Mulai hari ini, aku bersumpah kelak jika aku menjadi penguasa dunia ini maka aku akan memusnahkan semua lelaki cuek, memberantas semua lelaki cuek tingkat kakap, membuat sekolah khusus lelaki cuek, menekan tingkat pertumbuhan lelaki cuek yang ada di Indonesia, memperkecil kemungkinan semua perempuan jauh dari tidak bahagia dan melarang semua perempuan berpacaran dan menikah dengan semua lelaki cuek yang ada di Indonesia, terkecuali sudah lulus dalam pendidikan sekolah yang aku buat mengenai cara memperlakukan perempuan dengan baik.
Aku bersumpah dengan sungguh-sungguh, tidak akan pernah ku biarkan orang seperti Andrean tumbuh subur berkeliaran di Indonesia dan seenaknya memperlakukan perempuan dengan tidak baik. Suatu hari, peraturan ini akan ada jika aku menjadi Pemerintah Indonesia. Aku akan menerapkan semua peraturan yang baik bagi perempuan dan melindungi mereka. Aku tidak akan pernah sudi semua perempuan merasakan cinta kemalangan ini akibat semua lelaki yang mirip Andrean, dia harus dibasmi saja!
Andrean adalah serangga yang sudah tahan banting, bebal dengan perasaan, tidak akan pernah berubah mungkin karena dia memegang prinsip dirinya sendiri. Hey kaum perempuan, jika ada lelaki yang begini ditemukan di sekitar lingkungan, ikat sana dia dipohon bambu, mungkin dengan begitu lelaki cuek akan paham arti kesendirian.
Andrean meninggalkanku di Lembang. Ku pikir ini sudah kejahatan tingkat tinggi dari ketidakpekaan seorang lelaki bernama Andrean. Aku mengutuk dia sedalam-dalamnya, seluas-luasnya, setinggi-tingginya, aku kesal sekali karena hubunganku dengan Andrean yang sudah berjalan 3 bulan tidak pernah berjalan lebih baik. Ku simpulkan, dia tidak pernah berubah sedikit pun!
Padahal matahari sedang terik-teriknya, siang sudah menunjukkan pukul 12.00. Aku dan Andrean sebelumnya sempat berjalan-jalan di kawasan Farm House, Lembang. Mulanya kami berdua baik-baik saja. Berjalan bersama mirip sekali dengan kekasih betulan yang ada, sesekali saling menimpali senyum dan tertawa ringan. Aku pun tidak merasakan firasat apapun selain aku merasa bahagia berada di dekatnya.
Aku dan Andrean sempat berfoto di Rumah Hobbit, disitulah tragedi ini dimulai. Aku mulai tidak menyukai kembali sikapnya yang dingin dan terkesan tidak peduli dengan keberadaanku. Tubuh tinggi kerempeng itu tidak pernah bisa masuk ke dunia ku. Sifatnya yang cuek membuat ku tidak bisa berpikir, apakah sebenarnya dia makhluk luar angkasa?
“Kamu posenya ganti jangan gitu.”
Ungkap Andrean tiba-tiba ketus kepadaku. Aku melongo menatapnya tidak tau apa-apa.
“Jangan so lucu gitu, ganti gaya, gak pantes kek gitu, kek mantan aku aja.”
Dia mengucapkan kata itu dengan enteng. Aku menghentikkan selfie dan menatapnya marah.
“Kenapa liatnya sampe sebegitunya? Aku salah?”
“Kamu jahat banget bawa-bawa mantan. Apaan aku disamain sama mantan kamu?.”
“Aku kan cuma jujur doang Dit, yeah malah marah. Kamu tipikal muka jutek dan gak pantes tangannya diangkat ke muka gitu kayak girl band apaan itu.” Jelasnya.
“Kamu sadar gak itu udah nyakit hatiin aku tau?”
“Lha emang bener.”
“Tapi gak usah bilang gitu juga kali, kamu jadi ngerusak mood aku tau.”
“Aku tuh suka bingung deh ngadepin cewek, dikit-dikit baperan, dikit-dikit moody, dikit-dikit ambekan, dikit-dikin marah, tiba-tiba alesannya lagi PMS.”
“Aku gak ngerti harus gimana sih ngadepin kamu, Andrean.”
“Ya aku gini adanya, kamu juga tau aku kayak gini kan.”
“Yes i know. Bisa gak berubah aja sedikit demi aku? Bisa lebih menghargai aku dan perhatian sama aku, gak lebih.”
“Ya aku gini adanya Dit. Kenapa sih jadi panjang gini masalahnya?”
