LI
Persimpangan Boljanus,
Jika lurus menuju Karang Tengkorak, jika belok kiri ke utara memasuki kerajaan Relian.
“Yar, kamu yakin nggak ingin melanjutkan pencarian ini?”
“Iya, aku sudah lelah, Aku males terus – terusan nyari sesuatu yang nggak jelas gitu.”
“Apa kamu nggak eman – eman kita sudah berusaha sejauh ini?”
“Biar saja, Kalaupun nanti bisa kamu temukan, Aku ucapkan selamat saja,”
“Yar, ntar kalo Yoslin ketemu aku bakal ngabari kamu.”
“Kamu nggak usah berjanji kayak gitu, Tapi kamu jangan lupa main – main ke Patic nanti,”, sahut Tayar, menghibur perpisahan mereka.
“Haha,, Iyaa, nanti aku akan main ke tempat kamu,, Ya udah, Aku jalan dulu ya, Yar,”
Dengan mantap, “Ok, Aku juga mau lanjut,, Sampai jumpa, Deng,,”
“Iya, sampai jumpa,, Hati – hati,”
“Ya, kamu juga,”
Jedeng mulai melajukan kudanya di jalan yang rusak itu.
Memang jalan di distrik Boljanus terutama di persimpangan selatan sengaja dibuat berlubang – lubang, karena jalan itu termasuk jalur off road kuda balap.
“Haduuhh, jalan umum ya kok dibuat kayak gini, Siapa sih yang punya ide?”
Sambil berkeluh kesah, Jedeng melajukan kudanya.
Beberapa kali dirinya harus membelak – belokkan kuda karena jalan yang rusak.
“Huuhh, kenapa tadi aku nggak belok lewat Boralisa aja,?”
Tampaknya laki – laki itu mulai frustasi dengan jalur off road Boljanus.
Tiba – tiba, “Ayo, semangat,, Yang semangat,, Tetep fokus,”
Terpaksa, Jedeng menghentikan laju kudanya.
Beberapa anggota klub balap kuda sedang berlatih di jalur itu.
Mereka melaju lumayan cepat,
Seolah – olah jalur itu sudah menjadi santapan harian.
Seseorang hampir saja menubruk Jedeng.
“Eh, maaf,, Maaf, tuan,,” Sambil orang itu melajukan kuda semestinya.
“Astagaa,, orang – orang itu,”, keluh Jedeng.
Dirinya segera melanjutkan perjalanan begitu jalan sepi lagi.
Pasar balap,
Tempat jual beli berbagai macam kuda.
Di lokasi itu kuda biasa hingga kuda balap dipamerkan.
Harga kuda – kuda di pasar balap sangat kompetitif, pembeli dan penjual bisa mendapatkan harga yang pas sesuai kemampuan kuda yang dipamerkan.
Baru saja tiba, mengaitkan tali kuda pada bilah bambu, seseorang tampak menghampiri Jedeng secepat – cepatnya.
“Kudanya mau dijual, tuan?”, tanya makelar kuda.
“Oh, enggak,, enggak, pak,, Saya cuma mau lihat – lihat saja,”
“Kalo tuan mau tukar tambah dengan kuda yang lain saya bisa lihatkan, tuan.”
“Haha,, Enggak, pak,, Terima kasih,, Saya masih suka sama kuda ini.”
“Ohh, begitu,, Haha,, Iya, iya,, Permisi, tuan.”
“Iya, pak,”, sahut Jedeng, tersenyum.
Melihat sekelilingnya. “Aku mulai dari mana nih,?”
“Oh ya, dari situ saja,” Jedeng melangkah sejauh 100 meter ke seberang pasar balap.
Ada sebuah tempat permainan ketangkasan pada arah tujuan Jedeng.
LII
Hari baru,
Semangat baru.
Setelah semalam beristirahat di sebuah penginapan di Polepolis, Jedeng siap untuk melanjutkan pencarian.
Dengan santai dirinya melangkah ke tempat bayar.
“Semuanya 10 keping emas, tuan.”
Terkejut. “Mahal banget, mbak,, Cuma numpang tidur saja,”
“Iya, tuan,, sudah sesuai standar nya,”
Sambil bersungut – sungut Jedeng menyerahkan beberapa keping emas.
