XVI
Saat Dona sedang duduk santai menikmati keheningan,
Sungguh menyenangkan menghirup udara.
Seolah – olah tuhan merasuk ke dalam kesadaran.
Menggerakkan organ – organ tubuh hingga manusia bisa hidup.
Sungguh menghirup udara membuat kesadaran berpikir.
Menghargai sebuah kehidupan,
Dan mengisinya dengan keberkahan.
Dona tampak tersenyum kecil.
Sungguh parasnya menjadi semakin cantik.
Aura cewek itu tampak meneduhkan, mendamaikan kesenjangan.
Tiba – tiba penguasa Taragam itu terhenyak.
“Kayaknya aku harus mulai bergerak,”
Dona beranjak dari teras gubuk, hendak ke suatu tempat.
Dengan saksama cewek itu menyiapkan suatu hal.
XVII
Kerajaan Darmasih,
Tempat itu menjadi tenang oleh pancaran senja sang surya.
Angin berhembus sepoi – sepoi.
Juga suara cuit burung – burung bersahutan, menyemarakkan keteduhan.
Walaupun sudah melampaui jam tugas Tuan Ibeng, tapi beliau masih menerima dengan baik kedatangan Dona.
Dengan menikmati hangatnya teh hijau, kedua penguasa daerah itu tampak akrab membicarakan suatu hal.
Harumnya bau seduhan teh hijau itu membuat komunikasi mereka berjalan lembut walaupun bahasan itu berat.
“Sungguh saya tidak mengira Tuan Ibeng masih bersedia menerima kedatangan saya ini yang terlalu mendadak.”
“Haha,, tidak perlu nona meminta maaf, Layaknya pak Tuwang pasti nona mendapatkan kegentingan sesuatu hingga tiba di Darmasih sesore ini.”
“Tuan Ibeng, saya sungguh merasa terhormat tuan masih mengingat keberadaan mendiang bapak suku kami itu.”
“Haha,, Apalah saya, nona Dona? Jika bukan atas bantuan pak Tuwang mungkin keberadaan kami di dalam ketenangan hari – hari ini tidak terjadi.”
“Kami bersyukur malapetaka yang memilukan itu sudah berakhir, tapi, tampaknya sesuatu yang lain akan terjadi, Tuan Ibeng.”
Menjadi penasaran. “Apa maksud dari nona Dona?”
“Tampaknya ini berhubungan dengan tragedi yang terjadi di Sinter.”
“Ohh, Tampaknya kabar itu cepat berhembus hingga ke utara ya, nona?, Itu hanya kesalahpahaman saja antara kerajaan Sinter dan Tuan Surain, dan saat ini pun penasehat beliau sudah dilepaskan dari penahanan.”
“Tampaknya perlahan – lahan itu akan menjadi keseimbangan, dan jalur Karang Tengkorak menjadi tempat yang sangat penting nantinya untuk persekutuan tuan.” Lalu Dona menghirup minumannya.
Terhenyak. Tuan Ibeng terdiam sejenak.
“Maksud nona Dona kejadian di pelabuhan Sinter itu memang disengaja terjadi?”
“Bila tuan bisa melihat hingga jauh ke jalur Karang Tengkorak dan Kerajaan Urania pasti tuan akan mendapatkan jawabannya.”
“Haha,, tampaknya sosok mendiang pak Tuwang hidup dalam diri nona, Saya menjadi semakin bertanya – tanya dengan teka – teki nona.”
“Haha,, Tuan Ibeng sungguh menghormati beliau,, Terima kasih,”
Acara minum teh hijau berlangsung hingga sang surya terbenam.
Selanjutnya kedua penguasa daerah itu kembali ke dunianya masing – masing.
XVIII
Esok harinya,
Saat tinggi sang surya baru melewati sepenggalah.
Tuan Bajir menyambut tamunya di ruang depan.
“Pagi, Tuan Ibeng,, Pagi,,”
Tuan Ibeng menyambut jabat tangan itu.
