CHAPTER TWO
Ini bukan tentang siapa dia dan siapa aku di masa lalu.
Ini tentang kami, aku dan dia.
Tentang kami yang beranjak dewasa dan mulai mengerti arti cinta.
Tapi ternyata, makna cinta yang sesungguhnya tidak kami ketahui.
Karena kami mengatakan cinta hanya untuk bisa saling menyakiti satu sama lain.
***
“Rayi, akukan udah bilang berkali-kali sama kamu. Ulang tahun aku besok dan aku mau memperkenalkan kamu ke Ayahku, kamu lupa?” aku berdiri berkacak pinggang persis di hadapan lelaki berkaca mata yang fokusnya hanya ke laptop di hadapannya, bukan padaku.
Lelaki itu melirik sebentar sambil menyunggingkan senyum tipis, kemudian terpaku kembali pada laptopnya.
“iya aku tau Lana, harus kamu ulang berapa kali? Akukan ga pelupa kayak seseorang.”
Dia menggodaku, dan bodohnya aku tersipu dengan kerlingannya itu.
Sungguh Lana, kamu sang pengemis senyuman tipis dan kerlingan tanpa arti. Murahan kamu Lana!
Aku berdehem untuk mengatur suaraku agar tidak terlalu jelas terdengar bahwa aku sedang tersipu.
“bagus kalau begitu. Aku hanya memastikan, aku fikir kamu akan lupa. Seperti waktu itu…”
“oh ya? Kapan? ”
Senyumannya semakin jelas terlihat dan kini matanya menatapku. Aku kembali salah tingkah.
“yaaaa… waktu itu, waktu kamu bilang kalau kamu mau mengantar Ayahku ke bandara ternyata kamu tidak datang.”
Rayi nampak berfikir.
“ooohh waktu itu.. kamu menghitung itu sebagai kelupaanku? Apa tidak salah? Bukannya kamu yang lupa kalau hari itu memang jadwalnya pengumuman di calon sekolahku makanya aku tidak bisa datang… terus kemudian ada yang marah-marah gitu sampe ngambek-ngambek ga jelas…. Bahkan diaa.. sampe minta… mau put…”
“Aaaaaaarrrgghhhh iya iya itu salahku. Iya aku salah, aku yang lupa. Puas??!!”
Aku pura-pura kesal, Rayi justru tertawa bahagia. Melihat tawanya aku tidak bisa lebih lama lagi menyembunyikan senyumanku.
“jadi, akhirnya kamu diterima di sekolah bergengsi itu ya..” aku sedikit menerawang. Ada masa depan kelabu yang aku bayangkan.
“”e-heum… Alhamdulillah.. kamu juga kan? sekolah bergengsi… di Depok.. hehe”
Rayi kembali menggodaku dan aku kesal.
“ga usah ngeledek deeehh. Liat aja kalau kamu berani selingkuh di sana, ga ada ampun buatmu.”
“lho? Aku kan mau sekolah bukan mau selingkuh.. kamu sendiri? Ga bakal kepincut lagi sama ketua OSIS yang suka ngegombalin pagi-pagi”
“iiiissshhh apaan sih. Cuma kamu yaaa.. ketua OSIS tukang gombal wleeee…”
“tapi cinta kaaaannn…”
“baweeeellll..”
“ahahahahhaha..”
Ya, ini kisah kami. Aku dan Rayi ketika kami duduk di bangku sekolah menengah. Aku sebagai sekretaris OSIS dan Rayi ketuanya. Kami dekat awalnya karena satu organisasi, kepandaian Rayi dalam merayu dan menggoda membuat hatiku luluh. Perlahan hubungan kami menjadi berubah, dari partner kerja kemudian teman yang terlalu dekat, menurutku.
Aku mulai menghubunginya tanpa alasan yang jelas, dia mulai mengajakku jalan tanpa tujuan. Kami menikmati masa-masa itu, sampai akhirnya ketika menginjak kelas sembilan dan jabatan OSIS kami harus dipindahtugaskan, Rayi mengajakku bicara di kantor OSIS.
