Bus
Bagi seorang Park Jihoon, malam hari adalah waktunya bermain game. Dia tidak pernah bosan dengan aktivitas tersebut. Sehari saja tanpa game, apalah arti hidup baginya. Ya, itu pemikiran yang mungkin bisa dibilang terlalu dibesar-besarkan. Tapi bagi siapa saja yang merupakan seorang gamer, kalimat itu menjadi peran utama dalam hidupnya.
Tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar, tuk, tuk. Gagang pintu tersebut terlihat mulai tertarik ke bawah dan kemudian memperlihatkan sosok dari hyungnya Jihoon. Ia terlihat mengenakan kaus berwarna abu-abu dan celana jeans berwarna hitam. Tanpa menoleh, Jihoon sudah tahu siapa yang baru saja masuk ke dalam kamarnya.
“Aku pinjam laptopmu. Laptopku masih rusak.” Ijin sang kakak pada dongsaengnya yang kini tengah fokus bermain game melalui handphonenya.
Jihoon yang masih dalam posisi berbaring di atas kasur sambil bermain game, menganggukkan kepalanya yang mengisyaratkan bahwa hyungnya diijinkan untuk memakai laptopnya untuk sementara waktu. Karena hari ini, dia tidak ada niat untuk menggunakan laptopnya sama sekali.
“Ah, aku juga minta kertas dan pinjam bulpoinmu.” Lanjut hyung Jihoon setelah ia duduk di atas kursi beroda dekat meja belajar Jihoon. Jihoon pun menanggapinya dengan anggukan kembali. Lalu, hyung Jihoon mulai mencari buku dengan sembarangan untuk diambil kertasnya. Setelah laptop yang ada di depannya menyala, ia mulai meraba-raba tempat alat tulis yang berada di meja belajar Jihoon dan berhasil mengambil sebuah bulpoin. Tapi sayang, bulpoin tersebut tintanya sudah habis. Ia pun kembali meraba-raba tempat alat tulis tersebut namun hasilnya kosong. Tanpa perlu meminta ijin kembali, ia mengambil ransel Jihoon yang di taruh di bawah meja belajar dan mulai mencari tempat alat tulis Jihoon di dalamnya. Tepat setelah ransel tersebut terbuka, hyung Jihoon bukannya segera mencari tempat alat tulis Jihoon, namun justru hyungnya malah mengambil satu kantung plastik berwarna putih dari dalam ransel tersebut.
“Jihoon-a.... Ige mwoya?” Tanya Sang hyung pada dongsaengnya sambil menunjukkan kantung plastik putih yang sedang ia genggam. Jihoon yang sedari tadi fokus bermain game, terpaksa harus mengalihkan pandangannya sebentar untuk melihat benda yang dimaksud oleh hyungnya tersebut. Setelah melihatnya, Jihoon hanya menanggapi dengan gedikkan bahu. Itu menandakan bahwa ia tidak tahu dengan apa yang sedang hyungnya genggam saat ini. Karena masih dalam rasa penasaran, hyung Jihoon segera membuka kantung plastik tersebut dan mengeluarkan isinya di atas meja belajar Jihoon tepat di samping laptop yang telah menyala tadi. Ada beberapa roti dan minuman yang hyung itu dapatkan dari hasil kepenasarannya.