“Andre, kenapa sih kamu masih aja gak ngerti. Kenapa aku harus selalu jelasin panjang lebar sama kamu tentang semua, tapi kamu tetep kek gini aja.”
“Iya emang Hilda gitu, Dit. Maaf aku keceplosan.”
“Kamu belum bisa move on dari mantan? Oke i know i am nothing. Terus aja sebut nama lengkapnya sekalian biar makin tau.”
“Nih logikanya yah Dit, Hilda itu cuma mantan aku, sekarang aku sama kamu, nah ngapain kamu musti marah aku sebut namanya? Kan itu cuma mantan bukan selingkuhan.”
“ Kamu ngapain jatuh cinta sama aku, aku gak sudi kenal kamu. Kamu emang jahat, gak berperikemanusiaan. Jangan samain cinta sama logika. Cinta itu perasaan dan selamanya gak akan pernah nyambung sama logika.” Teriak ku padanya.
Orang-orang memperhatikanku dan Andrean, mencuri pemandangan kami yang seolah sedang ber-akting sedang melakukan sesi syuting sinetron.
“Pelanin suara kamu Dit, ya udah kita pulang aja yuk.”
“Pulang aja sendiri.” Jawabku ketus
Emosi ku sudah seperti lahar panas. Jantungku berdegup sangat kencang, tanganku berkeringat rasanya sudah ingin meninju Andrean. Dia sudah sangat tidak waras, aku harus pergi dari hidupnya.
“Ntar kamu pulang sama siapa? Kan aku yang bawa motor?” ucapnya sambil berdiri dari kursinya.
“Tau ah gelap.” Ucapku marah
“Ok ya udah terserah.”
Inilah yang kusebut berulah. Dia seorang lelaki yang dengan tega meninggalkanku ditempat itu sendirian, tanpa pernah memikirkan aku pulang bagaimana, tidak ada rasa sedikit kasian kepadaku di siang yang panasnya sampai melelehkan ubun-ubun. Dia sama sekali tidak pernah peduli. Dengan entengnya dia meninggalkanku. Wajahnya yang kalem tidak ada guratan emosi. Ku tarik persoalan kepekaannya dibawah rata-rata, bukan hanya itu ternyata kepekaannya mirip IQ jongkok.
Jika lelaki normal, dia akan sangat meminta maaf dan tidak akan pernah pergi meninggalkan perempuannya dan tega membiarkannya sendirian. Andrean dengan tenang membiarkanku pergi sendirian, aku bersumpah dia akan menerima akibatnya kelak.
Di dunia ini sangat jarang ada lelaki yang seperti Andrean, predator menyebalkan yang mampu merusak suasana hati yang damai. Liat saja, aku bersumpah dia tidak akan pernah lagi memiliki perempuan karena sikapnya yang begitu. Hanya aku saja yang akan bertahan dan bisa memperlakukannya.
Aku berjalan, memesan aplikasi Go-jek. Pulang dengan kekesalan dan banyak strategi untuk memusnahkan Andrean, aku tidak akan lengah untuk melenyapkan dia di muka bumi ini. Aku dengan tekad kuat memblokir seluruh kontaknya. Kali ini, aku tidak akan tinggal diam. Aku muak, ingin pergi saja.
***
“Miko, disana ada loker gak?”
“Ada nih, baru dibuka. Kamu mau resign, Dit?”
“Hooh. Ingin cari kerja di kota Bandung.”
“Kamu kirim CV by email aku aja yah sekarang, ntar aku yang ngurusin ke atasannya.”
“Kamu baik banget sih Mik, haha.”
“Brisikkkkkkk.” Mengakhiri chat
Hari ini adalah hari minggu dengan penuh strategi dan kelicikanku. Harga diriku di depan Andrean sudah tidak dinilai, kehidupanku dimatanya pun sudah seperti tak ada gunanya. Ku pikir, dengan aku atau tanpa aku dia akan tetap bahagia dan begini-begini saja. Aku bertekad akan pergi meninggalkan Andrean dan melupakan semuanya. Aku ingin lepas dari semua masa lalunya, aku ingin membuktikan pada diriku sendiri bahwa aku tidak layak mendapatkan Andrean. Aku pantas dihargai dan diperlakukan baik.
Semenjak kemarin, aku sudah blokir semua kontaknya. Bukan karena emosi semata, aku sudah tidak bisa diam lagi diperlakukan macam begini. Aku merasa lebih baik bersama Rizky kalau begini ceritanya, setidaknya walau aku tidak punya perasaan tetapi aku bisa merasakan perlakuan special darinya.