Kala itu hanya ada aku dan Rayi, aku sedang membuat laporan-laporan serta lpj-lpj OSIS yang perlu dirapihkan untuk upacara serah terima jabatan.
“Eum… Lana.. masih sibuk?”
Aku tidak menoleh menatapnya, hanya menjawab singkat, “menurut lo?”
Rayi juga tidak menjawab hanya berdehem. Beberapa detik kemudian Rayi kembali buka suara.
“oke, terserah. Tapi, gue kayanya harus ngomong serius sama lo. Penting banget sih ini. Lo sambil kerja aja tapi tetep dengerin gue.”
“hem.. asal lo ga nambah kerjaan gue aja ga papa. ”
Jeda sebentar.
“kayanya.. gue jadi suka sama lo.”
Suara Rayi terdengar sangat jelas karena ruangan sangat sepi dan tenang atau karena kupingku memang tertuju kepadanya, entahlah. Yang kuingat saat itu, aku hanya mengangkat kepalaku dan menatap ke arah Rayi bingung dan tidak percaya.
Aku bisa melihat dengan jelas Rayi sedikit salah tingkah.
“yaaa.. maksud gue, selama ini kita uda sering bareng. Lo jadi partner kerja yang sangat baik, lo enak diajak diskusi, lo sangat mudah gue ajak jalan kemanapun ga pake ribet kayak cewek kebanyakan. Juga… lo.. cantik.. baik juga..”
Aku semakin melongo terutama di kata-kata terakhirnya. Aku berkedip sekali dua kali, kemudian tetap terdiam. Kurasa aku sedikit membuka mulutku entah apakah setelah itu Rayi merasa menyesal bicara semua ucapannya barusan kepadaku atau tidak, aku tidak peduli. Aku hanya tidak menyangka.
Dia… serius?
“sumpah Lana lo ga banget, ga usah pake nanya dalem hati gue serius atau ga. Kalau gue ga serius pasti gue ga salting kayak orang bener gini. Gue ga bisa menjanjikan kebahagiaan secepat itu… tapi… lo bisa percaya ama gue. Lo bisa… ada di sisi gue.. sampai waktu itu tiba.”
Kemudian semua kebingungan hilang dan berganti kecemasan yang entah apa, bercampur dengan keheranan yang juga entah dari mana.
Aku tau Rayi, dia baik, aku tahu benar itu. Selama aku menjadi rekannya tidak pernah sekalipun dia menyentuhku atau sekedar usil denganku. Jailnya dan gombalannya juga hanya sekedar di mulut saja, tidak lebih. Dia tahu benar bagaimana menghargai wanita.
Maka kini, ketika dia mengucapkan kalimat-kalimat tanpa dasar itu.. aku merasa percaya padanya.. aku merasa menjadi wanita paling bahagia.. maka jawabanku hanya anggukan kecil disertai senyuman tipis. Aku tertunduk, malu, untuk pertama kalinya aku merasa canggung di hadapan Rayi yang sudah kukenal dekat setahun terakhir.
“Yeeeeesss!!! Akhirnyaaaa… gilaaaa.. nervous abiiisss.. ”
Rayi tersenyum lebar, dia bahkan seperti loncat dari bangkunya, dan dia tetap tidak menyentuhku, dia hanya tersenyum dan menatapku lurus.
“percaya aku Lana, aku tidak akan menyakitimu.”
Detik itu yang aku tahu hanyalah kebahagiaan. Semua terasa sempurna dan dunia terasa milik kami berdua. Tidak ada yang salah, sungguh, aku fikir memang semua akan baik-baik saja…
***
“Lanaaaaa.. sampai kapan kamu mau di depan hape-mu itu haaahh?? Hari ini hari pertama kamu masuk lhoooo… ”
Aku masih memandangi layar handphoneku ketika Kakak sudah berteriak-teriak memanggilku. Aku sudah bersiap tapi bahkan aku belum sarapan dan belum memanaskan motor. Aku hanya ingin memastikan bahwa aku tidak salah mengingat waktu dan hari. Sudah hampir seminggu sejak Rayi mulai masuk ke sekolah barunya dan entah mengapa, sejak saat itu hubungan kami merenggang. Setiap dihubungi Rayi selalu bilang sibuk, ada kerkel dan hal-hal lainnya berkenaan dengan kegiatan sekolahnya.
