Read More >>"> Du Swapped Soul (With Seoul) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Du Swapped Soul
MENU
About Us  

Chrip! Chrip!

“Hoaahm... Ah, sudah pagi rupanya.” Aku bangun dari tempat tidur dan berjalan ke lantai bawah.

Annyeong haseo,” sapaku.

Annyeong haseo,” balas Mama dan Papa.

Aku diam di tempat.

“Kau kenapa?” tanya Mama heran.

“Mmm... aku... aku....”

“Kau kenapa?” Kini giliran Papa yang bertanya.

“Aku... boleh... pergi keluar, tidak? Jalan-jalan.”

“Dengan siapa?

“Dengan Tae-In... boleh?”

Mama dan Papa hampir tersedak. “Tae-In yang....”

“Kalau dengan cowok tidak boleh. Dengan Shin-Hye dan Jae-Min saja,” larang Mama tegas.

“Yahh, Mama.” Aku memelas.

“Tapi kan Tae-In itu berbahaya, sayang. Kau tahu kan?”

Aku mengangguk. “Tapi dia tidak akan begitu lagi.”

“Kau bisa menjamin?”

“Kalau dia begitu lagi, aku akan teriak dan lari secepat mungkin.” Aku mencoba untuk meyakinkan Mama dan Papa.

Papa menepuk bahu Mama. “Baiklah, kalian boleh pergi bersama.”

“Horee! Mama dan Papa memang yang terbaik!” seruku seraya memeluk mereka.

“Sarapanmu dihabiskan dulu, dong.”

“Siyyaaap!” Aku pun langsung segera menghabiskan sarapanku.

__ __ __

Aku memakai dress biru tua dengan long coat berwarna cokelat. Tak lupa, aku memakai syal di leher. Dan sepatu boat cokelat sudah kusiapkan di depan rumah. Untuk hiasan di rambut, aku hanya memakai jepit rambut sederhana.

Aku memasukkan beberapa barang yang dibutuhkan ke dalam tas selempang kecilku. Oh ya, hampir lupa. Aku pun memakai make up yang memberi kesan alami.

“Nah, siap! Barang-barang Myung-Joo ternyata bagus-bagus, ya.” Aku bergumam.

“Mama, Papa, aku pergi keluar dulu!” Aku pun berlari menuju rumah Tae-In. Aku masih ingat dimana letak rumahnya.

TING! TONG!

“Tae-In aah~!!” panggilku dari luar rumahnya. Pagar terbuka.

“Ya? Ada apa?” tanya seorang wanita.

“Permisi. Tante ini Mama nya Tae-In, ya? Tae-In nya ada?” tanyaku memastikan. Mama Tae-In hanya melongo sambil menatap diriku.

Grep!

Mama Tae-In menggenggam erat kedua tanganku.

“Kau Park Myung-Joo?” tanyanya.

“Iya, Tante,” jawabku dengan raut wajah bingung.

“Kau sudah bangun? Kau sudah tak apa-apa lagi? Bagaimana dengan keadaanmu? Dan bagaimana dengan orang tuamu? Apa mereka sudah memaafkan Tae? Kau benar-benar ingin bertemu dengan Tae-In?” tanya Mama Tae-In bertubi-tubi. Aku membalas semuanya dengan senyuman.

“Semua baik-baik saja, Tante.”

Ia balas tersenyum, lalu beralih menatap ke salah satu jendela yang berada di lantai 3. “Jungie, ada Myung-Joo!” sahut Mama Tae-In. Sosok Tae-In terlihat dari balik jendela.

“Tae-In! Ayo jalan-jalan!” ajakku. Ia diam, lalu mengangguk dan pergi.

“Nah, Myung-Joo, kau bisa menunggunya di dalam.”

“Eh, tak usah, Tante. Aku tunggu di luar saja, hehe.”

“Benar, nih?”

“Tenang saja, Tante.” Aku meyakinkannya.

“O.K., baiklah.” Mama Tae-In pun masuk ke dalam. Sementara itu, aku menunggu di luar area rumah Tae.

“Myung-Joo Unnie!!” panggil seseorang dengan lantang.

“Oh, Ji-Mi ya!”

Ji-Mi mendekatiku. “Kak Myung-Joo mau kemana?”

“Mau jalan-jalan sama Tae-In Oppa,” ujarku lembut.

“Ji-Mi mau ikut~,” rengeknya.

“Eh? Tapi Unnie jalan-jalannya jauh, lho, Ji-Mi. Nanti Ji-Mi tidak dimarahi?”

