Entah sejak kapan Nick tertidur, yang jelas Ferus menjerit sangat keras hingga menyeret Nick dari kegelapan. Lututnya berkedut heboh akibat terkaget sampai panas dingin.
"Apa, Ferus, apa?!" Kengerian yang ikut merambat pada Nick membuatnya melupakan seluruh rasa sakit yang mengeroyok wajah babak belurnya. Dia bahkan mampu duduk tegak dan di saat itulah dia mendapati apa yang sebenarnya terjadi.
Itu semua gara-gara Gerald. Ferus menyeret dirinya mundur. Satu per satu kakinya menendang Gerald entah untuk menjauh atau mengusirnya. Gerakannya kelewat rusuh, membuatnya jatuh mendebamkan pipi pada lantai kayu, tetapi itu tidak cukup membuatnya berhenti menggeliat menjauh dan menangis heboh. Kulit Gerald berubah sepucat tembok. Ya, tentu saja karena dia adalah mayat yang mati dengan akhir yang sama seperti para mayat di belakang sana: mulut ternganga dan mata bergulir ke atas, hanya menyisakan bagian putihnya.
"T-Tuhan ...!" Ferus berucap di tengah isakan dan tubuhnya yang gemetar. "Gerald .... Gerald mati. Tolong selamatkan aku!" Bukan main perasaan takut yang merasukinya. Isi kepalanya sekadar dipenuhi fakta bahwa salah satu teman dekatnya mati dalam keadaan mengenaskan, dan bagian terburuk yang tidak ingin dia pikirkan adalah tak lama lagi hal serupa akan terjadi padanya.
"Ferus, tenang." Nick berujar sedamai mungkin kendati jantungnya juga bergejolak hebat. Bohong jika ia tidak sama takutnya dengan Ferus.
"Mana bisa aku tenang, Nick?!" Ferus masih memekik. "Ia mati, Nick! Gerald, temanku, mati!"
"Aku tahu tapi kau harus tetap tenangkan dirimu!" bantah Nick putus asa.
"Apa gunanya menenangkan diri, kalau jelas-jelas sehabis ini waktu kita akan tiba?!" jerit Ferus, terdengar semakin sengsara. Suaranya melengking dan nyaris menghilang.
Nick tak dapat mengajukan perlawanan apa pun. Jauh dalam hatinya, dia pun mengetahuinya.
Isakan Ferus menjadi-jadi sampai dia tersedak napasnya sendiri. "K-k-kau benar, harusnya aku tidak usah datang ke pesta ini! Mengapa aku tidak mendengarkan? Bodoh. Bodoh!" Ia tidak memberikan sedikit pun usaha untuk menenangkan diri. Raungannya semakin mengeruhkan suasana. Berkali-kali dia menggumamkan kata: "tidak", "seseorang tolong", dan "bebaskan aku".
Melihatnya, membuat hati Nick mencelus. Ya, anak ini memang seharusnya tidak ikut ke pesta. Mestinya Ferus berada di rumah bersama nenek dan kakeknya, tidur di ranjang tingkatnya, lalu mengikuti mata pelajaran dan menemui teman-temannya yang tengah menanti kehadirannya di sekolah. Mengapa pula Nick masih percaya diri bisa melindunginya, hanya dengan alasan tidak ingin berpesta sendirian di kala Ferus tidak bersenang-senang? Ayolah, di masa depan masih banyak pesta normal yang bisa Ferus ikuti!
Ini salahnya. Ini memang salahnya.
"Hentikan, Ferus ...," gumam Nick, menundukkan kepalanya, tetapi Ferus tidak mengacuhkan. Semakin mendengar suara tangisan itu, semakin membuat Nick frustrasi hingga ia tak sengaja membentak, "Sudah kubilang, diam! Kau pikir aku juga tidak mau bebas?! Tangisanmu itu mengganggu! Aku semakin merasa bersalah membawamu ke sini, kau tahu?!"
