XXXIV
Suatu pagi,
Saat sang surya hendak menampakkan diri.
“Hoek, hoek,” Perut Yoslin terasa sangat mual.
Sekali lagi. “Hoek, hoek,”
Keringat dingin mulai bermunculan.
“Hoek, hoek,”
Bergumam, “Ya tuhan, aku kenapa ini?”
Yoslin masih merasa mual.
“Ya tuhan, apa aku hamil?”, tanya batinnya.
Berkumur – kumur. Lalu Yoslin segera berlalu ke suatu tempat.
Rumah tabib Tuborsi,
Harap – harap cemas. “Bagaimana, bu Tubor?”
“Iya, Yoslin,, kamu sedang hamil,”
Membatin, “Aduh, gimana ini? Aku hamil juga,”
“Apa mau kamu gugurkan, Yos?”
“?? Oh, Saya pikir – pikir dulu, bu Tubor.”
“Baiklah, terserah kamu saja,”
“Terima kasih, bu,” Sambil menyerahkan 4 koin emas.
“Iya, sama – sama,, Kalo memang janin itu berarti bagi kamu, baiknya kamu pertahankan.”
“Oh ya,, Iya, bu,, Terima kasih,”
Segera cewek montok itu berlalu dari ruang periksa.
Gamang. Yoslin tampak bingung.
Dirinya ingin mempertahankan janin itu,
Tapi Yoslin juga tidak ingin Tuan Rakat terhina karena kenyataan itu.
Sungguh kesadarannya sangat membutuhkan kekuatan tekad yang luar biasa.
Melihat seseorang sedang membersihkan karavan,
Yoslin menghampiri seseorang itu.
Setelah agak dekat. “Pak Survan bisa antar saya?”
“Oh, kamu, Yos,, Mau saya antar kemana?”
“Saya pingin cari angin saja, pak.”, sahut cewek itu.
“Baiklah, Tunggu sebentar ya, Yos.”
Dengan sabar cewek itu duduk termenung di dekat karavan.
XXXV
Sudah 30 menit alat angkut manusia itu bergerak,
Survan mulai bingung dengan tujuan penumpangnya.
“Sebenarnya kita mau kemana ya, Yos?”
“Saya juga bingung, pak. Saya tidak tahu harus kemana,”
“Ohh, jadi kamu ini sedang gamang, Memang apa yang terjadi?”, tanya Survan.
Tidak menyahut. Yoslin tampak ragu hendak berucap.
“Kamu katakan saja, Siapa tahu saya bisa bantu,”
“Hehe,, Iya, pak,, Terima kasih,,”, sahut Yoslin, menerawangkan pandangan.
Setelah karavan itu bergerak sejauh beberapa mil,
Tak terasa Survan sudah tiba di Bengkolan.
Dirinya merasa lapar, ingin beristirahat sejenak.
Melihat penumpang satu – satunya terlelap di bangku kayu.
“Yos, Yoslin,,” Survan menggoyang – goyang pelan cewek itu.
“??, Ya, pak,”
Tiba – tiba perut Yoslin merasa mual lagi.
“Kamu kenapa, Yos?”
“Nggak pa – pa kok, pak. Cuma masuk angin.”
“Saya bawa ke tabib ya,”
“Nggak usah, pak,, Nggak usah,,” Sambil menahan mual itu.
“Enggak, enggak,, Kamu lagi sakit begitu kelihatannya,, Saya bawa kamu ke tabib,” Survan melajukan karavannya menuju Cempelan.
XXXVI
Rumah obat tabib Perbae,
Sungguh baunya sangat khas, harum racikan obat – obatan herbal.
Pada dinding sisi kiri tertata rapi tanam – tanaman obat.
Sedangkan di sebelah kanan ruangan terdapat ramu – ramuan obat, dengan seorang pramuniaga yang sedang melayani pembeli.
Survan dan Yoslin sedang ada di dalam kamar periksa.
Dengan tenang laki – laki itu menunggu Yoslin selesai diperiksa tabib Perbae.
