Bosan.
Itulah yang dirasakan Arabicca saat ini mendengar ocehan lelaki paruh baya yang ada di depan kelasnya itu. Sejak mulai jam pelajaran sampai sekarang Pak Jono tidak henti-hentinya berbicara dan menurutnya apa yang dibicarakan Pak tua itu tidak penting sama sekali.
Bukan membahas tentang pelajaran, dari tadi dia membahas tentang anaknya yang katanya sangat pintar sampai-sampai dia mendapatkan banyak tawaran beasiswa dari universitas-universitas ternama diluar negeri tapi dengan rendah hati dia lebih memilih universitas dalam negeri.
“Jadi, jika kalian ingin bisa seperti anak saya, kalian harus rajin belajar dan mengerjakan tugas. Walaupun sekarang kalian sudah kelas sebelas tidak apa-apa, masih belum terlambat untuk…”
Kriiiingg Kriiiingg Kriiiingg
Ceramah Pak Jono seketika terhenti karena bel istirahat sudah berbunyi. Tanpa meneruskannya, Guru dengan kepala plontos itu langsung meninggalkan kelas. Seketika itu juga siswa-siswi kelas 11 IPA 1 berhamburan keluar kelas menuju satu tempat yaitu kantin.
Tempat yang sangat di benci dan wajib harus di hindari oleh Arabicca. Terlalu ramai. Terlalu bising. Dan terlalu banyak mata memandang. Kalau saja tadi dia tidak melewatkan sarapan mungkin Arabicca tidak akan berakhir di tempat ini. Dia terpaksa harus ke kantin karena mengikuti kemauan perutnya yang lapar.
Arabicca mencari-cari meja kosong yang bisa ia tempati. Matanya tidak henti-hentinya menelusuri seluruh kantin untuk mencari meja kosong. Setelah beberapa menit mencari akhirnya ia menemukan meja dengan empat kursi yang terletak di pojok kantin.
Saat Arabicca bersiap untuk duduk, secara bersamaan datanglah seorang cowok yang langsung duduk di meja itu.
Sedikit terkejut tapi dia buru-buru menetralkan ekspresi wajahnya kemudian bersiap untuk pergi. Namun sebelum Arabicca pergi, cowok itu berbicara.
“Lo mau duduk disini?” tanya cowok dengan senyum manis itu sambil nunjuk kursi kosong di depannya.“Duduk aja”, lanjutnya.
Arabicca hanya diam memandang cowok itu dengan tatapan datar. Matanya beralih ke name-tag yang tepasang di dada cowok itu, Kavin Kalandra.
Tanpa berniat untuk duduk sesuai permintaan Kavin, Arabicca buru-buru meninggalkan kantin. Keinginan untuk menuntaskan rasa laparnya sudah hilang secara tiba-tiba.
Setelah dari kantin, Arabicca berjalan menelusuri sekolah. Ia mencari tempat untuk memulihkan energinya. Bertemu dengan orang-orang sungguh membuatnya kehabisan energi.
Langkah kaki Arabicca berhenti di halaman belakang sekolah yang sepi. Hampir tidak ada siswa-siswi yang berlalu-lalang di sekitar sana. Arabicca mencari tempat untuk duduk. Setelah menemukannya, ia mengeluarkan headseat dari dalam saku, memasangnya kemudian memejamkan mata. Dia tidak tertidur. Dia hanya sedang bermain dengan imajinasinya.
Arabicca telat masuk ke dalam kelas. Beruntung saat memasuki kelas dia tidak melihat ada guru di dalam, sepertinya jam pelajaran sedang kosong. Arabicca berjalan menuju bangkunya. Bangku yang terletak di paling belakang pojok kanan.
Dia mengeluarkan novel yang sengaja dibawa dari rumah kemudian mulai membacanya. Membaca adalah aktivitas favoritnya. Tenggelam dalam apa yang dibacanya membuat Arabicca sama sekali tidak menyadari tiba-tiba ada seseorang cowok yang duduk di bangku kosong di sampingnya.
Cowok itu menelungkupkan wajahnya di atas lipatan tangan. Mungkin cowok itu berpikir bahwa bangku yang diduduki itu kosong, sehingga dia tidak sadar jika dia sebenarnya ia tengah duduk di bangku seseorang. Siapa juga yang akan menyadari, jika orang yang duduk disampingnya membaca novel seperti patung. Tidak bergerak dan berekspresi bahkan suara nafasnya saja tidak terdengar. Pantas saja.
Keduanya orang berbeda jenis kelamin yang duduk berdampingan itu sibuk dengan kegiatan masing-masing. Sudah tiga puluh menit berlalu dan keduanya masih belum sadar dengan keadaanya. Arabicca sibuk dengan novelnya sedangkan si cowok sibuk tertidur.
Cowok itu mengubah posisi kepalanya menghadap ke sebelah kanan. Matanya sayup-sayup terbuka, pandangannya masih buram sehingga dia belum sadar sepenuhnya. Setelah sadar, matanya langsung membesar melihat pemandangan di depannya.
