CHAPTER THREE
Sekolah diminggu-minggu pertama tahun ajaran baru memang tidak mudah, selain karena saat ini kami sudah menjabat sebagai anggota OSIS aktif, kami juga harus bersikap selayaknya senior.
Ada yang memang sudah disetting untuk bermuka jahat, ada yang sudah disetting bagian baik tapi judes, ada yang memang sudah ga niat dari awal jadi mau lagi diem mau lagi ngomong yaa kelihatannya ga enak aja, aku termasuk di golongan ini.
“Hei Lana, lo ga perlu bersuara judes juga uda keliatan judesnya. Senyum dikit apa. Kita semua jadi kelihatan serem nih sama adek kelas.”
Aku mengalihkan pandanganku dari laptop menuju ke Rama.
“emang gue jutek?”kemudian mataku kembali beralih ke laptop.
“diiih nih anak, lagi ngerjain apaan sih? Sibuk amat kayanya.”
“heeum..”jawabku tetap memandang laptop.
“kacaaanngg.. kacaanngg.. murah meriah.. rame lancar..”
Rama mondar-mandir disekelilingku sambil berteriak-teriak ga jelas.
“apaan si lo Ram, berisik tau ga.”
“ya makanya, jawab pertanyaan gue.”
“nanya apa emang tadi lo?”
Rama tersenyum sinis sambil memalingkan muka, mulutnya berucap sesuatu tidak jelas. Kemudian memandangku kembali.
“Lo. Lagi. Apa? Udah jelas belom?”
Aku hanya mengangkat alis sebelah.
“gitu aja pake lo tanya. Inikan kerjaan yang lo limpahin ke gue. Ga sadar amat yak bocah.”
“heee...”Rama memasang muka melongo yang, asli, ga ada cakep-cakepnya.
Dia beneran lupa, ketua macem apa kaya gini?
Aku menunjukkan layar laptop kehadapan Rama dan menunjukkan hasil kerjaanku.
“Rencana anggaran dana bidang Pendidikan dan pelatihan tahun 2012”
Rama mengeja dengan jelas judul diawal halaman excel yang kutunjukkan padanya, kemudian dia nyengir lebar sambil bersikap pura-pura manis.
“Ya Allah Lana… kamu emang yang terbaik yaaaa.. makasih banyak lhoo Lana.. emang kamu wakil diklat yang paling baik selama masa jabatnya OSIS”
Aku memonyong-monyongkan bibirku ke depan selama Rama mengucapkan kalimat memuji yang tidak enak didengar.
“gini aja lo bilang gue baik, tadi bilangnya gue jutek.”
“ehehehe, ga ko Lana. Lana ga jutek cuma kurang senyum aja ehehe.”
Aku sedikit melamun mendengar kalimat Rama terakhir kemudian membalikkan badanku membelakanginya dan berpura-pura kembali pada kerjaanku.
Ya, aku memang sedikit berubah, lebih tepatnya berubah di hadapan lelaki. Aku mulai pilih-pilih untuk sekedar dekat, aku mulai pilih-pilih untuk tersenyum kepada mereka. Lebih tepatnya, aku mulai menghindari mereka. Teringat jelas pesan kakak terakhir sebelum ia dan ayah meninggalkanku ke Malang.
“ga usah baik-baik ama cowok. Fokus aja belajar dan berorganisasi terus masuk jurusan yang kamu mau di Brawijaya. Jadi ga jauh-jauhan lagi sama kakak dan ayah.”
Semenjak insiden ‘putus’tanpa penjelasan setahun lalu, aku benar-benar meutup diri dan semua lelaki yang berusaha memasukinya. Awal tahunku di SMA aku bahkan hamper-hampir tidak memiliki teman dekat laki-laki. Mereka hanya sekedar teman sekelas dan teman kelompok yang tidak pernah aku save nomer handphonenya dan tidak pernah aku ajak bicara kecuali mereka duluan yang menegurku.
Huft..
Aku menghela nafas panjang, ini yang terbaik. Ya, aku yakin ini yang terbaik untuk masa depanku, setidaknya untuk hatiku saat ini. Batinku meyakinkan diri sendiri.
“ini uda kedua kalinya lo hela nafas panjang lho. Kayanya berat banget masalah lo.”