Tubuh Ferus bergetar menanggapi ledakan amarah Nick. Di saat itu juga ia merasa tidak terima dibentak seperti itu. "Memangnya aku menyalahkanmu?! Jangan salah paham!"
Gertakan Ferus merupakan umpan bagi Nick. "Sudah! Jangan membuatku marah," teriaknya. "Yang membuat salah paham siapa? Itu semua gara-gara tekanan yang kamu berikan! Coba berpikir sedikit! Sekalipun kamu tidak merasa menyalahkanku tapi aku tetap akan merasa begitu!" Walau sudah terengah-engah, Nick tidak berhenti mengoceh. "Menangis seperti itu pun tidak ada gunanya. Tidak ada polisi yang tiba-tiba mendengar raunganmu dan menjemputmu! Tidak ada pahlawan super! Yang harus kaulakukan hanya bersikap tenang supaya kau tidak membawa pengaruh buruk pada mental orang lain! Dasar anak lembek dan manja!"
Alhasil Ferus membelalakkan mata. Air mata tetap mengalir dari matanya. Keseluruhan wajahnya merah seperti paprika, tetapi mulutnya yang menghirup udara tidak lagi mengeluarkan suara selain karena sesenggukan. Kata-kata itu adalah peluru yang selalu memberondongnya pada masa-masa sulit. Peluru yang digunakan untuk membuatnya hilang kepercayaan diri. Itulah sebabnya ia tidak lagi melawan, bungkam seakan ia tidak diperbolehkan berkutik karena ia memang lemah.
Sedetik setelahnya, penyesalan di dalam Nick menjangkit cepat sampai ke tulang-tulang. Pengaruh ucapannya pun tidak ada bedanya dengan yang Ferus berikan padanya. Itu semua karena ia tidak punya banyak pilihan. Jika ia tidak menghardik anak ini, dua-duanya bisa berubah gila dan para mayat bisu itu mungkin akan menertawakan mereka. Di kala tertentu, justru Nick adalah orang yang paling parah dalam mengontrol emosinya, dan ia mengakui itu.
"Ferus," Nick mengucapkannya selembut mungkin, "aku tidak bermaksud ...."
Permintaan maaf itu tertunda karena tiba-tiba terdengar pintu gudang berkeriut terbuka. Keduanya pun menoleh, menanti seseorang yang akan muncul di balik belokan.
Mereka mengira akan melihat Sam, Jessie, atau anak-anak lain yang kemarin berada di pesta. Rupanya ia adalah gadis yang belum pernah mereka lihat sebelumnya, sekalipun di sekolah. Gadis itu tidak lebih tinggi dari bocah SMP, atau mungkin ia memang masih dua belas tahun. Tubuhnya bisa dibilang sedikit gemuk. Parasnya tidak bisa dibedakan antara keturunan Sappon atau Kauli, yang jelas bukan Chang. Matanya bulat dan lebar mirip boneka, pipinya pun tembam antara mirip bakpao atau pantat bayi—itu yang dipikirkan Nick dan Ferus. Rambutnya hanya sampai setengah leher seperti si tokoh kartun petualang tukang tanya, tetapi warnanya hitam mengembang dan lebat.
Alat suntik di tangannya adalah penarik perhatian sebenarnya.
Tak disangka Ferus menegak dan meneriakinya, "Apa yang kalian lakukan pada Gerald?!"
Gadis itu bergidik. Sebisa mungkin ia meredam napasnya yang tercekat ketika menyadari mayat Gerald berada di samping Ferus. Ia menjauh beberapa langkah. "Aku tidak tahu."
"Jangan berbohong!" Ferus membentak. "Siapa lagi yang melakukannya kalau bukan kalian?!"