“Oh, iya! Ji-Mi kan tidak boleh main jauh-jauh sama Mama dan Papa. Mama galak. Kalau marah begini, ‘RARRR’!” Ji-Mi menirukan gaya monster yang sedang marah.

“Haha! Iya. Eh, kau tambah imut, deh, dengan kuncir dua di atas kepalamu itu,” pujiku.

“Kan aku dari dulu memang sudah imut, hihi.”

“Ji-Mii! Sini, main yuuuk!” panggil seorang gadis kecil yang tingginya kira-kira setara dengan Ji-Mi. Hmm... sepertinya itu temannya.

“Eoh? Oh, iya, Nam-Joo!!” Ji-Mi pun berlari tanpa pamit denganku terlebih dahulu, seakan ia lupa kalau ia sedang mengobrol denganku. Dasar bocah.

“Hei.”

“Oh, Tae-In.” Aku menatapnya dari atas sampai bawah. Sederhana sekali. Ia hanya memakai atasan sweater, dan bawahannya celana jeans. Untuk alas kakinya, ia memakai sneakers berwarna merah dan putih.

“Hmm....”

“Apa?” tanyanya dingin.

“Selera pakaianmu rendah juga, ya. Padahal kau orang kaya,” gumamku sambil memperhatikan gaya pakaiannya.

“Aku tidak peduli.”

“Haha! Ya sudah, sekarang temani aku keliling Korsel!” seruku.

Mata Tae-In membulat. “Ke... keliling Korea Selatan?!” tanyanya terkejut.

Aku menoleh, sambil menatapnya dengan senyuman yang mengembang. “Iya!”

“Lalu, kita akan kemana dulu?”

“Eh? Emm....”

__ __ __

Kami menumpangi kereta KTX untuk sampai ke tujuan kami yang pertama. Entahlah, aku tak tahu kami akan kemana. Yang jelas, Tae-In akan membawaku se sebuah taman yang indah.

“Myung-Joo.”

Ah, semoga saja tempatnya indah, ya.

“Myung-Joo!” Memang kebetulan sekali, sih, aku sedang ingin menenangkan hati di tempat yang sejuk seperti taman.

“MYUNG-JOO!”

Aku tersadar dari lamunanku. “Ya? Ada apa teriak-teriak?” tanyaku dengan nada yang sedang menutupi rasa keterkejutanku.

“Sudah sampai! Ayo keluar!” bentak Tae-In.

“Ah, iya.” Kami keluar dari kereta.

“Tamannya agak jauh dari stasiun KTX ini. Jadi kita masih harus berjalan. Ya?” katanya.

“Ya.” Kami terus berjalan.

Aku melihat ke selilingku. “Woah, keren.”

“Apa yang keren?” tanya Tae-In cuek.

“Orang-orang di sini keren. Aku tak menyangka, bisa hidup di Korea. Apalagi sekarang aku sedang cinta-cinta nya dengan budaya Korea,” jelasku dengan senyuman yang masih tetap mengembang.

“Pffft...!” Tae-In menahan tawanya. “Kau sebut itu keren? Kau harus bisa jaga sikap. Kau juga orang Korea, lho.”

“Tapi, ‘kan bukan orang Korea asli.”

Annyeong~,” sapa seseorang pada kami.

Annyeong~,” balas Tae-In sambil membungkukkan sedikit badannya. Aku hanya melongo memperhatikan Tae-In.

“Kau kenal dia? Dia siapa?”

“Dia bukan siapa-siapa. Aku kan tak punya teman perempuan~.”

“Lalu aku siapa kalau bukan teman?”

“Kecuali kau.” Tae-In melirikku. “Dan hei, mengapa kau tidak menjawab salamnya tadi? Itu tidak sopan,” tegur Tae.

“Oh, haruskah?” jawabku polos.

Tae menepuk dahinya. “Di Korea, siapa pun bisa menyapamu. Mau itu yang dikenal, ataupun tidak. Dan kau harus menjawabnya! Kalau tidak, kau bakal dianggap tidak sopan. Mengerti?”

“Iya. Tapi bagaimana cara melakukannya?”

“Cukup mudah. Kau hanya jawab ‘annyeong’, sambil membungkukkan setengah tubuhmu. Atau setidaknya kepalamu menangguk. Di rumah kau tidak seperti itu?”

Aku menggeleng. “Kalau di rumah, aku hanya jawab saja. Tidak dengan bungkukkan, atau bahkan anggukkan.”

“Setidaknya, sekarang kau mengerti ‘kan?”

Ye!” Aku bersorak gembira. “Keren!” seruku.

