Wajah Ferus yang berdarah-darah membuat seisi UKS mendadak gempar. Bayangkan gerombolan ekor semut sedang merumpi di atas piring dikagetkan oleh denting sendok. Dua orang perawat lekas menghampiri cowok itu, membantu Ferus yang berjalan sempoyongan untuk segera beristirahat di salah satu kasur dalam bangsal. Yang lainnya bergerak mengambil alat dan bahan pengobatan pertama.
Sepanjang dua tahun, ini baru pertama kali Ferus kembali ke ruangan penampungan murid-murid yang memiliki tiga motif berbeda: yang sakit tidak enak badan atau tidak sengaja melukai diri di tengah pelajaran, anak-anak malang sepertinya yang dijadikan mainan balita, dan anak-anak tengil yang kabur dari kelas dengan alibi pura-pura sakit. Rupanya ada kala di mana Ferus harus kembali lagi dengan kasus sama persis seperti dulu.
"Apa yang terjadi padamu, Nak?" Seorang perawat wanita berbadan besar seperti galon air menyeka darah Ferus dengan kain basah berair hangat setelah dia memaksa anak itu duduk di tepi kasur, mencengkeram dan menarik lengan kurusnya dengan tangan besar dan kuatnya ke bawah.
Sekali atau dua kali Ferus merintih dan meringis saat perawat menyentuh memarnya. "Tidak apa-apa. Bukan hal serius."
Perawat gemuk ini langsung menyentak, "Tidak serius bagaimana? Ini jelas babak belur sehabis dihajar! Astaga .... Lihat betapa bengkaknya luka yang ini."
"Aw ...!" Boleh saja perawat itu berhati-hati saat menyeka, tapi sakitnya masih sama seperti membenturkan kepala pada tembok. Sedikit sentuhan saja sudah menyetrum seluruh isi kepala, merobek hingga ubun-ubun. "Pelan sedikit ...," Ferus meminta, setitik air mata langsung muncul di kedua mata.
"Maaf, maaf." Dia lalu mengganti kainnya dengan kain baru, kali ini lebih lembut membersihkan wajah Ferus. Sementara itu ada perawat lain—seorang murid yang kebagian tugas—datang membawakan gelas dan mangkuk. Dia menyuruh Ferus kumur-kumur membersihkan mulut penuh darah dan membuangnya ke mangkuk. Sesudah itu dia pergi dari mereka berdua.
"Siapa yang melakukan ini semua?" tanya si perawat lagi, masih mengompres wajah walau sudah tidak ada darah tercetak di kainnya.
Ferus hanya menggeleng kecil. "Dia tidak bermaksud. Sudah kubilang bukan urusan serius."
"Kalau tidak bermaksud kenapa dia memukulmu berkali-kali?" Tampaknya perawat ini mulai kesal walau dengan maksud penuh perhatian. "Jangan sembunyikan, Nak. Jangan lindungi dia. Apa anak itu mengancammu kalau kau melapor pada guru?"
"Sudah kubilang bukan apa-apa," ujar Ferus muak sampai menjauhkan kompres dari wajah. Bisa-bisa dia membentak perawat tak bersalah ini jika dia tidak berhenti mewawancara.
"Atau kaubutuh kami laporkan ini pada orang tuamu ...?" tanyanya semakin gelisah.
"Tidak usah," kata Ferus penuh penekanan. "Aku ... hanya ingin sendiri. Biar kukompres sendiri memarnya. Terima kasih."
Akhirnya perawat ini kehabisan kata-kata. Dia hanya bisa pasrah, menyerahkan baskom penuh air hangat pada pangkuan Ferus, juga memberi kain yang dia gunakan barusan untuk mengompres wajah. Sebelum pergi, dia menggamit tirai bangsal. "Apa kaubutuh ini ditutup?"
Ferus sekadar menjawab dengan anggukan. Perawat itu pun menyibak tirai menutup, sepatu sol datarnya masih terlihat di bawah tirai, menjauh, dan lama-lama menghilang dari penglihatan. Sekarang Ferus baru bisa bernapas dengan lancar walau masih belum melegakan karena dia tahu dia tidak sendirian di bangsal ini.
Dia ingin pulang tetapi jam sekolah belum selesai. Apa kata Abuela kalau melihatnya pulang ke rumah dalam keadaan seperti ini lagi? Pasti antara cemas dan marah. Ferus tidak suka bagian ketika dia malah memberondong Ferus dengan nasihat ketimbang menyemangati. Meskipun kemarin sudah berbaikan Ferus masih pesimis Abuela bisa berubah kurang dari dua puluh empat jam.