“Tau gini aku nginep di Cempelan saja,”
Menyerahkan bukti bayar. “Terima kasih, tuan,, Selamat berjumpa kembali,”
Membatin, “Nggak akan aku balik ke sini.”
Jedeng keluar dari penginapan dengan sangat menyesal.
Setelah berkuda sejauh dua mil,
Laki – laki itu tiba di persimpangan Polebo.
Belok serong kiri ke Cempelan, Jika belok kanan ke kerajaan Urania.
Dengan mantap Jedeng memilih berbelok ke arah timur.
Tidak ada yang spesial dari perjalanan Jedeng,
Seperti hari – hari sebelumnya laki – laki itu terus berkuda melalui jalan yang ada.
Sebenarnya Jedeng juga sudah lelah mencari keberadaan Yoslin,
Tapi dirinya terlanjur berjanji dengan Tuan Rakat.
Jedeng tidak ingin penguasa Banadis itu kecewa dengan kegagalan dirinya.
LIII
Patic utara,
Daerah yang bergunung – gunung.
Cadas, Tidak ada sayur – sayuran yang bisa hidup di tempat itu.
Patic utara juga merupakan jalur pertemuan tiga kerajaan, yaitu Renggo, Jakur dan Goers.
Karena daerahnya berbatu – batu,
Orang – orang Patic utara bekerja sebagai penambang batu.
Juga sekelompok kecil orang bekerja sebagai bajing loncat dan bersembunyi di dalam goa – goa di sekitar gunung Takbatat.
Baru tiga hari Tayar bergabung dengan komplotan Jilong, dirinya sudah menjadi bos divisi Jagor.
Sebuah kelompok bajing loncat yang menguasai daerah sekitar Jakur timur dan sebagian besar Goers bagian barat.
Siang itu, bos Kamsong melihat dengan mata dan kepalanya sendiri bagaimana Tayar mengendalikan sikap anak buahnya.
Dengan ditemani oleh bos divisi Nggoers dan bos divisi Retic, beliau menyaksikan kekejaman hasil belajar Tayar di Banadis.
Tayar berdiri di hadapan puluhan anggotanya yang masih setengah loyal terhadap dirinya.
Mereka menganggap Tayar sebagai anak kemarin sore, yang bodoh dan tidak tahu apa – apa mengenai tanggung jawab barunya.
“Saya sudah katakan sejak pertama kali saya menjadi bos kalian, Jika kalian ingin selamat dari kekejaman saya kalian harus menuruti apa yang saya perintahkan, Tetapi tampaknya kalian semua masih coba – coba dengan kebaikan saya selama ini, Karena itu siang ini di tempat ini kalian semua akan belajar bagaimana caranya menghormati bos baru kalian, Jika setelah ini kalian tetap tidak bisa belajar juga maka jangan salahkan saya jika pedang saya ini yang berbicara, Jelas?!”
Hanya beberapa orang yang merespon orasi Tayar yang berapi – api itu.
Selebihnya cuma diam dan memandang kosong ucapan Tayar.
“Ohh,, Baiklah,, Tampaknya kalian semua perlu diberi sedikit pengajaran kedisiplinan dari saya,”
“Bawa keluar orang itu,!”
Dua orang anak buah Tayar keluar dari dalam ruangan.
Mereka menggiring seseorang yang kepalanya ditutupi kain hitam. Juga pada kedua pergelangan tangan orang itu tampak dibelenggu oleh ikat tambang.
“Kalian pasti tau siapa orang ini, Dan orang ini lah yang akan merasakan pertama kali akibat ketidakloyalan kalian kepada saya, bos baru kalian.”
Tayar membuka penutup kain itu.
Sontak tindakan Tayar itu memancing kemarahan sebagian besar anggota divisinya.
“He, anak bawang! Jangan coba – coba kamu dengan tuan Balekong!, Kami lebih menghormati tuan Balekong daripada kamu.”
“Jangan kamu kira dengan adanya bos Kamsong di hadapan kami semua, kami menjadi takut padamu?, Tidak,, Itu tidak akan terjadi,, Kami akan tetap setia pada tuan Balekong!”
“Kami akan tetap setia pada tuan Balekong!”
“Kami akan tetap setia pada tuan Balekong!”