“Keren apanya lagi~?”

“Itu....” Aku menunjuk sebuah stan penjual boneka.

Tae-In merenyit. “Mau?”

__ __ __

“WOHOOO! Fantastis!” seruku girang, seraya berlari di hamparan rumput hijau tanpa alas kaki dengan tangan menggenggam tangan boneka yang tadi aku beli.

“Jangan norak!” teriak Tae sambil berlari mengejarku.

Aku tiba-tiba berhenti.

Bruk!

Tae-In menabrak punggungku, sampai-sampai aku terjatuh ke hamparan rumput.

“Wahahaaa! Seru sekali!” Aku menatap langit biru yang sangat indah untuk dipandang. “Ah, sudah lama sekali aku tak memandang langit sambil tidur-tiduran di hamparan rumput begini,” gumamku.

“Myung-Joo.” Tiba-tiba Tae-In memanggilku.

“Iya?”

“Ng... Aku harus jaga jarak darimu.”

Aku mengerutkan dahi. “Mengapa? Untuk apa?” tanyaku heran.

“Kalau ada yang tahu kalau kita berduaan seharian bagaimana? Aku pasti bisa lebih dijauhi lagi.”

“Oh, iya. Nanti dikira kau akan mencelakaiku lagi. Ya sudah, kita jangan terlalu dekat satu sama lain,” jawabku enteng.

Tae-In menghela napas. “Jalan-jalan nya sudah, kan? Yuk, pulang,” ajak Tae.

“Aku belum puas, Tae.”

“KAU MAU JALAN-JALAN KEMANA LAGI, MYUNG-JOO???” tanyanya greget.

“Masih jam setengah sembilan. Waktunya masih banyak, kok. Yuk, temani aku belanja!” ajakku.

“Hmph... Baiklah, aku akan mengajakmu ke toko buku dulu, mau?” tawarnya.

“Mauu!” Tae-In langsung berdiri dari duduknya. Aku membuntutinya dari belakang sambil membayangkan betapa indahnya toko buku itu. Aku memang belum tahu bagaimana wujud toko itu, tapi setidaknya ini akan menjadi kunjugan yang sangat menyenangkan!

Buku memang item terfavoritku. Makanya jangan heran kalau barusan aku senang sekali ditawari belanja di toko buku.

“Angel tidak akan kelelahan?” tanya Tae-In memastikan kalau aku baik-baik saja.

“Oh, tentu tidak! Aku akan menikmati satu hari ini dengan baik.” Aku mengelak. Tae-In tersenyum. “Haah...? Senyum?” gumamku pelan, pelan sekali.

“Nah, lihat itu,” kata Tae-In sambil menunjuk ke suatu bangunan yang agak menjulang dari toko lainnya.

“Ya? Memang kenapa? Apa itu bangunan toko bukunya?” tebakku.

“Yup! Benar sekali! Kita hampir sampai.”

“Yes!” sorakku.

“Nah, memangnya di Los Angeles tidak ada toko buku?” tanyanya heran.

“Ada, sih. Tapi aku sedang suka novel Korea, hehe.”

“Oh, kau sudah lancar baca tulisan hangeul?” Ia mengeluarkan hp nya.

“Sudah, dong!”

“Oh, oke.”

__ __ __

Nah, sekarang kami sedang ada di perjalanan menuju pergi ke restoran. Entah restoran mana.

“Kita mau ke restoran mana, sih? Daritadi belum sampai-sampai juga!” omelku.

“Restoran bagus.”

“Jangan bertingkah seperti anak kecil, Tae!” Ia berhenti, lalu menatapku tajam. “A-apa?” tanyaku ketus.

Ia lalu berbalik badan dan kembali berjalan. “Ke restoran idolamu.”

“Hah? Yang mana? Boyband? Girlband? Atau solo?” tanyaku sambil mengingat-ingat siapa saja idolaku. Kebanyakan, sih.

“Oh, mmm... Istilahnya itu... ah, bias, biasmu.”

“HAH? Bias? Biasku?! Lee Dae-Sung Badboy! Dia punya restoran? Masa, sih? Terus kau mau membawaku kesana? Yang benar saja!” Aku masih sangat tak percaya dengan apa yang tadi dikatakan Tae-In.

“Iya, Dae-Sung yang dari boyband Badboy itu. Masa kau tidak tahu kalau dia punya restoran? Itu ‘kan biasmu?” tanyanya heran.

“Ya, mana kutahu? Aku baru menjadikannya bias sejak 3 minggu lalu. Wah, ternyata dia punya restoran! Eh, yang punya dianya atau orang tuanya?”