Suara Rama membuyarkan lamunanku, aku memandanginya dengan tatapan tidak percaya.
“lo masih di sini?”
Rama menatapku heran, “lo maunya gue pergi ?”
Aku kembali membalikkan badan dan tidak menjawab pertanyaannya.
Ini jebakan Lana, ini jebakan. Lelaki ini hanya ingin berpura-pura mendekatimu lalu kemudian dia kembali menyakitimu. Jangan tertipu Lana, tembokmu jangan kau robohkan sebelum waktunya.
Jika boleh jujur, memang hanya Rama lelaki di SMA ini yang bias mengajak bicara Lana selama ini. Rama mulai rajin menyapa Lana sejak mereka masuk kelas 11 dan berada di kelas yang sama.
“oke, oke gue perg..”
“Lanaaaaa… iiihh ngapain lo di siniiii… mau godain Lana yaaaa?? Ga bakal mempaaan.. pergi sana”
Kalimat panjang Arra menyelamatkan kegelisahanku.
Syukurlah. Thanks God!
“siapa yang mau godain dia siih elah. Lo sendiri mau ngapain ke sini?”
Arra hanya melirik Rama sekilas kemudian segera menghampiriku, mengabaikan Rama.
“ckckckkck.. sama aja kaya temennya yaaa, dijawab kenapa pertanyaan orang tuuh..”
“yang jelas gue punya urusan sama Lana, paham?”
Dan setelah itu Rama segera keluar dari ruangan. Entah maunya apa, biarkan saja.
***
“Arra, pulang duluan yak. Rama tadi minta diskusi buat acara penutupan MOS hari ahad ini.”
Arra tidak menjawab kalimatku, aku yang sedang merapihkan barang-barang di meja kemudian melihat ke arah Arra, mengecek apakah ia masih ada di tempat duduknya atau sudah pergi sehingga aku tidak mendengar balasan dari kalimatku.
Ketika aku menatapnya, ternyata Arra juga sedang menatapku dengan tatapan yang tidak bias aku artikan.
“Arra?” tanyaku heran.
“eh iya, kenapa? Eh oke oke, aku pulang duluan ya. Rama mau bahas apa sama kamu emang?”
“bahas penutupan MOS.” Jawabku dengan sedikit rasa heran.
“ooh iyaaa..”
Pandanganku masih tertuju pada Arra, sepertinya masih ada kalimat yang ingin ia ucapkan.
“eeemm.. Lana..”
“ya?”
“jangan terlalu sering bicara berdua saja dengan Rama yaaa.. aku duluan yaa.. Assalamualaikum..”
Arra kemudian berbalik pergi sebelum aku bertanya maksud dari kalimatnya.
Memang Rama kenapa?
“Lana, ditungguin lama amat sih, kirain uda pulang”
Setelah kepergian Arra, entah bagaimana, tiba-tiba Rama sudah berada di pintu tempat Arra tadi pergi.
“lo.. ngapain di situ?”
Jawabku keheranan, Rama juga terlihat heran.
“ngapain? Yaa nyamperin lo yang ga dateng-dateng.”Rama beranjak ke arahku dan duduk persis di bangku depanku.
Tanganku sudah terhenti untuk beberes sejak kalimat Arra tadi dan sampai sekarang belum mulai bergerak juga. Aku mulai merasa ada sesuatu yang berbeda antara Rama dan Arra, entah sejak kapan.
Apakah sejak terakhir kami bertemu untuk raker di mall itu? Atau sejak kapan? Aku bahkan tidak tahu.
“eh, ngapain sih lo bengong aja. Uda beres-beres buat pulangnya berenti dulu, rapat dulu kita. Kesorean lho entar pulangnya.”
Rama menarik tasku, kemudian aku ketika aku menyentuh kursi rasanya aku seperti tersadar.
Apa yang aku fikirkan dari tadi?
“ah iya. Lho, kita Cuma berdua?”aku baru sadar, kenapa hanya rapat berdua? Apakah ini maksud yang tadi dikatakan oleh Arra?
“yaaa.. yang lainkan uda pada pulang. Jadi Cuma kita berdua.”
Aku berfikir keras?
Bukankah dari awal memang dia ga bilang kalau rapatnya bareng dengan yang lain? Makanya tadi Arra aku minta pulang duluan? Ini hanya perasaanku atau memang Rama sedang berbohong?