“Hahaha,, Baiklah,, Baiklah,, Tanpa bos Kamsong hadir pun sebenarnya kalian akan mendapatkan arti dari loyalitas itu,”
Tayar melihat pada Balekong. “Berlutut,!,, Berlutut kataku,!”
Membalas tatapan kejam Tayar dengan ancaman. “Kamu akan menyesal melakukan ini, Tayar.”
“Di kamus saya tidak tersurat kata menyesal, tuan Balekong.”
Tayar menarik pedang dari sarungnya. “Berdoalah, tuan Balekong,, Semoga tuhan memberi ampun atas dosa – dosamu.”
“Kamu akan menyesal, Tayarr!!, Kamu akan menyesall,!!”
“Waktu berdoa telah habis,” Dengan tanpa ampun Tayar menebaskan pedangnya pada tengkuk Balekong.
Alhasil, terpenggallah kepala mantan bos divisi Jagor itu.
“Tuan Balekong,!!!”, jerit Tole, kesetanan.
Bos Kamsong tampak tercekam.
Dirinya tidak menyangka Tayar akan memprovokasi kemarahan loyalis Balekong.
“Tayarr!!, Kamu akan mati sekarang juga,! Serang,!!!”
Layaknya tsunami, para loyalis tuan Balekong merangsek maju.
Kontan para anak buah Tayar lari kocar – kacir menghindari gelombang kemarahan.
“Bos Kamsong, tampaknya keadaan tidak bagus.”
“Tidak perlu, Retic,, Saya diminta Tayar untuk menonton saja.”
“?? Baiklah, bos,” Retic kembali ke tempat duduknya.
“Gila,! Orang itu tampaknya sudah nggak pingin hidup,”, ucap Nggoers.
Tayar memungut sebilah pedang yang ditinggalkan anak buahnya.
Lalu tanpa rasa takut laki – laki itu menghampiri deru tsunami dengan kedua pedangnya.
Tak lama dencing peraduan puluhan logam menggema dari tengah lapangan.
Loyalis Balekong dalam sekejap mengerubungi Tayar.
Namun, pedang yang diperbudak Tayar itu seolah – olah menjadi dua kali lipat panjangnya.
Mereka dengan mudah tertebas bos Jagor.
Tole yang coba mengambil kesempatan dari kelengahan Tayar malah tergorok lehernya oleh hembasan pedang lawan.
Sambil memegangi lehernya. “Ough, ough,,”
Loyalis Balekong nan paling garang itu meregang nyawa di hadapan Tayar.
Kematian Tole membuat sisa loyalis Balekong ketakutan.
Mereka memilih melarikan diri, menjauh dari murka bos Jagor.
LIV
Ruang kerja raja Banadis,
“Tok, tok, tok,”
“Masuk,”
Seorang penjaga menghampiri rajanya.
“Permisi, Tuan Rakat,, ada yang hendak ketemu,”
“Siapa?”
“Pak Rengkos, tuan.”
“Oh, Suruh masuk,”
Tampak segan seorang laki – laki tua beserta anaknya menghadap Tuan Rakat.
“Silakan duduk, pak Rengkos,”
Dengan hormat laki – laki itu beserta anaknya menyalami Tuan Rakat.
Lalu duduk di hadapan raja mereka.
“Tuan, seperti yang tuan minta kemarin saya sudah membawakan anak saya.”
“Apa anak pak Rengkos bisa melakukan tugas kebersihan dengan baik?”
“Bisa, tuan,, Bisa,”
“Apa anak pak Rengkos bisa menjaga semua informasi di dalam ruangan saya ini?”
“Mm,, Bisa, tuan,, Bisa,”
“Tapi ingat, pak Rengkos,, Jika anak bapak ini ketahuan mencuri atau melakukan tindakan yang bisa membahayakan Banadis, saya tidak segan – segan memancung anak bapak ini,”
“Iya, tuan,, Iya,, Saya akan minta anak saya ini bekerja seperti yang tuan perintahkan saja,”, ucap pak Rengkos, sedikit takut.
“Bagus,, Sekarang bapak bisa pergi, Dan anak bapak ini bisa mulai bekerja sekarang,”
Tampaknya pak Rengkos sedikit berat meninggalkan anaknya.