“Ibunya.” Aku hanya ber-oh panjang.

“Sudah, jangan banyak ngoceh.”

Terdengar suara keramaian dari kejauhan. Aku melirik. Oh. Pandangan Tae-In beralih padaku.

“Myung-Joo ah. Aku mau kesana sebentar. Yuk!” ajaknya.

Wajahku kusut seketika. “Uuuh~! Kita mau kemana lagi, sih, Tae-In? Katanya mau ke restoran Dae-Sung!” omelku.

“Huh... Aku hanya ingin mampir kesana sebentar. Tidak lama, kok. Mau ikut, tidak?” tawarnya. Aku menggeleng.

“Oh, ya sudah. Jangan kemana-mana sebelum aku datang,” pesannya, lalu pergi.

Aku tersenyum, lalu menghela napas pelan. Aku membuka plastik berisikan 3 buah novel. “Cukup untuk persediaan 1 bulan.”

__ __ __

Kruuk~!

Perutku berbunyi. Dan untungnya tak ada yang memperhatikannya.

“Uh, sudah lama Tae-In pergi. Aku sudah kelaparan!” omelku.

Sepuluh menit kemudian, Tae-In datang.

Wow, Tae-In terlihat kusut sekali sekarang. Wajahnya kusut, napasnya yang tak karuan, dan keringatnya yang bercucuran, membuatku semakin heran, kemana ia pergi?

“Haduuh... Tae-In, dingin begini masih bisa-bisanya kau berkeringat? Kemana saja kau?” omelku padanya. Dan aku sama sekali tak peduli dengan keadaannya sekarang. Suruh siapa keluyuran?

Bruk!

Ia duduk di atas trotoar jalanan. “Tunggu... biarkan aku istirahat sebentar...,” ucapnya dengan lemas.

“Psst! Jangan duduk disini juga, dong! Malu, dilihat orang-orang!” bisikku.

“Aaa~ aku tak peduli.” Aku mendengus.

Tanganku meraih botol air mineral dari dalam tasku, dan aku menyodorkannya pada Tae. “Ini. Kau pasti kehausan ‘kan?”

Ia mengambilnya dari tanganku. “Terima kasih.”

“Dah-dah istirahatnya! Aku sudah tak sabar untuk makan di restorannya Dae-Sung, nih!”

“Uh, jahatnya.”

“Biarin, weeks!” Aku menjulurkan lidahku padanya.

“DASAR!”

__ __ __

“Se... seriusan ini restorannya Dae?” tanyaku masih tak percaya, saat berhadapan dengan bangunan mewah, yang ternyata adalah restoran milik Ibu Dae-Sung.

“Iya. Tuh, lihat, banyak orang yang sedang membicarakan berita terkini seputar Badboy. Mereka pasti Dae-Sung stan,” jelas Tae.

“Terus-terus?? Kau tahu apa lagi tentang restoran ini?” Tae-In menggeleng. “Yaah... Kok begitu, sih!”

“Ya, mana kutahu, aku ‘kan bukan Dae-Sung stan.”

“Uh, oke-oke. Yuk, masuk.” Kami pun masuk, dan berjalan menuju suatu meja bernomor ‘22’, angka keberuntungan Dae-Sung. “Kau disini saja, aku akan memesankan makanan.” Aku berjalan pergi meninggalkannya.

__ __ __

“UAAAH, aku masih tak percaya, lho. Waah... tadi kau lihat, kan? Aku mengobrol dengan Ibunya Dae-Sung, lho!” ujarku bangga.

“Iya, aku tahu. Aku sampai dicuekin,” cibir Tae-In pelan. “Mengobrol dengan Ibunya Tae-In saja bangga sekali.”

“Heii, kau ingat? Rohku bukan asli dari Korea. Aku hanya sekedar menumpang saja di tubuh Myung-Joo. Ya... bisa dibilang kalau aku ini cuman LI-BU-RAN. Artinya aku tak selamanya akan tinggal disini,” jelasku.

Tae-In agak tersentak mendengar omonganku. “Jadi selama ini... kau menganggap jika ini hanya liburan semata?”

“Iya.”

“Maafkan aku, karena telah menghancurkan hidupmu yang spesial.”

“Oh, no-no-no! Aku malah sangat berterima kasih. Aku bisa hidup disini ‘kan karenamu. Kalau mau meminta maaf, mintalah pada Myung-Joo yang disana.” Tae-In tersenyum, lalu mengangguk mantap.

“Nah, sekarang, aku mau tanya.”

“Hm?”

