Episode 1
“Jangan pernah menilai sesuatu dari satu sisi.”
Kutipan di atas, mungkin sudah banyak yang tahu artinya. Namun, apa makna sesungguhnya? Apakah harus selalu semringah, kepada semua orang? Atau ... harus selalu positive thinking, terhadap apa maupun siapa yang kita hadapi? Sungguh membingungkan.
Seperti halnya kisah ini, yang berawal ketika aku sedang tiduran saat istirahat siang di sela-sela pekerjaan yang menjenuhkan di samping musala tempatku bekerja.
“Tidak, Kartika. Jangan pergi ... kumohon. Tika—Kartika, tidak ...!” terikku, “huah—hah ... hah!” Nafasku tersengal-sengal, seketika terbangun dari mimpi siang itu.
“Astgahfirullah ... sial! Lagi-lagi mimpi itu hadir, dan entah kenapa selalu sama!” Aku mendengus seraya bergumam di dalam hati, terperanjat dengan mimpi yang baru saja terjadi. Sementara, keringat mengucur deras layaknya terguyur air hujan di tengah musim kemarau di antara pori-pori tubuh juga jidat kepala.
Sebuah mimpi aneh yang akhir-akhir ini selalu mengganggu pikiran, dan siang itu terjadi kembali ketika tanpa sengaja ketiduran setelah selesai salat zuhur di jam istirahat. Mimpi yang sama kejadiannya saat Kartika kekasihku, meminta kepastian terhadap hubungan kami selama ini dan malah memilih meninggalkanku. Sedangkan dalam benakku, masih belum ada kesiapan untuk lebih serius dengan apa yang diinginkannya, hanya karena masalah pekerjaan yang kujalani selama ini.
Di awal zaman sebuah era globalisasi, dengan keahlian di bidang komputer jaringan yang kudapatkan setelah selesai kuliah di sebuah kampus kecil di kota Cirebon beberapa tahun lalu. Seharusnya bisa mendapatkan pekerjaan, yang sesuai dengan keahlianku di bidang IT. Namun takdir berkata lain, karena susahnya mendapatkan pekerjaan, akhirnya harus menerima profesi sebagai seorang Office boy di sebuah hotel bintang tiga di dekat kawasan elit kota para wali.
Persaingan demi mendapatkan sesuap nasi untuk makan sehari saja, harus rela menanggalkan ego meski memang membedakan strata sosial yang berkembang di masyarakat. Seharusnya, bukan hanya mendapatkan pekerjaan dari keahlian yang dimiliki, melainkan dituntut untuk bisa menciptakan lapangan kerja sendiri demi perkembangan negeri ini.
Selain keahlian dalam suatu bidang. Diperlukan juga sebuah pengalaman, agar bisa meraih posisi yang lebih baik dalam sebuah pekerjaan ataupun menciptakan lapangan kerja sendiri tersebut. Begitu pun keadaanku sekarang, meski sudah hampir dua tahun bekerja di hotel sebagai pelayan, setidaknya harus bersyukur karena masih mendapatkan pekerjaan. Sebab masih banyak para sarjana yang bertarung ke berbagai perusahaan, agar bisa diterima bekerja apa pun jenis pekerjaannya. Setidaknya sebagai bahan pengalaman, juga batu loncatan untuk pekerjaan yang diinginkan di kemudian hari atau sebagai bekal dalam membuat lapangan kerja.
Seperti halnya siang itu setelah terbangun dari mimpi aneh, di samping tempatku bekerja. Dengan beralas kedua tangan di kepala, baju kerja berwarna biru bergaris putih. Sebelah kiri atas baju, terselip nama perusahaan tempatku bekerja dan sengaja dibuka setengah, sehingga kaus dalam berwarna putih terlihat dari luar. Siang itu udara terasa begitu panas menggigit badan, yang memang sedikit kurus akhir-akhir ini akibat terlalu sering begadang. Suhu panas siang itu, seolah-olah menguap di sekujur tubuh. Sementara setelah mengalami mimpi tadi, tatapanku kosong menembus awan, yang tampak bergerombol dengan warna abu-abu, sebagai pertanda hendak turun hujan.