“Rasti, kamu kerja yang baik ya, Dengarkan perintah, tuan Rakat, dan jangan berbuat yang enggak – enggak,, Ingat lo, Ras,”
“Iya, pak,, Rasti akan ingat nasehat bapak,”
“Baiklah, bapak pulang dulu ya, Ras,”
Beranjak dari kursi itu. “Permisi, Tuan Rakat,”
“Iya, iya,, Silakan,” Menyambut jabat tangan bapak itu.
“Nama kamu siapa?”
“Rasti, tuan,”
“Kamu bisa baca tulis?”
“Bisa, tuan,”
“Sekarang kamu pisah – pisahkan dokumen – dokumen ini sesuai tulisan di kolom ini, Mengerti?”
“Iya, tuan,, Mengerti,”
“Baiklah,, Bawa kertas – kertas ini ke meja itu dan kerjakan seperti yang saya minta tadi,”
“Siap, tuan,”
Segera Rasti beranjak dari kursi.
Dengan cekatan dirinya membawa tumpukan dokumen itu.
LV
Tepat 28 hari sejak pertama kali Jedeng mencari keberadaan Yoslin.
Tapi dirinya belum mendapatkan sedikitpun informasi mengenai cewek itu.
Jedeng meninggalkan kerajaan Boralisa dengan lemah lunglai.
Bergumam, “Kayaknya aku harus mengikuti jejaknya Tayar ke Patic deh,”
“Ini kuda kok nggak semangat juga sih,”
Jedeng tidak menyadari jika kudanya butuh liburan.
Karena kudanya tidak bisa diajak berlari lagi, Jedeng terpaksa berhenti di Cempelan.
Laki – laki itu mengaitkan kuda pada sebuah kayu.
Tidak lama seseorang juga mengaitkan kuda di tempat itu.
Tampak keheranan, saat seseorang itu melihat tampilan kuda Jedeng.
Lalu menyentuh pelan kuda itu.
“Ya ampunn,, ini kuda kok sampe amsyong gini ya,”
“Ini kuda siapa ya?”
Jedeng menghampiri seseorang itu.
“Ini kuda, tuan?”
“Iya, pak,, Kenapa?”
“Aduh, tuan,, mbok tuan perhatian sedikit sama kuda tuan ini, Udah mau amsyong nih kuda,”
“Pantesan tadi nggak mau diajak lari,”
“Ya ampunn,, Jelaslah, tuan,, Tapalnya saja sampai seperti ini,, Astagaa,,”
“Lha gimana, pak? Bapak bisa bikin kuda ini greget lagi?”
Dengan percaya diri, “Bisa, Tapi kuda ini butuh di tempat saya lima hari,”
“Aduh, lama banget, pak,, Saya lagi mau jalan lagi,”
“Memang tuan mau kemana?”
“Saya mau ke Cilikan rencananya,”
Seseorang tua itu geleng – geleng kepala.
“Haduh,, Tuan sudah tahu jalan ke Cilikan seperti itu, Kuda ini bakal putus kakinya sampai di perbatasan Bengkolan.”
“Yaa,, gimana, pak? Apa saya sewa kuda bapak saja?”
“Tuan berani bayar berapa?”
“Segini cukup?”
“Ohh, cukup, tuan,, Cukup, Lebih malah,”
“Lebihnya buat merawat kuda saya saja,” Sambil Jedeng menyerahkan 15 keping emas.
“Oh ya, tuan,, Terima kasih,, Terima kasih,,”, ucap seseorang itu.
LVI
Perbatasan Bengkolan,
Tiba – tiba Jedeng merasa malas.
Dirinya merasa tidak ingin menuju ke Cilikan.
Pandangan mata laki – laki itu menjadi jenuh, melihat hijaunya alam.
Angin yang berhembus semilir seolah – olah membujuk Jedeng untuk berleha – leha.
Tapi, tekadnya tidak terbantahkan.
Dalam keadaan ingin beristirahat, Jedeng terus melaju.
Dan tampaknya kuda sewaan itu juga mendukung greget Jedeng untuk menuju Cilikan.
Dengan berkuda agak cepat laki – laki itu meninggalkan Bengkolan.
Perserikatan Cilikan,
Hampir gelap Jedeng tiba di lokasi tradisional itu.
Pasar sudah sepi.
Juga jalanan itu seolah – olah hanya hamparan tanah.