“Kemana lagi kau akan membawaku?”

Tae-In menunjukkan wajah datarnya. “Kita akan menaiki kereta KTX, lalu aku akan memberitahukannya.”

“Se-rahasia itukah? Apa tempat yang selanjutnya akan sangat menarik?”

Tae-In tersenyum lebar. “Tepat sekali.” Oh, aku tak tahu apa yang bisa membuatnya sampai tersenyum selebar itu.

__ __ __

“Ayo, beritahu aku, kita akan kemana lagi~,” pintaku dengan nada yang sangat memelas. Masalahnya, ia sudah mengingkari janjinya. Kami sudah menaiki KTX, tapi tetap saja ia belum memberitahukanku.

“Apa kau tidak malu? Jangan bertingkah seperti anak kecil! Bayak yang memperhatikan, tahu. Itu bukan tubuhmu, itu tubuh Myung-Joo, Myung-Joo yang sesungguhnya!” bentaknya. Wajahku memelas.

“Waduuh... ya-ya... aku akan memberitahukanmu. Jangan menangis, dong,” ejeknya.

“Siapa juga yang menangis? Aku bukan bayi,” cibirku sebal sambil membuang muka darinya.

“Ya, oke. Apa kau lihat gedung yang sangat tinggi itu?” tunjuknya.

“Yang mana?”

“Itu, yang sangat tinggi itu, lho.”

“Oh, ya, aku melihatnya. Memang itu apa?” tanyaku masih tak mengerti.

Ia menepuk dahinya. “Kau tak tahu? Itu Lotte Duty Free, gedung yang paling terkenal di seluruh dunia!” Aku tetap menggeleng.

Tae-In menggelengkan kepalanya pelan. “Kau perlu lebih banyak pengetahuan Korea.”

“Oke-oke. Tapi, gedungnya keren, ya.”

“Itu gedung pusat perbelanjaan, sekaligus gedung paling tinggi di Korea Selatan. Dalamnya keren, lho. Sering juga dibuat untuk syuting iklan. Oh, pernah ada syuting drama juga!” ujarnya.

“Waaw, keren. Kayaknya aku bakal betah, deh, disana.” Mataku berkilauan. “Yah... tapi sayang sekali, ya. Aku ‘kan tidak bawa uang banyak. Kalau saja aku tau kalau kita akan kesini, aku pasti akan membawa uang lebih banyak.”

“Ng?” Tae-In melirikku. “Oh, aku yang traktir, deh.”

“Wah, jangan. Kan, aku yang mengajakmu untuk jelan-jalan. Lagipula kau sudah mentraktirku untuk biaya KTX.” Tae-In malah menunjukkan senyuman smirk nya yang menakutkan.

“Aku ‘kan anak orang kaya.”

“Ya ampun, malah sombong. Tapi bener, deh. Memangnya aku tidak akan merepotkanmu?” tanyaku memastikan.

“Tidak, kok. Kapan lagi kau bisa belanja sepuasnya di LDF?” goda Tae-In.

“Oke. Tapi aku tidak mau tanggung jawab, ya, kalau aku merepotkanmu,” peringatku.

“Iya....”

“Oke.”

Kami pun terus berjalan, sampai di depan pintu masuk gedung LDF. Aku menatap ujung atas gedungnya. Wow, ujung gedungnya saja sampai tak terlihat. Kami pun masuk.

Aku gembira sekali. Inikah rasanya merasakan sensasi masuk ke dalam gedung terkenal sedunia?

Aku diomeli Tae-In karena sikapku yang norak. “Oh, ayolah. Kapan lagi aku bisa merasakan sensasi memasuki gedung yang terkenal dengan ketinggiannya ini?” alasanku saat Tae-In kembali mengomeliku.

“Iya-iya,” jawabnya.

“Tuh, liat papan keterangannya. Pusat musik, seni, dan lainnya ada di lantai 8.” Aku pun

langsung saja menarik lengan Tae-In dan melesat menuju lift.

__ __ __

“Bagaimana? Keren ‘kan tempatnya?”

“Duuh. Iya, keren. Lengkap pula. Saking lengkapnya, aku sampai bingung mau beli albumnya siapa.”

“Hah? Baru sebulan kau jadi Kpopers, kau sudah tahu banyak fandom?” ujar Tae.

“Iya, nih. Pengaruhnya Jae-Min kuat sekali,” jawabku sambil masih fokus dengan 2 album ditanganku, sambil saling membandingkannya. “Kalau yang ini, aku belum tahu banyak lagunya,” gumamku.