Tiba-tiba tanpa aku tahu, datangnya dari arah mana. Seorang kakek tua berbaju putih, dengan celana hitam dilipat setengah betis ibarat seorang sufi yang baru bertandang sebagai musafir, muncul di sampingku dan duduk agak jauh dari tempatku berbaring. Sosok tinggi kekar meski tanda keriput di kulit tidak bisa disembunyikan dari usianya yang sudah tidak muda lagi itu, terlihat guratan semasa muda layaknya pejuang kemerdekaan di zamannya dulu. Sepertinya, ia bermaksud hendak ikut salat zuhur. Sebab tas hitam yang ia bawa, tampak dibuka kemudian mengeluarkan kopiah putih yang biasa digunakan untuk salat.
“Siang-siang kok ngelamun, Mas. Entar kesambet!” seru si kakek tua, dengan mimik wajah yang dingin tanpa ekspresi menatapku iba seraya mengenakan kopiah yang tadi dikeluarkannya.
‘Astaghfirullah ...!’ gumamku di dalam hati, setengah melompat kemudian langsung duduk di samping si kakek tadi. “Eh ... a—anu, Kek. Saya sedang istirahat siang, habis salat tadi.” Aku menatap si kakek tua, yang tampak sedang berbenah.
“Habis salat, kok tiduran?! Bukannya perbanyak zikir. Lagi banyak masalah, ya?” balas si kakek tua yang diperkirakan berumur sekitar tujuh puluh tahunan itu, membuatku terkejut kembali atas ucapannya tadi layaknya seorang cenayang yang sedang menerawang isi hati lawan bicaranya.
“Kamu masih muda, masih banyak kesempatan untuk meraih apa yang kamu inginkan. Coba terbuka dengan hati kecil, agar terbiasa hadapi kenyataan, dan ... jangan lupa, sertakan yang di atas dari setiap masalahmu. Janji Tuhan itu pasti, lho!”
Deg! Lagi-lagi perkataan si kakek tua itu seakan-akan menghujam tepat ke jantungku, sepertinya ia tahu apa yang sedang kualami saat ini.
Yah, siapa yang tidak bingung dan banyak pikiran sampai-sampai selalu terbawa ke alam mimpi. Sebenarnya masalahku ini hanya hal sepele. Kartika kekasihku, meminta untuk segera bertemu dengan keluarganya. Entah hanya sebuah pertemuan, atau keinginannya untuk segera kunikahi. Sementara keadaanku saja masih seperti ini. Gaji kecil dari profesi seorang Office boy, meski lumayan juga seandainya bisa menyisihkan sebagian untuk tabungan masa depan dengan Kartika. Namun sebagai seorang lelaki, sudah sepatutnya berpikir lebih jauh lagi dalam menentukan langkah, agar tidak menyesal di kemudian hari. Sementara hubunganku dengannya, sudah lebih dari satu tahun berjalan. Meski sering main juga ke rumahnya, walau hanya sekedar main dan belum ada niat ke arah yang lebih serius.
Dengan sedikit ragu. Kutatap wajah si kakek tua, yang terlihat hendak melangkahkan kaki menuju tempat wudlu.
“Apa semua orang, berhak punya mimpi, Kek? Atau ... aku ini, hanya terlalu terbebani dengan keadaan. Sehingga untuk jadi seorang teknisi di sebuah perusahaan besar, seakan-akan berat?” tanyaku, menghentikan niat si kakek tua untuk beranjak ke tempat wudlu.
“Siapa bilang, enggak ada yang berhak bermimpi?! Jangankan untuk jadi seorang teknisi. Jadi presiden pun kalau kamu mampu, enggak ada yang ngelarang! Coba kau tanya pada diri sendiri, Anak Muda! Siapa yang menghidupkanmu ke dunia ini? Dan apa tujuan kamu, ada di dunia ini? Satu pesanku. Jangan pernah ingkari hati nurani. Bawa selalu Tuhan, dalam setiap jalan kehidupanmu. Percayalah, Tuhan akan selalu bersamamu!”
Pesan si Kakek tua, seakan-akan menohok dada yang memang sedikit rata akibat terlalu banyak begadang. Tampak ia berlalu meninggalkanku sendiri, dengan penuh tanda tanya.
Angan-anganku menerjang barisan awan kelabu, yang tampak sedang berkejaran di langit seraya memikirkan makna dari ucapan si Kakek tua tadi. Ada suatu gejolak di dalam hati. Entah apa, hanya hati ini yang tahu. Kemudian aku beranjak meninggalkan si kakek tua, yang sudah terlihat khusuk dengan salatnya setelah ia berwudlu tadi.