“Sepi banget, Apa nggak ada penginapan atau gimana ya,?”
Untung saja langit masih menyisakan sedikit cahayanya.
“Haduh, aku mesti kemana ini?”
Jedeng merasa sangat asing.
Hiruk pikuk dan modernitas yang selama ini ditemuinya,
Tidak ada pada jangkauan, sejauh – jauhnya pandangan mata.
“Haduh, Gimana nih?”
“Apa aku nginap di tempatnya Ki Lanang aja ya?”
“Tapi tempat Ki Lanang juga lumayan jauh,”
Bisa dikatakan jika Jedeng terjebak di tempat itu, dan tidak bisa kemana – mana.
Sambil berharap menemukan tempat menginap, laki – laki itu berkuda pelan – pelan ke kanan perserikatan Cilikan.
Namun, hingga langit kehilangan cahayanya, dirinya tetap tidak bisa menemukan apapun, Hanya kesunyian dan seolah – olah sang waktu tidak bergerak.
Jedeng pun terpaksa berhenti di sebuah pos jaga, karena hanya tempat itu yang masih meninggalkan cahaya, meskipun hanya cahaya obor.
Mengaitkan kuda di sela – sela bilah bambu, dan laki – laki itu mencoba tidur.
Meskipun perut terasa ingin diisi sesuatu.
LVII
Beberapa jam kemudian,
Tiga orang perserikatan Cilikan tampak berjalan santai menuju pos jaga.
Kelihatannya mereka sedang melakukan ronda malam.
Berpindah – pindah dari satu pos jaga ke pos jaga yang lain.
Menjaga keamanan dan keselamatan lingkungan dari bahaya yang tidak terduga.
Dengan membawa obor mereka bertiga berjalan di antara gelapnya malam.
“Hah? Kok ada kuda kelihatannya?”
“Iya, kuda siapa itu malam – malam di pos jaga?”
Ketiga orang itu tiba di tempat mereka bertugas.
Tampak di depan mata mereka, seseorang tengah terlelap dengan selimut tebal di dalam pos jaga itu.
“Siapa orang ini? Kenapa tidur di pos jaga?”
Mengamati seseorang itu. “Saya merasa tidak kenal, Mungkin bukan orang sini,”
“Apa kita bangunkan saja dan bertanya siapa orang ini?”
“Tak mengapalah, Kita juga mempunyai tanggung jawab untuk melakukan tugas kita,”
“Baiklah, Saya akan membangunkan orang ini?”
Dengan hati – hati seorang peronda menggoyang – goyang tubuh seseorang itu.
Terkejut. “Siapa kalian? Mau apa kalian?”
“Tenang, bapak,, Tenang,, Saya bukan orang jahat, Saya ini sedang beronda,”
“Oh ya, Maaf,, Saya numpang istirahat di pos ini,”
“Bapak ini sebenarnya siapa? Kok bisa tidur di pos jaga ini?”
“Sayaa,, saya dari Bengkolan, pak,, Hendak ke Alas Purna, tapi tampaknya kemalaman di jalan, Jadi saya berhenti di sini,”
“Ohh, bapak hendak ke Ki Lanang itu?”
“Iya, pak,,”
“Tak mengapalah, Silakan dilanjut istirahatnya,”
“Iya, pak,, Terima kasih,, Oh ya, Apa di sekitar sini tidak ada penginapan atau bagaimana?”
“Di sini tidak ada penginapan, bapak. Kalo bapak mau menginap silakan izin saja ke kepala suku masing – masing, apakah bapak diizinkan menginap di tempat mereka atau tidak,”
“Oh, begitu,, Ya sudah, saya di sini saja,”
“He Cullin,, Kemari sebentar,”
Seseorang itu berjalan mendekat.
“Apa tidak kita izinkan saja ke nona Dona orang ini untuk menginap di tempat mereka? Tempat mereka agak dekat dari pos jaga ini,”
“Tidak enaklah, Ini sudah terlalu larut membangunkan nona Dona,”
“Tapi saya lihat tadi para ketua suku masih berkumpul di alun – alun,”
“Oh, begitu,, Baiklah, Siapa tahu nona Dona sekarang sudah tiba di gubuknya,”
“Oh ya, bapak,, Apa bapak saya antarkan ke tempat nona Dona? Mungkin nona Dona mau izinkan bapak menginap di tempatnya,”
“Apa tidak mengganggu, pak?”