Tidak berselang lama, Jihoon telah usai dengan gamenya dan mendapati barang-barang yang terlihat familiar yang dikeluarkan oleh hyungnya dari kantong plastik tadi. Jihoon yang semula ingin bersantai-santai di atas ranjang setelah selesai bermain game, langsung bangun dan menghampiri hyungnya yang kemudian mengusirnya keluar. Hyung Jihoon yang semula sudah ingin mengambil salah satu roti untuk dimakannya sambil mengerjakan tugas dengan laptop Jihoon, terkejut bukan main dengan tingkah Jihoon yang tiba-tiba seperti seorang pencuri yang tertangkap basah dengan hasil curiannya yang kemudian mencoba segala cara untuk menyingkirkan saksi mata yang telah melihat hasil dari kejahatannya. Dengan segera Jihoon meminta hyungnya untuk keluar. Hyungnya yang tidak tahu apa-apa segera berdiri dan langsung didorong keluar oleh Jihoon. Saat hyungnya telah ia dorong sampai pintu, ia kembali ke meja belajar dan mengambil laptop, kertas, serta bulpoin yang akan digunakan oleh hyungnya dengan tergesa-gesa. Setelah Jihoon memastikan telah memberikan laptop, kertas, dan bulpoin tadi dengan keadaan aman pada hyungnya yang masih dalam keadaan terkejut, ia pun langsung menutup dan mengunci pintu kamarnya.
Setelah dirasa aman, Jihoon menghampiri meja belajarnya yang sudah dipenuhi beberapa roti serta beberapa minuman. Tidak perlu dicari tahu darimana makanan dan minuman itu bisa ada di ransel Jihoon. Karena tanpa diberitahu pun, dia sudah tahu siapa yang memasukkannya ke dalam ranselnya.
Jihoon yang semula ingin membereskan kekacauan yang ada di meja belajarnya saat ini, terpaksa beralih dan berjalan menuju pintu kembali karena mendengar suara ketukan. Setelah membuka kunci pintu tersebut, Jihoon mendapati hyungnya tersenyum dan menunjukkan sebuah note berwarna biru yang sekarang ada di tangannya. Note itu bertuliskan ‘mianhae’. Dengan segera, Jihoon langsung mengambil note tersebut dengan kasar dan langsung menutup pintu kamarnya kembali. Tanpa Jihoon sadari, hyungnya tertawa kecil atas tingkah Jihoon tersebut. Tidak ada niatan untuk mengganggu, hyung Jihoon pun kembali ke kamarnya sambil membawa laptop, kertas, dan bulpoin yang semula ia taruh sebentar di atas sofa depan televisi. Tadi sebelum Jihoon mengusirnya keluar, sebenarnya hyungnya berhasil mengambil salah satu roti tapi Jihoon tidak menyadarinya. Dan kebetulan, roti yang ia ambil tertempel sebuah note yang telah ia tunjukkan isinya oleh Jihoon.
*****
Keesokan harinya, seperti biasa Jihoon sudah berada di halte bus pagi-pagi sekali. Di saat hanya ada beberapa orang yang lalu-lalang di jalan, ia menjadi salah satu yang ada dalam beberapa orang tersebut. Meskipun sering membolos, seonsaengnim Jihoon tahu bahwa Jihoon tidak pernah sekalipun terlambat.
Sembari menunggu bus datang, ia mengambil earphone kesayangannya yang ada di dalam saku jaketnya. Lalu, ia pun mulai mendengarkan musik. Kali ini dia lebih memilih lagu yang nadanya sedikit mengundang hawa galau. Dia ingin mendengarkan musik yang sedikit tenang di pagi hari ini yang ternyata sudah mulai cukup dingin mengingat musim gugur akan segera tiba. Dua puluh menit kemudian, bus masih belum datang juga dan Jihoon masih mendengarkan musik melalui earphonenya. Mungkin ini adalah lagu ke tujuh yang ia dengar.
Namun tiba-tiba ada seseorang yang menarik keluar salah satu bagian pengeras suara earphonenya yang tadi telah ia pasang di telinga kirinya. Terkejut bukan main. Sosok Han Yi Rang ada di sampingnya. Lagi-lagi dialah yang menarik earphonenya untuk ke tiga kalinya.
“Memangnya sekarang kamu mendengarkan lagu apa?” Tanya Yi Rang sembari memasang pengeras suara dari earphone Jihoon yang ia cabut ke telinga kanannya.
