HORSES FOR COURSES
Chapter 7 : Gauge The Feel
Written by :
Adinda Amalia
Characters :
1. Yamaguchiya Arisa
2. Yamaguchiya Rafu
3. Lixeu
4. Gavin
5. Mosses
5. Daniel
6. Eric
7. Rocky
8. Manager
9. Hwannie
10. CEO Phyon Entertainmnent
11. Arisa's Staff
12. LAUDE's President
Nama tokoh akan diungkap satu per satu seiring dengan berjalannya cerita.
.
.
Selamat membaca~
Keluar dari LAUDE CENTER BUILDING. Arisa segera masuk ke dalam pesawat dan duduk di kursi penumpang dengan kasar. Pintu kokpit yang terbuka itu membuat pilot dan co-pilot pesawat Arisa dapat mengamati tingkah gadis itu dengan jelas. “Apa ada masalah dengan rapat anda, Nona Arisa?”, ujar pilot itu. Arisa masih dengan ekspresi penuh amarahnya itu berusaha menjawab sesingkat mungkin, “Nggak”. Namun sang co-pilot nampaknya masih belum puas dengan jawaban Arisa, “Lalu ada apa?”. Arisa yang justru semakin emosi itu mendecak kesal dan membentak keduanya, “Jangan banyak ngomong, buruan terbang!”. Seketika kedua awak pesawat itu mendadak terdiam dan segera melajukan pesawatnya. “Dasar abang sialan! Ngurus mulu!”, ucapnya lirih.
Sebelum pesawat landing di Caye Chapel Island, Arisa berusaha memperbaiki raut wajahnya sebaik mungkin. Bahkan ia mencuci muka dan beberapa kali mengetes senyumannya di depan cermin, memastikan apakah senyumannya sudah terlihat manis atau belum. Merasa cukup puas, Arisa pun keluar dari kabin toilet dan berjalan ke arah pintu keluar pesawat. Di saat yang sama, pesawat tepat mendarat di depan villa yang telah di pesan Arisa tersebut. Arisa keluar dari pesawat dan segera di sambut oleh ketiga lelaki yang ia bawa kemari sejak kemarin itu, yaitu Gavin, Mosses, dan Rocky. “Arisa, gimana rapat lu?”, tanya Gavin penasaran. Arisa hanya tersenyum kecil dan memberi tanda ‘OK’ menggunakan jari-jari tangannya yang mungil itu.
Arisa segera pergi menuju kamarnya guna mengganti setelan jas-nya itu menjadi pakaian santai yang lebih nyaman. Selesai dengan berganti pakaian, Arisa segera keluar dari kamarnya. Arisa sempat berdiri di depan pintu kamarnya itu dan menatap kanan kiri sesaat, mencari kemana perginya tiga anak buahnya itu. Samar-samar mendengar suara yang tak asing, Arisa pun mengeryitkan kedua alisnya dan berusaha memperkuat indra pendengarannya. Perlahan, Arisa mulai bisa mendengar suara-suara itu dengan semakin jelas. Tak butuh waktu lama, Arisa sudah dapat menemukan dari mana asalnya suara itu berasal.
Dengan senyuman kegembiraannya yang begitu terlihat alami, Arisa dengan langkah penuh semangatnya itu menghampiri tiga sosok lelaki yang berdiri pinggir pagar balkon. “Woy!”, teriakan Arisa dari kejauhan itu sukses membuat ketiga lelaki itu membalikkan badannya guna mencari dimana sosok yang menjadi sumber suara teriakan yang cempreng nan melengking tersebut. Dan dalam hitungan sepersekian detik, Arisa mendorong Mosses dan Rocky ke arah kiri kanan guna membuat celah di antara mereka, celah yang ia gunakan sebagai tempatnya berdiri bersama tiga lelaki itu.