Dengan wajah gembira seorang tabib keluar dari tabir periksa.
“Bagaimana, tabib Perbae?”
Tabib itu menempatkan diri pada sebuah kursi.
Survan tampak harap – harap cemas.
“Selamat ya, bapak,, Istri bapak sedang hamil dua bulan.”
“Apa, bib?, Apa yang tabib katakan itu benar?”
“Benar, bapak,, Istri bapak sedang hamil.”, sahut tabib itu, menulis resep obat.
“Tolong dijaga baik – baik ya pak istrinya, Jangan sampe kelelahan.
Tampak malu – malu Yoslin keluar dari tabir periksa.
“Apa benar itu, Yos? Kamu lagi hamil?”
“Iya, pak,,”, sahut cewek montok itu, tertunduk.
Survan menjadi mengerti kenapa Yoslin terlihat gamang.
“Ini saya kasih resep obat untuk penguat kandungan dan vitamin.”
Survan menerima resep obat tabib Perbae.
“Tapi ingat ya bu Survan ibu jangan lelah – lelah, Kerjakan tugas rumah tangga seperlunya.”, ucap beliau.
“Iya, bib,” Sambil Yoslin duduk di sebelah Survan.
“Ya sudah,, Selamat ya untuk kalian berdua,”
Menghaturkan jabat tangan. “Terima kasih, tabib Perbae,”
“Sama – sama,, Haha,,” Menyambut jabat tangan itu.
XXXVII
Akhirnya, Yoslin mau menceritakan rahasia itu.
“Lalu kamu hendak bagaimana, Yos?”, tanya Survan, ikut gamang.
“Saya bingung, pak,, Saya nggak tau harus bagaimana sekarang, Janin ini sekarang sudah terlanjur tumbuh, Saya merasa kasihan jika hendak menggugurkannya.”
“Saya juga tidak bisa menampung kamu, Yos. Saya pun hidup serba kekurangan sebagai penarik karavan.”
“Iya, pak,, Saya mengerti,, Saya minta maaf sudah melibatkan bapak.”
“Lha kamu apa punya sanak saudara di dekat – dekat sini atau dimana? Biar saya antarkan kamu sampe tempat sanak saudara kamu itu,”
“Saya sudah tidak tau keluarga saya dimana sekarang? Sejak saya bercerai dengan suami saya itu saya ikut Ki Lanang,”
“Astagaa,, malang benar nasib kamu, Yos.”
“Tapi bener kamu nggak ingin kembali ke Banadis saja?”
“Iya, pak,, Saya takut kembali ke sana, Saya takut kalo nantinya janin ini akan digugurkan.”
Survan pun tampak sudah buntu pikir.
Membatin, “Lalu harus aku bawa kemana cewek ini? Sanak saudara ku mungkin juga tidak ingin menerima kehadiran cewek ini di rumahnya,”
Saat pikiran Survan sedang menerawang, tiba – tiba beliau teringat akan sesuatu.
Seolah – olah laki – laki itu menemukan sebuah harapan lagi.
“Oh iya,, Dulu kan pak Tuwang kabarnya pernah tinggal di Cempelan, Mungkin aku bisa membawa cewek ini tinggal bersama pak Tuwang,, Tapi pak Tuwang tinggal di Cempelan sebelah mana ya,?”
Survan hendak melakukan sesuatu.
“Eh, Yos,, Kamu tunggu sebentar di sini dulu ya, Saya ada perlu sebentar,, Obatnya jangan lupa diminum dan kalo lelah tiduran saja,”
Membuang bungkus sisa makanan pada tempat sampah. “Iya, pak,, Terima kasih,,”
Survan pun meninggalkan sejenak karavannya di dekat taman.
XXXVIII
Ternyata, mencari itu sangat melelahkan.
Hampir separuh daerah Cempelan itu diselisik Survan, tapi dirinya belum bisa menemukan rumah tinggal pak Tuwang.
Setiap orang yang ditemui bahkan menyatakan tidak tahu siapa itu pak Tuwang dan bagaimana rupa laki – laki nan bijak itu.
