Andaikan setiap orang dapat terbangun dari tidurnya dalam keadaan yang sama, sudah pasti hari-harinya akan terkesan berbeda, tanpa ada rasa khawatir, tanpa memikirkan hari esok akan seperti apa, tanpa memikirkan sisa umurnya. Tetapi, itu semua tidak akan pernah terjadi, dan hanya akan menjadi angan-angannya semata, harapan yang paling mustahil.
Kedua matanya terasa berat ketika sinar mentari mulai menggelitiki kelopak matanya, menggodanya untuk lekas terangkat. Saat kali pertama kedua matanya terbuka, ia pikir dirinya sudah tidak dapat bernapas lagi, tidak dapat bergerak satu jengkal pun, dan tidak dapat merasakan hangatnya pancaran mentari pagi.
Ia kemudian mengubah posisinya menjadi setengah duduk, lalu menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan, mencoba bersyukur atas nikmat yang hingga detik itu masih didapatnya.
Krieet!
Terdengar suara pintu dibuka. Ia menoleh ke sumber suara dan tersenyum pada wanita paruh baya yang melongokkan kepalanya di ambang pintu, yang juga tersenyum padanya.
“Oh,” gumam wanita itu, “ibu pikir kau belum bangun.”
“Aku sebenarnya baru saja bangun, Bu,” ujar Nia menanggapi.
Lalu, wanita itu berjalan mendekat, dan berhenti tepat di sisi kiri tempat tidurnya. Nia tidak pernah sekali pun melepaskan pandangan matanya dari wanita itu, bahkan hingga wanita itu duduk di depannya, detik itu pandangan matanya masih tetap mengikuti.
“Bagaimana, Nia? Apakah kau sudah mengambil keputusan?”
Nia lagi-lagi hanya tersenyum. Seakan lupa dengan kondisi tubuhnya yang semakin memburuk, dan peristiwa kemarin sudah dianggapnya seperti tidak pernah terjadi. Ya, begitulah. Ia memang selalu demikian, tidak mau kalau ibunya terlalu cemas karena memikirkan penyakitnya.
Ada saat dimana ia merasa sangat bersalah hingga seluruh tubuhnya seakan mati rasa, terutama setiap kali memerhatikan tubuh rapuh ibunya yang semakin hari malah semakin terlihat seperti papan tripleks, tulang-tulangnya pun seperti tidak terbungkus daging. Ya, Tuhan. Ia tidak pernah menyangka kalau ibunya bisa sekurus itu hanya dalam waktu tiga tahun.
“Ya, Bu. Aku sudah mengambil keputusan,” ujar Nia kemudian.
“Lalu, apa keputusanmu?”
“Aku akan tetap melanjutkan sekolah formalku.”
Kenia menarik napas dalam dan mengembuskannya secara perlahan. Ia mencoba menerima dengan lapang dada akan keputusan yang diambil oleh putrinya. Lalu, butiran air mulai turun dari kedua sudut matanya. Ia lekas menghapusnya sebelum putrinya itu berkomentar.
“Ibu~”
Dipeluknya tubuh kecil nan malang yang ada di hadapannya itu. Ia membiarkan kelopak matanya tertutup agar butiran air di dalamnya tidak kembali mencuat. Ia lalu mengelus kepala putrinya dengan gerakan lembut, dan dihirupnya aroma harum dari helaian rambut milik putrinya dalam satu napas.
“Ibu, apakah keputusanku itu salah?” tanya Nia sambil menahan tangis, dibuktikan oleh dua sudut matanya yang sudah mulai basah dan siap meneteskan cairan bening rasa garam itu.
“Tidak, Nia.”
Kenia melepaskan pelukannya, lalu menatap wajah putrinya yang terlihat sedih. Ia kemudian mengusap cairan bening di kedua sudut mata putrinya itu dengan menggunakan kedua tangannya. Ia tersenyum kemudian. Ia berharap dapat merebut rasa sakit yang diderita oleh putrinya, karena tak sanggup rasanya apabila ia terus-terusan melihat kehidupan putrinya yang seolah terkekang oleh penyakit.
“Sudah. Sudah. Ibu tidak ingin melihatmu menangis,” ujarnya dengan suara pelan.
“Kau sebaiknya segera bersiap-siap, lalu turun untuk sarapan.”