“Saya rasa belum tentu, tapi baiknya kita minta izin saja, Saya kasihan bapak tidur semalam di sini, Jika hendak pagi di sini sangat dingin,”
“Mm,, Baiklah, jika bapak hendak membantu,”
LVIII
Pintu masuk suku Taragam,
“Malam, bapak – bapak,,”
“Malam,, malam,,” Mereka saling bersalaman.
“Ada perlu apakah, bapak ini sekalian?”
“Ini pak,, Saya hendak mengizinkan ke nona Dona orang itu menginap semalam di tempat sini,”
“Iya, bapak,, Tadi kami melihat orang ini sedang tertidur di pos jaga, karena kasihan maka kami hendak inapkan di sini saja,”
“Oh, begitu,, Silakan bapak tinggalkan orang itu di sini, nanti biar orang itu tidur di serambi,”
“Oh iya,, Kalo begitu kami permisi dulu, mau lanjut meronda,, Terima kasih,,”
“Oh ya, pak,, Sama – sama,, Selamat bertugas,” Sambil mereka kembali bersalamam.
“Mari, pak,, Silakan duduk di sini,”
“Oh ya,, Terima kasih, pak,”
Seseorang itu berjalan mendekat ke pos masuk.
“Lho, Deng,??, Kok kamu,?”
“?? Kamu?, Matan ya,?”
“He e, Deng,”
“Eh, Lha kok koncel dewe,”
“Kamu ngapain sampe Cilikan ini?”
“Wah, pokok e panjang cerita ne,”
“Kamu apa nggak masih kerja sama Tuan Rakat?”
“Ya masih dong, Ini aku malah dapet tugas khusus.”
“Halah, Deng,, Paling sama kayak yang dulu – dulu itu?”, ejek Matan.
“Enggakk,, Ini beneran aku dapet tugas khusus dari Tuan Rakat,”
“Halah, Apa to,? Apa?”
“Aku lagi ditugasin nyari cewek,”
Terkejut. Matan membatin, “Jangan – jangan Jedeng lagi ditugasin nyari Yoslin nih,”
“Walah, nyari cewek kok di sini, Deng,, Ya kalo mau nyari cewek ke Ki Lanang sana,”
“Kemarin – kemarin beberapa minggu yang lalu aku sudah ke Ki Lanang tanya – tanya tu cewek tinggalnya dimana, Tapi nihil hasilnya,”
“?? Jadi maksud kamu, kamu itu udah berminggu – minggu nyari cewek ini?”
“Iya, Kira – kira udah hampir sebulanan ini,”
“Hmm,, Ceritanya sekarang nih, kamu mau cari cewek yang kamu maksud itu di sini?”
“Iya, Tan,, Mbok aku dibantu, Aku udah capek banget nih keliling Nusantara,”
“Emang kamu udah kemana saja?”
“Wah, udah muter – muter pokoknya, Di Tamora udah tak cari, Di baratnya Alas Purna juga udah, di persekutuan Darmono itu juga sudah,, Pokoknya udah muter mumet pokoknya,”
“Wah, wah, wah,, Dedikasi kamu memang luar biasa, Deng,, Coba kamu dulu masuk tentara udah jadi penjaga Banadis kamu, Deng.”
“Haha,, Aku lebih seneng bebas lepas gini, Tan,”
“Tapi akhirnya kamu ikut jahat gitu jadi bos distriknya Tuan Rakat,”
“Lha gimana, Tan? Kebutuhan kok,”
“Halah, kamu itu,”
“Haha,, Eh, Tan,, btw, aku laper banget nih, Aku datang ke sini sore – sore nggak ada warung buka,”
“Wkwkwk,, Iyalah, kalo udah hampir gelap toko – toko udah pada tutup, Apalagi pasar, Agak sorean gitu udah pada bubar dagangnya,”
“Walah, aku sampe stres, Tan, Mau nginap ya nggak tau nginap dimana?”
“Haha,, makanya kamu trus nginap di pos jaga ya?”
“Iya, Aduhh, Aduhh, Kamu kok ya betah tinggal di sini,?”
