Namaku Aurel Ferdiansyah, satu nama yang bagus dan indah, kalau menurut teman-temanku dan guruku sih. Kalau menurutku, hhhmm ... aku tak terlalu suka nama itu, apalagi di belakangnya menggunakan nama Ayahku. Ya, seperti ada sebuah momok besar membayangiku ketika mengingat nama itu. Tapi apa boleh buat, nama itu tak mungkin aku buang ke tong sampah dan menjadikannya butiran abu ketika di bakar oleh petugas, kalau di pungut sama orang jangan karena aku tak menginginkan mengenal nama itu lagi.
Aku memiliki banyak alasan kenapa tidak menyukai nama itu, sesuatu yang tidak akan pernah mau ku ingat lagi meski hanya sesaat saja. Rasanya itu terlalu menyakitkan dan begitu pedih mengoyak jiwa ini. Jadi sudahlah, biarkan semua menjadi kenangan yang aku simpan jauh di dasar lubuk hatiku dan jangan sekali-kali mengungkapkannya pada dunia ini.
"Rel ...." Terdengar seseorang memanggilku dengan suara lantang nan cempreng yang sanggup memekakan telingaku. Aku tak perlu mencari tahu siapa pemiliki suara itu, karena sudah pasti itu adalah milik Angel, sahabatku yang mengikutiku ke mana saja aku pergi. Sudah seperti perangko ya, hihihi.
"Apa sih, Gel, teriak-teriak sudah seperti hidup di dalam hutan saja!" kataku sambil memasang wajah sedikit cemberut karena aktivitasku yang menyenangkan diganggu sama gadis remaja satu ini.
"Lagian loe di panggil dari tadi kagak nyahut-nyahut, budi ya loe!" kata Angel yang dia memang jika berbicara tidak pernah ada penyaringan, selalu seenaknya saja yang penting dia happy.
"Maaf deh Cintaku, Sayangku, yang bawel, tadi aku lagi tanggung nyelesein gambar ini," kataku sambil menatap wajahnya dan mencubit pipinya dengan begitu gemas.
"Ih najis deh ya dipanggil cinta dan sayang sama loe, Rel! Gini-gini Angel yang cantik dan menawan ini masih normal dan laku sama cowok kali, jadi ngapain di sayang-sayang sama loe!" Angel buru-buru mengusap pipinya yang tadi aku cubit meski tak terlalu keras. Sebenarnya aku sendiri bingung, kenapa ia berpikiran sependek itu ketika aku panggil Cinta dan Sayang? Semua orang tentu tahu jika aku adalah gadis normal senormal-nomalnya dan tidak mungkin menjadi lesbian. Kalau aku menjadi lesbi, kasihan para pria di sekolah ini akan menangis sejadi-jadinya karena kehilangan satu incaran mereka.
Ah ya, aku lupa memberitahu jika aku adalah siswi jelas tiga SMA di salah satu sekolah swasta bergengsi. Masuk sini sebenarnya agak-agak susah karena selain harus memiliki otak yang encer jiga biaya yang tak sedikit. Bukan rahasia umum lagi jika sekolah swasta dan berkelas pasti membutuhkan biaya yang besar meski ada bea siswa juga bagi siswa berprestasi. Dan mungkin di sini aku harus bersyukur karena ayahku masih mampu menyekolahkanku di sini meski aku sedikit ogah jika berkomunikasi dengan pria yang satu itu.
"Lagian ada apa sih manggil aku pake teriak-teriak udah kayak toa saja? Ada kebakaran atau apa, sih?" tanyaku yang memang kesal karena me time-ku terganggu oleh anak satu ini.
"Noh di panggil sama guru ganteng dan tajir melintir yang siap meminangmu menjadi nyonya rumah megahnya," jawab Angel yang lebih suka membuatku harus menebak sendiri daripada mengatakan semuanya secara gamblang dan jelas.
"Siapa? Mr. Jo, kah?" tanyaku sambil sedikit mengerutkan kening karena tidak terbayang dengan ciri-ciri guru yang sahabatku sebutkan tadi.