“kenapa? Ko aneh kayanya..”
Aku segera menggeleng.
Biarkan biarkan. Biarkan saja Lana jangan terjebak dengan semua teka-teki yang,mungkin, saja kau buat sendiri.
Lalu kemudian kami benar-benar larut dalam diskusi terkait penutupan MOS.
Pukul 17.00
“udah jam 5 nih, gue mau pulang ah. Keburu malem.”
Rama yang sedang melihat ke arah handphonenya segera menatapku.
“oh iya iya, gue juga mau pulang.”
Aku kemudian segera berdiri dan membereskan barang-barangnya.
“lo jangan lupa kabarin ke grup kita ya soal rapat sore ini, jadi yang lain juga tau.”
Rama hanya mengangguk dengan masih menatap layar handphonenya. Sebelum aku beranjak dari kursi, Rama tiba-tiba angkat bicara.
“eh Lana, gue mau ngomong sesuatu dong ama elu.”
Seketika aku terdiam, de javu.
Keadaan ini pernah terjadi bukan?
Aku berfikir, apakah aku harus menunggu kalimatnya selanjutnya atau mengabaikan saja.
“apa?” kataku tanpa menatapnya.
Rama tahu aku tidak akan berbalik melihatnya dan dia tidak memaksaku. Suasana seperti terasa menyakitkan di hatiku.
Jadi, selama ini dia mendekatiku untuk ini? Sungguhkah?
“bentar aja sih.. ” kemudian jeda. Jeda yang singkat itu terasa lama dan mencekat bagiku, ingin sekali rasanya aku segera beranjak dari tempat ini.
“cowok yang kemarin siapa?”
Kalimat Rama memecah kesunyian, kali ini aku membalikkan badan tidak percaya.
Apa yang dia tanyakan? Tanyaku dalam hati, tapi sepertinya aku menyuarakan kalimatku karena Rama mengulangi pertanyaannya. Kali ini dia menatapku, lurus-lurus. Tepat di mataku. Dia ingin agar aku benar-benar mendengarkannya.
“cowok yang kemarin siapa?”
Mukanya serius, tidak dengan senyum tidak dengan gurauan. Bahkan handphone yang sedari tadi dipegangnya ia taruh di atas meja. Menandakan bahwa ia memang sedang berbicara serius padaku.
Aku menutup mata sejenak kemudian menarik nafas.
“untuk apa lo tanya itu ke gue?”
Aku berusaha tenang, sedangkan tanganku mulai terasa sedikit dingin. Entah karena rasa marah entah karena rasa apa aku tidak tahu. Aku hanya tahu bahwa aku tidak suka pembicaraan ini, semua tentang lelaki itu aku tidak suka. Bahkan sekedar pertanyaan dia siapa, aku tidak suka.
Dia bukan siapa-siapa gue.Ingin sekali aku mengucapkan hal tersebut hanya saja rasanya ada bagian hatiku yang melarangku untuk mengatakannya.
“yaaa.. mau tau aja. Lo jadi aneh tau setelah ketemu dia. Kaya apa yaa.. kaya ngeliatin hantu aja gitu.”
Kali ini pandangan Rama sudah tidak menatapku, ia menatap sepatunya dan memainkannya, entah untuk apa. Pada kenyataannya ia hanya sedang mengalihkan perhatiannya dan berusaha mencairkan ketegangan diantara kami. Namun rasanya itu semua percuma.
Badanku tetap saja menegang dan rasanya aku seperti menahan nafasku.
Semua kenangan buruk itu muncul, pandangan lelaki itu yang melihatku aneh dan bingung karena kerudungku, pegangan wanita disampingnya dan tatapan herannya kepadaku, wanita yang entah siapa, yang juga telah menyakiti wanita pertama yang telah merebutnya dariku.
Semua itu tidak aku suka, badanku pun menolak untuk membahasnya. Aku tidak suka, jelas.
Aku kembali menghela nafas dan kali ini mulai berjalan menjauhinya.
“gue ga mau bahas itu. Udah gue pulang”
“kenapa lo ga mau bahas? Kalau itu masa lalu, kenapa masih jadi beban buat lo?”