“Oh! Exo – Baby Don’t Cry.” Seru Yi Rang semangat setelah mengetahui musik apa yang sedang Jihoon dengarkan. Niat hati untuk mengambil bagian dari earphonenya, namun tiba-tiba niatan itu hilang begitu saja setelah mendengar Yi Rang yang mulai menyanyikan lagu tersebut.
Baby don't cry tonight Eo-dum-i geot-hi-go na-myeon
Sayang jangan menangis malam ini, setelah kelam mu berlalu
Baby don't cry tonight eobs-eot-deon il-i dwel geo-ya
Sayang jangan menangis malam ini, Setelah semuanya, ini akan berlalu dengan cepat
Mul-geo-pum-i dwe-neun geos-eun ni-ga a-ni-ya ggeut-nae mol-la-ya haet-deon
Cintaku akan selalu melindungimu
So Baby don't cry cry Nae sa-rang-i neol ji-kil te-ni
Jadi sayang Aku mohon jangan kau menangis malam ini
O-jik seo-ro-reul hyang-hae-it-neun un-myeong-eul ju-go bad-a
Percaya akan satu sama lain, kita menautkan takdir ini
Eot-gal-lil su bagg-e eob-neun geu man-keum deo sa-rang-haess-eum-eul nan al-a
mencintai satu sama lain, tapi sekarang tidak ada pilihan lain selain berakhir
When you smile, sun shines eon-eo-ran teul-en chae mot dam-eul chan-ran
Saat kau tersenyum, seperti cahaya mentari, keindahan yg tidak bisa di biaskan kata – kata
On mam-e pa-do chyeo bu-seo-jyeo nae-ri-janh-a oh
yang berakhir pedih, meruntuhkan pertahananku
Baby don't cry tonight Pug-bung-i mul-a-chi-neun bam (U ha-neul-i mu-neo-jil deut
Sayang janganlah kau menangis malam ini, Dimalam yang menyedihkan ini ( seaakan langitpun akan runtuh)
Baby don't cry tonight Jo-geum-eun eo-ul-li-janh-a
Sayang janganlah kau menangis malam ini, keadaan yang sangat sesuai
saat butiran air matamu terjatuh
Nun-mul-bo-da chan-ran-hi bich-na-neun i sun-gan neo-reul bo-nae-ya haet-deon
Aku harus merelakanmu pergi, Cintaku akan terus teringat
So Baby don?t cry cry Nae sa-rang-i gi-yeok-dwel te-ni
Jadi Aku mohon janganlah kau menangis malam ini
....................................................................................
Exo – Baby Dont’ Cry –
Yi Rang menyanyikannya sampai akhir lagu. Sedangkan Jihoon, tanpa ia sadari ia benar-benar fokus mendengarkan nyanyian Yi Rang yang mengakibatkan hatinya merasakan desiran aneh. Lalu setelah lagu itu berakhir, seperti ada sedikit perasaan kecewa yang dirasakan oleh Jihoon. Mungkin itu karena dia tidak bisa mendengar Yi Rang bernyanyi lagi.
Ya, Park Jihoon!. Sadar!. Neo waeire?. Jihoon langsung menggelengkan kepalanya dengan keras. Tanpa sadar ia hanyut dalam nyanyian Yi Rang.
“Bus kita datang!” Seru Yi Rang gembira, lalu melepas earphone Jihoon yang ia rampas tadi dan kemudian berdiri di tempat biasanya orang menanti pintu bus terbuka. Jihoon pun ikut berdiri dan ia pun berdiri tepat di belakang Yi Rang. Saat Yi Rang ingin menginjakkan kaki di tangga bus setelah pintu bus terbuka, ada orang yang tiba-tiba saja menyela dan mendorong Yi Rang ke belakang. Reflek Jihoon yang berada di belakang Yi Rang langsung menangkap Yi Rang yang hampir saja terjatuh.