Mulai hari ini, aku akan membuang Andrean, melemparkan namanya jauh-jauh, aku tidak peduli dengan namanya perasaan. Percuma, aku menyayanginya tapi dia tidak pernah menganggap keberadaanku. Aku akan menyumpahinya dengan sumpah serapah yang seumur hidupnya tidak akan pernah dia lupakan, selamanya dia akan menjadi lajang dan tidak akan pernah ada yang betah walau seorang perempuan pun disisinya, selain hanya aku saja yang pernah sabar akan sikapnya.
“Dit, aku jemput ya 5 menit lagi. Aku udah masuk komplek kamu nih.”
“Lha, tiba-tiba banget kamu. Mau kemanaaa?.”
“Temenin main ke Bandung. Cepet dandaaaaan.” Jawab Miko
“Waittttttt.”
Bandung mengadakan festival musik untuk anak muda, diadakan di daerah alun-alun Bandung, banyak juga makanan khas Bandung yang banyak ditemui, sekitar Jl.Braga sampai pinggiran jalan kota dipenuhi anak muda yang ingin menghabiskan waktu liburnya. Kali ini Miko mengajakku kesana. Kami tertawa berdua dan ikut memeriahkan suasana. Aku merasakan hatiku yang lebih baik sejenak. Aku bukan perempuan yang jahat, aku hanya perempuan egois yang berhak merasa bahagia. Di dunia ini, yang namanya lelaki bukan Andrean saja.
Sudah jam 7 malam, Bandung semakin berteriak dan hidup. Sudut jalan dipenuhi kemeriahan. Miko begitu lincah, dia tipikal lelaki yang sangat humoris dan hangat. Dulu, dia teman sekantor dan sudah setahun berlalu dia pindah berkerja di salah satu perusahaan farmasi di Bandung. Memang, dari segi gaji lebih menjanjikan dibanding tempat pekerjaanku.
“Kamu mau makan apalagi?”
“Gileee, udah kenyang banget tau Mik.”
Aku dan Miko sedang bersantai duduk-duduk dikursi pinggiran jalan, semua anak muda melakukannya. Kebetulannya jalan di tutup karena ada festival besar-besaran, jadi tidak ada kendaraan yang berlalu lalang.
”Baru makan yang di pinggiran ini, belum masuk restoran.”
“Parah kamu Mik, ini perut udah gak bisa nahan lagi.”
“Sekali-kali bahagiain kamu, Dit. Udah lama juga gak main dan becandain kamu. Gimana sama Andrean?”
Tiba-tiba aku diam. Mengingat kembali Andrean. Mengatakan merindukannya adalah hal yang paling memalukan kini yang harus aku katakan, setelah Andrean meninggalkan ku sendirian di Lembang.
“Haha, gimana apanya? Ya gitu sih.”
“Aku pernah deket ma Andrean, aku tau sikap dia. Sejauh ini kamu bertahan sama dia udah hebat banget loh.” Sambil ketawa
“Aku udah putus, tepatnya aku akan putus.” Tegasku
”Hah seriusan? Dari kapan? Tuh kan bener, Andrean itu emang tipikal dingin banget, bukan kamu aja soalnya yang jadi korban.” Miko tertawa puas kali ini.
“Kemaren aku ditinggal sendirian di Lembang gara-gara aku kesel dia ngomong mantan, pake nyebut namanya Hilda lagi.”
“Oh Hilda?” dia ketawa lagi
“Kenapa? Kamu tau?”
“Tau banget, dia tuh dulu temen sekantor Andrean sama aku waktu kamu belum kerja disana. Dia banyak curhat juga waktu itu sama aku tentang Andrean. Andrean tuh sayang banget sama Hilda, tapi ya gitu Dit susah buat Andrean bikin cewek jadi nyaman. Aku gak tau sih kenapa dia bisa sedingin itu. Andrean pernah bilang sih sama aku, Hilda itu tipikal dia banget.”
“Emang Hilda orangnya kek gimana?” tanyaku agak cemburu.
“Beda sama kamu.” Ketawa lagi
Aku diam kesal. Hatiku berkecamuk kepada dua orang lelaki bernama Andrean dan Miko. Aku menatapnya sinis.
“Hilda itu putih, tinggi, wajahnya imut, gak pernah marah dan gak bawel kayak kamu, ngomongnya lemah lembut. Sebenernya Andrean sama Hilda tuh cocok soalnya gak ada yang bisa cewek manapun yang dikenal Andrean nandingin tingginya, just Hilda.”
“Terus kenapa mereka putus?” tanyaku menahan cemburu
“Ya gitu, kasusnya sama, Andreannya gak peka. Ceweknya yang minta putus dan ninggalin Andrean. Aku juga kurang tau kenapa. Yang jelas karena itu.”