***
Angin pagi berembus dengan lembut. Nia merasakan kelembutan itu di kedua pipinya, seperti tengah ditepuk-tepuk dengan gerakan halus. Ia sudah terbiasa berdiri di balkon depan kelasnya sambil mengarahkan pandangannya ke arah lapangan seorang diri, memerhatikan teman-temannya yang sedang mengikuti pelajaran olahraga, tentu dengan perasaan iri.
Ia mendesah berat, lalu membiarkan tangan kanannya menjadi sandaran untuk dagunya, dan perlahan-lahan kedua pupilnya mulai menyipit. Ingin sekali rasanya dapat melakukan sesuatu yang mereka lakukan.
Itu kesannya seperti tengah asyik bersenang-senang, seolah bahagia karena memanjakan tubuh mereka dengan hangatnya sinar mentari pagi, dengan ditemani suatu permainan olahraga yang membuat mereka harus berlarian di tengah hijaunya rumput lapangan dan berteriak keras untuk memberikan istruksi pada rekan satu timnya. Setiap detiknya, mereka seakan tidak pernah berhenti untuk tertawa bahagia, benar-benar tanpa jeda. Tidak seperti dirinya, si pengamat.
“Arrgh! Kau membolos lagi rupanya.”
Suara itu mengagetkannya. Ia lantas menoleh ke samping hingga matanya bertemu pandang dengan pemilik suara itu, yang ternyata merupakan salah satu teman sekelasnya.
“Alex?”
Laki-laki yang dipanggilnya Alex itu melangkah lagi, lalu berhenti tepat di dekat tempatnya berdiri, di sebelah kirinya. Laki-laki itu kemudian menumpukan kedua lengan bawahnya pada tepian balkon, sambil menatap santai ke arah lapangan. Nia pun akhirnya memilih untuk kembali pada posisi semula.
“Kenapa kau tidak bergabung dengan mereka?” tanyanya dengan nada ramah. Ia dapat melihat senyuman laki-laki di sampingnya, meskipun laki-laki itu sama sekali tidak menolehkan kepalanya.
Lalu, “Aku sama sepertimu.”
Itu adalah kebohongan besar. Nia seharusnya tidak perlu bertanya lagi.
Alex merupakan satu-satunya murid di kelas sebelas yang paling rajin dalam hal keluar masuk ruang BP di sekolahnya. Laki-laki itu selalu membuat masalah, mulai dari membolos di jam-jam pelajaran tertentu, sering tidak masuk sekolah, bahkan hingga berkelahi dengan anak kelas dua belas hanya karena anak itu tidak sengaja menyenggol tubuhnya.
“Alex, tolong jangan mengejekku,” ujar Nia sambil tersenyum untuk menutupi luka di dalam hatinya.
“Tidak. Aku tidak bermaksud mengejekmu,” jawab Alex kemudian.
Nia hanya menggelengkan kepalanya setelah mendengar bantahan dari laki-laki itu. Ia lalu menarik napas panjang dan kemudian mengatakan, “Kau bahkan tidak sama sepertiku. Tapi, terima kasih, itu terdengar seperti kau sedang mengingatkan aku, ” gumamnya pelan.
Tidak ada masalah apa pun di dalam kata-katanya tadi. Ia sudah berkata benar. Laki-laki itu memang tidak seperti dirinya, tidak lemah, tidak sakit, tidak memprihatinkan, dan tidak kesepian.
“Nia, mereka tidak pernah mengucilkanmu,” ujar Alex untuk membuka topik baru, namun terdengar tidak asing, dan terlalu biasa karena terus diulang-ulang, entah sudah berapa kali kata-kata itu terucap dari bibirnya.
“Aku tahu itu.”
Alex terkekeh ringan, lalu menolehkan kepalanya ke samping kanan. Ia merasa terkesan karena tanggapan Nia kali ini sama seperti di hari-hari sebelumnya. Ia lalu bergumam pelan, “Kau ini lucu sekali.”
“Nia, hidup adalah pilihan, dan kau boleh memilih hidupmu dengan sesuka hatimu. Tapi kau harus memahami satu hal, bahwa tidak semua orang akan mendapatkan kesempatan.”
Nia mengangguk sekali.
“Ya, aku memahaminya,” katanya kemudian tanpa melirik ke arah Alex.