“Haha,, Lha mau tinggal dimana lagi? Orang dulu selalu dikejar – kejar sama Tuan Rakat gitu,”
“Tapi to, Tan,, Tuan Rakat sekarang nggak segarang dulu kok, Sekarang udah agak alim gitu, Cuma ya itu kemarin aja agak stres gara – gara pacarnya itu ilang kemana,”
“Apa ini ada hubungannya sama cewek yang lagi kamu cari – cari itu?”
“Iya, Aduuhh,, Tu cewek emang bikin semua bos – bos distrik pusing, Kemarin aja ya, Tayar, Tayar itu penggantinya pak Tuwang, tapi ini pak Tuwang yang jahat hampir dibunuh og gara – gara pacarnya Tuan Rakat itu ilang,”
“Lha kok hampir dibunuh?”
“Ya itu, Tuan Rakat tahu kalau gara – gara Tayar ini mungkin cewek itu trus kabur dari Banadis,”
“?? Aku kok bingung sama cerita kamu itu ya, Deng,, Ini cewek pacarnya Tuan Rakat trus hubungannya sama Tayar apa?”
“Mm,, Mm,, Tapi kamu jangan bilang – bilang ya, Pacarnya Tuan Rakat ini seorang cewek penghibur gitu di Banadis, Lha Tayar ini kayaknya nggak suka Tuan Rakat pacaran sama cewek ini, makanya trus cewek ini kabur gitu aja,”
“Tapi kalo cuma pacaran aja kan nggak pa – pa to, Beda kalo mau dinikahi Tuan Rakat atau gimana,”
“Lha itu masalahnya, kayaknya ya, kayaknya, Cewek ini udah hamil anaknya Tuan Rakat,”
“Oh gitu,”
“Mungkin karena takut sama Tayar, cewek ini milih kabur aja, Karena sekarang kan di Banadis aborsi dibolehin, Mungkin cewek itu takut kalo itunya mau diaborsi gitu,”
“Mm,, Ya, ya,, Apa Tuan Rakat tahu kalo ceweknya ini hamil?”
“Awalnya belum tau, Pas ribut – ribut tragedi mau dibunuh itu baru Tuan Rakat tahu kalo ceweknya ini katanya udah hamil,”
“Astagaa,, Kok sampe segitunya ya,”
“Ya mungkinn, soalnya cewek ini cewek penghibur, coba kalo cewek ini keturunan bangsawan gitu mungkin langsung dinikahi sekalian,”
“Iya sih,, Malang bener nasib cewek ini,”
“Heh, Tan,, kamu kasihan ya kasihan, tapi inget aku juga dong, Aku laper banget nih,”
“Oh iya, Haha,, Sampe lupa,, Ntar tak carikan makan dulu, Kamu tunggu sini, Jangan kesana – sana ntar kalo kamu ketahuan orang dikira mau maling kamu,”
“Iya, iya,, Aku tunggu sini,“, sahut Jedeng, sangat lapar.
LIX
Esok harinya,
Jedeng dan Matan berkeliling dusun Taragam.
Mereka berdua hendak mencari cewek yang dimaksud Jedeng.
Mulai ujung timur, tengah dusun hingga barat pemakaman diselisik mereka berdua.
Bagian utara hingga dekat pintu masuk Taragam juga sudah dijelajahi Jedeng.
Tapi nasib laki – laki itu sungguh tidak beruntung.
“Gimana, Deng? Ada nggak kira – kira menurut kamu?”
“Kayaknya kok nggak ada ya, Tan,”
“Kamu yakin ciri – cirinya udah bener?”
“Ya benerlah, Tan,, Orang aku dulu sering ketemu tu cewek di Banadis.”
“Ya kali aja kamu lupa atau gimana, saking lamanya nggak ketemu,”
“Ya enggaklah, Sama kamu yang tahunan nggak ketemu aja aku hafal, apalagi ini,”
“Halah, kamu kemarin juga agak lupa kan?” Sambil Matan membuka gudang.
Beberapa orang tampak sedang memilah – milah sayuran.
“Hehe,, Habis kamu sekarang gendutan gini,”
“Haha,, udah dapet junior banyak, maka senior – seniornya menggemukkan badan,”
“Halah,” Jedeng tampak terkagum – kagum dengan desain gudang itu.
Karena Jedeng tidak menemukan cewek yang dimaksud maka Matan mengajaknya mencari di dusun yang lain.