"Ferus," Nick menyela cukup kencang. Dengan saksama, Nick mengamati perempuan di depannya yang mulai ketakutan dimarahi Ferus, ditambah merasa risi karena Nick. Namun dilihat dari sisi mana pun, gadis ini tampak tidak bersalah. Akhirnya Nick menyimpulkan, "Dia berkata jujur."
Kebiasaan buruk Ferus adalah selalu mematuhi Nick karena dia merasa lebih pasif jika dibandingkan dengannya. Kendati sebetulnya ada rasa di mana dia tidak ingin menaati Nick kali ini, sebab dia masih kecewa. Di lain sisi, dia sendiri tidak tahu apakah pendapatnya benar. Dan, yang dia tahu, Nick lebih sering benar. Akhirnya dia memutuskan untuk tutup mulut.
"Kemarin kau tidak ada." Nada suara Nick terdengar serius. "Tidak ikut pesta?"
Anehnya gadis itu tidak menjawab, justru menundukkan kepala.
Jika tidak bisa menjawab, Nick memutuskan untuk mengganti pertanyaan. Semakin mendesaknya, maka akan semakin membuatnya bicara. "Alat suntik itu, kau mau mengisap tenaga kami, 'kan? Sam menyuruhmu?"
Gadis itu mengangkat kepala, menjawab Nick dengan sebuah anggukan gugup. Bibir keriting dan mungilnya tetap tertutup rapat.
Karena itu, Nick mengangkat sebelah alisnya. "Dan kau berani melakukannya?"
Lagi-lagi gadis itu tidak menjawab.
Sementara ini, Nick menganggap dia tidak memiliki sesuatu yang perlu ditakuti. Namun dia tetap ingat peringatan dari Carl: yang terpolos bisa saja yang paling berbahaya. Untuk memastikannya, Nick merasa tidak bisa tinggal diam. Susah payah dia berdiri dengan tangan yang masih terikat di belakang. Di tengah perjuangannya, gadis itu mengambil satu langkah mundur ketakutan. Kapan pun tangannya harus siap menusukkan jarum suntiknya.
Nick berjalan gontai, rupanya tenaganya masih belum pulih. Gerakannya lunglai seperti mayat hidup yang teler. Alhasil perempuan itu merasa terancam hingga tak sanggup bernapas. Dia tampak menoleh ke arah tangga untuk mengancang-ancang kabur, tetapi dia lebih memilih mundur, semakin mundur, semakin mundur hingga sekujur tubuhnya yang gemetar memaksanya untuk menjerit, "Tolong jangan melawan karena aku akan dihukum olehnya!"
Dalam seketika, teriakan itu berhasil menghentikan Nick. Jadi gadis ini pun sama-sama ditawan? Ungkapan itu menjungkirbalikkan niat Nick untuk mencelakainya dan kabur. "Oleh Sam?" tanyanya.
Mata gelap perempuan itu bergetar bersama tangannya. Nick sampai prihatin melihat alat suntik di tangannya akan jatuh. Dan rupanya perempuan ini masih belum bisa menjawab lebih banyak dari itu.
"Hei." Nick mendekat. "Tidak apa-apa. Begini. Kaubebaskan saja kami lalu aku akan menghajar bajingan itu. Bagaimana?"
"Ya!" Ferus di belakang menyeru. "Nick bisa meninju hidung babinya yang menjijikkan itu."
"Benar, benar." Nick memantapkannya dengan anggukan. "Aku juga bisa mematahkan anunya."
Berulang kali gadis itu melirik pada Nick dan Ferus. Sebentar saja, Nick merasa dia mendapatkan kepercayaan gadis itu, tapi rupanya tindakan yang dipilih sangat kurang ajar. Justru gadis itu memanfaatkan kelengahan Nick untuk menancapkan alat suntiknya pada perut cowok itu. Tanpa memikirkan rasa sakit yang akan dirasakan Nick, dia menarik piston sekuat tenaga agar cepat terselesaikan walau tidak berpengaruh banyak karena alat itu punya tekanannya sendiri, menimbulkan pekikan Nick dan Ferus yang beradu di udara.