Aku memaklumi, sungguh, aku berusaha memaklumi. Hanya saja, hatiku mulai gelisah..
Maka, ketika Rayi berjanji, aku ingin meyakinkan hatiku kembali bahwa Rayi masih seperti Rayi yang aku kenal.
“Besok pagi, pas kamu mau berangkat sekolah aku telepon kamu dulu deh. Aku janji, soalnyakan aku uda keburu masuk duluan nih, seminggu ini agak padat jadwalnya karena banyak tugas MOS. Biasalah… kamu tau itu kan? Kamu percaya aku kan? ”
Aku ingin percaya, sungguh aku ingin percaya.
“Lanaaaaaa… kakak tinggal beneran lho ini yaaa.. udah biarin aja si Rayi palingan juga dia boong lagi, udah ketemu cewek baru kali…”
“Rayi?? Oohh cowoknya Lana yang ga berani-berani ketemu Ayah itu? Masih dia sama Rayi?”
“Ga tau tuh Yah, masih kecil aja pacaran. Anak segitu mah mana ngerti ngebahagiain anak orang. Ketemu yang cantik dikit juga paling berpaling.”
“kakak bawel!! Bisa ga sih ga usah ngomong yang jelek-jelek soal Rayii??!!”
Aku memandangnya kesal, bukannya semakin percaya hatiku semakin gelisah. Sambil menyantap sarapanku, kakak terus mengoceh.
“lah, kakak mah ngomongin fakta Dek. Mana ada cowok SMP mau serius gitu. Kamu ya jangan gampang percaya lah Dek..”
“aku percaya. Apa salahnya?! Aku salah emang Ayah?” aku memandang Ayah meminta dukungan. Ayah hanya tersenyum ringan.
“kalaupun saat ini Ayah mengatakan salah, apa kamu akan mendengar Ayah?”
Aku diam. Mungkin aku tidak mau dengar, lebih tepatnya, aku tidak ingin disalahkan.
“apapun itu, kamu harus berani menanggungnya ya Lana. Kalaupun nanti akhirnya kamu disakiti jangan pernah mengadukan pada Ayah atau Kakak rasa kecewamu pada laki-laki, dan jangan pernah menyamaratakan semua laki-laki. Paham?”
Aku mengangguk.
“tapi aku tidak mau disakiti…”
“mana ada Dek.. cinta masa kamu itu ga menyakiti. Cinta Ayah sama Bunda itu yang ga akan saling menyakiti. Aku lho selama 22 tahun aja ga pernah pacaran, lah adekku ini baru masuk SMA aja uda punya pacar kckckckck…”
Aku merengut lagi, kesal.
“ya udah siih kaaa.. elah.” Aku menghabiskan sarapanku dengan buru-buru dan segera mencucinya di wastafel .
“oh ya, bingkisan dari kakak kemarin sudah dibuka?”
Aku yang sedang membuka keran buru-buru menutupnya.
“apa ka? Ga kedengeran…”
“bingkisan dari aku.. belum di buka ya?”
Aku berfikir sejenak. Bingkisan yang mana…
“ooohh yang ituu.. belum kak, semalem mau dibuka ga jadi. Emang apa isinya? Tumben kakak ngasih aku hadiah, aku belum ulang tahun lho.”
“iya, makanya jangan nungguin hape mulu. Buka aja nanti sendiri. Ayok ah buruan, kamu nanti telat lhoo..”
Aku segera mengambil bekalku beserta perlengkapan sekolah lainnya kemudian mencium tangan Ayah.