“Ya sudah. Aku keliling dulu, ya. Tidak akan lama, kok. Setelah itu, aku akan kembali lagi lagi,” pamit Tae-In.

“Ya, jangan lama-lama.”

__ __ __

Jungie berkeliling mencari sesuatu yang ia cari. Ia sudah lelah untuk mencarinya lagi. Tapi, ia pantang menyerah. Ia akan mencarinya sampai ketemu.

“Ah, ini dia! Ini albumnya boyband yang itu, kan? Akhirnya ketemu juga,” gumam Tae-In dengan perasaan antara gembira dan lega.

Ia melirik arjoli di tangannya. “Sudah jam segini! Aku harus kembali lagi ke Park!” Ia langsung melesat kembali ke tempat Park berada.

__ __ __

“Myung-Joo, ayo! Sudah 1 jam, tapi kau belum juga menemukan album pilihanmu? Oh, ya ampun.... Ayolah, cepat!” Tae-In terus memaksaku untuk cepat. Ada apa dengannya?

“Hey, ada apa? Aku baru memilih album, belum lagi membeli yang lain. Ada apa denganmu?” tanyaku risih. Aku terganggu dengan sikapnya sekarang.

“Ayo cepat, Joo. Terserah, deh! Kau beli semua yang kau suka!” paksanya.

“Hei-hei! Aku tahu kau anak orang kaya. Tapi album yang kusuka banyak. Lagipula harganya tidak serendah seperti yang kau bayangkan. Jadi aku harus memilihnya dengan teliti. Jangan sampai lengah sedikit pun! Kalau sampai salah, menyesalnya nanti lama sekali,” jelasku panjang sambil terus fokus pada album yang ada di kedua tanganku.

“Biasmu ada di boyband Badboy, kan? Ya sudah, beli albumnya Badboy saja.” Tae-In memberi usul.

“Oke. Tapi  kan... albumnya Badboy tidak sedikit. Aku beli yang mana?”

“Beli yang paling baru!” ketusnya.

Aku langsung cepat-cepat menaruh 2 album yang ada di kedua tanganku, dan mengambil album Badboy paling baru. “Yuk, ke kasir.” Kami pun berjalan beriringan menuju kasir.

“Wah, antriannya panjang. Kau turun duluan saja. Jangan jauh-jauh, ya. Aku yang akan mengantri.”

Aku tersenyum lebar. “Oke, deeh!”

__ __ __

“Wahahahaha! Dae-sung gesrek sekali, sih!” tawaku sambil menatap layar handphone ku.

“MYUNG-JOO! Ayo cepetan!” teriak Tae-In yang tiba-tiba saja sudah berada di depanku.

“I-iya.” Aku langsung beranjak dari kursi dan cepat-cepat membuntuti Tae-In dari belakang.

“Mana albumku?”

“Nih. Buku gituan saja mahalnya selangit.” Tae-In melempar albumku. Aku langsung melesat dan menangkapnya.

Hup!

Untung tertangkap!

“Duh, jangan dilempar dong. Tapi... gamsahamnida, ya,” ucapku malu-malu.

“Iya, sama-sama. Oya. Langkahmu bisa dipercepat, tidak? Kalau boleh ya, aku sudah menarikmu agar bisa berjalan lebih cepat lagi,” ancamnya.

“Aduh, iya.” Aku mempercepat langkahku. “Memang kita mau kemana, sih? Sekarang baru pukul setengah 1 siang. Masih ada banyak waktu untuk menghabiskan hari ini.”

“Kau mau macam-macam denganku?” ancamnya. Sekarang, aku benar-benar ketakutan mendengar ancamannya.

Aku diam.

Kami berbelok ke arah jalanan yang ramai tadi. “Lho, ini jalanan yang kau masuki tadi ‘kan? Untuk apa kita kesini? Kau sedang janjian dengan seseorang?”

“Tidak,” jawabnya singkat.

Di sini bising sekali. Terdengar suara musik yang cukup keras, serta sahutan orang-orang.

“Ini Hongdae, tempat kumpulnya orang-orang untuk bergembira. Biasanya kalau malam, bisa lebih ramai lagi. Hana... dul... set...!” Tae-In memberi kode untuk menerobos sekumpulan orang-orang. Kami menerobos kerumunan orang-orang.

“Fyuuh... untung sempat.”

“WUAAAH!! Mereka keren sekalii! Masih muda, tapi sudah bisa bernyanyi dan menari sekeren idol Kpop sungguhan!” seruku dengan sangat kagum.

“Psst, mereka memang idol Kpop, lho. Dan rata-rata, umur mereka setara dengan kita!”