“Gomawo Jihoon-a ...” Ucap Yi Rang berterima kasih atas bantuan Jihoon. Jihoon tidak menanggapinya dan langsung mendirikan Yi Rang dengan kasar. Lalu kemudian ia menyela Yi Rang dan langsung menaiki bus mendahului Yi Rang yang awalnya adalah penumpang pertama dari halte tersebut yang seharusnya masuk duluan. Tapi dia menjadi penumpang ke tiga setelah disela oleh dua orang dengan cara menyela yang berbeda. Yi Rang pun masuk ke dalam bus setelah terheran dengan sikap Jihoon. Setelah membayar ongkos bus dengan kartu busnya, ia melihat hanya ada satu kursi penumpang yang tersisa yaitu di samping Jihoon di bagian yang dekat dengan jendela bus. Yi Rang yang sampai di samping Jihoon, berdeham yang memaksudkan ia meminta Jihoon untuk berdiri sebentar agar dia bisa masuk dan duduk di kursi yang tersisa tersebut. Tanpa menolak, Jihoon langsung berdiri dan membiarkan Yi Rang untuk duduk di sampingnya.
“Eoje, mianhae. Oneul, gomawo chingu-ya.” Ucap Yi Rang tanpa menatap Jihoon. Dia berbicara sambil memandangi pemandangan luar. Jihoon yang mendengarnya, langsung mengalihkan pandangannya yang semula mencari lagu yang ingin ia dengar melalui heandphonenya yang dimana telinganya sudah terpasang earphone kembali. Yi Rang yang berucap tadi mengira bahwa Jihoon tidak akan mendengarnya karena Jihoon seperti sudah mendengarkan musik hanya saja ia bermain handphone untuk mencari lagu lain yang mungkin ia ingin dengar. Saat Yi Rang mengalihkan pandangannya melihat pemandangan luar sambil membuka jendela bus sedikit, Jihoon menatapnya. Menatap yeoja itu dengan tatapan yang tidak bisa diartikan.
Tidak butuh waktu lama, mereka telah sampai di halte terdekat dengan sekolah mereka. Jalanan masih sepi. Hanya mereka berdua yang terlihat bahwa mereka adalah murid yang sekolah tidak jauh dari tempat halte tersebut berada. Yi Rang memimpin. Dia berjalan dengan semangat. Sedangkan Jihoon berjalan di belakangnya dengan mengambil jarak yang cukup jauh. Tidak peduli dengan sikap semangat Yi Rang yang kini tengah ia lihat, dia lebih memilih menikmati lagu yang sedang ia dengarkan saat ini.
Beberapa meter lagi, kedua siswa tersebut akan sampai di depan gerbang sekolah. Yi Rang yang semula sangat bersemangat, tiba-tiba menghentikan langkahnya. Ia terdiam. Tangannya mengepal. Telinganya memerah. Sedangkan Jihoon masih fokus melihat ponselnya. Ia tidak tahu bahwa Yi Rang berhenti. Saat Jihoon melewati Yi Rang, Yi Rang meraih lengannya. Jihoon yang semula fokus, terkejut. Dia terkejut karena Yi Rang tiba-tiba ada di sampingnya. Karena dia juga yakin bahwa Yi Rang ada di depannya dan mungkin sudah memasuki gerbang sekolah. Ia tolehkan wajahnya pada Yi Rang yang kini menggenggam erat lengan jaketnya. Yang Jihoon lihat saat ini bukanlah sosok Yi Rang yang ia tahu akhir-akhir ini ataupun pagi ini. Entah ada apa dengannya. Jihoon melihat Yi Rang gemetaran. Dia mencengkram lengan jaket Jihoon dengan kuat.
