memaafkannya. Udah, ga usah berantem-berantem lagi ya.”
Aku mendelik, menatapnya kesal.
“menurut lo, siapa yang bikin gue ama dia berantem kaya gini hah?”
“iya, iya gue minta maaf. Gue juga uda minta maaf ke Arra sekalian tadi. Karena gue jelas-jelas punya andil dalam insiden ini. Makanya gue perhatian sama dia, lo ga usah cemburu lagi.”
“sumpah ya Rama, mulut lo itu..”
“ahahahhaa oke oke, sebelum lo ngejauhin gue lagi.”
Aku benar-benar harus membuat benteng tinggi sekali lagi, yang lebih kokoh dan lebih kuat dari sebelumnya. Cara ini tidak akan berhasil, semakin aku berbicara dengannya, semakin kuat perasaan ini tumbuh dan ini berbahaya.
“hei, Lana.”
“heum,”
Aku memutuskan tidak menatapnya langsung, ini cara teraman yang aku bisa saat ini.
“setelah kita anter Arra balik ke rumah, lo mau jalan sama gue sebentar?”
“APAAAAA??!!”
“eeett bentar bentar, gue ralat kata-kata gue. Maksud gue, jalan untuk ngejelasin semua kesalahpahaman ini.. lo pasti uda tau kan gue kembarannya Rayi.”
Aku terdiam, kembali mengalihkan pandanganku ke Rama, berfikir.
Apakah aku perlu tau? Apakah itu baik-baik saja untuk diketahui? Lalu apa yang akan aku dapatkan setelah mengetahui semuanya? Apa sebaiknya aku tidak perlu tahu?
Aku menghela nafas panjang, berdamai dengan semua pertanyaan yang tidak aka nada habisnya.
“ga usah”
“eh?”
“ga usah, lo ga usah ngejelasin apapun. Gue ga mau tau.”
“lo yakin?”
“ga ada yang bisa gue yakini, keputusan gue ini bener atau salah, pun kalau gue tau kenyataan lainnya, gue juga ga bakal tau apa itu keputusan yang bener atau ga. Gue uda ga mau tau apapun lagi terkait orang di masa lalu gue. Gue uda ga mau berurusan dengan itu semua.”
Kata-kata terpanjang yang aku ucapkan ke Rama selama masalah ini terjadi. Rama terdiam cukup lama, akupun terdiam. Tidak ada niatan untuk berbicara apapun lagi, sama sekali tidak ada niatan.
“eheum.. jadi.. apa maksud lo.. itu jawaban lo?”
Aku terdiam, berfikir. Jawaban atas..? oh!
Aku menyadari sesuatu, ada rasa berat di hatiku yang entah bagaimana cara menjelaskannya. Di sisi hatiku yang lain, ingin rasanya segera menjawab pernyataan Rama, tapi di lain sisi aku ingin membiarkan saja. Bisa jadi, ini sebuah petunjuk yang Tuhan tunjukkan padaku untuk mengakhiri semua penderitaan ini. Namun hatiku semakin terasa tersayat dan sangat menyakitkan rasanya.
“eeuumm..” aku menahan suaraku, sungguh Lana katakan sesuatu!
Entah dorongan dari mana, saat itu aku memilih tidak menjawab tapi justru menatap Rama. Saat itu juga entah seperti apa ekspresi yang aku berikan kepada Rama, hanya saja Rama kemudian memberikan pernyataan kembali yang tidak pernah aku prediksi.
Dia tersenyum kemudian berkata,
“ya, aku tau. Itu bukan jawaban yang lo maksud. Baiklah tandanya gue masih harus menunggu yaa..”
Aku terpana, tidak percaya. Tapi hatiku saat itu terasa lebih lega, bahkan tanpa sadar aku menghembuskan nafasku pelan. Sepertinya sedari tadi aku menahan nafasku.
“haha, lo ga jujur Lana.”
Aku kembali menatapnya, Rama berbicara dengan suara yang sangat sangat kecil sehingga aku tidak bergitu mendengar kalimatnya barusan.