Kalimat Rama kali ini benar-benar membuatku tidak ingin pulang dan ingin segera menginterogasinya. Sejak awal dia memang sudah tahu dan hanya ingin mengurusi urusanku. Aku berbalik dan memandangnya tidak suka.
“tau dari mana lo?” tanyaku dengan nada yang sangat tidak suka.
Rama hanya mengangkat bahunya dan mengalihkan pandangan, lagi. Kali ini dia sudah tidak dibangkunya.
“Arra?”
Pandangannya yang langsung tertuju padaku dengan muka sok polosnya itu mengatakan bahwa pertanyaanku benar. Entah percakapan apa saja yang sudah mereka bincangkan tanpa sepengetahuanku, tapi ini sesuatu yang tidak pernah aku sangka. Arra tidak pernah membicarakan hal ini pada siapapun, lalu kenapa kali ini pada Rama?
“ga usah gue jawab kalau gitu. Lo terusin aja percakapan rahasia lo sama dia. Gue pulang.”
Jawabku marah, sungguh marah.
“eh tunggu dulu! Lana!”
Rama menarik tasku kasar, aku segera menariknya kembali.
“APA!!” aku benar-benar membentaknya, Rama terlihat mundur selangkah.
“lo jangan tiba-tiba marah gitu dong.. nanti Arra ikutan lo marahin lagi. Biar gue aja..”
“terserah gue lah! Apa alasan gue ga boleh marah?? Jelas-jelas lo ngelewatin batas privasi gue!! Gue ga suka! Puas lo!”
Kemudian aku berbalik dan menghiraukan semua teriakan-teriakannya yang memanggil namaku. Aku sungguh sakit hati dan kali ini yang menyakitiku adalah sahabatku sendiri.
***
Ketika bangun tidur pagi ini rasanya kepalaku sakit sekali. Semalam, mungkin Rama sudah laporan, Arra menghubungiku tanpa henti. Telpon kemudian chat kemudian telpon kemudian chat begitu terus semalaman, dan aku abaikan. Aku tidak merasa bisa berbicara dengannya, aku juga tidak merasa bisa memaafkannya semudah itu. Aku tahu dia sahabatku, tapi bukan berarti akhirnya aku bisa langsung memaafkannya hanya karena dia mengemis.
Malam itu aku baru tahu, ternyata bukan hanya cinta yang bisa saling menyakiti. Persahabatan ternyata juga bisa, rasa percaya itu ternyata tipis sekali ada diantara kami, ya, antara aku dan Arra. Aku kira, kami sudah bisa saling percaya.
Aku berangkat sekolah dengan tidak bersemangat, bahkan telpon dari kakak tadi pagi tidak aku angkat. Aku hanya mengirimnya pesan singkat.
[maaf ka, aku buru-buru berangkat ke sekolah. Nanti lagi aja ya, aku baik-baik aja. Salam]
Aku tahu, dengan memberinya pesan singkat seperti itu justru menegaskan kepadanya bahwa aku sedang tidak baik-baik saja. Biasanya kakak akan terus merecokiku dengan pertanyaan-pertanyaan kekhawatirannya sepanjang hari sampai aku mengangkat telponnya tapi kali ini tidak, ia membiarkan aku menyelesaikan masalahku sendiri. Mungkin juga karena ia sedang ada kesibukan sehingga ia membiarkanku dengan masalahku
[oke, kakak paham. Jangan lupa sholat, makan sama istirahat. Hubungi kakak kapan saja]
“Lana.. Lana.. kamu marah sama aku ya? Lana.. aku bisa ngejelasin.. Lana..”
Aku menoleh ke arah Arra yang terus-terusan memanggilku dengan muka tidak suka.
“apa?” tanyaku tanpa rasa kasihan. Muka Arra kini benar-benar berubah, tadi ketika aku akhirnya menoleh ke arahnya terlihat sedikit ada rasa senyum dan kelegaan namun ketika akhirnya aku membentaknya, mukanya berubah seperti semula bahkan terlihat lebih sedih.
“dengarkan aku Lana..”
“untuk apa?” jawabku tidak sabar, aku bahkan tidak ingin mendengar penjelasan apapun darinya. Aku hanya tahu dia sudah menghancurkan kepercayaanku. Itu sudah lebih dari cukup bagiku.