Baskom tersebut ia letakkan di kolong ranjang, kemudian mengangkat kaki ke kasur, bersandar santai pada bantal yang menempel di jeruji besi dipan. Sesekali ia mengompres wajah yang serasa seperti gumpalan daging setebal tembok, walau akhirnya ia malas melakukannya. Kain basah itu dia letakkan di samping.
Baru saja kemarin dia menentukan untuk berdamai sedikit dengan gelarnya sebagai Sang Dikaruniai. Ia tidak mengira di balik kelemahannya sebagai makhluk yang mudah dikuasai oleh roh jahat ternyata mempunyai dominasi lebih besar dari mereka. Mengingat cerita Abuela soal ingin memulihkan ibunya Ferus, anak itu jadi kepikiran suatu hal. Dia ingin mencoba menyembuhkan lukanya.
Tapi sekarang dia kembali jijik dengan gelarnya yang hebat itu.
Memandangi plafon UKS yang berbayang menerima cahaya redup dari matahari menjelang sore, ia menikmati kesendiriannya. Bebunyian sederhana dari denting alat-alat rawat memenuhi telinga yang kosong, percakapan kabur dari beberapa orang juga mengudara. Perlahan matanya mulai terpejam karena rasa kantuk yang tiba-tiba menyerang beriringan dengan kegetiran yang masih mencengkam dada.
Wajah teman-teman Ferus berseliweran, menghantui di tengah kegelapan memejamkan mata. Eva, Jim, Enrico, Teresa, Farabi, Elsa ... lalu Jack, rautnya barusan, yang diliputi kegelapan kemurkaan dan kesengsaraan di waktu yang sama. Suaranya membentak-bentak dalam kepala, bercampur aduk dengan tangisannya yang pecah di tengah gertakan. Bagaimana dia memaki Ferus sebagai pembunuh psikopat. Lalu dia tersedot ke alasan di balik julukan yang rupanya dijadikan buah bibir orang-orang di masa lalu. Akhirnya matanya panas lagi, mengalirkan air mata menjijikkan yang tidak ada habisnya.
Mulutnya dia bekap, berusaha sebaik mungkin mencegah isak keluar dari sekatnya. Siapa pun akan berprasangka begitu mendengar seorang cowok menangis, apalagi sehabis dihajar habis-habisan. Ferus terus meminta dirinya yang kecil, yang lemah, untuk berhenti, tetapi jangankan itu. Menahan suara lepas dari tangisan saja sudah membantu dadanya semakin sesak oleh rasa pilu. Belum lagi memar di sekujur tubuh mulai berdetak lagi, apalagi ketika dia membuat sedikit saja gerakan di wajah.
Berselonjor lebih santai, dia memikirkan lebih baik paksakan diri untuk tidur. Terjaga seperti ini malah menggiring pikirannya ke mana-mana. Sulit memang, menyuruh kesadaran menghilang di tengah isak bertubi-tubi dengan hidung tersumbat sepenuhnya oleh air mata, namun dia tidak punya pilihan lain. Dia juga sudah lelah secara fisik dan mental. Dia harus istirahat.
Hingga dia benar-benar tertidur beberapa jam dan terbangun tepat di waktu pulang sekolah. Ponselnya yang berada di saku memberitahukan pukul berapa saat itu. Segera ia menegakkan tubuh, yang akhirnya malah mengerang kesakitan lagi karena pedih bekas tendangan pada punggung dan perut masih membekas jelas. Bagaimana cara dia pulang kalau begini?
Belum lama, dari jauh Ferus mendengar suara perawat gemuk barusan, dan bukan hanya sepasang langkah kaki. Melainkan dua. "... Anak tinggi kurus itu, 'kan? Dia ada di sini."
"Terima kasih," itu suara Nick. Ciri fisiknya pun sudah terlihat hanya melihat dari bayangan di balik tirai kuning UKS. Selanjutnya, perawat itu pergi meninggalkannya sendiri. Ferus tidak senang ketika dia memunculkan wajah dari balik tirai.
Sampai Nick tidak mampu bicara apa pun saat dia memandang Ferus. Lalu memutuskan untuk masuk ke dalam dan masih tidak berucap sepatah kata. Tas selempangnya terkalung di bahu, sedangkan bahu satunya membawa ransel Ferus. Dia meletakkannya di lantai dengan hati-hati seperti menaruh barang rentan pecah.
Akhirnya Ferus bicara, "Jika kau di sana hanya berdiri untuk menjadi patung sebaiknya kaupilih tempat yang lain."
"Sudah waktunya pulang," akhirnya dia bicara walau tanpa ekspresi seperti biasa.