“HAH? Memang rata-rata umur mereka berapa?” tanyaku sambil melongo.

Maknae nya, seumuran dengamu.”

“16 TAHUN?!” tebakku.

“Yup, tepat sekali!”

“Keren....”

Aku menonton penampilan mereka sampai akhir.

“Tuh, mereka sedang break! Sana minta tanda tangannya!” Tae-In mendorong-dorong tubuhku ke arah mereka yang sedang beristirahat selepas melakukan performance.

“A... aku minta tanda tangannya di mana? Aku tak bawa kertas dan pul... pen.”

“Oh, iya. Nih-nih, sana minta!”

Tae-In menyodorkanku sebuah album bertuliskan ‘SB: Two pages’, dan spidol. Woaaaah.... Aku bergumam di dalam hati. “Keren. Ini album mereka? Bagus. Kau dapat darimana? Masih baru, pula.”

“Jangan ngoceh lagi. Ini kesempatan emasmu untuk berinteraksi dengan idol langsung GRA-TIS!”

“I-iya. T-tapi... aku harus cari bias dulu, dong!”

Tae-In menggeleng. “Harus, ya?” Ia mengeluarkan hp dari saku celananya.

“Nih-nih. Ini nama-nama member boyband SB serta fotonya.”

“Hmm... yang mana, ya? Oh! Ini, aku mau yang ini!” seruku.

“Oh. Yang ini namanya Lee Ki-No. Dia maknae nya, seumuran denganmu berarti. Pas,” jelasnya. “Berarti dia yang... Nah. Yang sedang minum itu Ki-No.”

Bruag!!

Sekarang, Tae-In benar-benar mendorongku, tepat ke arah Ki-No berdiri. Untungnya aku tak sampai menabraknya.

“A-annyeong,” sapaku gugup.

Ki-No melirikku.

Deg!

Ia menaruh botol minumnya, seraya mengelap sisa air minum yang masih tersisa di mulutnya. “Annyeong.” Ia menyapaku balik.

“Aku... aku ingin minta tanda tangan. I-ini....” Aku menyodorkan album dan spidolnya. Biasanya fans akan mengajak ngobrol idolanya selagi idolnya menanda tangani barang. Ayolah Myung-Joo, pikir apa topik yang pas untuk kau obrolkan dengan bias barumu! pikirku keras.

“Kita... semuran, ya?” Aku mencoba untuk memulai pembicaraan.

“Sungguh? Kau juga kelahiran tahun 2002? Waah, aku senang sekali. Aku baru kali ini bertemu dengan fans yang seumuran denganku, lho.”

“Ah, begitu juga denganku. Aku juga senang bisa punya bias yang seumuran denganku. Oya. Omong-omong, SB itu boyband baru, ya?”

“Iya. Kami sedang melakukan promosi disini.”

“Waah... kebetullan sekali. Berarti kita memang jodoh!” candaku. Kami tertawa bersama.

“KI-NO AAH!” panggil seorang pria tampan.

“Ya, Hyung?” Pria itu mengisyaratkan pada Ki-No bahwa mereka harus segera pergi.

“Oh, maaf ya, kami harus segera pergi. Annyeonghi gyeseyo!” pamitnya.

Ne! Terima kasih untuk sedikit waktunya, yaa! Annyeonghi gyeseyo juga!” teriakku, sambil menatap kepergian mereka. Aku melambaikan tangan. Sedangkan, para fans yang lain berteriak.

“MYUNG-JOO!” panggil seseorang. Ya, pasti itu Tae-In, pasti.

Aku menoleh. “Ya, Tae-In?” Kami saling diam.

“Oh, ya! Ini album dan spidolnya.” Aku menyodorkan album dan spidol.

“Oh, itu tidak usah dikembalikan.”

“Maksudmu, ini untukku?” Tae-In mengangguk sambil tersenyum tipis. Aku bersorak.

“Haha. Senang, ya?”

“Senang dong! Makasih, ya. Ah, aku kira kau itu dingin dan jahat.”

Ia kembali tersenyum tipis. “Tidak semua orang yang dingin, keras hatinya.”

__ __ __

“Hmph... huahh....” Aku menghirup napas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya kembali. Aroma angin Korea tercium oleh hidungku.

Tae-In bertopang dagu diatas pembatas menara, sambil memandang pemandangan sekitar sini. “Namsan Tower... Ini tempat kesukaanku.” Aku melirik.

Really? Aku baru tahu kalau ternyata kau punya cinta,” ujarku dengan setengah mengejek.