“Pantes aja aku diperlakuin gini, dia kayaknya masih sayang sama mantannya.”
“Hilda udah nikah, gak mungkin juga mereka balikan.”
“Aku gak jealous kok. Aku juga udah mau putus dari Andrean.”
Kali ini Miko diam. Melihat sinar-sinar diwajahku yang agak meredup. Entah mengapa aku mulai merasa tersiksa dengan cinta ini. Aku ingin pergi tetapi bayang Andrean selalu muncul dalam otakku. Aku mungkin satu-satunya perempuan bodoh yang mau dengan sabar menerima sikapnya. Tapi ah, kali ini aku akan meninggalkannya. Setelah aku mendapatkan kerjaan baru maka semua selesai.
“Sesederhana itu aja.” Ucap hatiku menenangkan.
“Aku pulang dulu yah, jangan terlalu diambil hati, Andrean emang gitu orangnya.”
Aku hanya tersenyum dan turun dari mobilnya. Menjadi berat rasanya, ini sudah seperti rangkaian puzzle saja. Aku langsung masuk kamar dan tak selera dengan apapun. Menatap foto Andrean yang ada di handphoneku, lalu ku hapus keseluruhannya. Apa kabar dengan Andrean sekarang? Sudah seharian lebih aku tanpanya. Benar apa yang diucapkan Miko, dia hanya sayang dengan Hilda.
Aku coba membayangkan sosok Hilda lewat daya khayalku. Perempuan cantik dengan tinggi dan kulitnya yang bersinar, ditambah lemah lembut dan tidak pernah bawel. Alangkah bahagianya mungkin Andrean kala itu bisa bersama Hilda. Aku merasakan ada kekosongan hati yang aku jalani bersama Andrean. Aku paham, mungkin Andrean tidak bisa melepas sosok Hilda dari kehidupannya, sosok yang sempurna macamnya pasti membuat Andrean menyesal telah membiarkan Hilda pergi darinya.
Sedangkan aku? Kelak saat aku pergi, dia mungkin tidak akan pernah merasa menyesal dan kehilangan aku. Aku kan hanya perempuan mungil dan tidak punya kulit yang bersinar. Jika dibandingkan dengan Hilda, aku jauh berbeda. Oleh karenanya aku paham sekarang, aku mengerti sikap Andrean dan menemukan jawaban di malam ini.
Aku menyerah, Andrean. Hatimu tidak tepat untuk disimpan dalam hatiku. Aku merasa hanya perempuan biasa saja dan aku mengerti dengan dirinya yang mungkin tidak pernah menyayangiku. Agh, perempuan hanya bisa pandai menebak.
Aku sudah mengangkat bendera putih. Merindukannya hanya menambah rasa sakit, mempertahankannya hanya akan melukai, berada disampingnya aku tidak pernah sanggup, mungkin saat aku berjalan bersamanya yang dilihatnya adalah sosok Hilda bukan aku, sehingga dia bisa dapat mencair dan berubah perangai menjadi makhluk romantis. Selama ini bayangnya mungkin Hilda, bukan aku! Ah menyesakkan sekali mengetahui semua ini.
Lima detik yang berarti seperti aku ditikam berkali-kali dengan pisau cinta. Disana aku harus merasakan kecemburuan yang tak bisa aku gapai sedikit pun. Hati hancur satu-persatu pergi meninggalkan aku yang malu karena tidak berkaca pada diri sendiri. Hati bergetar seperti tak pernah merasakan kembali rasa. Aku berpura-pura senyum saja.
Kalau para lelaki hanya mencintai seseorang karena sekadar cantik, maka amat kasihanlah perempuan yang terlahir seperti ku, berkhayal tapi nanggung, mencintai namun salah, menyayangi tapi tak pernah sampai, dikhianati karena berwajah pas-pas an, kalau pun disebut cantik hanya karena cantik standar. Amat kasihan gadis yang terlahir sama seperti aku, mengadu nasib mencari cinta, menunggu tapi tak pernah tau. Maka jika takdir cinta yang mencintai karena tampilan, begitu tidak adil sekali dunia ini.
Seumpama hanya mendapat penyisaan, setelah sebelumnya sudah di filter dahulu oleh para perempuan cantik, sisa-sisanya adalah lelaki tak dipilih yang akhirnya hanya akan mencintai perempuan yang cantik standar. Amat beruntung sekali perempuan yang sudah terlahir cantik. Wajah yang sudah putih merona, hidungnya yang mancung, bibir yang kecil kemerahan, bentuk wajahnya tirus pas kalau jadi model iklan, rambutnya panjang terurai, perempuan yang begitu yang banyak diincar, tapi sayang sepertinya aku bukan pilihan.