“Jihoon-a... Na, dowaju.” Mohon Yi Rang pada Jihoon dengan wajah yang menunjukkan suatu ketakutan. Entah apa yang merasuki Jihoon, dia mengiyakan permintaan Yi Rang. Ia mengikuti Yi Rang pergi ke belakang sekolah. Jihoon masih enggan bertanya mengapa Yi Rang berubah secara tiba-tiba. Yi Rang kini berusaha turun dari dinding yang telah ia lewati dengan menggunakan tangga. Jihoon membantu menahan tangga yang ia naiki dengan menundukkan kepalanya ke bawah. Setelah melihat Yi Rang yang berhasil melompat ke bawah, Jihoon menyusul menaiki tangga dan setelah berhasil melewati dinding, dia langsung lompat ke bawah tanpa ragu. Dan dia jatuh tepat di samping Yi Rang dengan kedua tangannya yang menyentuh tanah. Setelah itu, ia membersihkan kedua tangannya dan mulai bertanya, “Gwaenchanha?” ia pun menoleh pada Yi Rang yang wajahnya tertutupi oleh rambut hitamnya yang panjang dan lurus. Tidak mendapat jawaban, Jihoon akhirnya memillih diam. Sedikit demi sedikit, ia mendengar Yi Rang mulai terisak. Jihoon yang semula hanya berdiam diri, memilih untuk berani menyingkirkan rambut Yi Rang yang semula mengganggu pandangannya untuk melihat wajah yeoja itu. Yi Rang menangis. Seketika itu, tangan Jihoon berhenti bergerak dan membiarkan rambut Yi Rang kembali ke tempat semula, yaitu menutupi wajah Yi Rang yang kini penuh dengan air mata.
Jihoon sekarang hanya diam menunggu Yi Rang selesai menangis. Setelah beberapa menit, Jihoon melihat Yi Rang mulai mengusap air matanya meskipun wajah itu masih tertutupi oleh rambut. Jihoon merasa lega. Setidaknya yeoja yang ada di sampingnya kini sudah berhenti menangis. Yi Rang pun berdiri namun dia langsung jatuh kembali. Jihoon yang semula masih berjongkok, langsung memeriksa keadaan Yi Rang tanpa berucap. Merasa bahwa yeoja ini tidak baik-baik saja, ia mengecek pergelangan kaki Yi Rang. Benar, yeoja ini terkilir. Jihoon langsung berpindah tempat dan berjongkok di depan Yi Rang.
“Naik.” Perintah Jihoon dengan tegas tanpa menoleh ke belakang. Yi Rang tahu bahwa keadaannya saat ini bukanlah sesuatu yang bisa ia sangkal. Dia saja tidak mampu berdiri dengan benar, bagaimana bisa dia bertindak keras kepala dan mengatakan pada Jihoon bahwa dia baik-baik saja dan Jihoon tidak perlu menggendongnya. Yi Rang pun mulai mengaitkan lengannya di leher Jihoon dan mencoba berdiri sedikit dengan sekuat tenaga agar Jihoon bisa menjangkau kakinya.
Sekarang, mereka berdua tengah melewati lapangan. Yi Rang hanya diam saja dengan menyandarkan kepalanya di bahu Jihoon. Jihoon dengan cepat bergegas menuju ruang kesehatan untuk segera memberikan pertolongan pertama pada kaki Yi Rang yang tadi ia lihat sedikit membengkak.
Sesampainya di ruang kesehatan, Jihoon segera menurunkan Yi Rang di atas salah satu ranjang yang ada di ruangan tersebut. Saat Yi Rang ingin berucap, Jihoon justru pergi keluar dan kembali lagi dengan membawa sekantong es batu beserta sebuah tempat kecil untuk menaruh sekantong es tersebut setelah selesai dipakai. Setelah meletakkan sekantong es dan tempat kecil tersebut di atas nakas yang berada di sebelah ranjang, tanpa merasa perlu meminta ijin pada Yi Rang, Jihoon mulai melepas kedua sepatu Yi Rang dan melepaskan salah satu kaos kaki yang menyembunyikan memar di kaki yeoja tersebut. Dia pun menyuruh Yi Rang untuk meluruskan kakinya di atas ranjang agar ia tidak harus berpindah tempat untuk mengompresnya. Saat Yi Rang ingin mengucapkan sesuatu, Jihoon menoleh padanya dan menatapnya dengan tajam. Dan alhasil Yi Rang langsung bungkam dan membiarkan Jihoon mengompres kaki kanannya.
