DUA
"Wah love birds ini happy banget ya keliatannya,"
Adel keluar dari belakang punggung pria yang diikutinya tadi dengan sebuah senyuman penuh arti—dan hanya ia dan Tuhan yang tau apa arti dari senyumannya itu.
"A— Adel?!"
Seakan bertemu dengan malaikat maut, Kenzo Neandro—pria berambut cepak dengan gitar elektrik yang masih tersangkut di bahunya itu hanya bisa berkedip melihat tubuh mungil Adel, pacarnya, yang terus mendekat ke arahnya. Tubuh Kenzo benar-benar bergeming di tempatnya berdiri sekarang. Kakinya mati rasa layaknya berdiri berjam-jam di Commuter Line JABODETABEK.
"Dan, cewek cantik ini siapa ya? Kok nempel-nempel manja gitu sama cowok orang, hm?"
Mata Adel berganti melirik Sherly Elvira Putri, gadis yang masih menempel tanpa jarak di lengan kanan Kenzo. Dengan satu gerakan cepat, Adel mengambil botol air mineral yang ada di meja sebelahnya dan menyiram Sherly dengan sisa-sisa air yang ada.
Well done, Adelia Shabrina. Gadis itu sekarang basah kuyup.
"Wah perang dunia tiga meledak nih Yo... YO! ANJIR! MAU KEMANA LO!"
Farhan belum sempat menyelesaikan kalimatnya saat Lio menghampiri keributan yang terjadi di depannya. Mau tidak mau, Farhan juga mengikuti Lio.
"Eits, botol ini gue ambil alih." Lio menatap Adel yang juga menatapnya bingung karena kehadirannya yang tiba-tiba datang dan mengambil botol air mineral yang sudah kosong dari tangan Adel, lalu membuang botol kosong itu ke sembarang arah.
"Lio sayang! Tolongin aku! Cewek gila ini tiba-tiba nyiram aku!" Tanpa angin tanpa hujan, gadis yang disiram oleh Adel tadi berlari dan memeluk Lio. Adel bisa memastikan kalau gadis yang tadi bersama pacarnya adalah pacar pria yang ia kira artis tadi.
"Cewek gila?! NGACA WOI SIAPA YANG GILA! LO TUH YANG GILA MAIN NYOMOT PACAR ORANG!" Jerit Adel emosi.
Melihat suasana pertikaian hubungan asmara di belakang panggung itu memanas, Lio sengaja mengubah suasana menjadi lebih panas lagi. Of course, Lio sudah malas dengan semua drama di depan matanya ini.
"Sorry, ngapain lo sekarang malah nempelin badan basah lo dan peluk-peluk gue? Udah kelar emangnya peluk-pelukan sama cowok baru lo itu?" Lio menatap Sherly yang memeluknya secara sepihak itu dengan tajam, sehingga Sherly terpaksa harus melepas pelukannya sambil menahan malu.
"Lio sayang, ini bukan kayak yang kamu bayangin!" Sahut Sherly yang masih saja membela diri dan itu justru membuat Lio semakin muak dengan gadis yang sebentar lagi resmi menyandang gelar sebagai mantan pacarnya.
Lio tidak membalas perkataan Sherly. Bola mata biru itu malah lebih tertarik melirik Adel yang masih menahan amarah dan tangisnya, sampai-sampai membuat wajah putih gadis itu berubah warna menjadi merah padam seperti kepiting rebus.
Merasa senasib dengan Adel, Lio merapatkan tubuhnya di samping tubuh munggil milik Adel dan merangkulnya. Otomatis Adel langsung menatap pria yang bahkan belum ia ketahui siapa namanya tapi sudah berani merangkulnya itu.
"Apa-apaan ni—"
Adel berusaha menurunkan tangan Lio dengan menggerakan bahunya, namun cengkaraman tangan Lio di pundaknya malah menjadi semakin kuat.
"Silahkan kalian lanjutkan tadi acara mesra-mesraannya. Sorry kalo gue dan gadis cantik ini mengganggu kemesraan kalian berdua," Ujar Lio sengaja sambil menunjuk Kenzo dan Sherly bergantian lengkap dengan seringainya, lalu menarik tubuh Adel yang masih ada di dalam rangkulannya keluar dari belakang panggung.
"Tapi gue belum—"
"Gak usah diterusin. Nanti lo makin sakit hati." Bisik Lio yang membuat Adel terdiam.
Ada benernya juga cowok ini, pikir Adel.
Adel setuju dan pasrah dengan rangkulan tangan dari Lio. Namun, sebelum sampai ke pintu keluar, Lio membalikkan tubuhnya lagi menghadap Sherly dan Kenzo.
"Oh ya buat Sherly, lo harus ingat kalau mulai hari ini kita udah gak ada hubungan apa-apa lagi," Lio menatap Sherly tajam dan menggeser tatapan matanya ke arah Kenzo. "Dan buat lo, gue gak tau pastinya nih gadis cantik di sebelah gue masih mau apa gak jadi pacar lo, tapi gue rasa sih dia udah gak mau. Sama sekali."