"Pulang saja duluan," kata Ferus. "Terima kasih karena sudah repot-repot membawa tasku ke sini."
"Aku tidak akan pergi kecuali kau pergi," dia bersikeras.
Ferus tidak tahan mendecakkan lidah dan mengerling ke arah lain. "Tidak usah merasa bersalah karena sudah menjadi pembohong. Aku tahu maksudmu baik. Aku sudah memaafkanmu. Sekarang bisa kau enyah dari sini?"
"Bukan masalah ingin dimaafkan," katanya. "Aku hanya harus menjalankan tugasku untuk menjaga cucunya Abuela dan Abuelo."
Tiba-tiba saja Ferus ingin sekali menggeram lalu membanting kedua tangan di udara dengan muak. "Kau sudah menjalankan tugas-tugasmu dengan baik! Lihat sendiri sampai detik ini aku masih bernapas! Dan sekarang apakah sehari saja kautinggalkan aku sendiri tidak bisa?"
Dia jelas kaget, tapi masih bertahan pada sikap tenangnya. "Terakhir kali aku meninggalkanmu kau kerasukan Leah," ungkapnya dengan gamblang.
Cukup. Anak ini sukses menghabiskan kesabaran Ferus. Tangannya sangat gatal ingin menonjoknya, jadi dia dengan gusar berdiri dari kasur, tetapi sialnya dia lupa memar di perut dan punggung masih memerasnya. Sentakan kuat dari denyut tersebut segera mengacaukan keseimbangan. Ferus jatuh walau berhasil menahan beban dengan telapak tangan dan lutut, menyenggol ranjang menimbulkan suara riuh derit memilukan. Nick tidak menahan diri langsung meraih pundak Ferus, tetapi belum sempat dia menyentuh, Ferus sudah menepisnya keras-keras dengan lengan. Kehadirannya saja sudah membuat Ferus marah besar apalagi menyentuhnya?
"Hentikan perbuatanmu yang selalu berusaha melindungiku!" teriaknya kuat-kuat, sama sekali lupa bahwa ini masih di tempat umum. "Aku tahu aku memang lemah, tapi bukan berarti kau berada di atasku seolah semua tindakan yang kaulakukan benar buatku! Sekarang kaulihat risikonya, masih mau bertingkah sok pahlawan?!"
"Aku sendiri bingung harus bagaimana, Ferus!" kali ini dia juga membalas gertakan. "Aku tidak bisa membayangkan aku menyampaikan dengan mulutku sendiri bahwa semua temanmu mati malam itu! Kau pasti akan menyalahkan diri dan kemungkinan bisa depresi berat! Kaupikir aku menyembunyikan ini hanya karena memenangkan ego?!"
"Ya! Kamu hanya memenangkan ego!" Ferus memelototinya yang masih membungkuk kaku di hadapan. "Sekarang telan semua egomu itu setelah melihatku seperti ini! Seharusnya kau sudah malu pada diri sendiri, tapi masih berani-beraninya mendatangiku seakan tidak merasa bersalah soal apa pun!"
Saking tidak terima Nick mengentakkan kakinya, menggetarkan lantai. "Dasar bodoh! Aku jelas sangat merasa bersalah!"
"Jika kau merasa bersalah aku ingin kau pergi dari sini! Jangan tunjukkan muka sialanmu itu di hadapanku! Aku tidak tahan—sungguh. Aku tidak tahan melihatnya. Jangan sampai aku membencimu lebih dari ini!"
Nick jelas terluka sekaligus muak mendengarnya. Serentetan kata dia tahan di dalam tenggorokan, lehernya menegang. Dia lebih memilih mengentak kaki sekali lagi, kali ini untuk berbalik, menyibak tirai dengan segenap ledakan amarah, meninggalkan Ferus yang masih berlutut di lantai berusaha menahan tangis yang mulai berkumpul lagi. Ferus kepalkan tangannya kuat-kuat untuk membalas rasa pedih yang memalunya, memaksanya untuk meraung-raung tetapi masih bisa dia tahan sekuat tenaga.
Dalam sekejap Ferus langsung merasa berdosa karena telah melukai perasaan Nick. Ingin dia tarik kembali segala cercaan Ferus pada Nick barusan. Padahal Ferus sendiri bilang dia tahu dia bermaksud baik, tidak lebih dari itu. Lihat sekarang, yang termakan ego sendiri adalah Ferus. Namun dia masih tak mampu berkutik sedikit pun, untuk mengejar Nick, untuk meminta maaf. Masih ada rasa kecewa yang menghadangnya, bahkan untuk berdiri.
Ceritanya bikin penasaran. Openingnya kereeeeennn.
Comment on chapter Act 000