“Kenapa hari ini aku terus berterima kasih padamu?”
“Tidak perlu berterima kasih. Aku hanya menjalankan tugasku sebagai makhluk sosial.”
“Keundae, akka gomawo Jihoon-a ... Gomawo karena kamu tidak bertanya mengapa aku menangis dan tetap mau menemaniku meski kamu tidak tahu alasannya.”
“Entah apa yang membuatku begitu. Apa kamu punya kekuatan sihir atau semacamnya?”
“Ya ampun, untuk apa aku memiliki kekuatan seperti itu?”
“Jika tidak, kenapa aku selalu menjadi tikus yang terperangkap dalam kurungan yang kamu buat. Kenapa aku tidak tega meninggalkanmu. Padahal hanya beberapa hari aku baru melihatmu.”
“Kamu, suka padaku?”
“Kau, gila!”
“Lalu kenapa kamu berbicara seperti itu?”
“Entahlah.”
****
Kali ini para siswa kelas 2-3 tengah sibuk meneguk air mineral yang mereka bawa ataupun berbincang-bincang membahas sesuatu yang berbeda-beda. Terlihat Jihoon sedang bersama Hu Bin. Jihoon meneguk minumannya, sedangkan Hu Bin terlihat kehabisan napas dan mencoba menghirup oksigen sebanyak mungkin.
“Bagaimana bisa kamu seliar tadi?” tanya Hu Bin pada Jihoon yang masih meneguk air. Ia meneguknya sampai habis. Jihoon tidak menjawab.
“Ada apa denganmu?”, sambung Hu Bin. Kali ini Hu Bin terlihat menuntut jawaban dari Jihoon. Namun respon yang sama yang ia dapatkan. Diam seribu bahasa. Rasanya Hu Bin ingin sekali memukul Jihoon atau apapun itu asal makhluk yang kini ia ajak bicara bisa berucap. Sungguh, terkadang Hu Bin gemas dengan sifat Jihoon yang satu ini.
“Tapi kira-kira, Yi Rang bakal kembali nggak, ya?” tiba-tiba Hu Bin melemparkan pertanyaan pada dirinya sendiri sambil melihat langit seakan-akan mencari jawaban di atas sana. “Arah jam sepuluh,” Jihoon bersuara. Hu Bin yang tadinya menatap langit, langsung mengalihkan pandangannya dan menoleh pada Jihoon. Ia pun mengekori arah tatapan Jihoon, yaitu arah jam sepuluh. Dia melihat YI Rang sedang di gendong oppanya melewati jalanan yang berada di samping lapangan dan sepertinya ingin membawa Yi Rang ke dalam kelas. Belum saja Hu Bin bergerak untuk menghampiri Yi Rang dan oppanya, ia melihat punggung Jihoon dalam pandangannya. Jihoon sudah berlari ke arah pandangannya tadi tertuju. Sontak Hu Bin langsung berdiri dan berlari menyusul ketertinggalannya.
Mereka berdua sampai di waktu yang bersamaan. Kini Yi Rang yang semula hanya menundukkan dan menenggelamkan kepalanya di bahu oppanya, mulai mendongak dan melihat kehadiran Jihoon dan sahabatnya Hu Bin yang saat ini tengah menyapa oppanya dengan sopan seraya membungkukkan badan.