“Arisa, lu ini!”, ujar Mosses dengan geramnya. Namun tanpa sengetahuan Arisa, sebenarnya Mosses bukan geram karena marah pada tingkah kasar Arisa itu, Mosses justru geram karena ia terlalu gemas pada tingkah Arisa yang ia anggap lucu tersebut. Arisa sendiri nampaknya tak peduli dengan kalimat Mosses barusan, ia justru sibuk mengagumi pemandangan indah yang dapat ia lihat dari atas sini.
Berbeda dengan Mosses yang cukup banyak bereaksi dengan kedatangan Arisa, Rocky kali ini justru terlihat lebih tenang. Tenangnya bukan karena apa, namun hanya karena ia sedang mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan isi hatinya. Setelah cukup lama, akhirnya Rocky pun memutuskan untuk bicara. “Ar”, panggilnya. Arisa pun perlahan menatap Rocky yang berdiri di kirinya itu. Dengan senyuman Rocky yang cukup imut itu, ia perlahan mengungkapkan argumennya, “Tempat ini bagus banget ya?”. Arisa mengangguk dan kembali mengalihkan pandangannya dari Rocky menuju panorama indah di hadapannya.
Setelah sempat berdiam diri sejenak, Rocky pun berbicara kembali, “Gue agak kepikiran dikit sih”. Arisa agak melirik Rocky, ia tau Rocky sepertinya ingin berbicara serius dengannya. Masih dengan wajah sok imutnya itu, Rocky melanjutkan kalimatnya, “Gimana kalo kita di sini lebih dari seminggu?”. Kalimat Rocky itu sontak mendapatkan antusiasme tinggi dari Mosses dan Gavin. “Pinter banget lu Ky”, ujar Gavin dengan senyuman lebarnya. “Bisa aja lu kalo ada maunya”, Mosses bahkan sempat tertawa kecil, saking antusiasnya.
Sayangnya, Arisa tak menunjukkan reaksi yang sama. Ia terdiam, terdiam begitu lama hingga ketiga lelaki yang semula riang gembira penuh semangat itu secara perlahan menjadi diam pula. Merasa keadaan kembali tenang, Arisa pun kembali angkat suara. “Lebih dari satu minggu?”, ujar Arisa lengkap dengan senyuman meremehkannya seperti biasa. Rocky mendadak tediam, ia agak bingung dengan reaksi Arisa.
“Mau berapa lama? Dua minggu?! Satu bulan?! Satu tahun?! Selamanya aja sekalian!”, Arisa kini mulai menaikkan nada suara. Rocky masih saja terdiam, ia bahkan mulai menundukkan kepalanya. “Hah?! Mau berapa lama?! Jawab!”, Arisa semakin terlihat marah. “Kenapa diam aja?! Buruan jawab!”, Rocky masih juga terdiam. “Kenapa diam?! Kenapa lu masih diam aja?! Siapa yang nyuruh diem?! Hah?! Ngomong aja terus!”, kalimat Arisa kali ini begitu menusuk dan susah sekali untuk dijawab. Sudah dapat dipastikan bahwa seperti apapun jawaban Rocky, akan terlihat salah di mata Arisa.
“Ky ngomong Ky!”, Arisa sungguh menatap Rocky dengan penuh amarahnya. Tak hanya Rocky, kini Arisa mulai menatap kedua lelaki di sebelahnya itu. “Kalian berdua juga! Suka kan kalo di sini selamanya?! Iya kan?! Ngomong aja!”, ucapnya masih dengan amarahnya, membuat ketiga lelaki itu terpojokkan tanpa ampun. “Gue nggak tau ya sama kalian! Emang dasar anak nggak tau diri! Dikasih enak malah minta lebih!”, ujarnya seraya menatap ketiga anak buahnya itu satu per satu.
“Udah kalian sini ikut gue!”, Arisa menarik tangan Rocky dan Mosses, sementara Mosses dengan spontannya memegangi tangan Gavin agar Gavin ikut dengannya. Mereka bertiga yang tak tau harus apa itu hanya bisa menuruti langkah Arisa. Arisa membawa mereka turun ke lantai satu, dan keluar dari villa ini. Tak berhenti sampai di situ, Arisa memberi aba-aba agar pesawat Arthur N-11 miliknya itu membuka pintu.