“aku ga bermaksud membocorkan itu ke Rama.. ada alasannya..”
Aku memandangnya dengan tatapan, yang aku yakin dia tidak akan senang dengan itu, sehingga Arra menunduk dan mengatakan..
“aku minta maaf Lana..”
Kemudian aku pergi. Setelah itu selama sebulan full aku tidak lagi menghubunginya, sama sekali. Hingga malam itu Rama menghubungiku, dan berkata dengan sedikit memaksa.
[gue di bawah, samperin gue. Gue ga bakal pulang sampe lo datang.]
Aku intip jendela melihat ke arah pagar kost-an, benar ada Rama.
Kemudian aku membuatnya menunggu sekitar 2 jam lamanya.
Aku memang tidak berniat untuk mendatanginya.
“apa?” kataku ketika aku berada persis di belakangnya. Pagar kost-an sengaja tidak aku buka, tetap aku biarkan tertutup, bahkan terkunci.
Rama berbalik dan membuat muka tidak percaya, mungkin dia berfikir agar aku menatapnya atau setidaknya membukakan pintu pagarnya untuknya. Kenyataannya aku bahkan tidak menatap dirinya, aku bersandar pada tembok sambil memandang handphoneku.
Aku mendengar helaan nafas Rama, kemudian dia turun dari motornya, berusaha mendekatkan jaraknya kepadaku.
“sepertinya kalian bertengkar.”
Aku mengangkat alisku dan memandangnya sekilas, tidak percaya.
Sepertinya? Heum..
Karena aku masih tidak membuka suara dia melanjutkan penjelasannya. Seperti dia mengetahui ketidakpercayaanku.
“Arra bicara padaku, sambil menangis. Aku minta maaf.”
Aku masih terdiam.
“Lana, bisakah lo cuma marah sama gue dan tetap bersahabat dengan Arra? Gue yang salah, gue yang maksa, gue yang mau tahu urusan lo.. gue yang mau tahu..”
Kalimatnya terdengar menggantung. Aku masih memandang handphoneku. Rama melanjutkan kalimatnya.
“gue penasaran, seorang Lana yang selama ini diam, tidak banyak bicara dengan cowok bahkan hampir-hampir tidak pernah. Kemudian gue liat ada cowok, entah darimana, nyapa lo. Lo sampe diem ga bersuara, muka lo pucet, lo jadi aneh banget. Banyak bengong, sampai ga konsen.. gue penasaran.”
Aku menghela nafas panjang, benar-benar panjang hingga dada terasa sakit. Kenapa kejadian seperti ini tidak berhenti mengikuti kehidupanku?
Aku seketika merindukan ketenangan di masa-masa awal masuk SMA, ketika masih kelas 1 dulu.
“terus apa urusannya sama lo?”
Aku mengakhiri kebisuanku. Aku hanya ingin agar percakapan ini segera selesai, kemudian pergi tidur dan ketika terbangun esok harinya, ternyata ini semua adalah mimpi. Aku harap begitu.
“ada urusannya sama gue, jelas.. hanya saja.. lo ga bakal suka alesan gue. Gue memilih untuk ga mengutarakannya ke elo.”
Aku diam, mungkin memang selama ini apa yang aku khawatirkan terjadi. Mungkin memang selama ini, aku yang tidak menyadari makna dibalik tatapan dan ocehan-ocehan Rama padaku.
“kenapa?” aku mulai merasa kelelahan dengan semua permainan ini. “kenapa lo harus mengatakan dengan cara yang sangat ga gue suka.”
Aku tidak lagi terpaku dengan handphoneku namun tetap tidak menatap Rama. Aku hanya tidak ingin semua hal yang pernah menjadi kesalahanku di masa SMP dulu kembali terulang, rasanya seperti bangun dari mimpi buruk yang kemudian aku sadari bahwa kenyataan yang terjadi lebih buruk dari mimpi itu sendiri.
Rama menghela nafas sebelum menjawab pertanyaanku. Kini ia juga sudah tidak melihatku, ia membalikkan badan dan memandang ke langit. Mungkin, baginya ini juga berat, tapi aku tidak mau peduli.