“Biarkan aku menggendongnya,” tawar Jihoon terus terang pada Yi Ran. Yi Rang yang mendengar hal tersebut langsung melompat turun yang pada akhirnya membuat dirinya terjatuh lagi. Jihoon langsung menghampirinya dan menatapnya tajam. Dia berbicara menggunakan matanya. Jangan membantah. Seperti itulah kata yang tersirat di dalam mata rusa seorang Park Jihoon. Hu Bin yang awalnya ingin mengulurkan tangan serta ingin menggendong sahabatnya, pada akhirnya terpaksa diam dan membiarkan Jihoon memimpin keadaan.
Setelah Yi Rang berhasil ada dalam gendongan Jihoon, Jihoon pun menundukkan kepalanya sekejap menandakan bahwa ia pamit membawa Yi Rang ke dalam kelas dan Yi Ran bisa kembali bekerja. Yi Ran pun membalas tindakan Jihoon dengan tindakan yang sama pula. Kali ini ia seperti berbicara bahwa ia mengandalkan Jihoon atas Yi Rang saat ini. Hu Bin pun mengekori mereka berdua dan tak lupa berpamitan juga pada Yi Ran.
Setelah menaiki tangga, mereka bertiga pun sampai di dalam kelas. Jihoon juga sudah menurunkan Yi Rang di kursinya. Jihoon langsung pamit untuk mengganti kaos olahrganya dan dia menyuruh Hu Bin untuk bergantian menjaga Yi Rang. Karena takutnya, kalau Yi Rang ditinggal sendiri, dia akan berusaha bergerak yang pada akhirnya akan jatuh dan merepotkan orang lain. Yi Rang yang mendengar itu, langsung meniup poninya kasar. Sungguh, kenapa perkataan Jihoon selalu terdengar meremehkan.
“Neo, eodiseo wasseo?” tanya Hu Bin, setelah Jihoon sudah keluar dari kelas mereka.
“Ah, tadi. Maaf aku tidak pamit. Ada keperluan mendesak yang mengharuskanku keluar sekolah sebentar.” Jelas Yi Rang mengenai kejadian dia yang menghilang sesaat.
“Kau tahu, tadi saat aku mengajaknya untuk menjemputmu di ruang kesehatan, dia bilang tidak mau. Tapi siapa sangka. Setelah menutup pintu ruang kesehatan setelah mengambil tas dan berpamitan dengan ssaem penjaga di sana, dia bersandar di dinding sampan ruang kesehatan. Berpura-pura tidak peduli, tapi sebenarnya khawatir.” Cerita Hu Bin yang mendapat kekehan kecil seorang Han Yi Rang. Tepat saat cerita tersebut telah usai, Jihoon menggeser pintu kelas dan langsung masuk ke dalam kelas sembari menyuruh Hu Bin untuk segera berganti pakaian.
“Sekali lagi aku harus berterima kasih padamu.” Ucap Yi Rang sambil tersenyum pada Jihoon yang kini sudah berada di bangkunya.
Setelah itu, mereka semua pun kembali ke dalam aktivitas yang ada. Belajar. Belajar sampai mereka benar-benar merasa lelah. Mereka pun usai bersekolah pada malam hari. Dan sekarang kembali lagi sosok Yi Rang dan Jihoon ada di halte yang sama dan hanya mereka berdua yang ada. Karena para siswa lain sudah menaiki bus sebelumnya.
Tidak berselang lama, bus mereka telah datang. Jihoon tahu bahwa Yi Rang kemungkinan ada di lingkungan yang sama karena tadi pagi dia memang bersama Yi Rang saat menuju sekolah. Di dalam bus yang sama dengan tujuan yang sama pula. Meskipun Jihoon tidak suka dengan yeoja yang hari ini membuatnya repot dalam segala hal, dia tetap tidak tega meninggalkan seorang yeoja sendirian di malam hari. Apalagi jika itu adalah orang yang ia kenal.