“pergi dulu Ayah, Assalamualaikum..”
“Waalaikumsalam.. Nina hati-hati bawa adeknya yaa.. ga ke kampus hari ini?”
Aku mengikuti kakak cium tangan Ayah dan mengucapkankan salam.
“Ga Ayah, aku hari ini mau nyelesein revisian di rumah aja. Lagi males keluar rumah, panas.”
Aku melirik cuaca di luar rumah.
“panas dari mana sih ka? Adem gini.”
“iya sekarang, nanti juga mungkin panas. Udah buru."
Aku berangkat sekolah dan mengikuti serangkaian kegiatan hari ini dengan biasa saja. Menjelang ashar aku sudah ada di rumah kembali.
“Assalamualaikum… Ayah.. Kakak.. aku pulang..”
Rumah sepi, sepertinya semua pergi.
Huft.. aku menghela nafas panjang, semenjak kepergian Bunda aku harus terbiasa dengan keadaan rumah yang kosong seperti ini. Tidak ada lagi yang membuatkan aku minuman dan makanan kecil, tidak ada lagi yang menemani kesendirianku jika Ayah dan Kakak masih sibuk dengan kegiatannya di luar.
Tak apa, aku akan belajar mandiri.
Aku segera masuk ke kamarku dan kudapati bingkisan dari kakak masih terbungkus rapih di atas meja rias. Tanpa berfikir dua kali, aku segera menaruh tas dan barang lainnya di atas kasur dan bersiap membuka bingkisan tersebut, sebelum akhirnya aku mendengar handphone-ku berbunyi.
Tilulit tilulit.
Aku segera menoleh dan mencari sumber suara.
Rayi! Ini pasti Rayi! Aku tahu itu.
Selain rasa bahagia diiringi dengan kerinduan yang luar biasa aku tidak bisa mengingat apapun lagi kala itu. Aku hanya tahu bahwa aku sudah mengiriminya ribuan pesan dan menghubunginya ribuan kali sejak pagi ini, maka ini adalah jawaban yang aku nanti.
Dia juga pasti sudah sangat merindukanku!
“RAYIIIIII..” aku sudah pastikan bahwa suaraku akan sangat mengganggunya jika ia sedang di kamar sendirian. Rayi pasti menjauhkan telponnya dari telinga kemudian dia menatap telponnya kebingungan kemudian tertawa. Ya, aku yakin pasti begitu.
“hei..” hanya itu jawaban Rayi, aku sedikit bingung.
Kenapa tidak seperti bayanganku? Suaraku sudah sangat nyaring menurutku.
“Rayi?” aku memastikan.
“ya, ini aku. Eheum. Gue.”
Aku terdiam. Gue?
“eheum, Lana, kamu .. emm.. maksud gue.. lo ada waktu? Pekan ini? Akhir pekan..”
Aku masih terdiam, lo-gue?
“kalau ada gue berharap bisa ketemuan sama lo. Ada yang mau ketemu sama lo. Jadi.. pastikan lo bisa dateng ya. Di MargoCity jam 11, di food court.”
Kemudian sambungan telepon tertutup bahkan sebelum aku membuka mulutku. Masih tidak percaya dengan semua yang kudengar, sebuah pesan masuk.
Tulit!
Dari Rayi.
[sorry, kita putus.]
Hanya tiga kata, namun mampu meluluhlantakan hatiku. Aku tidak menjawab bahkan aku tidak membuka pesannya dengan benar, aku hanya melihat pop-up pesan di layar handphone yang kemudian pesan itu hilang terganti dengan layar yang hitam.
Aku terduduk lesu, saat itu aku ingat sekali bahwa aku ingin membuka bingkisan dari kakak. Dengan sedikit kesadaran yang masih aku punya aku berusaha mendekati meja rias dan memaksa menjatuhkan bingkisannya, aku bahkan tidak sanggup untuk berdiri.