Jikalau para lelaki memilih perempuan karena kecantikannya layaknya Hilda, aku sudah jelas akan tereleminasi dari dunia itu. Dari awal aku akan dilempar jauh. Rupanya cinta sudah bermain licik karena mereka tak mengerti arti takdir, mereka hanya egois mencari yang sempurna dengan latar belakang pendidikan yang baik dan keluarga yang baik, sebagian perempuan yang memiliki kehidupan itu beruntung, sebagian lagi yang memiliki takdir sepertiku tidak.
Jikalau cinta sudah memberlakukan begitu, perempuan standar hingga dibawah rata-rata satu per satu akan terbuang, mereka dan aku sudah kalah duluan dalam medan tempur cinta-mencintai. Jangankan akan menang, pertama kali saja sudah terhunus pedang, sudah dicoret dari daftar nama, telah habis masa berlakunya, kemudian enyahlah sudah tak mungkin dipungut lagi kecuali disebabkan keberuntungan saja.
Menatapi sekaligus meratapi, persaingan alam tentang wajah yang sempurna telah jelas memberikan ketidakadilan. Banyak yang bilang cinta itu karena mencintai hatinya, bohong aku tidak percaya. Masih banyak perempuan yang berlomba-lomba pergi ke salon hingga perawatan, kulitnya bagus jalannya dibuat-buat anggun.
Orang cantik enak dipandang, berlama-lama semakin tidak bosan dan keterusan, nagih terus tak ada habisnya. Semua mata memandang seolah terpikat. Ah, mungkin orang cantik tidak akan merasakan kesakitan. Mereka bahagia karena mungkin dalam hidupnya tidak akan pernah merasakan cinta bertepuk sebelah tangan, atau mungkin pemikiran ku yang salah.
Para lelaki selalu memilih mereka, oleh karenanya orang cantik laku dipasaran. Dijadikan model iklan dan sampul majalah depan, wajah mereka laris manis di layar pertelevisian, mereka semua cantik, dengan kehidupan yang modis dan body seperti biola. Jarang sekali aktris yang tak rupawan, terkecuali kalau mereka punya kelebihan. Deretan film romantis dihiasi wajah-wajah yang menggemaskan.
Saking sempurnaNya, penontonnya sering mengkhayal sendiri kalau menjadi cantik layaknya pemeran utama perempuan yang dicintai dan diperebutkan. Indahlah dunia ini, sejenak lupa kejahatan dunia yang telah memberikan bau busuk bagi hidup. Berandai-andai lagi menikmati ketidakpastian dan ketidakmungkinan. Begitulah kehidupan perempuan.
***
Senin pagi, aku berjalan pelan agak menunduk. Orang yang akan dan baru putus cinta tak khayal berubah menjadi manusia yang paling hiperbola, mungkin karena terlalu terlarut dalam perasaan. Jangan salahkan orang yang jatuh cinta, perasaan itu sebetulnya anugrah dari Tuhan.
Kali ini aku tidak dapat menerka pemikiran Andrean. Aku rasa, aku dengan dirinya sudah sangat tidak sejalan. Aku tidak pernah bisa benar-benar masuk dan paham dengan cara dia berpikir. Mungkin, kali ini aku menyerah saja. Persoalan namaku dan namanya, orang-orang selalu mengaitkan bahwa nama kami berdua begitu mirip dan menjadi menarik jika disandingkan berdua dalam tulisan undangan. Kupikir, pemikiran itu terlalu jauh saja. Banyak juga yang berkata bahwa kami adalah jodoh karena nama kami mirip, itu hanya sebuah mitos dan aku tidak pernah percaya akan hal itu. Kenyataannya, kami jauh berbeda.
Tiba-tiba chat masuk dari nomor baru yang tidak dikenal, tidak ada foto profilnya, lantas aku membukanya penasaran.
“Dit, kamu kemarin pulangnya gimana?”
“Menurut kamu? Aku terbang gitu!” Aku langsung tau itu dari Andrean.
“Kamu gak kenapa-kenapa kan? Aku kok kepikiran kamu aja.”
“Baru kepikiran sekarang? Kemarin-kemarin kemana aja!”
“Habis kamu aku ajak pulang malah gak mau, ya udah aku tinggalin takutnya kamu malah makin marah. Aku bingung soalnya ngadepin cewek kalau udah serba salah kek gitu.”