Bus pun datang dan Jihoon menuntun Yi Rang pelan-pelan menaiki tangga bus. Setelah membayar tiket bus dengan kartu khusus transportasinya sebanyak dua kali, ia mengambil kursi terdekat dengan pintu keluar bus agar Yi Rang tidak perlu kesusahan saat turun nanti. Setelah sampai di halte tujuan mereka, Jihoon kembali menggendong Yi Rang setelah mereka berdua berhasil turun dari bus dengan aman. Dalam gendongannya, Jihoon mengikuti arahan Yi Rang untuk menuju rumah yeoja ini. Tapi di sepanjang perjalanan, ia benar-benar merasa tidak asing karena jalanan yang ia lalui adalah jalanan yang sama yang ia lalui melalui rumahnya menuju halte bus.
And she surprised him. Jihoon melongo. Yeoja ini tidak hanya sebangku dengannya, tapi juga menjadi tetangganya. Ada apa dengan dunia?. Dan akhirnya Jihoon membenarkan pepatah yang mengatakan bahwa dunia itu sempit.
“Apa yang kalian lakukan di sini?” tiba-tiba dari samping mereka terdengar sebuah suara yang menyambut kedatangan mereka dan pertanyaan itu berhasil membuat konsentrasi Jihoon beralih. Dia medapati hyungnya yang sedang membawa sekantong plastik penuh dengan makanan ringan yang cocok untuk dijadikan camilan malam hari. Belum Jihoon menanggapi pertanyaan hyungnya, Yi Rang berseru, “Oh! Ji Han oppa!”
“Anyeong, gimbap.” balas hyung Jihoon pada Yi Rang sambil tersenyum. Jihoon kembali terkejut dengan situasi saat ini. Setelah itu, Yi Rang menepuk-nepuk pelan pundak Jihoon mengisyaratkan dia ingin turun dan menandakan bahwa Yi Rang sudah merasa lebih baik.
“Besok ke supermarket biasanya, yuk.” Ajak Ji Han tiba-tiba pada Yi Rang. Yi Rang pun merespon dengan anggukan yang bersemangat. Kali ini Jihoon tiba-tiba menyela, “Bisakah kau mengurus kakimu dulu? Bersenang-senanglah saat kamu tidak harus merepotkan orang lain lagi. Dan sejak kapan kamu menjadi tetanggaku?” . You really like a bomb.
“Oppa, sepertinya adikmu ini benar-benar butuh kapsul waktu. Biar dia tahu, sejak kapan aku pindah. Dia ini benar-benar menjadi orang yang kudet.” Oceh Yi Rang pada Ji Han yang alhasil membuat Yi Rang dan Ji Han terkekeh sendiri. Jihoon sudah kesal dengan keadaan yang ada dan dia pun pergi meninggalkan kedua makhluk yang sekarang suka sekali menggosipinya. Jihoon butuh waktu tidur. Dibalik kepergiannya menuju rumahnya sendiri yang berada tepat di sebelah rumah Yi Rang, Yi Rang dan Ji Han menatap punggung Jihoon yang menjauh dengan tertawa geli melihat tingkah konyol yang baru saja mereka lihat dari sosok seorang Park Jihoon.
9. Hyung : panggilan seorang laki-laki ke laki-laki yang lebih tua darinya
10. Dongsaeng : adik
11. –a / -ya : penggunaan kata untuk memanggil nama seseorang yang telah akrab, teman, atau saudara
12. Ige mwoya? : Ini apa?
13. Mianhae : Maaf
14. Neo waire? : Ada apa denganmu?
15. Gomawo Jihoon-a : Terima kasih Jihoon
16. Eoje : kemarin
17. Oneul : Hari ini
18. Chingu : Teman
19. Neo, eodiseo wasseo? : Kamu, darimana?
20. Ssaem : Singkatan dari kata 'seonsaengnim' yang berati guru
21. Anyeong : Hai / halo (kata sapaan informal)
@aisalsa09 makasih kak^^
Comment on chapter Bus