“apa? Lo bilang apa?”
“heum?”
Rama hanya tersenyum kemudian menaiki motornya dengan benar dan mulai menyalakan mesinnya.
“ga papa, gue balik ya. Jangan lupa lusa ke rs, mau bareng ga? Gue bonceng”katanya dengan nada sedikit menggoda.
“lo tau jawabannya.” Jawabanku kembali ketus dan Rama benar-benar tertawa kali itu.
“ahahah, oke oke. Gue suka prinsip lo itu. Ya udah gue duluan.”
Kemudian Rama tidak terlihat lagi, ketika itu entah kenapa senyumku muncul ke permukaan. Hatiku terasa hangat, tenang dan semua terlihat menyenangkan. Aku kembali ke kamarku dengan muka bahagia.
Ketika itu, aku merasa aku sudah mendapatkan kebahagiaan, aku merasa aku tidak salah dengan perasaan yang aku rasakan, aku merasa aku boleh menerima perasaan ini dengan lapang dada, aku merasa aku kini aku benar-benar sudah boleh membuka hatiku seutuhnya.. aku rasa begitu.
***
“Lana, lo kemarin di telpon Arra?”
Rama segera menghampiriku sesampainya aku di bangku kelas, aku baru saja tiba di sekolah dan baru saja melepas tas dan jaketku.
“iya, kenapa gitu?”
Muka Rama terlihat sangat bahagia, entah datang darimana sinar kebahagiaan itu. Aku sendiri sedang berusaha menutup rapat-rapat ekspresiku setiap kali ia datang ke hadapanku. Mendengarnya menyebut namaku, selalu membuat jantungku berdetak lebih cepat. Dan aku yakin ini semua bukan pertanda baik, aku tidak ingin terlena secepat ini.
“hahah, bahas apaan?”
Aku melirik Rama tidak percaya, sejak kapan dia menjadi cowok super kepo gini?
“apa aja.” Jawabku cuek sambil mengeluarkan sarapanku.
“lah lo belum sarapan? Tumben amat.. eehh apa dong apa dong, kasih tau gue.”
“apa sih lo maksa, balik sana ke kursi lo. Buru”
“iih apa siih apa siih, gue penasaran niiih..”
Sebelum aku menjawab Rio datang dan nimbrung percakapan kami.
“weeeeeyyy!! Pagi-pagi uda ngegodain cewek aja lo Ram.”
Rio merangkul Rama kasar sehingga Rama terdorong ke mejaku, membuatku memundurkan badan sedikit.
“apa sih lo, bawel amat. Siapa yang godain cewek.”
“nah ini si Lana, belum apa-apa uda lo gangguin aja. Heeii.. Lana apa kabar??”
Senyum Rio kepadaku, aku hanya menyapa sekedarnya sambil terus meminum susu dan memakan rotiku khusyuk.
“masih jutek aja sii Lana.. gimana kabar Arra Lan? Katanya dia masuk rumah sakit ya? Sakit apa dia?”
Sebelum aku membuka suara Rama sudah memulai duluan.
“lu bawel amat sih, uda tau Lana lagi makan ga liat apa? Arra baik-baik aja, dia sakit hati ama lu, puas?? Uda sana sana, lagi ngapain lu tanya-tanya Arra, naksir lu yaa sama dia? Ngaku luu..”
Rio mendelik
“yeeeeeuu.. lu yak gitu amat ama gue, kalo gue naksir dia emang kenapa? Iri lu? Ga suka lu? Jomblo sih lu, kasian dah luu.. wleeee..”
Rio berbicara sambil pergi kea rah kursinya, Rama yang ditinggal misah-misuh. Aku dengan susah payah menahan tawaku, sungguh mulai sekarang sepertinya aku akan berganti image dengan cepat.
“ish dasar si Rio yak, ya udah deh. Lu buruan abisin sarapannya, gue balik ke tempat cowok-cowok yak sebelum Rio gossip yang ga-ga.”