“Andrean, aku ingin putus.”
“Alasannya?”
“Aku harus yah jelasin semua alasannya dari awal?”
“Maaf Dit”
“Maaf untuk apa?”
“Ya maaf kalau aku ada salah”
“Kamu emang gak pernah berubah. Kalau ada salah? Jelas-jelas ada salah.”
Kali ini dia tidak membalasnya lagi. Badanku seperti berontak, ingin rasanya aku mendatanginya langsung ke ruangan. Aku pikir Andrean hanya lelaki pengecut yang tidak pernah sadar jika berbuat kesalahan. Dia terlalu dingin.
Malam telah menjelang, rupanya hujan tidak kunjung datang. Bintang berserakan penuh mengisi kekosongan langit yang ditemani bulan benderang. Langit pun menjadi terang kebiruan. Awan-awan kapas itu seolah terlelap tidur dinina bobokan cahaya malam. Rasanya menenangkan melihat semuanya. Aku duduk menatapi mereka diantara balkon yang tiangnya sudah ingin loncat dan menghindariku ditengah kegalauan. Senja menjelang, aromanya pekat ditengah kegundahan. Malam menyeret senja dengan kasar, seperti Andrean yang sangat menyebalkan.
Aku hanya menyaksikan pemandangan. Tiba-tiba di depan pagar Andrean sudah berdiri melihatku. Dia menungguku turun, sesaat kami saling bertatap sudah seperti Romeo dan Juliet yang saling merindukan. Ada apa gerangan ? dia tiba-tiba berubah menjadi sosok pangeran yang diidam-idamkan. Pertahananku runtuh, aku merasakan tubuhnya yang hangat dan aku melupakan semua kejadian yang kemarin. Sorotan matanya lembut, bahasa tubuhnya sudah menarik hatiku, lagi-lagi aku berat ingin meninggalkannya. Bagaimana ini ?
Sesaat aku langsung ingat perlakuannya selama tiga bulan bersamanya. Hatiku berontak sudah ingin terbebas dari jerujinya. Mataku sudah ingin menyerang, langkahku tajam dan besar, aku langsung turun ke bawah dan siap menghadang Andrean yang sudah menungguku di depan.
Aku tidak pernah ingin membiarkan dia masuk ke rumahku, aku mendatanginya dan membiarkan dia tetap di depan pagar. Ingin sekali kutumpahkan semua kekesalan kepadanya. Aku lantas menjadi lupa dengan kelembutan, aku sudah ingin melemparkannya ke dunia lain, lelaki seperti dia layak mendapatkan kesedihan yang setimpal dengan apa yang aku rasakan.
“Bisa gak kita ngobrol di dalem, Dit ?”
“Ada apa? Udah disini aja? to the point aja biasanya kan kamu kayak gitu!”
“Aku mau jelasin ma kamu, Dit.”
“Jelasin apa?”
“Ibu aku ingin ngobrol sama kamu, Dit. Kapan mau ke rumah?”
“Gak perlu.”
“Kenapa? Aku udah cerita tentang ini. Ibu aku mau ngobrol ma kamu.”
“Untuk apa lagi? Kita udah putus semenjak kamu ninggalin aku di Lembang. Kamu tau rasanya gimana ditinggal? Aku panas-panasan pulang sendirian dan kamu gak peduli. Terus sekarang ngapain kesini? Oh aku tau, kamu kesini disuruh Ibu kamu kan? Ibu kamu yang ngajarin semua ini kan? Biar aku luluh gitu?”
Dia seperti biasa diam seribu bahasa dan hanya memperhatikan aku yang berbicara. Perkataanku berbalap-balap dengan emosi yang selama ini telah terpendam. Dia memang tidak pernah berubah, tidak sekalipun dia kasar kepadaku, kesabarannya kembali muncul walau aku sudah berteriak di depannya. Lain hal, jika di chat sikapnya yang seperti ini menjadi sangat mengesalkan saja. Aku harus menunggunya lama untuk membaca chatnya yang hanya mengatakan ok atau iya.
Tiba-tiba Mama berteriak dari dalam ...
“Dit, masuk udah maghrib, pamali tau.”
“Bentar.”
“Ada siapa sih?” Mama nongol di depan pintu.
Lanjutnya :
“Eh, nak Andrean sini masuk.”
Mama mendatangi kami yang sedang bertengkar, membukakan pintu pagar untuknya, menuntun tangannya layaknya seperti sepasang kekasih yang sedang berjalan bersama, aku ditinggalkan sendirian di belakang. Aku nyatanya harus merasakan kekesalan yang tidak berkesudahan. Andrean sepertinya bernafas lega, Mama menjadi malaikat tak bersayap yang menolongnya dikala genting seperti ini.