Secepat mungkin, perempuan itu mencabut alat suntiknya, kemudian berlari menaiki tangga dan meninggalkan Nick yang begitu saja roboh di atas ubin berdebu. Nick tak memiliki sedikit pun tenaga untuk bergerak seolah tubuhnya bukan miliknya lagi. Terasa seperti hujan pisau terhunjam ke tubuhnya. Persis dengan rasa pedih yang ia rasakan semalam, membuatnya tidak berhenti merintih penuh derita.
Apa-apaan gadis itu? Bukan kepalang kekesalan yang membakar Ferus. Biarpun sulit dan mengetahui waktunya tidak cukup, Ferus berupaya berdiri untuk mengejarnya. "Kau—jangan lari!"
Percuma saja. Pintu telah tertutup saat Ferus tersandung di tengah usaha berdiri. Tak lupa terdengar suara klik dua kali. Hilang sudah kesempatan mereka untuk kabur.
Geram rasanya karena Ferus tidak bisa berbuat apa-apa, apalagi ketika ia menyaksikan apa yang dilakukan gadis itu pada Nick. Segera dia menghampiri kawannya. Kecemasannya membuat dia tidak sadar bahwa posisi wajah mereka sangat dekat. "Kawan, kau baik-baik saja?"
"Ya, aku baik-baik saja. Menurutmu?" ketus Nick yang meringis kesakitan. Badannya berubah panas menanggapi reaksi asing yang terjadi di dalam tubuhnya. Reaksi asing itu terjadi di antara raga dan rohnya. Kini kemejanya pun tercetak noda darah akibat metode penyuntikan paling mengerikan di dunia. "Menjauhlah. Kau ini mau menciumku atau apa?"
"Oh, syukurlah!" Ferus menyeret dirinya mundur. "Artinya kamu masih oke."
"Dasar gadis itu. Bedebah." Nick menyumpah serapah. "Padahal semuanya akan selesai kalau dia membebaskanku."
"Mungkin dia masih belum bisa percaya." Ferus pun kecewa.
"Ya, pasti memang begitu. Tapi aku tetap tidak bisa terima."
"Kau tidak bisa menghubungi KMM? Tidak ada semacam telepati atau apa pun itu?"
"Otakku tidak sebodoh itu untuk segera menggunakannya. Lagipula, telepati terlalu diremehkan di cerita fiksi. Padahal itu adalah kekuatan yang dimiliki orang-orang tertentu saja," celoteh Nick.
Semua ini merundung Ferus habis-habisan. Akhirnya ia kembali menyandarkan punggung pada tembok. Apa lagi upaya yang bisa mereka lakukan untuk kabur dari sini? Gudang ini tidak hanya memerangkap fisiknya, tapi juga mentalnya—bahkan rohnya. Apalagi dalam keadaan dikurung bersama tumpukan mayat menyeramkan. Namun tidak juga, justru bagian yang buruknya adalah Ferus sampai terbiasa melihat mereka di bawah bayang-bayang lantai kayu yang berongga, membiarkan berkas cahaya natural pagi hari yang perlahan mulai menerangi debu yang beterbangan.
Dengan murung Ferus berpaling, menoleh pada bokong Gerald yang menghadap padanya. "Apa nanti nasib kita akan seperti Gerald?"
Selama beberapa detik, Nick tidak bisa menjawab akibat kehabisan tenaga. Ia pun mengembuskan napas dengan berat. "Manusia dan makhluk supernatural memiliki kapasitas kekuatan yang berbeda. Mari berharap anak itu hanya manusia biasa," gumamnya, "Karena jika begitu, artinya sisa tenaga kita masih cukup banyak sampai benar-benar terkuras habis .."