“Aduuhh,, harus kemana lagi aku cari tinggalnya pak Tuwang ya,?”
“Aku sudah capek banget mau jalan lagi,”
“Tapi nanti Yoslin gimana?, Aku nggak punya sanak saudara di Cempelan,”
Pasrah, Sambil Survan mengipas – ngipasi tubuhnya.
Menghela nafas. Survan sudah putus harapan dengan niatnya itu.
Hendak beranjak, Kembali ke karavan.
“Hah? Itu kan simbol Panji Gandrung,?”
Survan melihat seseorang sedang menikmati nasi basah.
“Aku tanya orang itu saja, Siapa tahu orang itu tahu tentang pak Tuwang,”
Dengan lugas Survan menghampiri laki – laki itu.
Setelah agak dekat, Beliau duduk di dekat sangkaannya.
“Permisi, nak,, Apa anak ini Panji Gandrung?”
Sedikit terkejut. “Panji Gandrung apa? Saya nggak kenal itu,”
“Nak, saya dari Banadis,, Saya ingin sekali bertemu dengan pak Tuwang, Saya minta tolong dibantu, nak.”
Tampak semakin terkejut. Laki – laki itu membayar makannya lalu mengajak Survan ke suatu tempat.
“Bagaimana bapak kenal pak Tuwang? Bapak ada perlu apa bertemu pak Tuwang?”
“Pak Tuwang dulu penasehat raja di Banadis, nak,, Dan maksud saya hendak meminta tolong hendak menitipkan seseorang ke beliau.”
“Seseorang siapa maksud bapak ini?”
Survan menceritakan dengan lengkap apa yang telah dialaminya.
Laki – laki sangkaan itu menjadi terkejut.
“Dimana sekarang perempuan itu?”
“Buat apa kamu ingin tahu? Kamu benar Panji Gandrung atau tidak?”
Tanpa basa – basi laki – laki itu mengucapkan sebuah sandi.
“Oh ya, benar,, kamu Panji Gandrung,, Mari, nak,, Mari ikut saya,”, ajak Survan, menuju karavannya.
XXXIX
Sore hari,
Ketika sinar senja membawa kesegaran baru.
Seolah – olah Dona sudah tahu apa yang akan terjadi.
Dirinya mengajak beberapa anggota suku Taragam untuk bermeditasi di depan gubuknya.
Sungguh suatu hal yang langka apa yang dilakukan Dona.
Biasanya cewek itu jika bermeditasi dengan anggota sukunya selalu dilakukan di dalam gubuk, meskipun langit sore sedang syahdu untuk dinikmati.
Perlahan – lahan sebuah karavan mendekati pintu masuk suku Taragam.
Dona tampak tersenyum bahagia, seolah – olah sudah menantinya.
Beberapa saat kemudian alat angkut itu berhenti di sebuah gubuk.
Seorang bapak – bapak bersahaja dan perempuan muda keluar dari dalamnya.
Dengan dipandu oleh dua orang Panji Gandrung mereka berjalan, mendekati halaman gubuk.
Yoslin dan Survan tampak canggung dengan perlakuan para pemandunya itu.
Seolah – olah laki – laki bersahaja dan perempuan muda itu adalah tamu yang sangat penting.
Dua orang Panji Gandrung itu bersimpuh di halaman gubuk.
Mereka menunggu kepala sukunya membuka mata sendiri tanpa perlu disapa ataupun ditegur.
Tampak Survan dan Yoslin ikut duduk bersimpuh.
Mereka berdua merasa aneh dengan apa yang dilakukan oleh orang – orang itu.
Tidak lama, Dona membuka matanya.
Beberapa anggota suku juga mengembalikan kesadaran pada saat ini.
“Saya rasa cukup untuk hari ini,”
“Terima kasih, nona,” Sambil satu per satu anggota suku mencium tangan Dona.
Mereka meninggalkan gubuk itu.
Setelah itu dua orang Panji Gandrung menghadap kepala sukunya.
Dengan ringkas mereka menceritakan perihal yang terjadi.