Ia mengangkat kepalanya. “Gini-gini, aku juga manusia.”

“Woah. Jadi, apa alasanmu sampai kau bisa sedingin ini?”

Tae-In menerawang ke atas langit. “Jadi....”

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
Similar Tags
Petrichor
4109      1380     2     
Inspirational
Masa remaja merupakan masa yang tak terlupa bagi sebagian besar populasi manusia. Pun bagi seorang Aina Farzana. Masa remajanya harus ia penuhi dengan berbagai dinamika. Berjuang bersama sang ibu untuk mencapai cita-citanya, namun harus terhenti saat sang ibu akhirnya dipanggil kembali pada Ilahi. Dapatkah ia meraih apa yang dia impikan? Karena yang ia yakini, badai hanya menyisakan pohon-pohon y...
Sebuah Musim Panas di Istanbul
320      219     1     
Romance
Meski tak ingin dan tak pernah mau, Rin harus berangkat ke Istanbul. Demi bertemu Reo dan menjemputnya pulang. Tapi, siapa sangka gadis itu harus berakhir dengan tinggal di sana dan diperistri oleh seorang pria pewaris kerajaan bisnis di Turki?
Perjalanan Kita: Langit Pertama
1332      655     0     
Fantasy
Selama 5 tahun ini, Lemmy terus mencari saudari kembar dari gadis yang dicintainya. Tetapi ia tidak menduga, perjalanan panjang dan berbahaya menantang mereka untuk mengetahui setiap rahasia yang mengikat takdir mereka. Dan itu semua diawali ketika mereka, Lemmy dan Retia, bertemu dan melakukan perjalanan untuk menyusuri langit.
Ręver
5503      1642     1     
Fan Fiction
You're invited to: Maison de rve Maison de rve Rumah mimpi. Semua orang punya impian, tetapi tidak semua orang berusaha untuk menggapainya. Di sini, adalah tempat yang berisi orang-orang yang punya banyak mimpi. Yang tidak hanya berangan tanpa bergerak. Di sini, kamu boleh menangis, kamu boleh terjatuh, tapi kamu tidak boleh diam. Karena diam berarti kalah. Kalah karena sudah melepas mi...
THE WAY FOR MY LOVE
406      311     2     
Romance
Mencintaimu di Ujung Penantianku
4206      1158     1     
Romance
Perubahan berjalan perlahan tapi pasti... Seperti orang-orang yang satu persatu pergi meninggalkan jejak-jejak langkah mereka pada orang-orang yang ditinggal.. Jarum jam berputar detik demi detik...menit demi menit...jam demi jam... Tiada henti... Seperti silih bergantinya orang datang dan pergi... Tak ada yang menetap dalam keabadian... Dan aku...masih disini...
Sanguine
4434      1449     2     
Romance
Karala Wijaya merupakan siswi populer di sekolahnya. Ia memiliki semua hal yang diinginkan oleh setiap gadis di dunia. Terlahir dari keluarga kaya, menjadi vokalis band sekolah, memiliki banyak teman, serta pacar tampan incaran para gadis-gadis di sekolah. Ada satu hal yang sangat disukainya, she love being a popular. Bagi Lala, tidak ada yang lebih penting daripada menjadi pusat perhatian. Namun...
ALVINO
4140      1839     3     
Fan Fiction
"Karena gue itu hangat, lo itu dingin. Makanya gue nemenin lo, karena pasti lo butuh kehangatan'kan?" ucap Aretta sambil menaik turunkan alisnya. Cowo dingin yang menatap matanya masih memasang muka datar, hingga satu detik kemudian. Dia tersenyum.
in Silence
392      268     1     
Romance
Mika memang bukanlah murid SMA biasa pada umumnya. Dulu dia termasuk dalam jajaran murid terpopuler di sekolahnya dan mempunyai geng yang cukup dipandang. Tapi, sekarang keadaan berputar balik, dia menjadi acuh tak acuh. Dirinya pun dijauhi oleh teman seangkatannya karena dia dicap sebagai 'anak aneh'. Satu per satu teman dekatnya menarik diri menjauh. Hingga suatu hari, ada harapan dimana dia bi...
Mamihlapinatapai
5458      1521     6     
Romance
Aku sudah pernah patah karna tulus mencintai, aku pernah hancur karna jujur tentang perasaanku sendiri. Jadi kali ini biarkan lah aku tetap memendam perasaan ini, walaupun ku tahu nantinya aku akan tersakiti, tapi setidaknya aku merasakan setitik kebahagian bersama mu walau hanya menjabat sebagai 'teman'.