Sejak kapan di kelas gue ada bidadari?
Bening amat anjir.
Ini gue pasti mimpi.
Cowok itu masih menatap Arabicca dengan tatapan kagum. Dia mengedipkan matanya beberapa kali kemudian mencubit lengannya untuk memastikan apa yang dilihatnya nyata atau hanya sekedar halusinasi.
Sakit, ringisnya.
Fix ini nyata, gue mesti ajak kenalan.
Cowok itu menegakkan badannya. Dia berdehem singkat untuk menyadarkan Arabicca dari kegiatannya. Tidak ada respon.“Hallo”, ucapnya. Tetap tidak ada respon.
Ini cewek budek kali
Sedikit kesal karena tidak di respon, akhirnya cowok itu memberanikan diri untuk menyentuh lengan Arabicca.
Arabicca merasakan ada seseorang yang menyentuhnya. Dia menoleh dan mendapati seorang cowok asing di sampingnya. Arabicca bingung, sejak kapan ada cowok duduk disampingnya?. Arabicca cepat-cepat memberikan tatapan dingin dan datar.
Melihat tatapan Arabicca yang tidak bersahabat, cowok itu merasa tidak enak karena telah mengganggu.
“Maaf, hehehe”, cowok itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Gue cuma mau kenalan, nama lo siapa?”, tanyanya sambil mengulurkan tangan.
Arabicca hanya diam menatap uluran tangan itu tanpa ingin membalas.
“Oh oke, kalo lo gak mau”, cowok itu menarik uluran tangannya. “Lo anak baru kan?, kenalin gue Sagan Faresta Matteo, lo bisa panggil gue apa aja terserah. Gue salah satu cowok popular di sekolah ini”, ungkapnya dengan pede.
Arabicca tetap membisu. Dia sama sekali tidak peduli. Menurutnya hal seperti ini hanya pura-pura dan pecitraan semata. Di dunia ini tidak ada manusia yang tidak menggunakan topeng. Semua menggunakan topeng. Dan sekarang cowok ini sedang memperlihatkan topeng terbaikknya.
***
Arabicca terpaksa harus pulang dengan menggunakan transfortasi umum. Ayahnya tidak bisa menjemputnya karena sedang banyak pekerjaan di kantor. Sejak tadi mencari-cari angkot yang lewat tapi tidak ada sama sekali.
Siang ini langit tidak sedang berwarna biru, gumpalan-gumpalan awan berwarna kelabu menutupinya. Pertanda hujan akan turun. Arabicca masih berjalan, sepuluh menit lagi dia akan sampai rumah. Beruntung, jarak rumah dan sekolah tidak terlalu jauh, sehingga dia bisa berjalan kaki seperti sekarang.
Perlahan-lahan langit mengeluarkan tangisnya. Setetes demi setetes, lama kelaman berubah menjadi deras. Arabicca berlari mencari perlindungan. Dia berteduh di pinggiran sebuah toko alat tulis yang sedang tutup. Tempat ini sepi, hanya ada dia.
Arabicca diam memperhatikan rintik hujan yang berjatuhan. Rasanya ia ingin sekali cepat sampai ke rumah, duduk di balkon kamar sambil menyeruput secangkir coklat panas kemudian tenggelam dalam dunia yang dia buat sendiri.
Angin bertiup, membuat udara semakin dingin. Arabicca memeluk erat tubuhnya sendiri. Cewek itu kedinginan karena seragam sekolahnya sudah basah. Dan hujan semakin bertambah deras seakan-akan tidak ingin berhenti.
Samar-samar terdengar suara sepeda motor. Semakin kesini suaranya semakin dekat. Ternyata ada orang lain juga yang datang untuk berteduh. Seorang cowok yang menggunakan seragam yang sama seperti Arabicca.
Arabicca sama sekali tidak menghiraukan cowok itu. Dia tetap focus memperhatikan rintik hujan sambil memeluk tubuhnya. Sedangkan si cowok membuka jok motornya kemudian mengeluarkan sebuah jaket. Cowok itu kemudian berjalan ke tempat Arabicca berdiri, tanpa aba-aba dia menyampirkan jaket itu ke pundak Arabicca. Arabicca yang mendapatkan perlakuan seperti itu kaget, tapi ekspresi wajahnya tetap datar.
“Tadi gue liat dari jauh kayaknya lo kedinginan, jadi gue berhenti dan pinjemin jaket. Gue Radit, lo bisa balikin itu jaket di sekolah kalo ketemu gue. Lo juga akan Angkasa kan? See! seragam kita sama. Gak perlu berterima kasih, anggap aja gue bantuin temen. Gue cabut dulu” ujar cowok itu kemudian pergi mengendarai motornya menerobos hujan.
Arabicca diam saja melihat kepergian Radhit. Dia mengambil jaket itu dari punggungnya. Memperhatikannya dengan seksama. Matanya tidak sengaja menangkap sebuah tulisan yang berada di punggung jaket “THE ARKS”.
***