“Pagi juga, Tuan Bajir,, Maaf, awal – awal hari sudah mengganggu anda.”
“Haha,, tidak mengapa, Tuan Ibeng,, Tapi ada apa ya, tuan? Kok pagi – pagi sudah sampai sini?”
“Sebelum menjawab itu, saya mohon pertolongan tuan untuk mengajak saya berjalan – jalan di sekitar Karang Tengkorak,”
“Hah? Karang Tengkorak? Ada apa tuan mau ke tempat bandit – bandit itu?”
“Saya hendak mencari tahu jawaban dari rasa penasaran saya.”
“Hahaha,, Baiklah, Tuan Ibeng,, Baiklah,, Saya akan segera bersiap,”, sahut Tuan Bajir, hendak berganti pakaian dahulu.
Setelah berkuda beberapa mil ke arah selatan,
Tampak hutan kayu nan sangat luas.
Lokasinya berbukit – bukit dan terdengar hening.
Walaupun ada jalur karavan tapi tempat itu jarang dilalui orang.
Konon di daerah itu terdapat markas bandit – bandit kejam,
Mereka terkenal sadis dan tak segan menggorok korbannya jika melawan.
Di balik hutan nan luas itu ada sebuah pantai yang sebenarnya sangat indah, dengan suasana nan sangat asri namun pantai itu dikuasai oleh bandit – bandit itu juga sehingga pantai terbengkalai dan menjadi markas para perompak.
Dengan hati – hati rombongan Tuan Ibeng berkuda beberapa meter ke depan.
“Tampaknya di depan sudah memasuki hutan ya, Tuan Bajir?”
“Iya, tuan,, Baiknya kita sampai sini saja,”, sahut penguasa Urania.
Mereka menghentikan laju kuda masing – masing.
“Kira – kira berapa ya luasnya hutan di depan itu, tuan?”
“Wah, saya tidak tahu, tuan. Mungkin seluas dua kerajaan saya.”
“Astagaa,, Luas sekali ternyata hutan itu.”, ucap Tuan Ibeng, semakin penasaran. “Lalu bagaimana orang – orang jika ingin ke seberang sana, tuan?”
“Biasanya mereka lewat pertigaan Uramas tadi lalu menyisiri gunung Takbatat.”
“Waduh, bisa sehari semalam perjalanan kalo begitu.”
Rombongan persekutuan Darmasih hendak berbalik arah.
“Benar, tuan. Maka dari itu orang – orang sini jarang ada yang ke daerah seberang sana.” Sambil Tuan Bajir berkuda kembali ke kerajaan.
“Tapi di seberang sana itu apa ada kehidupan atau kerajaan, tuan?”
“Kelihatannya ada, tuan. Hanya karena makan biaya yang cukup besar tidak ada yang berminat berdagang ke seberang, Begitu pula mungkin sebaliknya.”
Sambil berkuda, penguasa Darmasih itu membatin,
“Lalu apa maksud nona Dona menyatakan kalo jalur Karang Tengkorak ini akan menjadi tempat yang sangat penting untuk persekutuan Darmasih.”
“Ada apa, Tuan Ibeng? Tampaknya tuan sedang memikirkan sesuatu,”
“Oh, iya,, Haha,, Saya jadi heran, Apa yang sebenarnya terjadi di Sinter kemarin itu?”
“Saya juga tidak mengerti, tuan. Itu seperti sebuah pengalihan saja.”
Gagal paham. “Pengalihan apa maksud Tuan Bajir?”
“Yaa,, pengalihan,, Saya juga tidak bisa menjelaskannya, tapi itu seperti menyembunyikan maksud yang tersembunyi.”
Tuan Ibeng kembali membatin, “Kayaknya saya juga harus ke Sinter sekarang.”
Penguasa Darmasih itu semakin membuncah rasa penasarannya.
@SusanSwansh hahaha,, iya,,
Comment on chapter Penglihatan Masa Depan