Suku Fonta,
Tempat yang lumayan luas.
Dengan latar belakang pohon – pohon jambu biji.
Sungguh produksi minuman jambu biji dari Fonta sangat terkenal kesegarannya.
Sambil disuguhi minuman nan menyegarkan itu Jedeng melihat data – data keluar masuk orang – orang di dusun Fonta.
Satu per satu, dengan teliti laki – laki itu melihat nama – nama yang tertera mulai tanggal hilangnya Yoslin hingga hari kemarin.
Menghela nafas. “Kayaknya nggak ada, Tan.”
Tampaknya Jedeng pun mulai jenuh terus mencari seseorang itu.
“Lha gimana? Mau jalan – jalan di dusun Fonta?”
“Kayaknya enggak deh, Aku udah nggak tertarik lagi, Pingin jeda sejenak,”
“Ok dehh, Kalo kamu mau kita bisa lanjutkan besok,”
LX
Dengan penuh kelugasan Dona menceritakan maksud kedatangannya ke kerajaan Darmasih.
Sungguh Tuan Ibeng merasa kasihan dengan cewek penghibur itu dibawa kesana kemari hanya untuk mempertahankan sebuah janin.
“Nona Dona, kami mohon maaf,, Kami hanya bisa menyewakan sebuah rumah sederhana di distrik Banyu Biru, Kami sungguh tidak bisa memberikan fasilitas khusus kepada nona muda ini.”
“Iya, Tuan Ibeng,, Seperti itu pun saya sudah merasa sangat terbantu sekali, Apalagi mengingat resiko yang mungkin akan ditimbulkan nantinya di kerajaan Darmasih ini,”, ucap nona Dona.
“Kami sungguh tidak sampai hati menolak permintaan nona Dona itu, Anggap sajalah ini hutang saya atas ketidakmampuan saya membujuk anggota persekutuan Darmasih di waktu yang lampau.”
“Tuan Ibeng, Sungguh kami sudah melupakan hal itu, Kami hanya berharap suatu saat nanti kami berkesempatan melakukan perubahan yang membuat Banadis menjadi lebih menghormati kemanusiaan.”
“Sungguh sepertinya leluhur – leluhur Banadis begitu dalam menanamkan rasa cinta terhadap tanah air kepada orang – orangnya, Kami menjadi sangat hormat dengan kebijaksanaan leluhur – leluhur Banadis.”
“Ini hanya sebuah keinginan, tuan,, Kami dulu lahir dan besar dalam peradaban yang sungguh sangat terhormat, tapi karena satu dan lain hal kebanggaan kami itu telah menjadi hal yang lain, Maka kami hanya ingin itu mendapatkan kesempatan sekali lagi.” Sambil Dona tersenyum tegar.
“Amin,, Semoga keinginan nona Dona dan Panji Gandrung yang lain mendapatkan keberkahan dari tuhan,”
LXI
Ketika asa sudah tidak penting lagi,
Dona menghampiri Matan yang sedang berada di sebuah gubuk.
“Gimana Jedeng?” Melihat laki – laki itu berkemas – kemas, hendak meninggalkan Taragam.
Matan menunjukkan hasil tipu daya itu.
“Kayaknya sudah menyerah, nona,, Tadi sudah saya ajak hingga Wowor,”
“Apa ada kemungkinan Jedeng melanjutkan pencariannya itu?”
“Saya harap tidak, Karena kemarin sudah saya bujuk untuk mencari kehidupan baru di daerah barat sana,”, jawab Matan.
“Apa menurutmu Jedeng bisa bertahan hidup di barat sana?”
“Justru di barat sana kehidupan terasa lebih ringan harusnya bagi Jedeng, tapi saya tidak bisa pastikan juga, nona.”
“Sungguh kasihan saya melihat Jedeng, Orang selugu itu harus mengabdi pada Tuan Rakat,”
“Tapi setidaknya dedikasinya bisa menyelamatkan Jedeng dari kemalangan.”, sahut Matan, ikut merasa kasihan.
“Saya harap Jedeng juga bisa menunjukkan dedikasinya, jika memang dirinya berkeinginan merasakan hidup baru di barat sana.”
@SusanSwansh hahaha,, iya,,
Comment on chapter Penglihatan Masa Depan