***
Tak lama dari kejadian itu, Nick mengingat sesuatu setelah mengerahkan sisa tenaga yang dimilikinya untuk berpikir keras. Sesudah menerangkan rencananya pada Ferus yang masih memiliki kondisi fisik lebih prima, Ferus menunggu instruksi dari temannya.
"Baiklah," kata Nick dengan lemah terhadap Ferus yang berdiri menjulang di atasnya. "Pertama kau harus pindahkan tanganmu ke depan."
"Bagaimana caranya?" Ferus membalikkan tubuhnya ke belakang seakan mengejar ekor di belakangnya.
"Putar lenganmu ...." Ucapan Nick terputus karena tiba-tiba badannya seolah terguling padahal dia masih diam di tempat. "Putar lenganmu ke atas melewati kepala. Bisa sekaligus atau satu per satu. Harusnya dengan itu bisa."
"Uh, baiklah." Ferus meragu.
Pertama, Ferus mencobanya dengan satu lengan. Dia membungkuk, mengulurkan lengan ke atas, kemudian menariknya sementara kepalanya berusaha mendorong ke belakang. Rupanya itu tidak semudah yang dia kira. Dimulai dari bahu hingga seluruh lengan, ototnya tertarik kencang seakan jaringan-jaringan di dalamnya akan sobek. Tulangnya akan melintir ganjil. Ini sungguh-sungguh menakutinya. "Oh, tidak. Susah!" Ferus berteriak.
"Ayo." Nick berusaha menyemangati. "Pasti bisa."
Memaksakan diri pun tampak tidak ada hasilnya bagi Ferus. Sendinya masih sulit diputar. "Ugh—ah!"
Kretek. Terdengar nyaring tulang Ferus mengertak, bahkan Nick saja mendengarnya. "Holy—"
"Tidaaak!" Spontan Ferus menegakkan tubuhnya dan berteriak pada langit-langit.
"K-kamu tidak patah tulang, kan?!" Ketakutan berhasil membuat Nick merinding. Kalau sampai dia patah tulang, maka dia akan benar-benar merasa berdosa.
"Uh, tidak, sih." Ferus menggeleng.
"Ya ampun," protes Nick. "Kamu mau membuatku gagal jantung?"
"Tapi memang nyaris, tahu! Apa tidak ada cara lain?" Ferus menentang.
"Oke, oke. Tunggu. Oh, aku ingat. Ada satu lagi," ujar Nick semangat walau tidak seperti kedengarannya. "Kamu selipkan kakimu ke lubang antara lenganmu. Caranya kamu harus membungkuk."
"Uh-huh." Ferus mengikuti instruksinya.
"Kemudian lenganmu harus melewati pantatmu. Kalau sudah, baringkan badan dan masukkan kakimu satu per satu."
Saran itu masih terdengar tidak aman di telinga Ferus, alis tebalnya bertautan membentuk kerutan dalam pada jembatan hidungnya. "Kedengarannya masih sama-sama berbahaya," gerutunya.
"Semuanya memang melibatkan kelenturan. Memangnya kamu pikir lenganmu bisa tembus ke depan begitu saja?" Nick merutuk. "Kalau aku tidak kena suntik, aku tidak akan menyuruhmu."
Akhirnya Ferus hanya bisa menjentikkan lidah dan bergumam sesuatu semacam "dasar Nick bau", kemudian mengikuti perintahnya.
Dugaannya pun tidak salah. Memasukkan pantatnya ke dalam lubang lengan saja sudah menjadi tantangan. Sementara Ferus mengerang memaksakan diri, Nick menyemangatinya dengan sorakan, "Terus! Terus! Terus!" Bahkan dia mampu menempelkan dagu pada dadanya dalam kondisi lemah. Jika ada orang yang mendengar suara mereka tanpa melihat kejaian sesungguhnya, orang itu pasti bakal mengira Ferus sedang melahirkan dan Nick sebagai dokter kandungan tengah membantu proses.