"Ya siapa lagi, Rel, kalau bukan Mr. Jo yang selalu jadi rebutan itu. Dia kan ...." Aku segera berlalu dari samping Angel, meninggalkannya yang masih saja mengenai Mr. Jo. Jika ia telah berbicara mengenai guru satu itu, maka sudah dapat dipastikan tidak akan berhenti kecuali ada guru datang dengan membawa buku tebak di tambah kaca mata penambah kesan wibawa mereka.
Kulangkahkan kaki menyusuri koridor sekolah yang memang sedikit ramai. Jam istirhat memang tidak pernah membuat koridor sepi dari aktivitas oara siswanya mulai dari yang bercanda hingga ngerumpi. Kadang aku bertanya, bagaimana mereka selalu memiliki bahan rumpian padahal hampir setiap ada jam kosong atau istirahat mereka merumpi, sepertinya tiada hari tanpa rumpi.
Sesekali aku melemparkan sebuah senyuman tat kala ada yang menyapaku. Memang di sekolah aku terkenal sebagai siswa yang sedikit tertutup dan pendiam, hanya Angel yang tahu jika aku bukanlah gadis seangker yang dikatakan oleh teman-teman yang lainnya. Aku bisa tertawa dan bercanda normal meski tak seperti mereka.
"Permisi, Mr. Jo," kataku saat sampai di samping guru nan tampan yang saat ini tengah berbicara dengan guru lain di depan ruang guru. Hhhmm ... mungkin ia juga sama seperti siswanya yang sedang ngerumpi meski aneh juga masa lelaki ngerumpi.
"Ah, Aurel, sudah dari tadi saya menunggumu," katanya sambil melempar seulas senyum yang begitu menawan dan mampu meluluhkan hati setiap gadis yang melihatnya.
Memang bukan rahasia lagi jika banyak siswa yang mengharapkan dapat dekat apalagi bisa menjadi kekasih dari guru yang satu ini. Selain apa yang dikatakan oleh Angel mengenai Mr. Jo, pria yang berada di hadapanku ini terkenal sebagai guru yang ramah dengan badan super sempurna. Jadi wajar jika banyak yang menyukainya, tapi ingat minus aku ya! Aku tak menyukainya meski hanya seujung kuku, ia hanya guruku saja, tak lebih.
"Ada apa Mr. Jo mencari saya?" tanyaku yang hanya sekedar basa-basi tanpa rasa penasaran sesikitpun.
"Begini, akan ada lomba Fisika bulan depan, dan menurut saya kamu mampu untuk mengikut lomba itu." Mr. Jo menatapku penuh harap.
"Bulan depan? Maaf Mister, menurut saya itu terlalu singkat dan saya sendiri tidak yakin mampu mengikuti lomba itu dengan baik, terlebih saat ini saya kelas tiga yang harus menyiapkan diri untuk Ujian Akhir Nasional," kataku yang menolak permintaan guru satu ini karena aku memang merasa tidak mampu untuk melakukannya. Bayangkan saja, dalam waktu satu bulan harus menghapal semua materi dan terutama rumus-rumus Fisika yang tak mudah. Tidak mungkin dalam sebulan bisa memahami semuanya sedang aku juga harus belajar untuk UAN.
"Saya tahu kamu sedang mempersiapkan UAN, tapi waktunya sangat mepet dan menurut kami para guru, hanya kamu yang mampu mempersiapkan semuanya dengan baik meski di tengah-tengah kesibukanmu," kata Mr. Jo yang seolah meyakinkanku jika aku mampu melakukan semuanya dengan baik.
"Tapi Mr. Jo ...," kataku yang masih berniat untuk menolak permintaan guru yang satu itu.
"Saya yakin kamu bisa mengikutinya dan membawa piala itu ke sekolah." Ada sebuah harapan yang begitu tinggi ia gantungkan kepadaku. Namun harapan itu justru membuatku memundurkan satu langkah ke belakang dan membangun benteng diri yang begitu tinggi dan kokoh.
"Maaf, Mister, saya tidak bisa," kataku yang kemudian berbalik dan berlari menjauh dari Mr. Jo meski guru itu terus memanggilku. Aku sungguh tak sanggup terlebih ada satu ketakutan di dalam diriku akan sebuah asa yang begitu tinggi.
beginningnya udh menarik banget, sukses yaa, tlng like ceritaku juga https://tinlit.com/read-story/1436/2575. semga cerita kita bisa terbit yaa. amin.
Comment on chapter Bab 1