Sebuah jilbab berwara pink dengan motif bunga sakura yang cantik sekali. Kakak juga memberikanku sebuah surat,
Hei.. adikku yang sedang men-dewasa..
Mungkin ketika kamu membuka bingkisan ini kamu akan merasa bingung, ah sudah taulah aku bagaimana ekspresi mengesalkanmu itu.
Heumm.. dipake yaaa jilbabnya. Kamu sudah masuk SMA sudah waktunya mulai berhijab dengan benar. Ah ya, ini juga sebagai bukti kau mencintai Bunda. Aku sesungguhnya sangat tidak setuju denganmu yang akhirnya memutuskan berpacaran, sungguh itu bukan sebuah keadaan yang baik. Aku berani mengatakan bahwa dia bukan lelaki yang terbaik untukmu.
Ketika pengajian kemarin, aku diingatkan untuk membawamu serta berhijrah bersamaku. Maka, sebelum kamu diputusin pacarmu… kamu putusin aja dia yaa..
Hehehe, oke!!!
Kamu ga boleh nangis karena laki-laki!
Entah apa kalimat berikutnya aku tidak tahu, yang aku tahu bahwa saat itu aku sudah mulai menangis dan menangis semakin kencang sampai sakit dadaku. Untuk pertama kalinya dalam hidupku aku merasakan sakit yang luar biasa setelah kematian Bunda.
Aku bahkan tidak pernah menangis sehisteris ini.
Aku terlanjur disakiti sebelum aku mampu menyakitinya.
***
“Lana.. hei.. Lana.. LANA!!”
Aku tersadar, aku melihat wanita di depanku, Arra. Dia sedang menatapku dengan sedikit kesal, apakah aku melamun?
“ya! Kamu ngelamun! Dan otomatis kamu pasti ga mendengarkan semua perkataan yang aku ucapkan barusan, ya kan?”
Arra terlihat sangat kesal, ia mengehela napasnya kemudian menatapku iba. Aku hanya memejamkan mata sejenak kemudian menggeleng.
“aku ..”
“ga usah ngomong apa-apa. Aku tau. Jadi, apa yang kamu lamunkan? Lelaki tadi? Masa lalumu? Atau pertanyaan mengapa wanita yang digandengnya kini bukan wanita yang dulu telah merebut dia darimu..”
Aku hanya terdiam.
“apakah, perasaan manusia semudah itu berganti?”
Arra hanya mengangkat bahu tak peduli.
“yang aku tahu, bahkan sebelum kalian menikah maka semua cinta itu palsu. Menyakiti dan disakiti, bukankah itu wajar?”
Aku meliriknya tidak suka. Bukan hal yang wajar! Jelas, bukan hal yang wajar.
“apa Arra pernah tau rasanya seperti apa?”
Arra memandang keluar jendela tempat kami sedang menikmati makan malam kami, ya, setelah berpisah dengan Rama dan yang lain aku dan Arra memutuskan untuk mampir ke tempat lain. Lebih tepatnya, aku menghindari rumah. Aku tidak mau sendirian dalam keadaan seperti ini.
“aku tidak pernah tau, tapi aku tau sedikit- banyak, karena adikku mengalami hal yang sama denganmu. Yang aku tau hanya, dia menangis terus sepanjang hari dan mengutuk lelaki tersebut. Kemudian paginya, dengan sangat mudahnya, dia sudah bisa tertawa ceria kemudian sepulang sekolah dia mengatakan bahwa sudah jatuh cinta kembali. Entahlah.
Pikirku saat itu, mungkin dia sudah siap untuk memberikan balas dendam kepada lelaki lain. Ia ingin membalaskan rasa sakit hatinya karna telah disakiti. Maka, kesimpulan yang aku ambil adalah, cinta yang kau utarakan tidak pada tempatnya dan tidak sesuai dengan waktunya hanyalah alasan agar kalian bisa saling menyakiti. That’s it!”
Arra meminum minuman pesananya perlahan.