Ia merasa mengerti maksud dari perkataan laki-laki itu. Yaitu, sampai kapan pun, ia tidak akan pernah memiliki kesempatan, karena semakin hari, kematian seolah semakin mendekatkan diri padanya, waktunya terbatas.
“Tidak, Nia. Kau tidak pernah memahaminya. Karena itulah kau selalu merasa kesepian,” ujar Alex di detik berikutnya. Nia langsung menoleh untuk menatap laki-laki itu.
Alex menghela napas berat, lalu menggigit bibir bawahnya selama beberapa detik. Ia kemudian melanjutkan, “Tidak peduli sampai kapan usiamu, bukankah hidup masih terus berjalan?”
“Apakah kau tahu, kau sudah melupakan bahwa kau berhak bahagia,” lanjutnya lagi.
Nia tersenyum lembut. Tidak mau membahas apa pun lagi. Lelah. Ia rasanya seperti tengah dikejar-kejar awak media untuk dimintai keterangan akibat telah melakukan sesuatu yang viral.
“Sudahlah. Aku tidak apa-apa,” katanya dengan nada jenuh.
Alex menatap Nia semakin dalam, seakan mencoba menyusup lewat manik mata gadis itu untuk mengetahui kebenarannya. Ia terus-terusan begitu selama beberapa detik. “Kau takut mereka sedih apabila kehilangan dirimu, kan?” tanyanya kemudian dan tepat sasaran.
Nia mendengus dalam hati, lalu berusaha menyangkal, “Kau salah. Aku tidak pernah memiliki rasa takut semacam itu.”
“Ya, itu sangat memungkinkan, karena kau sudah berhasil mengunci pintu di hatimu. Kau bahkan tidak pernah membiarkan mereka masuk ke sana, satu kali pun.”
Tidak kuat. Nia tidak kuat lagi jika harus mendengar celotehan dari Alex lebih lanjut. Laki-laki itu sudah berhasil menggores hatinya, memporak-porandakan seluruh bagiannya hingga titik sensitifnya menjadi hancur berkeping-keping, rusak parah. Ia menahan isakan tangisnya dengan susah payah.
“Alex, tinggalkan aku sendiri,” ujarnya dengan suara sedikit serak. Ia memutar kepalanya hingga menghadap ke depan, sedangkan kedua matanya dipaksakan untuk kembali menatap teman-temannya di lapangan tadi.
“Jangan pernah berpikir kalau aku menganggapmu sebagai temanku,” ujarnya lagi dengan nada datar.
Alex masih menatap Nia dalam. Ia lalu tersenyum, dan tidak sedikit pun menampakkan raut kekecewaan pada wajah rupawannya. Tidak dianggap sebagai siapa pun bukan masalah yang besar untuknya. Karena setidaknya, ia masih berkesempatan untuk dapat melihat paras gadis itu di dunia ini, dan menurutnya itu sudah lebih dari cukup.
“Aku tidak pernah memintamu untuk menganggapku begitu. Tapi aku berharap, kau masih menganggapku sebagai tetanggamu.”
Nia menghela napas, lalu tanpa menoleh lagi, ia mengangguk pasrah dan mengatakan, “Ya, kau tenang saja. Kau masih tetap tetanggaku.”
“Alex, tolong hormati tetanggamu kali ini.” katanya lagi, masih tidak menoleh, namun kepalanya sedikit tertunduk, dan napasnya pun terdengar lebih cepat bila dibandingkan dengan satu detik sebelumnya.
“Baiklah,” ujar Alex, lalu membalikkan badan dan mulai melangkah menjauh dari tempat Nia berdiri. Ia terus berjalan di tengah koridor dengan langkah kaki yang terbilang pelan. Namun, meskipun pelan, ternyata sanggup membuat bayangan tubuhnya tertelan oleh persimpangan koridor di depan.
Nia menghapus cairan kecil di kedua sudut matanya, lalu menarik napas dalam. Ia ingin sekali berkata jangan pergi, dan menahan tubuh Alex agar tidak melanjutkan langkah. Ia menginginkan laki-laki itu untuk tetap tinggal di sisinya, tetapi sayangnya tidak bisa.
Selembar memori kembali terngiang di kepalanya. Saat itu, tepatnya pada tahun ketiga masa SMP-nya, ia mengeluarkan kata-kata yang teramat menyakitkan, sepertinya. Ia meminta laki-laki itu untuk menghilang dari hidupnya, tidak mencampuri urusannya, dan tidak memikirkan dirinya lagi. Istilah lainnya, ia memecat laki-laki itu yang semula merupakan teman baiknya.