‘Terima kasih dengan wejangannya, Kek. Nasihat darimu, akan selalu kuingat.’ Aku pun berlalu meninggalkan musala, dengan perasaan baru untuk lebih memantapkan hati demi sebuah impian.
Perlahan aku masuki bangunan tua bertuliskan ‘Hotel Kenangan’, tempatku bekerja siang itu. Suasana masih terasa lengang walau beberapa tamu terlihat hilir mudik. Entah yang baru keluar ataupun masuk untuk menginap. Sebenarnya hotel tersebut tidak terlalu besar, hanya berlantai tiga dengan jumlah lima belas kamar dipadu penataan artistik serta corak budaya Kacirebonan juga kolam renang yang berada di bagian belakang bangunan, juga pajangan foto beberapa tamu agung yang pernah menginap, seperti Gubernur Jawa Barat ketika beliau berkunjung ke suatu daerah dalam rangka penataan sistem perekonomian daerah. Ada juga beberapa artis terkenal ibu kota, saat mereka mampir di kota kecilku ini.
Tatapanku menelusuri ruang lobi sebelah kiri dari pintu masuk, di mana dua karyawan yang sangat kukenal sedang bertugas.
“Kamu dari mana, Bim? Tadi ada yang nyariin, pas kamu istirahat. Kayaknya penting banget, deh,” ungkap seorang laki-laki berusia sekitar dua puluh lima tahun, rambut klimis bermata belo salah satu teman sepekerjaanku, yang sedang duduk di meja resepsionis ditemani seorang wanita muda dengan rambut dikuncir kuda yang terlihat asyik dengan komputer di hadapannya saat aku memasuki ruang lobi.
“Habis dari musala, Luk. Siapa yang nyari aku? Kartika, bukan?” tanyaku sedikit penasaran, kepada lelaki bermata belo bernama Lukman itu.
“Bukan. Dia cowok, tapi kayaknya kenal banget deh sama kamu, Bim.” Lelaki yang bernama Lukman itu menatapku sejenak, di sela aktivitas kerjanya. “Tadi aku suruh datang lagi jam tiga sore, pas pulang kerja. Kalau enggak salah, namanya ..., Satria.” Si mata belo pun melanjutkan ucapannya, yang sempat membuatku sedikit terkejut perihal siapa yang mencariku tadi.
“Siapa? Satria?!” Dengan muka serius, kutanya kembali kepada Lukman, “kenapa enggak bilang, kalau aku lagi istirahat di musala, Luk!”
“Yey! Mana aku tau, kalau kedatangannya itu penting, Bim. Aku dah bilang, kalau kamu lagi istirahat pasti enggak jauh dari musala. Kirain, dia ke sana nyariin!” ketus si mata belo, dengan mimik wajah cuek terhadap pertanyaanku tadi. Sedangkan si wanita muda di sampingnya, hanya terlihat acuh meski sesekali menatap ke arahku dengan tatapan binar.
“Ya udah. Entar dia pasti balik lagi, kalau emang penting. Aku mau beresin lagi ruang kerjanya Bu Neni, ya. Makasih, Luk.”
“Yup, sama-sama. Jangan lupa, sekalian beresin dapur ya, Bim? Saya pengen ngopi,” pinta si mata belo. Sementara aku hanya menoleh ke arahnya, yang tampak masih sibuk di depan komputer.
Aku pun berlalu meninggalkan Lukman dan si wanita muda, yang memang bertugas melayani tamu masuk hotel, meski sering terkesan cuek dan judes tetapi aslinya mereka itu baik.
Sedikit termenung, begitu sampai di ruangan kerjaku di samping ruangan lobi tadi yang mengarah ke belakang dan tampak kolam renang yang tidak terlalu besar jika menoleh ke jendela. Aku terpikirkan kembali perihal kedatangan sahabatku bernama Satria. Ada beberapa pertanyaan di dalam benak, mengenai maksud kedatangannya tadi. Ada apa dia mencariku? Apa tentang niat akhir-akhir ini, untuk pindah kerja ke Bandung? Atau tentang Kartika, kekasihku selama ini? Ahh ... hanya bisa menerka-nerka, seraya bergumam di hati.
*****
Amalaakk Satriaaa ... Kece ini mah ????
Comment on chapter Episode 1