Dan itu memang apa yang dipikirkan gadis tadi saat menguping dari daun pintu. Dari tadi dia mendengar suara-suara di bawah sana. Dia jadi penasaran sekaligus heran. Apa yang mereka lakukan?
"Ayo, sedikit. Sedikit lagi ...!" Nick tidak sabar ketika melihat tangan Ferus sudah berada di bawah pantatnya.
Dan, ya, akhirnya anak itu berhasil, lengannya meluncur ke bawah pahanya. Posenya saat itu seperti orang sedang melepas celana dan hendak mendaratkan pantat pada bibir toilet, tetapi Ferus tidak peduli dan tetap melompat-lompat kecil dengan bangga. "Yes! Yes! Yes! Aku berhasil! Aku berhasil!"
"Hei, hei. Masih bukan saatnya senang." Pada kenyataannya Nick tidak kalah girang dengannya. "Cepat tahap kedua. Yakin yang ini tidak sulit."
"Iya, iya. Sabar."
Bagian kedua memang tidak sulit. Ferus tinggal berbaring dan menyelipkan kakinya yang menekuk satu per satu ke dalam lubang. Kini tangannya sudah berada di depan, dan dia kembali berdiri. "Oke. Sekarang apa?" Keberhasilannya membuat semangat kembali berkobar.
"Sekarang rekatkan pita plastiknya dengan gigimu," kata Nick.
"Kok, direkatkan?" Ferus bertanya-tanya.
"Sudahlah, cepat lakukan. Baru setelah itu angkat tanganmu tinggi-tinggi. Kemudian pukulkan pergelangan tanganmu pada perut sekuat mungkin. Harusnya cara itu akan merusak pitanya."
"O ... oke." Ferus mematuhi sebelum menggigit bagian pita yang mencuat, menariknya semakin rapat. Cengkeraman tipis tetapi kasar terhadap pergelangan tangannya sangat mengganggu seakan mampu memotongnya. Kulit pada bagian itu pun berubah warna lebih pucat. Sejujurnya Ferus tidak yakin cara ini akan berhasil.
Sekarang dia memulai usaha, tangannya diangkat tinggi. Sikunya pun ia tarik ke belakang untuk menabrakkan pergelangan tangan pada perutnya. Siapa bilang itu tidak sakit? Ini namanya menyiksa diri! Setiap kali dia menghantamkan perutnya, dia mencoba menahan erangan.
Kesangsiannya itulah yang membuatnya cepat menyerah. "Tidak bisa, Nick!"
"Bisa," gertak Nick. "Kamu hanya ragu-ragu."
"Tapi ini malah membuat perutku sakit," protes Ferus.
"Percaya padaku." Tampaknya kepercayaan diri Nick sangat tinggi. "YouTube sudah membuktikannya."
"Apa?" Suara Ferus menaik. "Jadi kamu mendapat informasinya hanya dari YouTube?"
Nick sudah tahu Ferus akan berpikir demikian mendengar Nick berusaha meyakinkannya hanya dari pengetahuan internet—apalagi YouTube. "Dari situs lain juga. Caranya memang begitu. Memindahkan tanganmu ke depan pun dari YouTube, tapi berhasil, 'kan? Cepat lakukan saja!"
Baru Ferus akan membuka mulut, sesuatu terpaksa mengganggu perdebatan mereka.
Gangguan itu berasal dari dampratan pria dewasa di atas sana hingga menembus ke ruang bawah tanah. "Mana aku peduli dengan ketakutanmu, sialan!" katanya. Pria itu memiliki suara yang tidak terlalu berat, tapi karena saking lantangnya, dia mampu menciutkan nyali dua cowok itu.
Baik Nick maupun Ferus berkonsentrasi mendengarkan suara yang berada jauh di atas sana, kemungkinan berada tepat di depan pintu. Dua anak laki-laki itu sempat saling pandang menyiratkan pertanyaan dan kegentaran yang sama.