Itu sebenarnya memang bukanlah kehendak hatinya. Tetapi, mau bagaimana lagi, logikanya harus dituruti. Tidak boleh diabaikan.
Ketika cairan bening mulai mencuat dari sudut matanya lagi, ia dikagetkan oleh dua buah lengan yang merangkul tubuhnya dari belakang, mendekapnya dengan begitu erat dan seolah takut untuk melepaskannya. Ia mengangkat kedua tangannya untuk meraih dua lengan itu, dan cukup lama sekali kedua tangannya bernaung di sana. Ia menoleh untuk menatap wajah pemilik lengan itu yang kebetulan bersandar di salah satu pundaknya.
“Kenapa kau masih memintaku untuk meninggalkanmu, Nia?” tanya Alex tepat di telinga kiri Nia.
“Aku terpaksa melakukannya.”
Itu jawaban di dalam hati. Tidak terucap.
“Aku bahkan tidak akan pernah mampu melakukannya. Di saat aku berusaha untuk meninggalkanmu, entah kenapa aku selalu gagal di tengah jalan. Aku tidak bisa membiarkanmu sendirian,” ujar Alex terdengar frustasi.
“Jangan pernah memintaku untuk meninggalkanmu lagi. Nia, kau tahu tidak? Setiap kali kau mengatakannya, dadaku terasa sakit sekali.”
Alex semakin mempererat tautan kedua lengannya, tak mau kehilangan jarak meski satu jari pun dengan objek di depannya. Ia bahkan tidak peduli kapan dan di mana mereka sekarang. Biarlah apabila ada orang yang melihat dan memergoki mereka, bahkan melaporkan mereka pada pihak sekolah. Tidak ada rasa malu di dalam benaknya. Tetapi, bagaimana dengan gadis itu? Ia tidak tahu.
“Katakan padaku. Apakah kau benar-benar ingin aku meninggalkanmu?”
“Aku tidak pernah ingin.”
Lagi. Itu jawaban di dalam hati. Tidak terucap.
“Nia, meskipun kau tidak mengatakannya, aku tetap tidak akan meninggalkanmu. Karena bagiku, meninggalkanmu hanya akan membuatku menyesal nantinya, dan aku tidak ingin membawa penyesalan itu hingga sepuluh tahun mendatang, bahkan hingga detik terakhir sebelum kematianku tiba.”
“Izinkan aku untuk tetap di sisimu,” pinta Alex kemudian.
“Aku tidak akan mengizinkanmu.”
Lagi. Itu jawaban di dalam hati. Tidak terucap.
“Kumohon,” pinta Alex lagi.
Tidak! Hati nurani Nia berteriak keras. Ia tidak boleh membiarkan dirinya luluh oleh perkataan laki-laki itu. Tetapi, kenapa rasanya sulit sekali untuk menolak keberadaan laki-laki itu? Oh, astaga, bahkan jiwa dan raganya malah teramat mendamba.
Deru napas laki-laki itu mendadak menjadi pelan. Hampir tidak terdengar lagi. Ia menjadi penasaran. Kedua mata laki-laki itu ternyata sudah lama terpejam. Ia tidak mengerti itu disengaja atau tidak, namun entah kenapa ia merasa sangat khawatir, degupan jantungnya pun kini berubah menjadi tidak teratur, cepat dan terkesan terburu-buru.
“Alex?” panggilnya.
Brukk!
Suara itu ibarat suatu kode. Ia tertegun hebat mendengarnya, dan lantas berbalik lalu mendapati tubuh laki-laki itu yang ambruk, tergeletak di lantai dengan kedua mata yang masih tertutup rapat, sementara kedua kakinya saling menindih. Hingga tanpa sadar, tangan kanannya terangkat untuk membungkam mulutnya, masih kaget.
“Alex! Bangun! Ini tidak lucu!” pekiknya kemudiaan, setelah duduk dengan kedua lututnya sambil mengguncang-guncangkan tubuh laki-laki itu dengan cukup cepat, berharap kesadaran laki-laki itu lekas kembali, namun nihil rupanya. Ia lalu meneteskan air matanya, deras sekali.
***