“Kalau ada kesayangan tuh dibawa masuk ke dalem, Dit. Dibikinin minum gitu.”
“Ih apaan Mama, kesayangan apaan?”
“Lha waktu pulang dari Santolo bilangnya kesayangan. Mama baca nama kontak Andrean di hape kamu.”
“Ih apaan, enggak dia bukan kesayangan.”
“Iya, tulisannya sih My Beloved.”
Mama tertawa kemudian pergi meninggalkan kami diberanda luar. Andrean tersipu melihat kelakuanku yang sudah mirip bak macan betina yang kelaparan. Rasanya aku ingin tertawa, tetapi untung saja aku adalah Aktris handal yang bisa membaca situasi yang ada. Aku tetap seperti tadi, kesal tidak berkutik dan tetap ingin putus dengannya.
“Aku minum yah sirupnya.”
“Iya.”
“Seger Dit.”
“Iya emang.”
Dia kebingungan ingin memulai percakapan dari mana. Andrean berubah seperti anak SD yang tersesat dan kehilangan Ibunya. Matanya memencar mencari pembahasan, kakinya digerak-gerakkan dan sedikit kebingungan.
“Udah malem, pulang gih.”
“Aku baru aja masuk Dit, kamu udah nyuruh pulang aja.”
Andrean kembali mengusap kepalaku, sama seperti saat-saat kami berdua berjalan di Pantai dan merasa bahagia. Hatiku tersentuh lagi, emosiku sedikit luntur, matanya memancarkan kelembutan yang bisa tertembus menancap hatiku.
“Apaan sih ngelus-ngelus?”
“Aku bener-bener minta maaf Dit. Ibu aku udah nasehatin aku. Ibu aku mau ngobrol ma kamu? Masa kamu nolak gitu sih? Kan orang tua Dit.”
Iya sih, hatiku jadi berkecamuk. Ada benarnya juga perkataan Andrean. Kalau pun aku memutuskan putus, aku tetap harus datang ke rumahnya dan tetap bersikap baik kepada Ibunya.
“Kamu mau datang kan?”
“Iya, ya udah.”
Andrean tersenyum lebar.
“Jadi kapan mau datang ke rumah?”
“Besok aja pulang kerja.”
“Iya ya udah, paginya kamu gak usah bawa motor yah. Aku jemput dari rumah aja.”Ucap Andrean semangat
“Iya ya udah, gak ada yang harus di ucapin lagi kan? Kalau gitu cepet pulang aja.” Ucapku ketus
“Iya ya udah aku pulang dulu yah. Kamu cepet rehat.”
Andrean meninggalkanku. Tiba-tiba hatiku menjerit memanggil namanya.What? Kebodohan jenis apa ini? Aku merindukannya?
***
Angin sepoi melandai pelan, digilir hujan sebentar tak berkesudahan. Andrean membawaku dengan motornya. Kali ini dia menepati janjinya. Hanya semalaman, ku pikir dia sudah berubah menjadi Andrean yang berbeda. Hasil petuah ibunya kah ? dia membawakanku sarapan dan dua batang coklat. Aku tau dia sedang melakukan sogok-menyogok terhadapku. Aku mengernyitkan dahi, kode keras karena ini tanda dari dia yang ingin berdamai denganku. Aku jadi lupa saat-saat aku ditinggalkan, aku merasa aku menjadi baik-baik saja dan seperti baru berpacaran kembali dengannya. Aku pikir dia sedang melakukan tipu muslihat.
Jalanan pagi ini tidak semacet kemarin-kemarin. Mobil dan motor bisa dengan lancar berlalu lalang tanpa harus saling emosi membunyikan klaksonnya. Padahal ini bukan hari kepepet libur, bukan juga tanggal merah. Ini pertama kalinya Andrean menjemputku dan kami berangkat ke kantor bersama setelah 3 bulan berpacaran dengannya. Padahal aku sudah ingin pergi meninggalkannya, sekarang aku merasa sedang dikelabui olehnya. Perlahan-lahan hatiku yang bebal menjadi luluh karena sikapnya yang menjadi perhatian padaku.
"Dit, jangan putus yah?"
Nadanya tiba-tiba memelas, dilembut-lembutkan, diatur dengan nada yang baik dengan sedemikian rupa, dia berubah bak rubah yang baik hati, empuk sekali mendengar perkataannya.
"Iya ya udah aku kasih kesempatan."
