Secangkir teh hangat tlah ku hidangakan dihadapan Aris dari beberapa menit yang lalu. Bahkan sudah kupersilakan juga untuk dia coba. Tapi, laki - laki itu tetap diam tak menyentuhnya. Aku cukup paham, apa yang sedang Aris pikirkan. Mungkin dia takut teh itu berisi racun. Seperti jaman lalu.
"Enggak bakal ada yang berubah walaupun kamu liatin kayak gitu." kataku memecah hening.
Aris langsung menatapku. Mengabaikan teh yang sedari tadi dia perhatikan. "Kau yakin kan tidak salah memasukan gula?" tanyanya memastikan.
Aku menghela nafas. Berusaha sabar menghadapi candaan Aris. "Minum saja, baru kamu akan tahu jawabannya." jawabku kesal. Yang malah membuat Aris tersenyum.
"Kenapa? Enggak ada yang lucu, Ris!" Protesku.
Aris terkekeh. Lalu menyeduh teh buatanku dengan pelan.
"Ternyata aku salah. Ternyata kau banyak berubah." katanya setelah menghabiskan setengah isi tehnya.
"Benar. Kamu salah besar. Manis kan rasanya. Tidak asin atau pahit?" tanyaku. Membuat Aris kembali terkekeh.
"Aku kan hanya bersiaga. Siapa tahu kau salah memasukkan gula seperti dulu." Aris beralasan. "Siapa dia?" lalu tiba - tiba bertanya. Membuatku menatapnya bingung.
"Dia siapa?" Aku balik bertanya.
"Seseorang yang kau sebut tadi. Yang katanya hanya dalam waktu 3 detik dapat membuatmu jatuh cinta." terangnya.
"Ohh. ." Aku ber- oh ria. Tak lupa memamerkan senyumku.
"Apa dia seseorang yang aku kenal?" tanyanya lagi. Sudah seperti interogasi.
Aku mengangguk pelan. Mengiyakan. Begitupun juga Aris. Yang juga ikut menggangukkan kepalanya.
"Apa kau bahagia?" Aris kembali bertanya. Kali ini membuatku menatapnya bingung.
"Kenapa?" tanyaku. Yang tak langsung dijawab oleh Aris.
"Aku akan ikut bahagia kalau kau bilang bahagia." jawabnya.
"Tentu saja aku bahagia. Dengannya."
"Kalau begitu, kenalkan aku padanya. Suruh dia kesini!" pintanya tiba - tiba.
"Hanya untuk menemuimu?" tanyaku yang langsung disambut anggukan kepala dari Aris. "Jangan bercanda." lanjutku. "Dia tak punya waktu untuk hal yang tak penting."
Aris tertawa sarkas mendengarnya. "Jadi aku tak penting, ya. Sahabat yang tak penting."
"Ya, tak penting mendengarkan semua ceritamu." tambahku.
"Kalau begitu jawab saja pertanyaanku!" suruh Aris.
"Untuk apa? Bukannya sedari tadi aku selalu menjawab semua pertanyaan yang kamu lontarkan?" tanyaku bingung.
"Untuk mengurangi rasa penasaranku." jawabnya. Membuatku sedikit tersentak.
Kenapa harus penasaran. Bukankah hari ini kamu datang untuk memutus kisah lalu kita. Kenapa sekarang kamu penasaran dengan sosok yang aku buat.
"Lebih dulu mana kau mengenalnya? Dia atau aku?" Aris mulai melontarkan pertanyaannya.
"Dia." jawabku. Membuat Aris tak dapat menyembunyikan kekagetannya dari kedua matanya.
"Sekolah dimana dia dulu? Satu sekolah dengan kita atau beda sekolah?"
"Satu sekolah." jawabku. Kali ini berhasil membuat kedua alis laki - laki itu bertaut. Dia tambah penasaran.
"Aku mengenalnya?"
"Tentu saja." jawabku sambil terkekeh. Membuat dahinya tambah berkerut.
"Bagaimana ciri - cirinya? Seberapa tingginya dibandingkan denganku? Seberapa tampan dia denganku? Dan bagaimana kau mengenalnya?" berondongnya. Aku hanya tersenyum menanggapi.
Apa Aris cemburu? Tidak mungkinkan?
"Bagaimana aku menjawab semua pertanyaanmu itu?"
"Jawab saja." suruhnya. Tanpa ada senyum diwajahnya. "Atau ceritakan bagaimana sosoknya."
Aku terdiam beberapa detik. Mencari kalimat yang tepat untuk aku katakan. Merangkai satu paragraf pertama untuk aku utarakan. Untuk menceritakan satu sosok itu.
"Dia tinggi. Dan aku sebahunya. Dia tampan, dan manis. Dia pintar, tapi terkadang cukup ceroboh. Dan dia bukan tipe laki - laki romantis. Walaupun pernah dia membuat sebuah surat cinta untukku." kataku. Sambil mengenang semua itu.
"Kapan pertama kali kau bertemu dengannya?" Aris kembali bertanya.
"Dulu, sewaktu hujan pulang sekolah." jawabku. Membuatku kembali melayang pada zaman itu.
Zaman dimana aku masih memakai seragam abu - abu. Sepatu sneakers berwarna hitam putih. Tas ransel berwarna hitam juga. Dan gelang tangan kesayangan hasil buatanku sendiri.
"Hujan di awal November." lanjutku lagi. Menatap kedua mata yang juga tengah menatapku. Menunggu kelanjutan ceritaku.