Aku hanya mengangguk, kemudian mengingat percakapan dengan Arra semalam.
Dimulai dengan pesan-pesan singkat tentang kabarnya, hingga akhirnya ia menelponku.
“rasanya seperti mimpi Lana, aku bisa kembali mengobrol denganmu.”
Suara Arra terdengar gembira, sepertinya ia benar-benar sudah sembuh benar. Oh sabahat, maafkan aku.
“ahahaha apa siih, maaf yaa.. jadi ga enak aku lhoo..”
“ahahaha ga papa, akunya yang berlebihan. Aku terlalu mendramatisir keadaan. Eh, gimana Rama sudah bicara apa saja padamu?”
Sekali lagi mendengar kata Rama selalu mampu membuat jantungku melonjak lebih cepat, aku membaringkan tubuhku di Kasur dan menatap langit-langit.
“entahlah, aku ga mau denger apapun. Ahhahaha, aku fikir, karena aku dan Rayi sudah selesai maka tak perlu ada lagi pembahasan apapun dari Rama. Entahlah, aku juga tidak tahu bagaimana seharusnya aku bertindak.”
Aku kembali menerawang, suaraku juga seperti menerawang.
“eeeuumm.. yaaahh.. ga salah juga siih. Tapi, Rama itu laki-laki yang baik lhoo..”
Suara Arra kembali terdengar semangat, tapi di telingaku terdengar sedikit menyakitkan.
“maksudnya gimana?” aku berusaha menjaga suaraku agar tidak terdengar sinis.
“dia setiap hari chat aku, hihi, bertanya bagaimana kabarku, bertanya apakah aku sudah bertemu dokter lagi? Apakah aku benar-benar akan keluar lusa, dan semua tentang keadaanku. Aku sedikit geer nih jadinya.. hihi.”
Semua kata-kata yang keluar dari mulut Arra seperti sedang meledekku, seperti sedang ingin menyumpahi keadaanku. Mungkin ini balasan dari rasa sakit yang Arra rasakan kemarin.
“oh ya?” hanya itu yang bisa aku kataka.
Bukankah Rama mengatakan ia menyukaiku? Bukankah ia mengatakan bahwa ia sedang menunggu jawabanku? Lalu, mengapa semua perhatiannya seakan tertuju pada Arra seorang?
Pertanyaan liar muncul di kepalaku, membuatku sakit kepala.
“ya… dia.. baik sekali. Baru kali ini aku tidak merasa risih dengan laki-laki. Orang tuaku juga menyukai sikapnya yang ramah dan sopan, terkadang ibuku malah bertanya, apakah dia akan datang atau tidak.. ya ampuun Laanaaa.. rasanya jantungku tidak terkontroooll..”
Begitupun jantungku. Aku hanya mampu membatin dalam hati, dan tersenyum tipis. Sepertinya, rasa bahagiaku yang baru saja aku rasakan setelah kehadiran Rama tadi harus segera aku akhiri, ya harus aku akhiri sekarang juga.
“besok datang ya Lana, aku mau membuat pengakuan ke kamu. Hihi.”
Kemudian sambungan telepon terputus dan seingetku saat itu, aku hanya mampu terdiam memandang layer handphone selama beberapa saat.
Aku jatuh cinta dengan orang yang sama dengan sahabatku sendiri.
Kesimpulan itu akhirnya membuatku memutuskan untuk kembali membangun benteng yang tinggi terhadap hatiku.
Selesai membuang sampah kudapati Rama sedang menatapku dan tersenyum, entah untuk alasan apa ia tersenyum yang jelas aku tidak membalas senyumannya, aku hanya membuat muka tidak percaya kemudian segera mengalihkan pandangan. Ajaibnya ia tidak terlihat sakit hati atau heran sama sekali, ia justru tertawa yang kemudian membuat cowok-cowok di sekitarnya kebingungan.
Kamu sudah membuat keputusan Lana, jalani. Kuatkan hatimu.