“kalau gue tau alesannya, mungkin gue lebih memilih untuk ga menyadari perasaan ini Lana. Tapi kemudian, semakin gue pendam rasa ini justru semakin kuat mengakar. Rasanya menyesakkan dan terasa berat. Entah, mungkin ini rasa yang pernah lo rasain dengan cowok itu dulu.” jeda sebentar, namun aku tetap diam.
Mungkin tidak sama, karena dulu aku tidak merasakan sesak sama sekali.
“lo tau Lana, hari pertama masuk SMA lo bahkan sama sekali ga mau kenalan sama siapapun. Lo cuma diem di pinggir lapangan sambil mantengin layer hape-lo sendiri. Gue yakin banget itu lo, waktu itu gue telat dateng dan gue nyelinap masuk lewat belakang. Gue langsung berbaur dengan yang lain sampai akhirnya gue liat lo. Gue cukup bingung, lo sangat asik dengan kesendirian lo sedangkan kita semua berusaha buat bisa ngakrabin diri satu sama lain.”
Aku berusaha mengingat kejadian yang Rama sampaikan namun ingatanku hanya mampu mengulang kesedihan. Ya, kesedihan saat itu karena Rayi sama sekali tidak menjawab telpon maupun membalas pesanku. Aku sesungguhnya mulai frustasi dan ingin pulang saja, hanya saja aku tau bahwa saat itu aku harus sekolah dan mengikuti semua kegiatan sampai akhir.
“tapi yang semakin gue bingungin besoknya lo dateng dengan sangat kacau, muka kacau, ekspresi kacau, pokoknya ga banget. Gue kaget banget jelas, muka cantik lho ilang sama sekali, walaupun tanpa senyuman bisa gue akui muka lo cantik apalagi dengan senyum.” Rama mengatakan semua kata cantik itu tanpa menatapku, ketika aku sadari itu maka akupun memalingkan wajahku menatap langit yang lain.
Entah karena apa, rasanya mukaku sedikit tersipu, wajahku panas dan mataku sedikit basah.
Ini pasti hanya halusinasiku kalaupun bukan, mungkin karena aku mengingat kalimatnya Rayi, bukan karena dia Rama atau karena cara bicara Rama malam ini terasa beda dari cara bicaranya yang biasa.
“lo tahu kenapa selama ini gue bersikap seakan-akan gue lelaki yang konyol, nyebelin, penggoda dan segudang image jelek lainnya?” tanpa kubalas dan tanpa kugelengkan kepalaku Rama melanjutkan, “karena gue mau lo ketawa dengan cara gue itu.”
Setelah akhir kalimatnya ia menatapku. Air mataku turun perlahan tapi aku tetap membelakanginya.
“gue mau, guelah yang menyembuhkan rasa sakit hati lo dari lelaki brengsek itu yang berani-beraninya menyakiti hati lo. Bahkan dia masih mampu nyapa lo meski dia lagi gandingan dengan cewek lain. Gue mau, gue yang jadi obat buat lo.”
Aku menggeleng dan mengusap air mataku, kemudian berbalik menatap Rama.
“siapa yang bilang gue mau disembuhin? Kalau gue menolak untuk sembuh dari rasa sakit hati gue, lo mau apa?”
Tantangku, Rama terlihat kaget namun kemudian dia memasang muka serius kembali.
“karena gue mau lo nerima niat tulus gue.”
Aku bergidik, bukan karena hawa malam yang mulai terasa semakin dingin, tapi karena tatapan Rama yang sangat berbeda yang seakan-akan berusaha untuk menembus dinding pertahananku.
“buat apa? Buat kembali menyakiti hati gue lagi?”
Aku mulai muak dengan semua percakapan ini.
“Lana..”
“Ga usah merayu. Cara lo dengan mencari tau aib gue di sahabat gue aja uda ga bisa gue terima, gimana gue tau niat lo itu tulus?”
Aku benar-benar menuduhnya, aku benar-benar berburuk sangka padanya.
“Lana.. bukan..” Rama terlihat gelisah. “Lo jangan salah paham, gue cuma bertanya sama Arra, gue ga berusaha mencari tau aib lo. Gue cuma pengen tau penyebab berubahnya sikap lo. Itu aja.”
“oh, jadi itu murni Arra yang membeberkan rahasia gue?? Bagus banget.”