Aku pun tak ubahnya berubah menjadi perempuan paling bodoh yang mau dengan begitu saja dibodohi. Hanya semalam berlalu, tetapi Andrean berhasil menggoyahkan pemikiranku. Dia memang robot luar angkasa yang canggih, dia dapat mendeteksi kemampuan manusia dan bisa berinteraksi dengan baik kali ini. Dia hanya tersenyum lebar dan gingsulnya diperlihatkannya sempurna lewat kaca spion motornya.
***
“Aku udah berusaha Dit, tadi denger kan Ibuku bilang apa.”
“Iya, aku ngerti. Ya udah ga usah diperpanjang juga. Lupain masalah Hilda, apapun itu. Aku juga udah cape. Aku ingin mulai dari awal lagi.”
Setelah aku mampir bertemu Ibunya, kami membicarakan hubunganku. Sepertinya ini terdengar lebih gila lagi karena pada akhirnya aku sepenuhnya telah luluh dan kembali menerimanya. Kami makan berdua ditemani lilin-lilin yang menyala, sedikit romantis karena untuk pertama kalinya aku bisa makan bersamanya di luar. Suasananya mirip seperti film drama romantis di televisi. Restoran steak yang dipilih tidak terlalu ramai dan nyaman sekali. Dindingnya berwarna putih megah seperti sedang makan pada saat adegan jamuan dalam film Titanic. Kali ini aku akui, Andrean adalah lelaki yang romantis.
Handphone-ku berbunyi memecah damai.
“Dit, aku udah rekomendasiin kamu ke atasanku. Besok interview langsung sama test psikotest yah jadwalnya. Harus jadi, aku udah usahain loh buat kamu. Kalau kamu cancel aku bakal gak dipercaya atasan lagi” Chat Miko
“Siapa?” Kata Andrean
“Miko.”
“Oh, kenapa dengan dia? Coba liat bentar handphonenya.”Andrean menarik handphone yang masih aku genggam, dia lantas membaca chat dari Miko.
“Kamu mau pindah kerja, Dit?”
Rupanya sorotan matanya langsung berubah tajam lagi.
“Iya sih.” Menatap Andrean seadanya.
“Kok gitu?”
“Ya, ingin cari suasana baru ajah sih.” Alibiku
“Terus ntar kita gimana?” tanyanya singkat
“Ya masih pacaran kan walau udah gak satu kantor?”
“Tapi kok kamu mutusin satu pihak gitu tanpa ngasih tau aku dulu ?” matanya memperlihatkan kekecewaan
“Pas kita berantem ada kesempatan ini, ya mana bisa aku ngobrolin ini sama kamu.” Kebohonganku lagi
“Oh, kamu mau menghindar dari aku yah kemarin, kamu emang bener-bener mau putus kan ninggalin aku pelan-pelan? Sekarang pura-puranya aja gitu yah balikan. Tapi ntar kamu bakal ninggalin juga.”
“Aku gak ada maksud kesitu.”
“Tapi emang gitu kan kenyataannya, kamu bisa gak sih bener-bener maafin. Kalau emang ga bisa balikan ya udah fine kita sampai disini aja.”
“Kok kamu jadi marah-marah gitu.”
“Kamu gak tau kan kenapa aku tiba-tiba kek gini? Miko itu suka kamu udah dari setaun yang lalu dan aku berantem gara-gara aku jadian ma kamu, terus dia resign. Itu alasan dia resign sebenernya, bukan karena salary yang lebih ngejamin.”
Andrean menatapku, matanya memerah karena kesal yang terpendam. Sedangkan aku hanya tertegun baru tau.
“Tapi waktu itu Miko ngehina-hina aku gitu, bandingin aku sama Hilda yang beda jauh. Jadi gak mungkin juga dia suka aku. Orang keliatannya dia muji-muji Hilda.” Ucapku polos
“Kalau kamu resign, berarti kita putus.”
“Kok kamu jadi keras gini? Aku bingung kalau gini.”
“Ya terserah, kamu mau milih Miko apa aku!”
Andrean pergi dan membayar makanan dimeja kami. Aku yang masih duduk menatapnya pergi begitu saja. Dia ternyata tidak berubah, kedua kalinya dia tetap meninggalkanku dan membiarkanku menjadi tontonan orang atas tindakan yang memalukan ini. Aku tidak yakin dia akan berubah, tidak pernah.
“Agh.” Ucapku kesal sambil pura-pura meneruskan makan.
***
Andita. Nama ini mengingatkan saya pada seorang guru menulis saya. Kak Raindita. Bahkan karakternya sama. Jutek juga.
Comment on chapter Bagian 1 : Cinta Bersemi dibalik Pertaruhan