Arra benar. Pernyataan cinta yang diutarakan terlalu cepat dan tidak sesuai pada tempatnya hanya sekedar ‘tiket atau sebuah perizinan’ bahwa kami boleh saling menyakiti. Hanya itu, sungguh tiada yang lain di dalamnya.
“jadi, hari itu ketika kamu diminta bertemu dengannya apakah kamu datang?”
“ga, buat apa. Aku hanya berdiam diri di rumah, aku bahkan tidak menyalakan handphoneku.”
“lalu, bagaimana…”
“aku tidak sengaja bertemu mereka.”
Beberapa saat setelah Rayi mengatakan [putus] kepadaku dengan sangat tidak pantasnya, aku memutuskan untuk berhijab. Entah, apakah ini termasuk berhijrah atau bukan. Aku hanya ingin menyembunyikan semua kebencianku kepadanya. Aku ingin menutupi rambutku yang selama ini dia sanjung-sanjung, aku ingin buang semua image-ku yang dulu, yang pernah mencintainya dan pernah berharap kebahagiaan darinya.
Hari itu, aku pergi dengan Kakak berdua untuk nonton, tanpa disengaja, mungkin memang Tuhan sudah merencanakan begitu… aku bertemu mereka.
Mereka. Ya, mereka. Rayi dan pacar barunya. Aku yang saat itu sudah berhijab segera menyembunyikan diriku.
“eeehh kenapa sih Deekk..”
“shuuuttt kakak diem, kakak diem..”
Aku menarik kakak untuk bersembunyi di sampingku. Aku menarik napas panjang kemudian mengintip di balik tembok tempatku bersembunyi, melihat mereka.
Rayi tampak bahagia, ia tertawa dan mengatakan sesuatu kepada wanita di sampingnya sehingga wanita itu tertawa. Lalu kemudian Rayi menggandeng tangannya mengajak wanita itu ke counter makanan dan membeli popcorn, mungkin untuk menonton. Setelah itu mereka masih saja berbicara dan tertawa, hatiku sakit. Sakit sekali hingga rasanya aku hampir pingsan.
“kenapa sih dek?” kakak berusaha melihat apa yang kulihat, ia menjorokkan badannya sedikit ke depan dan tahulah apa yang membuatku bersembunyi.
“kamu mau pulang?” aku menggeleng.
Tidak, untuk apa pulang? Aku ada di sini bukan karena mereka, maka aku juga tidak perlu pergi meskipun ada mereka.
“ya sudah, kalau gitu ayo keluar.” Kakak menarikku keluar dengan paksa, hampir saja aku berteriak, bagaimana jika dia lihat aku??
Namun ketika aku melirik tempat mereka tadi ternyata mereka sudah tidak ada, aku sedikit lega namun semakin sedih.
Ah bodoh kau Lana. Sungguh bodoh!
“ternyata semua terjadi secepat itu.”
Hanya itu kata yang mampu aku ucapkan setelah semua cerita masa laluku terkuak kembali. Aku mengaduk minumanku asal, green tea latte yang biasanya sangat cepat kuhabiskan, kini rasanya sangat tidak berselera.
“tandanya Allah ga mau kamu dosa lama-lama Lana.”
Aku menatap Arra, itu jawaban yang belum pernah ku dengar dari siapapun. Ya, Arra termasuk orang yang membantuku berhijrah. Dia sangat sabar mengajarkanku ini dan itu mengenai hal yang sebelumnya tidak kuketahui.
“aaaahh.. sudahlah Lana.. jangan sedih terus-terusan. Ga ada gunanya. Cukup kamu tau kalau cowok tadi itu ga baik buat kamu. Coba kamu bayangin, cewek yang dulu bikin kamu sakit hati sekarang juga mungkin sedang merasakan sakit hati yang sama. Jadi, ga ada gunanya kan?”
Aku mengangguk yakin, “ya, dia juga tersakiti.” Kemudian tersenyum tipis.
Bolehkah aku merasa bahagia atas kesedihannya? Kurasa aku memiliki hak atas itu walaupun itu tidak benar.