Berikutnya terdengar suara jeritan si perempuan barusan dan sebuah sofa yang digeser keras. "Tidak, kumohon! Beri aku kesempatan sekali lagi, Tuan!"
Sekejap detak jantung Ferus mengeras mengetahui perempuan itu dalam masalah besar. "Gadis itu dalam bahaya."
Nick memutuskan tidak berkomentar apa pun dan tetap mendengarkan, membayangkan apa saja yang terjadi di luar sana. Kali ini terdapat suara entak kaki sangat kuat, bersamaan dengan suara sesuatu yang diseret sangat kasar—mungkin kaki si perempuan. Ia lagi-lagi memekik ketakutan di tengah pecah tangisnya. Kemudian pria itu berkata, "Detik ini juga, ambil darah si bocah satunya! Kalau tidak, kau tahu apa akibatnya!"
Debuman keras menyusul, Nick dan Ferus serempak berjengit ngilu. Dan rupanya pria itu masih belum puas memaki perempuan kecil itu. "Tidak usah pakai meringis! Cepat ambil darahnya sekarang!"
"I-iya," isak sang gadis ketakutan, menyeret diri untuk bangkit dan berlari mendekat ke arah pintu. Tampaknya ia menubruk pintu saat berlari, dapat mereka bayangkan perempuan itu sedang terkungkung oleh rasa takut sampai kakinya tidak bisa berjalan dengan seimbang.
Tak lama kunci terbuka, gadis tersebut masuk dan menguncinya kembali. Napasnya tidak teratur saat ia menuruni tangga, dan tampak matanya sembap serta pipinya mengilat begitu muncul di balik tembok.
"Aku mohon ...." Gadis itu terbata-bata berucap, "aku mohon biarkan aku melaksanakan tugasku."
Memang itu yang akan Ferus biarkan. "Ambil!" dia tiba-tiba berseru, mengulurkan lengannya pada gadis itu. "Ya, ambil saja darahku!"
"Ferus!" Nick mengingatkan. "Apa-apaan?"
"Pria itu akan menyakitinya, Nick!" Ferus membantah, memandang pada temannya yang masih terbaring lesu di atas ubin yang dingin.
"Yang benar adalah dia bebaskan aku dan aku akan menghajar pria itu!" lawan Nick. "Cepat lepaskan aku sekarang. Percaya padaku!"
"Kau bahkan tidak bisa duduk, bodoh!" Ferus menghardik. "Setidaknya sampai pulih baru kau boleh bertindak. Kamu sendiri yang bilang ini adalah perkumpulan makhluk supernatural. Bisa jadi pria itu lebih mengerikan dari yang kita kira!"
Kata-kata Ferus merupakan kebenaran yang sudah Nick ketahui, tapi ia sendiri tidak tahan terus-terusan diam tidak berdaya, apalagi mendapati gadis ini akan sangat mudah dimanfaatkan untuk membebaskannya. Sayangnya semakin dia berpikir, semakin dia banyak bicara, semakin emosinya berkeras. Sesuatu di dalam kepalanya mendentum-dentum seluruh penjuru tengkoraknya. Sakit di sekujur wajahnya pun semakin mengoyak.
Ferus sialan. Pada akhirnya Nick melengos jengkel. Reaksi tersebut Ferus anggap sebagai persetujuan, jadi dia mengarahkan lengannya lagi pada perempuan itu. "Ayo, ambil. Sebelum pria itu datang dan menyiksamu."
Perempuan itu memandang Ferus dengan takjub dan merasa bersalah di satu waktu. Akhirnya dia berusaha merangkai kata, "Maafkan aku, ya? Aku seperti ini pun karena terpaksa."
"Sudah, aku mengerti," tegas Ferus. "Cepat lakukan."
Gadis itu pun mengangguk yakin. "K-kau boleh berbaring. Nanti kau jatuh seperti temanmu."
