Napasnya memburu dikejar oleh waktu, tercekat di tenggorokannya kata-kata untuk meminta tolong, dan bibirnya terkunci oleh rasa takut. Akan menjadi masalah jika deru napasnya terdengar oleh 'dia' yang lapar. Ia melangkah begitu halus dan cepat, mengabaikan peluh yang memenuhi sekujur tubuh.
"Jangan pernah berbalik jika ia memanggil namamu, jika kau berbalik maka esok tidak akan pernah kautemui," nasihat ibu sore itu. Ia sibuk memasukkan roti dan botol minuman ke dalam keranjang. Bekal yang harus ia antar pada nenek.
"Kenapa bukan ibu yang pergi? Kalau aku dimakan olehnya bagaimana? Bagaimana kalau nenek yang dimakan? Bagaimana kalau dia menemukan aku sebelum bekal makanan ini sampai pada nenek?" Ia mencerocos penuh ketakutan.
"Kalau kau tidak mau pergi, maka kau bukan anakku lagi!"
Ia mana mau tak diaku sebagai anak, artinya ia akan terusir dari rumah dan tak ada tempat untuk bernaung lagi. Masih beruntung ia mendapat naungan rumah dari janda muda itu dan ibunya yang renta. Sekarang mereka ia panggil dengan sebutan ibu dan nenek.
Ia tak ada pilihan selain mengenakan tudung merahnya untuk membelah malam. Meniti jalan setapak melewati hutan menuju rumah nenek yang terletak di tengah-tengah rimba. Walau terkadang ia heran kenapa rumah neneknya harus dibangun di tengah hutan. Dan saat itulah mimpi buruknya datang. Bayangan serigala besar setinggi tiga meter mulai membuntutinya semenjak masuk lebih dalam ke hutan. Namanya berulang kali disebut oleh serigala besar tersebut.
"Little Riding Hood, aku akan memakanmu. Kalau bukan aku yang memakanmu, kau akan dimakan orang lain," bisik serigala tersebut.
Ia pura-pura tuli, ia tetap berpegang teguh pada nasihat ibu. Ia mencoba tetap terdiam hingga sampai pada pintu rumah reyot nenek. Pintu rumah ia ketuk pelan, pintunya berderit ketika ia buka. Neneknya menyambut dengan pisau daging raksasa. Ia terkejut melihat senyum neneknya yang melebar sampai ujung rahang.
Ia mundur perlahan, punggungnya menabrak sesuatu yang berbulu. Tak sadar ia menoleh dan mendapati serigala besar itu menyeringai padanya. Samar-samar kesadarannya diambil oleh benda tajam yang menebas leher. Ia sempat melihat neneknya mulai menyantap gundukan daging merah, ibunya yang menggerogoti tulang, dan serigala yang menyeringai lebar padanya dengan moncong dan taring dipenuhi darah.
END