Sesaat setelah pintu terbuka, terlihat sesosok lelaki yang sangat-sangat tidak asing di dalam kabin pesawat. Arisa hanya melirik lelaki itu sesaat, lalu kembali pada tujuan semulanya, yaitu membawa ketiga anak buahnya masuk ke dalam pesawat. Arisa melemparkan ketiga lelaki dengan kasar ke arah lantai, syukurlah walau mereka sempat menghantam kursi penumpang, mereka tetap tak apa karena kursinya sangat empuk.
“Kerja bagus lu datang ke sini. Jagain mereka, Hwan!”, ujar Arisa seraya keluar dari pesawat. “Roger”, ucap Hwannie pada Arisa yang hendak menutup pintu pesawat dari luar tersebut. Sekilas Hwannie dapat melihat ekspresi wajah Arisa yang nampak sangat marah, sebelum Hwannie akhirnya membungkuk guna menunjukkan rasa hormatnya pada Arisa. Begitu Hwannie mengangkat tubuhnya kembali, ia sudah melihat pintu pesawat yang tertutup rapat.
Ketiga lelaki di sebelah Hwannie yang masih bingung dengan keadaan itu nampak semakin gelisah. “Ini… Ini… Ini kita mau dibawa kemana? Arisa kemana?”, ujar Rocky begitu gelisahnya. Tentu, karena Rocky pasti merasa sangat tertekan sebagai pelaku penyebab masalah. Hwannie tersenyum sesaat pada ketiga lelaki itu, “Sementara kita diam dulu sebelum Nona Arisa ngasih arahan”, ucap Hwannie santai, berbanding terbalik dengan tiga sosok lelaki yang benar-benar tak bisa santai sama sekali itu.
Pintu kokpit yang terbuka itu membuat para penumpang dapat menatap ke depan dengan jelas. Dari posisinya itu, Rocky, Mosses, dan Gavin dapat melihat Arisa yang memasuki sebuah pesawat jet yang jauh lebih besar dari pesawat jet yang mereka tumpangi ini. Dan tak lama, pesawat itu pun take off. “Arisa mau kemana?”, Mosses kali ini juga mengekspresikan kekhawatirannya. Sayangnya, tak ada satu pun dari penghuni pesawat yang bisa menjawab.
Tak berselang lama, kini ganti pesawat mereka lah yang take off. Hwannie nampak sedikit kaget, “Loh, Nona Arisa udah ngasih perintah?”, tanya Hwannie pada sang pilot. “Yap”, jawab sang pilot dengan yakinnya. Pilot, co-pilot, dan Hwannie nampaknya tenang-tenang saja dengan penerbangan mereka. Namun Gavin, Mosses, dan Rocky sama sekali tak bisa tenang. Apalagi setelah mereka menyadari bahwa arah terbang pesawat mereka dan arah terbang pesawat Arisa berbeda.
Kali ini giliran Gavin yang berbicara, “Kita mau dibawa kemana?”, ujarnya penuh khawatir. Hwannie tak juga kunjung menjawab, ia hanya tersenyum untuk menjawab pertanyaan Gavin itu. “Tuan pilot, bisa tolong kasih tau nggak?”, Gavin masih juga tak menyerah. Di sela-sela konsentrasinya membawa pesawat, pilot itu menyempatkan diri untuk menjawab pertanyaan Gavin. “Rahasia”, ujarnya singkat. Sukses membuat tiga sosok lelaki itu menjadi semakin gelisah, khawatir, dan tertekan.
To Be Continue-
.
.
Mohon maaf apabila ada kesalahan penulisan maupun kata-kata yang kasar dan menyinggung perasaan pembaca. Kesamaan nama, tempat kejadian, atau cerita itu hanya kebetulan belaka.
Salam, penulis.
Semangat... Konflik kekuasaan... Keren
Comment on chapter PROLOG