Lio sengaja mengatakan kata 'sama sekali' dengan penekanan sebelum pergi meninggalkan Kenzo yang tidak tahu harus berkata dan berbuat apa, Sherly yang kesal karena basah kuyup akibat siraman dadakan dari Adel dan diputusin oleh Lio, dan Farhan yang harus segera menarik Kenzo dan Sherly pergi dari belakang panggung karena takut mengganggu jalannya acara dan tidak enak juga jika mereka menjadi tontonan para panitia acara yang sedang bertugas.
***
"Nih," Lio menyodorkan soda kaleng yang baru saja ia beli ke arah Adel.
"Makasih."
Lio hanya menganggukan kepalanya asal dan duduk di sebelah Adel.
Sekarang mereka ada di taman Fakultas Kedokteran, karena Lio memang ingin menjauhkan diri dari Fakultas Hukum— dan dari Sherly.
Seakan mendukung, semua lampu-lampu di taman Fakultas Kedokteran tiba-tiba menyala. Hal tersebut seharusnya membuat suasana menjadi romantis, namun bagi kedua insan yang sedang patah hati ini, suasana menjadi melankolis.
Sungguh sangat pas untuk menangis dan meratapi nasib.
"Makasih buat minumannya apa makasih karena nolongin lo menjauh dari syaiton-syaiton tadi?"
"Emmm.... dua-duanya?" Jawab Adel sambil tersenyum miris.
"Gue Lio. Kita belum sempat kenalan, kan?" Lio menyodorkan tangannya dan disambut oleh tangan Adel yang berukuran hanya setengah dari besarnya tangan Lio.
"Adel." Sahut Adel pelan.
"Karena kita udah kenalan, sekarang gue mau minta maaf," Ujar Lio sambil menenggak minuman soda yang dipegangnya sampai habis.
"Maaf buat apa?"
"Maaf karena tadi gue kurang ajar tiba-tiba ngerangkul lo, tapi kalo gue gak kurang ajar kayak tadi, lo yang bakalan semakin sakit."
Adel mengangguk paham. "It's okay. Lagian bukan gue doang yang bakal sakit, tapi lo juga, kan?" Tanya Adel pelan sambil menundukkan kepalanya. Ia benar-benar tidak mau menangis di depan orang yang baru saja berkenalan dengannya.
"Hem, iya sih bener juga lo..." Kata Lio sambil menyenderkan punggung dan kepalanya ke dinding yang ada di belakang tubuhnya. Lio memejamkan matanya untuk merasakan hempasan angin malam yang entah kenapa terasa menjadi semakin dingin.
"Nangis aja kalo emang mau nangis. Gak usah ditahan karena malu ada gue di sini. Gue merem kok nih, gak akan liat." Seperti mantra yang ampuh, setelah Lio memejamkan matanya, air mata Adel tiba-tiba mengalir dan membuat gadis itu kelabakan sendiri karena tangisannya.
"Eh sorry sorry! Duh kenapa gue tiba-tiba nangis sih! Freak banget shit...." Kata Adel sambil menyeka air matanya dengan jari-jari kecil miliknya.
"Santai aja elah. Daripada ditahan nanti jadi air mata batu, hayo?" Ujar Lio yang ternyata sedari tadi sudah membuka matanya.
"Hah? Emang bisa jadi batu ya air matanya kalo ditaha-tahan?" Tanya Adel polos dan otomatis membuat tawa Lio meledak.
"HAHAHA ya enggak lah! HAHAHA polos banget sih lo!"
"Ish! Nyebelin banget lo!" Sahut Adel dengan ekspresi kesalnya, lalu bangkit dari duduknya dan meninggalkan Lio yang masih asyik ketawa.
"Woy Adel tungguin woy! HAHAHA,"
"BODO!" Sahut Adel sambil mempercepat langkahnya.
Sebenarnya ia sama sekali tidak kesal dengan Lio, namun Adel berpikir sepertinya mengerjai Lio dengan pura-pura ngambek seperti sekarang dapat mengubah suasana melankolis di antara mereka.
"HAHAHA Del hati-hati yak di belakang lo ada sesuatu tuh!" Teriak Lio masih dengan tawanya dan Adel semakin mempercepat langkah kakinya.
"BODO LIO BODO AMAAAAT! LO YANG HARUSNYA LIAT TUH BELAKANG LO ADA APAAN!" Adel membalikkan badannya dan membalas teriakan Lio sama kencangnya sambil menunjuk ke arah belakang Lio.
"DEL! ANJIR UDAH MALEM INI CREEPY BANGET DEH LO!"
Adel tertawa miris untuk dirinya sendiri di dalam gelapnya malam. Harusnya hari ini ia menonton Kenzo tampil di atas panggung dan pulangnya mereka akan makan malam bersama, karena Adel berencana berbaikan dengan pria itu.
Lio pun menertawakan dirinya sendiri. Jika saja ia tidak menggubris telepon Farhan, hatinya akan selamanya dipermainkan oleh Sherly.
Lio berlari menyusul Adel dan kedua manusia itu berjalan beriringan sembari tenggelam dalam gelak tawa—yang sebenarnya untuk menghibur diri masing-masing— dan melupakan kesedihan mereka. Ya... setidaknya untuk malam ini.
Dan hari ini Lio dan Adel belajar bahwa tidak selamanya semesta mendukung perjuangan hati mereka masing-masing dan ada kalanya bayangan yang mereka harapkan bakal menjadi kenyataan, malah menjadi sangat bertolak belakang dengan realita yang ada.