“Hmm, Baiklah,, Kalian berdua boleh pergi,”
“Permisi, nona,”, ucap dua orang itu.
“Mendekatkan, kalian berdua,, Duduk di dekat saya,”
Agak canggung, mereka beranjak dari duduknya.
Lalu Survan dan Yoslin mengambil tempat di hadapan kepala suku.
“Bapak Survan, tolong ceritakan kepada saya, Apa maksud bapak mencari pak Tuwang?”
Dengan gamblang laki – laki itu menginformasikan segala hal.
“Bapak Survan, kami selaku anggota Panji Gandrung sebelumnya meminta maaf jika tidak menceritakan apapun mengenai pak Tuwang ini, Namun karena bapak berkepentingan dengan beliau, maka kami akan memberitahukan jika pak Tuwang telah meninggal beberapa bulan yang lalu, makam beliau ada di sebelah barat daerah Taragam ini,”
“Astaga,! Jadi pak Tuwang sudah meninggal?”
“Iya, bapak Survan,, dan saya Dona sebagai pengganti pak Tuwang sebagai kepala suku di Taragam ini.”
“Oh iya,, nona Dona,,” Menghaturkan salam.
“Lalu adik ini siapa? Boleh tahu namanya? Dan asalnya?”
“Saya Yoslin, nona,, Saya asalnya dari dusun Accita di sebelah utara Alas Purna, tapi sejak beberapa tahun yang lalu saya tinggal di Alas Purna, tempat Ki Lanang.”
“Maaf jika saya tidak sopan, Apa adik ini termasuk perempuan yang diperjualbelikan oleh Ki Lanang?”
“Iya, nona Dona,, Saya termasuk yang demikian itu,”
“Astagaa,! Semoga Ki Lanang mendapatkan pencerahan dari tuhan Yang Agung.”, ucap kepala suku Taragam.
“Tadi pak Survan sudah menceritakan sedikit mengenai apa yang terjadi pada adik Yoslin ini, Bisa lebih dijelaskan lagi hal – hal yang sudah terjadi itu, yang berhubungan dengan janin adik itu,”
Yoslin pun bercerita apa adanya yang terjadi.
“Puji syukur atas kehendak Nya,, Mungkin ini sudah ditakdirkan Yang Kuasa sehingga adik Yoslin bisa bertemu kami para pelarian dari kerajaan Banadis di tempat ini, Sungguh kami selaku kepala suku akan dengan senang hati menerima kehadiran adik Yoslin di tengah – tengah kami, Dan kami berjanji akan ikut bertanggung jawab atas janin yang ada di kandungan adik Yoslin itu, karena kami sangatt berharap kerajaan Banadis kembali seperti kodratnya yang dulu, yang suka dengan kedamaian dan menjunjung tinggi nilai – nilai kemanusiaan,”
“Terima kasih, nona Dona,, Terima kasih,, Saya akan coba beradaptasi dengan tata cara yang ada di suku Taragam ini,”
“Itu tidak perlu dirisaukan adik Yoslin, kami akan ajarkan tahap demi tahap kebiasaan kami itu.”
“Dan untuk bapak Survan kami ucapkan banyak – banyak terima kasih atas keterpikiran bapak tersebut, Karena hal ini sungguh sangat penting keberadaannya bagi kami, Dan sebagai wujud nyata rasa terima kasih kami, Apabila bapak membutuhkan satu dan lain hal, bapak bisa menghubungi anggota Panji Gandrung yang berada di Cempelan,”, ucap Dona, lugas.
Berkaca – kaca. “Iya, nona Dona,, Saya juga mengucapkan terima kasihh sekali,, Saya awalnya hanya tidak tahu harus menitipkan Yoslin ini pada siapa, maka saya terpikirkan oleh pak Tuwang, Dan saya sekarang sudah lega Yoslin ada yang mau merawatnya,”
“Iya, pak Survan, Iya,, Puji syukur atas kehendak Nya,”, sahut Dona, ikut haru.
@SusanSwansh hahaha,, iya,,
Comment on chapter Penglihatan Masa Depan