“Ya Allah Gustii.. lo kenapa siih Naa.. ko lo jutek amat gitu. Arra itu sahabat terbaik lo dan ga bakal berubah, dia gue paksa cerita, itulah sebabnya dia cerita. Dia sampe nangis-nangis nyalahin gue karena semua pesan dan telponnya ga lo jawab sebulan ini. Dia frustasi.”
“YA MENURUT LO GUE GA FRUSTASI!!??”
Kali ini aku benar-benar berteriak dan kehilangan kendali, Rama terlihat kaget dengan bentakanku yang sangat tiba-tiba itu.
“Gue SANGAT frustasi mengetahui kenyataan bahwa gue HARUS KETEMU SAMA COWOK itu lagi, gue semakin frustasi ketika, dengan sangat tiba-tibanya, lo bertanya tentang cowok itu! Kenapa? Kenapa ga lo biarin aja rasa penasaran lo itu sendirian. Kenapa ga lo biarin aja keanehan-keanehan gue itu diam-diam. Kenapa ga lo biarin aja gue sembuh sendirian dengan semua sikap MENJIJIKKANNYA laki-laki itu yang ternyata senengnya GONTA GANTI CEWEK dan ternyata selama ini hanya menjadikan gue sebagai TARUHANNYA! KENAPA LO GA BIARIN AJA GUE SENDIRIAANN!!”
Tangisku pecah dan aku benar-benar merasa sudah gila. Aku menumpahkan semua rasa kesalku pada Rama. Entah seperti apa ekspresinya kala itu, aku tidak tahu. Kepalaku pusing, badanku sepertinya hampir tidak mampu untuk tetap berdiri.
“taruhan?”
Aku tersentak, pertanyaan Rama membuatku menyadari bahwa ada kalimat yang seharusnya aku simpan rapat, terbongkar.
“maksudnya apa taruhan?”
“bukan urusan lo. Gue pusing, gue mau masuk.”
Aku memilih untuk mengakhiri percakapan ini sebelum akhirnya semua yang telah rapih kusimpan terbongkar di hadapannya. Aku hanya ingin diam, aku hanya ingin ketenangan seperti yang biasa aku jalani di tahun pertamaku.
***
Masa-masa ujian sudah selesai tiga hari yang lalu, aku sudah mulai mempersiapkan rencana liburanku ke Malang, aku ingin meninggalkan Depok sejenak.
“Lana…”
Aktifitasku merapihkan barang-barangku terhenti. Aku menarik nafas dan membuangnya dengan berat, namun memilih untuk tidak berbalik ke sumber suara.
“Apa?”
“Bisakah kita bicara sebentar?”
Aku melirik jam tanganku, masih ada waktu.
“Bicara saja.”
“Di sini?” suaranya terdengar tidak yakin.
“ada masalah?” suaraku masih tanpa ekspresi.
“baiklah.. Lana, aku sungguh sudah tidak tahan untuk berdiam denganmu terus. Kumohon maafkan aku, aku tau kau tak suka dengan penjelasan apapun dariku tapi setidaknya kumohon, dengarkan aku dulu. Ada perkara yang membuatku akhirnya perlu menyampaikan hal ini kepada Rama. Aku yakin, Rama pasti juga belum memberitahukannya kepadamu.”
Mendengar kata Rama, kepalaku pusing tidak menentu. Aku tidak yakin kuat melanjutkan percakapan ini.
Ketika aku berniat mengakhirinya, kalimat Arra selanjutnya membuatku benar-benar berhenti.
“Rama saudara kembar Rayi.”
Aku terdiam, aku bahkan merasa seperti menahan nafasku.
Ini tidak mungkin. Ga, pasti Arra bohong.
“mereka kembar walaupun tidak identik. Yang membuat Rayi akhirnya bisa bertemu denganmu hari itu karena ternyata Rama dan Rayi memang berangkat bareng tapi keduanya tidak saling memberitahu untuk apa.”
“bisa lo berhenti ngomong?”
Arra yang sudah bersiap-siap bicara kemudian terdiam dan bingung.
“eh.. apa?”
“BISA GA LO BERHENTI NGOMONG?! DAN JANGAN PERNAH BAHAS APAPUN LAGI KE GUE!!”
Kemudian aku lari menghindari panggilannya yang entah untuk apa lagi, aku sudah merasa cukup dengan semua ini.
Aku ingin pergi dari sini.