"Oke," sahut Ferus, segera membaringkan dirinya. Selagi melakukannya gadis itu mendekat, mengacungkan alat suntik baru untuk mengambil darah Ferus.
Cubitan kecil bagai rahang bawah semut menjepit kulit dapat Ferus rasakan pada pangkal lengannya, padahal ia sangat takut terhadap rasa sakit alat suntik. Melihat jarumnya saja sudah membuatnya merinding. Dan, rasa sakit sebenarnya terjadi ketika perempuan itu menarik piston untuk mengisap darah dari lengannya. Seolah seluruh pembuluh darah ikut disedot bersamanya. Efek samping yaitu rasa sakit di sekujur tubuh menekan fisik dan mentalnya.
Pikirnya saat ini tidak apa-apa. Ia benar-benar takut perempuan ini akan mendapatkan siksaan mengerikan dari pria itu. Melihat wajahnya yang seperti anak-anak dengan tubuh kecil saja sudah membuatnya iba. Dia adalah orang pertama yang akan merasa berdosa saat pria itu menyiksanya, dia yakin soal itu.
Darah telah memenuhi tabung alat suntik. Gadis itu pun tersenyum penuh rasa berutang budi, dia menyentuhkan tangan pada pundak Ferus. Matanya berkaca-kaca dan pipinya memerah. "Terima kasih."
Ferus tersenyum lemah, memaksakan kepalanya untuk mengangguk.
Namun jangan kira gadis itu seutuhnya boleh merasa lega. Nick masih tidak terima Ferus bersikap sukarela atas darahnya. Ketika gadis itu melewati ujung kaki Nick, cowok itu memancangkan mata padanya. Tentu saja tatapan ganas tersebut menguliti kelegaan sang gadis, membuat dia melangkahkan kaki lebih cepat. Bahkan ketika posisi Nick sudah berada di belakangnya, tatapan menusuk itu masih menancap di tulang punggungnya.
Dan akhirnya perempuan itu menutup pintu. Di atas sana terdengar pria itu lagi-lagi bertanya, "Sudah?"
Dalam saat seterusnya tidak terdengar suara. Masing-masing dari Nick dan Ferus mulai menerka apa saja yang mereka lakukan. Selintas kemudian barulah terdengar kekehan puas dari pria itu. Langkahnya dengan cepat menjauh dari ruangan hingga sepenuhnya berubah senyap.
"Bodoh." Nick mengumpat. "Tak ada gunanya menyerahkan darahmu. Cepat atau lambat dia akan menyiksa perempuan itu dan menyedot darah kita lagi."
"Untuk saat ini saja kita tidak punya pilihan," gumam Ferus, kali ini dia yang lebih lunglai daripada Nick. Membuka mata saja sangat sulit baginya. "Aku tidak mau merasa bersalah karena melewatkan kesempatan menolongnya."
"Kau baru saja melewatkan kesempatan untuk menyelamatkannya," ketus Nick mengingat Ferus sudah hampir berhasil melepas pita plastiknya.
"Sudahlah, Nick." Ferus menggerutu, keningnya membentuk kerutan-kerutan. "Tenagaku habis. Aku tidak bisa menanggapi kekesalanmu."
Akhirnya Nick membuang napas melalui gigi-giginya yang terkatup rapat. Benar-benar, kekecewaannya mengakar sampai ke ubun-ubun. Ya, mau bagaimana lagi. Temannya ini memang terlalu kepahlawanan. Terlalu mudah iba, terlalu berempati.
Daripada marah-marah sendiri, Nick membiarkan kantuk menguasai tubuh dan kesadarannya lagi. Sekarang ia hanya tinggal menunggu tenaganya terhimpun kembali—mengesampingkan kemungkinan bakal disedot untuk ketiga kalinya.
Ceritanya bikin penasaran. Openingnya kereeeeennn.
Comment on chapter Act 000